6 April 2011

Tu Fu

TU FU : PENYAIR KONFUSIANIS

ZAMAN DINASTI T`ANG



Abdul Hadi W. M.





Di samping Li Po dan Wang Wei, penyair T`ang yang dianggap terbesar sepanjang sejarah ialah Tu Fu. Penguasaan Tu Fu terhadap bahasa dan kemahirannya dalam tehnik penulisan puisi sukar ditandingi oleh penyair-penyair lain sezaman. Apabila Wang Wei dikenal sebagai penyair Buddhis , Li Po penyair Taois, Tu Fu adalah seorang Konfusianis yang saleh dan prihatin terhadap masalah kenegaraan dan sosial. Sebagai seorang konfusianis Tu Fu menempatkan moral di atas segala-galanya, dan bercita-cita menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam sajak-sajaknya terdapat ketenangan jiwa, ironi yang tajam dan simpati besar terhadap kemanusiaan. Walaupun kehidupan pribadinya sering dilanda kesengsaraan dan penderitaan, Tu Fu tidak pernah menunjukkan rasa iba terhadap dirinya. Beliau sungguh seorang yang arif dan kearifannya dibentuk oleh pengalamannya yang luas dan pengetahuan yang dalam tentang pelbagai disiplin ilmu. Pengalaman Tu Fu yang luas nampak dalam perjalanan hidupnya yang penuh lika-liku, di mana beliau mengalami berbagai-bagai kepahitan. Seorang anaknya mati kelaparab pada waktu beliau sedang mengembara daripada suatu tempat ke tempat lain di tengah berkecamuknya peperangan.

Tu Fu pernah bertugas dalam beberapa jawatan penting di istana dan setia melaksanakan tugasnya walaupun pemerintahan sedang mengalami krisis diakibatkan peperangan yang dibuat oleh maharaja sendiri.

Tu Fu dan Li Po tidak sehaluan dalam pandangan hidup. Sifat dan kecenderungan kedua-dua penyair itu juga sangat berbeza. Namun kedua-duanya bersabat karib. Li Po banyak menulis sajak untuk Tu Fu, demikian pula Tu Fu banyak menulis sajak pujian kepada raja penyair daripada Schezuan itu.

Tu Fu berasal daripada keluarga miskin di provinsi Honan. Beliau pernah gagal menempuh ujian kesusasteraan negara di Chang’an, tetapi berjaya mendapat jawatan rendah dalam istana. Tidak berapa lama kemudian beliau ditangkap oleh golongan pemberontak dan hidup dalam kesengsaraan. Beliau dapat melarikan diri daripada kumpulan pemberontak An Lu-shan, tetapi menderita kelaparan. Dengan bersusah payah beliau berjalan menuju ibu negeri kemaharajaan T`ang. Maharaja yang lama telah meninggal pula dan maharaja yang baru belum mengenali beliau. Namun maharaja yang baru menerima Tu Fu dengan layanan yang baik dan memberi beliau sebuah jawatan penting.

Tu Fu mengakhiri sisa hidupnya di sebuah rumah kecil di desa yang sunyi. Di situ beliau menulis puisi menjalani masa tuanya dengan tenteram. Sajak-sajaknya mencerminkan keluasan pengalaman hidupnya. Di dalamnya terpancar kearifan dan ketenangan jiwa. Sikap dan pandangan hidupnya yang realistis memperlihatkan bahwa dia seorang pengikut Konfucius sejati. Tetapi sayang. kesetiaannya kepada negara dan rasa sayangnya kepada keluarga yang merupakan ideal seorang Konfusianis, tidak dapat diwujudkan disebabkan berbagai rintanga, seperti peperangan, keharusan melaksanakan tugas di tempat yang jauh dari rumah keluarga dan sebagainya. Pada suatu hari Tu Fu meninggalkan Chang’an untuk menjenguk keluarga di desa, namun setibanya di rumah dia menyaksikan seorang anaknya mati disebabkan kelaparan. Tu Fu menulis:



Isteriku tua tinggal di negeri asing

Sepuluh mulut kami terpisah oleh angin dan saljU

Siapakah membiarkan mereka lama tak dijaga?

Aku pun pulang untuk berbagi lapar dan dahaga dengan mereka

Memasuki pintu rumah, kudengar jerit nyaring:

Anak bungsu kami mati -- diserang penyakit busung

Bagaimana aku mesti menanggung duka maha besar ini?

Tetangga-tetangga kami hanya termangu dan sedih

Sebagai ayah jiwaku lunglai dan malu

Kurang makan telah mengantar kematiannya.



Walaupun banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya, Tu Fu tidak menjadi penyair yang sentimental. Kebalikannya beliau senantiasa menampakkan kearifan dan ketenangan jiwa. Sikap jiwanya yang arif dan tenang dalam menghadapi pelbagai keadaan nampak dalam sajak “Hujan Malam”



Hujan yang baik tahu kapan harus turun

Yakni pada musim semi ini -- agar bibit bertunas.

Ia gemar turun pada malam hari bersama angin sepoi

Dan secara diam-diam membasahi seluruh muka bumi.

Di atas alam tenang awan hitam mengambang.

Hanya nampak cahaya dari perahu di sungai

Besok segalanya akan berubah jadi merah dan basah

Seluruh kota Cheng Tu pun akan dipenuhi bunga-bunga merekah.



Tu Fu pernah tinggal di Cheng Tu selama beberapa waktu. Walaupun kota ini memberi kesan mendalam bagi jiwanya, namun dia senantiasa merasa asing sebab jauh dari keluarga. Dalam sajak “Cheng Tu” dia menulis:



Kini cahaya lemah matahari petang

Jatuh atas baju kembaraku.

Aku berjalan, pemandangan pun berganti:

Tiba-tiba saja aku merasa di bawah langit lain

Kujumpai kenalanku yang baru.

Tak tahu kapan dapat kujenguk lagi desa tempatku lahir.

Sungai besar mengalir ke timur,

Tak putus-putus, bagaikan hari-hari si pengembara.

Bangunan-bangunan megah dan indah berdiri di seluruh kota.

Hutan gelap pada akhr musim dingin ini/

Kota itu pun gaduh disebabkan seruling dan buluh perindu.

Dan mengagumkan, namun aku tetap merasa asing di sinii

Aku menoleh ke bukit-bukit jauh,

Menjelang senja burung-burung kembali ke sarangnya.

Bila pula aku dapat kembali ke pusat negeri Tiongkok?

Bulan belum begitu tinggi:

Semua bintang bersinar saling memamerkan diri.

Ah, sejak dulu kala pengembara sudah ada.

Apa gunanya aku berduka.



Telah pun dikemukakan bahwa Tu Fu, sebagai seorang Konfucianis, sangat mencintai keluarga. Dia banyak menulis sajak-sajak yang berkenaan masalah keluarga. Sebuah sajaknya “Malam Bulan Purnama” ditulis pada ketika dia sedang bersendiri di Chang’an sementara tentara sedang berperang melawan para pemberontak. Dia tiba-tiba ingat kepada isterinya di Fu-chou:



Malam ini bulan bersinar terang di Fu-chou.

Ia akan menunggu sendiri di dalam biliknya.

Aku sedih mengenang si kecil, jauh di sana.

Siapakah yang tidak ingat Chang`an.

Kabut semerbak membasahi bajunya yang murung.

Cahaya bulan menerangi lengan putihnya seperti permata.

Bilakah kami menyingkap tirai lembut di pintu

Bulan berkilauan atas kami, sehingga air mata kering?



Lukisan penuh pathos dan humor dapat dijumpai dalam sajak “Northern Journey”. Dalam sajak ini Tu Fu melukiskan perjalanan pulang ke rumah yang berbahaya sebab di merata tempat terjadi peperangan. Tu Fu, dalam sajak tersebut, dengan hidupnya melukskan pertemuan kembali sebuah keluarga.

Tu Fu juga menulis sajak-sajak mengenai kehidupan sehari-hari dalam sebuah keluarga, berikut perasaan mesra dan hangat, gembira dan damai. Misalnya perjalanan bersama yang dilakukan penyair sendiri dengan keluarganya. Walaupun perjalanan yang ditempuh menemui banyak kesukaran, namun penyair masih dapat merasakan kegembiraan. Misalnya seperti nampak dalam petikan sajak “Tiga Puisi Yang Ditulis Dalam Sebuah Perjalanan ke Gunung Szechuan dari Lang-chou”:



The servants talk to each other as they penetrate the bamboo grove,

The children shout as they enter the clouds.

The hobgoblins are startled when the stones are overturned.

The back apes and chipmunks fall at the arrow shot.

There indeed provide fun and mirth,

To console me at the extremities of my journey.



(Translated by Liu Wu-chi)



Simpati Tu Fu kepada penderitaan rakyat sangat besar. Ia melihat banyak ketidakadilan dalam masyarakat dan memberi isyarat bahwa perbezaan yang terlalu lebar antara orang kaya dan miskin akan dapat membahayakan negara. Tu Fu mengeritik pungutan cukai atau pajak besar yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Kritik Tu Fu nampak dalam “My Trip from the Capital to Feng-hsien” berikut:

The silk that was bestowed at the vermilion court

Came originally from some poor shivering women;

Their husbands were whipped and flogged

So that it could be levied as a tribute to the imperial city

. . .

Inside the vermilion gate wine and meat are stinking

On the roadside lie the bones of people frozen to death

. . .

All my life I have been exempt from taxes,

My name has not been listed in the muster roll

If I should feel bitter and grieved at past experiences

The commoners indeed would have more reason to be angry.

Silently I think of those who were unemployed,

And of the soldiers summoned to guard the frontier.



Pada zaman Tu Fu maharaja T`ang masih berambisi memperluas wilayah, walaupun peperangan yang timbul akibat pembrontakan An Lu-shan telah menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan besar kepada rakyat. Tu Fu senantiasa mengeritik dalam sajak-sajaknya bahwa ekspansi wilayah secara militer tidak akan pernah mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada rakyat. Dalam sajak “Mengenang Saudara-saudaraku Di Bawah Sinar Bulan” Tu Fu kurang lebih menyatakan:



Genderang perang memisahkan para lelaki

Pedih rasanya pada waktu musim semi

mendengar angsa-angsa liar menjerit di medan perang

Malam ini kulihat betapa embun berwarna perak;

Kuingat bulan bersinar cemerlang di desaku.

Saudara-saudaraku terserak di empat penjuru bumi,

Tak kutahu mereka hidup atau mati.

Surat-surat entah ke mana; siapa pula akan menerimanya

Selama perang masih merajalela?



Perang bukan saja menyebabkan negeri terpecah belah, tetapi juga penduduknya terpisah satu dengan yang lain. Tu Fu juga bicara tentang rosaknya komunikasi selama masa peperangan berlangsung, dan menyebabkan penduduk hidup dalam ketakutan dan sunyi. Dalam sajak yang ditujukan kepada anaknya yang bungsu, yang pergi entah ke mana, Tu Fu tua menulis:



O Chu-tzu! Musim semi telah kembali, namun kita masih terpisah.

Sejuta burung kepodang bernyanyi dalam cuaca sejuk ini.

Kita terpisah, namun aku masih sempat terkejut karena musim berganti.

Siapa pula secerdas kau?

Aku hanya mengenal sungai-sungai dan jalan perbukitan,

Pagar rumput, desa yang dikelilingi oleh pohonan purba.

Pedih mengimpikan kau aku hanya berfikir tentang tidur.

Di beranda depan, terbungkuk tubuhku,

Kurasakan matahari menekan punggungku.



(Terjemahan Sapardi Djoko Damono)



Jika Li Po dipandang sebagai penyair rakyat, Tu Fu dipandang sebagai raja sekalian penyair T’ang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar