29 April 2011

SUTARDJI CALZOUM BACHRI SUTARDJI

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

SUTARDJI



Abdul Hadi W. M.



Sutardji adalah penyair Indonesia mutakhir yang paling banyak disorot dan dibicarakan sejak tiga dasawarsa lampau. Kalau bukan disebabkan oleh gebrakan kredo puisi dan sajak-sajaknya, sorotan pasti tertuju pada aksinya di pentas dalam membacakan sajak-sajaknya. Sejauh mengenai sajak-sajaknya, dan kaitan dengan kredo puisinya, tampak kecenderungan umum untuk hanya menyorot segi formal dan struktur lahir dari ungkapan estetiknya.

Struktur batin sajak-sajaknya, pandangannya tentang hakikat puisi dan kata dalam puisi, yang memberi corak tersendiri pada semangat kepenyairannya jarang sekali dibicarakan. Pembahasan berkenaan semangat keruhanian atau asas metafisika yang melapisi sajak-sajaknya di masa lalu dilakukan antara lain oleh Dami N. Toda dan Popo Iskandar. Dami N. Toda mencoba memahami lompatan yang dilakukan Sutardji dalam perpuisian Indonesia melalui wawasan estetik yang diduga melandasi penciptaan sajak-sajak mantranya. Popo Iskandar mengaitkan lompatan estetik yang dilakukan sang penyair dan topografi sajak-sajaknya yang jalin menjalin seperti pantun berkait.

Belakangan Donny Gahral Adian (2007) mencoba meneliti jiwa yang melandasi pembrontakan dan perlawanan Sutardji terhadap konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku dalam persajakan Indonesia modern. Meurut Gahral Adian, puisi Sutardji membuat kita berpikir tentang hakikat puisi dan sekaligus merupakan esai panjang tentang puisi. Ia menantang persepsi kita tentang kata dan manusia, bahkan merupakan sebuah esai filsafat tentang bahasa, khususnya kata. Menurutnya lagi Sutardji ingin menghidupkan puisi yang mati suri di bawah bayangan bentuk–bentuk normalitas seperti filsafat, agama, ideology, dan seni, bahkan kebaikan, keindahan, dan lain sebagainya.

Tapi sayang, karena Donny Gahral bertolak dari asumsi posmodernisme yang skeptis terhadap kesanggupan bahasa dalam mengungkapkan makna, suatu hal yang sebenarnya ditolak oleh Sutardji sendiri (2006), maka pendapatnya itu menyisakan banyak pertanyaan baik tentang hakikat puisi maupun tentang peranan kata dalam penuturan puitik. Kecuali itu bahasannya cenderung ahistoris, padahal kredo puisi Sutardji paling mungkin dipahami jika dilihat dalam lingkait atau konteks perkembangan puisi Indonesia modern atau kecenderungan umumnya sejak awal 1950an hingga pertengahan 1960an. Ia menolak kecenderungan menjadikan bahasa dalam penuturan puitik hanya sebatas alat komunikasi, malahan juga menolak pendirian bahwa bahasa merupakan media ekspresi.

Pernyataan Sutardji dalam kredonya 1973 bahwa, ‘Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian’ melainkan ‘Pengertian itu sendiri dan dia bebas’ dapat dipahami dalam lingkait itu. Ia tidak lahir dari sikap skeptip atau sangsi terhadap bahasa, juga bukan dari keyakinan matinya ‘subyek’ (yakni penyair serta kewenangannya menafsirkan kebenaran) dan puisi. Melalui kredonya itu Sutardji menolak teori representasi (mimesis) kaum formalis yang memandang sastra sebagai tiruan kenyataan yang dilontarkan kembali oleh penyair menggunakan sarana imaginasi dan bahasa figurative. Ia juga tidak puas dengan teori ekspressi yang menyatakan bahwa puisi atau seni sekadar luahan perasaan individual sedalam-dalamnya. Apa yang dinyatakan penyair sepenuhnya subyektif, makna dan semangat yang disugestikan dalam sebuah puisi dapat dibagi kepada khalayak pembaca. Melalui proses pembacaan yang intens, bisikan-bisikan halus puisi dapat bergema kembali dan menggetarkan hati orang lain. Apa yang semula tampak subyektif, kini menjadi obyektif dan hidup dalam jiwa pembaca. Ketakhadiran digantikan dengan kehadiran (presence), yang berbeda (difference) berubah menjadi yang tak berbeda. ‘Aku’ penyair berubah menjadi ‘aku’ pembaca.

Pandangan Sutardji dalam hal ini saya kira dekat dengan teori presentasi Gadamer yang berpandapat bahwa puisi adalah penyajian pengalaman estetik penyair secara simbolik. Pendapat Gahral yang lain yang tidak kalah penting untuk dicatat karena tidak produktif bagi pemahaman ‘yang semestinya’. Menurut Gahral lagi, kehadiran kredo dan sajak-sajaknya Sutardji ingin menghidupkan puisi yang mati suri di bawah bayangan bentuk-bentuk normativitas seperti filsafat, agama, ideology, dan seni, bahkan kebaikan, keindahan, dan lain sebagainya. Ia ingin membawa kita melihat bahwa sajak-sajak Sutardji anti-filsafat, anti-agama, anti-ideologi, dan bahkan anti-seni. Dengan mudah pendirian ini dapat ditangkis, karena sajak-sajak Sutardji bukan saja mengandung dimensi religius dan sufistik, tetapi juga kaya dengan renungan falsafah dan hadir pula sebagai ragam seni yang bermutu.

Lagi pula pada hakikatnya, keindahan atau kebenaran sebagai nilai, tidak normatif selama masih menjadi penghuni jiwa dan atau hati nurani. Tetapi begitu dihadirkan menjadi teks, menjadi sukhan atau wacana, ia lantas menjadi normatif dalam arti membentuk normanya sendiri. Pendapat Harry Aveling membenarkan pendirian ini. Menurut Harry Aveling (2007) sebagai penyair Sutardji tidak menghancurkan norma-norma puitika lama. Dia hanya merubah kovensi sastra yang tumbuh dalam sejarah persajakan Indonesia modern dan berusaha meneroka bahasa, bentuk dan makna puisi dengan cara yang berbeda.

Bertolak dari dua pandangan yang berbeda itu, saya ingin menyajikan semacam testimoni terhadap arti kehadiran puisi Sutardji dalam sejarah persajakan Indonesia modern. Testimoni itu perlu saya lakukan karena banyak hal yang dikemukakan oleh dua kritikus yang telah disebutkan menyisakan banyak masalah, yang paling tidak – jika tidak bisa didialogkan, dapat diperdebatkan, asal saja produktif. Testimoni yang akan saya lakukan berhubungan dengan aspek batin puisi Sutardji. Pertanyaan apa hakikat puisi pada dasarnya bertalian dengan pernyataan apa kodrat puisi, dan peranan bahasa/kata dalam penuturan puitik. Selanjutnya pertanyaan tentang apa kodrat dan hakikat puisi bertalian pula dengan jiwa atau semangat tertentu yang mendasari lahirnya penuturan puitik dalam sejarah peradaban manusia.

Untuk menjawab persoalan ini saya akan mempertemukan, pertama-tama puisi Sutardji dengan puitik Hagiwara Sakutaro, penyair Jepang yang wafat pada tahun 1941 dan dipandang sebagai bapak puisi kontemporer (gendaishi) Jepang. Kemudian, oleh karena Sakutaro kurang meneroka hubungan kodrat puisi dengan hakikat bahasa puitik/tujuan penciptaan puisi, maka saya merasa perlu melengkapi pembahasan tentang sajak-sajak Sutardji dengan hermeneutika puitik Abhinavagupta, seorang filosof, mistikus, penyair, dan pendiri Tantrisme Siwa dari Kasymir, India, yang hidup pada abad ke-11 M.



Penyair dan Shiseishin

Karena itu tidak mengherankan jika keduanya tidak terlalu mempedulikan bentuk pengucapan yang teratur dan rapi, kecuali dalam beberapa saja dari puisi mereka. Persamaan lainnya keduanya menekankan pentingnya hakikat puisi, peranan bahasa dan penjelmaannya dalam penuturan puitik. Semua itu bertalian dengan aspek batin sastra, bukan semata dengan aspek lahir dan formal penuturan sebagaimana disangka banyak pengamat atau kritikus. Ada persamaan antara dua penyair yang telah disebutkan itu, di samping tentu saja ada pula perbedaan. Keduanya memiliki koitmen yang besar terhadap sajak-sajak bebas (

dimaksudkan oleh Sakutaro sebagai semangat puitik yang dimiliki penyair pada umumnya. yang kerap diartikan sebagai semangat puitik yang dimiliki penyair tertentu. Sedangkan dan hakikat puisi sangat berakar dalam puitika Jepang dan Cina yang berkembang di kalangan penganut Chan Buddhisme atau Zen Buddhisme. Dalam puitika Zen Buddhisme dikenal istilah , yang oleh Makoto Ueda (1983) diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai ‘poetic spirit’. Walaupun Sakutaro menimba pengaruh bagi gagasannya dari beberapa filosof dan penyair Barat seperti Plato, Goethe, Schoupenhauer, Nietszche dan Edgar Allan Poe, namun pandangannya tentang Menurut Hagiwara Sakutaro puisi tidak pernah disebut puisi disebabkan bentuk lahirnya, tetapi karena semangat atau kekuatan batin yang menggerakkan hayatnya. Ia menyebut semangat yang tersembunyi di balik pengucapan puitik sebagai

). dalam wadah bahasa figuratif yang disebut puisi (Dalam sejarah puitika Cina hal yang sama dikemukakan oleh misalnya Wang Fu Chih, seorang filosof, penyair dan mistikus Chan Buddhisme abad ke-17 yang kesohor. Menurut Wang puisi tidak dapat dikatakan sebagai puisi semata-mata karena rangkaian kata-katanya yang disusun dengan aturan tertentu yang membuatnya berbeda dari prosa. Puisi juga tidak dapat dipandang sebagai perasaan yang disugestikan melalui kata-kata. Dalam puisinya seorang penyair ingin menjelmakan

sebuah puisi tidak pernah dapat dijumpai dari ungkapan formalnya, sebab ia memang terletak di suatu tempat di mana tidak ada kata-kata. dapat diartikan sebagai renungan, perasaan, gagasan puitik, pemikiran, atau tanggapan terhadap hidup yang disampaikan dengan cara tertentu (Sui Kit Wong 1978). Di sebalik ungkakan puitik tersembunyi spirit tertentu yang diisyaratkan dan menggerakkan hidupnya sebuah puisi dari dalam. Karena itu makna (Sebagai istilah estetika,

) yang lahir dan berkembang di lingkungan penganut Zen Buddhisme dan juga puisi Sutardji sendiri. Haiku yang dimaksud ialah seperti berikut:Untuk menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Wang Fu Chih itu benar, saya cukup memberi contoh sebuah puisi Jepang (



Meigetsu ya

ike wo megurite

yo-mo-sugara



Bulan terang

di kolam, aku berkeliling

dan malam hilang



(Subagio Sastrowardojo 1971)



) yang sederhana puisi ini mampu menghidupkan suasana hening yang memberikan semacam pencerahan. Puisi ini tidak pengertian atau idea apa pun apabila yang dimaksud dengan pengertian atau idea bukan idea puitik atau pengalaman estetik disebabkan tercerahkannya kalbu. Dengan perkataan lain suasana hening dan keriangan rohani dapat dihidupkan melalui citraan alam dan pengalaman lahir. Malam dan juga bulan hilang lenyap dalam kesadaran subyek (penyair) yang tercerahkan.Melalui citra lihatan (

Sekarang marilah kita simak sajak “Kubur” Sutardji Calzoum Bachri seperti berikut:



di lapangan berlayar kubur-kubur

kau dengar denyarnya

membawa pelabuhan pergi



di luar kubur

orang orang tanpa pelabuhan

melambaikan tangan

para pelaut

tak memberikan lambaian kembali



118) (



Dengan serangkaian citra lihatan, penyair membawa pembaca ke suatu dunia atau peristiwa di luar bahasa yang mengatasi kenyataan keseharian. Di dalam berpadu dua dimensi penting dari kehidupan manusia, yaitu kesadaran batin dan dimensi keberadaan (eksistensial) yang kongkrit , yaitu kepiluan dan kesendirian. Kepiluan dan kesendirian yang terbayang dalam sajak ini bukan kepiluan dan kesendirian lahiriah, melainkan kepiluan dan kesendirian spiritual yang membawa seseorang paham makna hidup.

Sering Sutardji menulis sajak seolah bermain-main dengan bahasa begitu bebasnya, tetapi tetap sajaknya menyajikan makna atau pengalaman estetik tertentu. Misalnya sajak berikut ini:



sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi



sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi

sesaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri



sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisauNya ke dalam nyanyi



(1973)



Dalam lingkait sejarah persajakan Indonesia modern, sajak Sutardji ini memang terkesan sebagai epskerimental. Pada dasarnya ia berusaha membangkang tertahadap aturan-aturan ketat yang memandang puisi harus ditulis dengan dahi berkerut, penuh tanggungjawab (STA), kata-kata dipilih dengan serius (Chairil Anwar), dan lain-lain. Tetapi betapa pun demikian, jika kita baca rekaman-rekaman puisi lama dari berbagai peradaban, termasuk mantra-mantra Melayu dan Nusantara, apa yang dilakukan Sutardji sebenarnya merupakan pembongkaran dan penggalian kembali khazanah puitika lama yang telah tertimbun dan sengaja ditimbun, misalnya karena dianggap sebagai tradisi lapuk seperti dinyatakan oleh para pencetus Surat Kepercayaan Gelanggang (1949).

Bermain dengan kata-kata, mengutak-atiknya untuk menemukan penuturan puitik yang unik dan memikat, dapat dijumpai dalam khazanah sastra lama. Seorang penyair India atau Sanskerta abad ke-3 M menulis seperti berikut ini:



samesamasamomasassamememassasamasama

yoyatayatayayatiyayatyayatayataya



Bagi pembaca sastra Sanskerta sendiri puisi tersebut terasa menggelikan dan menimbulkan tawa, oleh karena seakan main-main. Memang sajak itu menyimpang dilihat dari sudut gramatika dan konvensi persajakan Sanskerta ketika itu. Tetapi tidak berarti tidak punya makna. Secara agak kreatif sajak tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:



jikakaujauhsatuharirasasatutahun

nanamunjikakaudisinisatutahunrasasatuhari



(metafora). Karena disampaikan melalui bahasa figuratif sastra, yang dalam dirinya penuh nuansa, maka komposisi puitik sebagai bangunan kerohanian yang kompleks dan terstruktur sedemikian rupa merupakan makna yang menurunkan makna-makna (Abdul Hadi W.M. 2004).(perumpamaan, simbol), dan (kias), yang kurang penting dibanding citraan atau image ialah merupakan komponen utamanya. Komponen lain dari ) yang di dalamnya citra atau citraan (Marilah kita kembali pada pokok bahasan kita, yaitu masalah penempatan citraan lihatan dalam kedudukan sentral dalam puitika Timur. Penempatan seperti itu ternyata tidak hanya berkembang dalam kesusastraan Cina dan Jepang, tetapi juga ditemui dalam puitika Arab Persia dan India. Estetikus Arab Persia terkemuka abad ke-11 M Abdul Qahir al-Jurjani juga telah mengatakannya. Menurut al-Jurjani, penuturan puitik berbeda dari penuturan diskursif prosa bukan disebabkan aturan formal cara penulisannya, melainkan disebabkan bangunan batinnya yang dijelmakan dalam bahasa figuratif sastra (

Semangat puitik, kata al-Jurjani, pada hakikatnya berada dalam cara penyair memandang sesuatu yang berbeda dari cara pandang biasa sehingga puisinya selalu tampak segar atau baru. Atau seperti dikatakan penyair Sanskerta abad ke-4 M, “Tujuan penyair menulis bukan hanya untuk menunjukkan bahwa bulan seperti wajah seorang gadis jelita, melainkan untuk menyampaikan dengan cara berbeda dan pesona tertentu” (Brough 1982).

setidak-tidaknya ada delapan yang dapat dikesan: Pertama, puisi berusaha melampaui kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial ialah romantik (baca: adventurir); kedua, puisi senantiasa mencari yang ideal. Di sini semangat puitik secara esensial ialah personal; ketiga, puisi memperbaiki bahasa. Di sini semangat puitik secara esensial bersifat retorik; keempat, puisi mengangkat keindahan setara dengan kebenaran. Di sini semangat puitik secara esensial ialah estetis; kelima, puisi mengeritik kenyataan. Di sini semangat puitik secara esensial menyampaikan hikmah secara halus atau tersirat; keenam, puisi mengangankan dunia yang transendental. Di sini semangat puitik secara esensial ialah metafisik; ketujuh, puisi menuntut bentuk. Di sini semangat puitik secara esensial ialah normative; kedelapan, puisi menuntut kebangsawanan jiwa dan keunikan. Di sini semangat puitik secara esensial mengunggulkan yang spritual di atas yang fisikal.Ciri-ciri dalam bukunya Kembali ke Sakutaro. Untuk memahami apa yang dimaksud semangat puitik kita harus membaca uraiannya tentang cirri-ciri

Dalam hubungannya dengan sajak Sutardji barangkali yang penting ialah

yang pertama, kedua, ketiga, keempat dan keenam.



Rumah Metafisik Penyair

atas kenyataan secara intelektual dengan memasukkan perasaan ke dalamnya dan menggunakan imaginasi. Pandangan tersebut secara tersirat ditolak oleh Sakutaro. Dia memandang hakikat puisi pada umumnya bersifat spiritual, karena ia dihasilkan melalui proses kejiwaan yang berbeda dari penuturan biasa. Penyair terutama sekali menggunakan peralatan intuisi dalam memandang dan menanggapi dunia dan keberadaannya, dan membangun ungkapan puitiknya dengan menggunakan imaginasi. Ciri pertama dari semangat puitik yang diuraikan Sakutaro berkaitan dengan pertanyaan yang sering dilontarkan orang tentang hubungan puisi dengan kenyataan, khususnya kenyataan sosial dan kenyataan keseharian pada umumnya. Kaum realis dan naturalis sangat menekankan hubungan antara puisi/sastra dan kenyataan. Mereka memandang sastra sebagai representasi atau tiruan (

yang pertama ini berkaitan dengan ciri keenam, yaitu kecenderungan penyair untuk mengeritik kenyataan keseharian yang cenderung distortif karena tampak putus hubungannya dengan alam metafisik di atasnya di mana ia sebenarnya berakar. Kenyataan lahir dari kehidupan ini sesungguhnya juga bersifat temporal, tidak langgeng. Penyair menginginkan yang kekal atau yang trasendental, artinya yang mengatasi ruang dan waktu atau alam fisik yang merupakan kediamannya. Seperti dikatakan Sakutaro, sifat ungkapan puitik pada dasarnya melambung tinggi mengatasi kenyataan fenomenal dalam ruang dan waktu. Ciri

Seperti Sutardji, Sakutaro berbeda dari penulis realis atau naturalis yang mencari tempat berteduh bagi kegelisahan jiwanya dalam tatanan kehidupan sosial tertentu yang dicitakan. Penyair sejati menurut Sakutaro mencari tempat berteduh di alam idea atau alam metafisik, sebab hanya di alam seperti itu ia melihat kenyataan dalam kehidupan lebih jernih dan dapat pula mempertanyakan apa hakikat kehidupan sebenarnya. Penyair dilahirkan, bukan dibuat. Demikian keyakinan Sakutaro. Jiwanya ditakdirkan untuk tidak betah dan risau tinggal di alam fisik dan sadar betul bahwa rumah sejati bagi jiwanya tidak berada di alam fisik melainkan di alam metafisik. Pernyataan Sakutaro ini menunjukkan benarnya pandangan Dilthey, ahli hermeneutika Jerman abad ke-19 M, yang berpendapat bahwa sastra, dan khususnya lagi, merupakan ekspresi keruhanian yang berkembang tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi, sebagaimana filsafat dan pemikiran keagamaan.

membuat puisi melambung mengatasi kenyataan, maka pada saat bersamaan ia cenderung kritis terhadap kenyataan. Oleh karena itu tak mengherankan pula apabila penyair lebih memberi tempat pada kenyataan atau pengalaman batin dalam penulisan puisinya dibanding kenyataan atau pengalaman lahir. Dunia yang aktual bagi penyair adalah superficial apabila hanya dicerap secara inderawi, serta tidak utuh apabila tidak menyertakan intuisi atau penglihatan batin. Dengan intuisi, pengalaman yang diperoleh dari kenyataan keseharian yang bertimbun-timbun dan berserak-serak dapat dipadukan menjadi kesatuan yang saling terkait. Sakutaro tiba pada pandangan yang sukar digoyahkan dan sekaligus pandangannya melahirkan banyak pertanyaan yang sukar dijawab. Karena

Menurut Sakutaro, apabila dalam memandang gejala aktual kehidupan seorang penyair mampu menggunakan intuisinya, maka melalui yang aktual ia akan mampu melihat kenyataan lain yang tidak kalah aktual dalam tatanan kewujudan yang lebih tinggi, yaitu tatanan kewujudan di alam ideaa atau keruhanian. Karena hadir dalam jiwa dan pikirannya secara obyektif dan hidup, gambaran-gambaran tersebut menjadi karib.

pada hakikatnya bersifat romantik. Kata-kata romantik digunakan di sini untuk menerangkan tujuan penyair melahirkan puisi. Menurut Sakutaro, tujuan penyair melahirkan puisi ialah untuk mencapai dan menghadirkan sebuah visi keruhanian yang terabaikan dalam kehidupan normal sehari-hari. Tidak peduli apakah visi yang dicapai dan dihadirkan itu mendatangkan rasa pilu, seperti dijumpai dalam sajak-sajak Sutardji dan Sakutaro sendiri. Ataukah visi itu menerbitkan keriangan spiritual. Puisi menurut Sakutaro adalah ungkapan kerinduan penyair terhadap rumah spiritualnya yang berada di alam metafisik, dan alam ini mengambil tempat bukan di luar diri penyair melainkan di dalam kesadarannya. Kerinduan terhadap rumah spiritualnya itulah yang menyebabkan

Apa yang dikatakan Sakutaro itu terdengar gaungnya dalam sajak Sutardji. Misalnya dalam sajak “Berdarah” yang menggunakan citraan utama kapak seperti berikut:



hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku.

pecahlah rabuku mengalirlah pecahlah seninku mengalirlah

pecahlah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah

darah mengalir dalam denyut dalam debar. darah nyerbu dalam

kamus diriku dalam rongga pustakaku. segalanya terdedah untuk

darah segalanya terbuka untuk luka





, yang di dalamnya sajak “Berdarah” berada, Sutardji mengatakan: “Kenapa kapak? Imaji kapak memecahkan kemampatan. Sekali orang jatuh dalam kerutinan, itu waktu dia termasuk dalam kemampatan. Batin jadi mampat. Untuk itu dibutuhkan kapak guna memecahkannya sehingga hari-hari akan mengalir dengan deras menantang kita untuk kreatif. Hidup menjadi lebih gairah karena ditantang dan dirangsang untuk kreatif. Setiap saat.” Dalam pengantar antologinya

Sebaliknya dalam sajak “Gajah dan Semut” visi yang dihadirkan berupa keriangan spiritual. Penyair membandingkan antara jiwa yang terbelenggu oleh masalah keseharian dan jiwa yang bebas dari beban dunia melalui citraan simbolik gajah dan semut.



tujuh gajah

cemas

meniti jembut

serambut



tujuh semut

turun gunung

terkekeh

kekeh



perjalanan kalbu



dalam tasawuf) dalam sajak “Peminum”. Puisi ini menghadirkan visi keriangan spiritual yang diabaikan dalam kehidupan kita keseharian yang terseok-seok bergelut dengan masalah dunia. Visi semacam itu melahirkan hasrat pentingnya perawatan dan pemeliharaan kehidupan ruhani: Jiwa yang terbebas dari beban dunia dan keseharian digambarkan sebagai seorang peminum yang mendaki gunung mabuk (baca ekstase, atau



di lereng-lereng

para peminum

mendaki gunung mabuk

kadang mereka terpeleset

jatuh

dan mendaki lagi

memetik bulan

di puncak









di puncak gunung mabuk

mereka berhasil memetik bulan

mereka menyimpan bulan

dan bulan menyimpan mereka



di puncak

semuanya diam dan tersimpan



Tidak ada yang istimewa dalam sajak ini berkaitan dengan diksi atau pilihan kata-katanya. Dilihat dari sudut kebahasaan, khususnya sintaksis, juga tidak ada yang istimewa. Kekuatan sajak ini sudah pasti terletak pada citra-citra lihatan (imaji visual) yang dibangun sedemikian rupa sehingga mampu menyajikan gambaran yang hidup. Penyair sanggup menghadirkan sebuah dunia yang hidup dalam imaginasi pembacanya. Keriangan spiritual yang dihadirkan memberikan visi tersendiri kepada pembaca yang jiwanya peka, yaitu visi keruhanian yang mendatangkan pencerahan batin. Tak ubahnya seperti haiku Jepang seperti dikutip pada bagian awal esai ini.

antara alam nyata dan alam transcendental atau metafisik. , yaitu alam imaginal yang merupakan badan halus seseorang dan berperan sebagai perantara (menurut Sakutaro mengangankan yang ideal, dan juga oleh karena yang ideal tidak dijumpai dalam kehidupan rutin keseharian, maka tidak mengherankan jika penyair merindukan rumah di alam yang menempati tatanan kewujudan lebih tinggi. Berdasarkan ini puisi dapat dipandang sebagai ekspresi kerinduan penyair pada kampung halamannya yang abadi di alam keruhanian. Dalam psikologi Jung, alam seperti itu disebut alam arketipal, sedangkan Ibn `Arabi (abad ke12 M) menyebutnya sebagai alam misal ( Telah dikemukakan bahwa karena ciri utama

dirujuk pada konsep Plato tentang tatanan wujud atau keberadaan di atas tatanan wujud fisik. lebih kerap diartikan sebagai ‘mimpi’. Sedangkan kata-kata ini kemudian dirangkai dengan kata idea. Dalam bahasa Cina atau Mandarin, ideograf yang menunjuk pada kata untuk menyebut kerinduan yang dimaksud dan Ueda menerjemahkannya menjadi nostalgia. Kata-kata Alam seperti itu hanya dapat dibayangkan melalui citraan-citraan kosmologis dan anthromorfis yang dapat menghidupkan persepsi indera sekaligus imaginasi. Hanya dengan itu alam yang diangankan itu dapat dihadirkan, yaitu melalui puisi. Sakutaro menggunakan kata-kata Cina

Melalui penjelasannya itu kita lantas paham mengapa Sakutaro, seperti juga Sutardji dalam sastra Indonesia modern dan Abdul Qadir al-Jurjani (abad ke-12 M) dalam sastra Arab Persia, menempatkan citraan puitik dalam kedudukan sentral dalam penuturan puitik. Hampir semua sajak Sutardji, seperti sajak Hagiwara Sakutaro, mengandalkan pada citraan puitik dalam mensugestikan rumah metafisik atau rumah spiritual yang mereka rindukan. Pada sajak-sajaknya yang awal tampak bahwa Sutardji baru dalam pencarian, tetapi pada akhirnya toh ia menjumpainya. Ini dapat dilihat dalam sajak yang benar-benar sufistik seperti “Para Peminum” sebagaimana telah ditunjukkan. Begitu pula dalam “Sampai”:Seorang filosof, kata Sakutaro, membangun dunia idea atau yang dicitakan melalui pemikiran diskursif yang cenderung abstrak. Sedangkan penyair membangun dunia yang dimimpikan dengan gambaran tentang obyek-obyek yang dapat diindera dan itu tidak lain adalah citraan puitik (



Hafiz ketemu Tuhan semalam

tapi kini di mana Hafiz

Rumi menari bersama Dia

tapi kini di mana Rumi

Hamzah jumpa Dia di rumah

tapi kini di mana Fansuri

Tardji menggapai Dia di puncak

tapi kini di mana Tardji

kami tak di mana mana

kami mengatas meninggi

kami dekat



Apa yang telah dipaparkan menunjukkan bahwa dalam perjalanan kepenyairannya Sutardji Calzoum Bachri mulai dengan menentang konvensi dan norma-norma sastra yang berlaku sebelumnya dan berakhir dengan penciptaan kovensi dan norma yang baru. Seninya bukan anti-seni, tetapi menciptakan seni baru yang unik dan berbeda dari sebelumnya. Pembaruan yang ia lakukan bertolak dari yang telah ada dalam kebudayaan bangsanya, namun sebegitu lama diabaikan atau dilupakan oleh penyair Indonesia modern sebelum sang pendekar muncul. Itulah sebabnya dia selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah menggali akar tradisi.

SUTARDJI DAN PUITIKA TIMUR

SUTARDJI DAN PUITIKA TIMUR (2)
oleh Abdul Hadi Wm pada 27 April 2011 jam 23:19

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

DAN PUITIKA TIMUR (2)



Abdul Hadi W. M.



Puisi dan Rasa

Tibalah kita pada testimony berikutnya. Melalui Sakutaro kita telah mengetahui bahwa kodrat shiseishin, dan juga pengalaman estetik, adalah spiritual. Karena itu tidak mengherankan jika yang disajikan penyair melalui puisinya cenderung pada hal-hal yang bersifat metafisik dan trasendental, atau mungkin juga surealis. Penjelasan tentang itu lebih jauh dijumpai dalam hermeneutika puitik Sanskerta di India yang lazim dikenal dengan istilah Rasa Dhvani atau sugesti rasa.

Sejak lama di India puisi (kavya) dipandang sebagai perjalanan kata dari pikiran penyair ke pikiran pembaca, dari jiwa penyair ke jiwa pembaca. Kendaraannya adalah bahasa. Tujuan puisi seperti seni secara umum ialah membangkitkan rasa yang telah sedia ada dalam jiwa pembaca melalui kendaraan yang disebut penuturan puitik. Kendaraan ini sekaligus merupakan wakil dari kehadiran sang penyair di dalam pikiran dan imaginasi pembaca. Bagi penyair dan sarjana sastra di India, kodrat puisi jelas. Ia bukan penuturan ilmiah atau falsafah menggunakan bahasa diskursif. Ia juga bukan penuturan keseharian yang dalam bahasa Perancis disebut parole, melainkan langue. Cara menuturkannya juga bukan seperti laporan jurnalistik.

Di India juga diyakini bahwa bahasa merupakan hasil pemikiran manusia yang menakjubkan. Bahasa adalah struktur atau bangunan keruhanian yang dibangun dari serangkaian bunyi (fonem) tak bermakna, tetapi di bawah bimbingan akal budi lantas berkembang menjadi bangunan kejiwaan penuh makna. Lantas bagaimana peran penyair dalam memberi hayat kepada bahasa? Salah satu tugas penyair yang penting ialah memberi sentuhan rasa melalui tatanan penuturan tertentu.

Keyakinan bahwa apa yang disampaikan penyair bukan pengetahuan tentang obyek-obyek (arthajnana) seperti dalam ilmu atau filsafat, tetapi sesuatu hal yang lain yang juga bersifat spiritual yaitu pengalaman estetik, mendorong sarjana-sarjana seni dan sastra di India sampai pada kesimpulan demikian. Istilah rasa telah ada dalam kitab Veda. Tetapi hanya dengan munculnya seorang estetikus terkemuka Bharata (abad ke-1 M), istilah rasa tampil sebagai konsep kunci dalam perbincangan tentang seni dan sastra. Adalah rasa yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh seorang penyair, demikian para sarjana sastra di India.

Tetapi bagaimana cara menyajikan rasa dalam penuturan puitik? Bhamaha seorang ahli puitika terkenal abad ke-6 M berpendirian bahwa seorang penyair menyampaikan rasa melalui alamkara, permainan kata atau ornamentasi. Sarjana lain mengemukan bahwa rasa disajikan melalui diksi atau riti. Teori Alamkara dan Riti sangat dominan dalam kritik sastra hingga abad ke-9 M. Teori ini melahirkan paham formalisme yang memandang karya sastra sebagai representasi atau mimesis dari kenyataan, dan juga teori ekspresi.

Menurut paham ini bahasa secara umum, khususnya bahasa puitik, memiliki dua fungsi sehubungan dengan penyampaian makna. Yang pertama ialah fungsi abidha, menyampaikan makna referensial atau denonatif. Sedangkan yang kedua ialah fungsi lakshana, menyampaikan makna metaforikal atau konotatif. Dua abad kemudian teori ini ditentang keras oleh Anandavardhana. Dia berpendapat ada fungsi bahasa yang dilupakan, yaitu fungsi sugestif atau vyanjana yang tersembunyi di sebalik sebuah penuturan. Melalui kekuatan vyanjana sebuah penuturan puitik tidak hanya menyajikan makna denotatif dan konotatif, tetapi juga makna yang lebih dalam lagi yang disebut dhvani, yaitu makna sugestif atau evokatif. Mammata (abad ke-10 M) mempertajam pandangan ini dan Abhinavagupta (abad ke-11 M) menyempurnakannya.

Kini seni tidak lagi dipandang sebagai tiruan atas kenyataan, melainkanungkapan simbolik imaginatif yang dengan itu seorang menyampaikan pengalaman estetiknya yang disebut rasa. Pengalaman estetik bukan pengalaman subyektif, melainkan pengalaman yang bersifat obyektif. Dikatakan demikian karena puisi mimiliki tujuan di luar dirinya, yaitu sarana yang menyebabkan kesadaran penikmatnya naik ke alam keberadaan yang lebih tinggi dari keberadaan rutinnya sehari-hari.

Ketiga ahli puitika dan estetikus itu kembali pada pandangan Bharata yang mengatakan bahwa asas penciptaan karya seni ialah rasa. Sebagai bentuk pengalaman estetik yang bersifat spiritual, rasa memiliki implikasi yang luas dan dapat memberikan kesadaran kosmik kepada mereka yang mengalaminya. Dalam karyanya seorang penyair berusaha menggambarkan (abhinaya) rasa dan idea yang lahir dari pengalaman estetiknya yang bersifat spiritual itu. Sejak itu puisi dipandang sebagai penggambaran rasa atau pengalaman estetik menggunakan kendaraan bahasa (vachika abhinaya). Dengan demikian rasa atau perasaan yang dalam dipandang sebagai jiwa dan asas puisi.

Secara tersirat Sutardji Calzoum Bachri memaparkan dalam tanpa judul pada halaman awal antologi O, “Ah rasa yang dalam!/datang Kau padaku!/aku telah mengecup luka/aku telah membelai aduhai!/aku telah tiarap harap/aky telah mencium aum!/aku telah dipukau au!/aku telah meraba/celah/lobang/pintu/aku telah tinggalkan puri purapuraMu/rasa yang dalam…”. Bahwa rasa yang ditekankan juga tampak dalam sajaknya yang lain seperti “Batu”: “Dengan seribu gunun langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?” Inilah yang dimaksud Sutardji bahwa kata/puisi adalah pengertian itu sendiri, dan karenanya tidak perlu menjadi alat menyampaikan pengertian lain.

Sebagai konsep estetika, pengertian rasa berkembang dari waktu ke waktu. Dalam Atharva Veda perkataan ‘rasa’ dikaitkan dengan rasa lezat yang diperoleh dari sari buah atau makanan. Dalam Upanishad kata-kata tersebut digunakan untuk menyebut nilai transendental dan keruhanian yang terdapat dalam segala sesuatu. Rasa lantas diberi arti sebagai hakikat tertinggi keberadaan alam semesta, dan juga kesadaran yang muncul dengan sendirinya dari segala sesuatu. Veda merujukkan arti kata-kata rasa kepada jiwa yang mampu menikmati rasa lezat dari sebuah pengalaman getir atau manis. Sejalan dengan ini penyair dipandang sebagai orang yang memiliki kepekaan (sensibilitas) terhadap keindahan estetis dari obyek-obyek di dalam jiwa dan pikirannya. Orang seperti itu akan mudah menikmati kelezatan yang ditimbulkan oleh pengalaman spiritual. Puisi yang lahir dari jiwa spontan penyair juga mengandung semacam kelezatan, terutama disebabkan daya ucapnya yang penuh dengan kata-kata pilihan (diksi) dan alamkara (permainan kata-kata).

Upanishad memperluas arti 'rasa lezat' yang bersifat duniawi menjadi rasa lezat yang bersifat kerohanian dan transendental, yakni rasa lezat yang timbul dalam jiwa disebabkan mengenal hakikat terdalam dan tertinggi kehidupan, yaitu atman (jiwa individual) dan Brahman (Jiwa Tertinggi). Karya seni dikatakan menimbulkan rasa lezat sebagaimana obyek-obyek indah lain di alam semesta. Walaupun rasa lezat itu berasal dari dunia nyata atau obyek yang dapat diindera sebagaimana citraan dalam puisi, akan tetapi pengalaman yang dirasa dapat mengalami transformasi menjadi sesuatu yang bersifat keruhanian dan transcendental. Kemampuan meningkatkan pengalaman estetik menjadi pengalaman transendental adalah kodrati pada manusia.

Sebagai konsep kunci dalam pemahaman sastra, rasa atau pengalaman estetik dalam puisi dipandang sebagai ‘perasaan yang mengalami obyektifikasi dan universalisasi’. Rasa seperti ini merupakan obyek renungan estetik dan mampu mengubah sesuatu menjadi kegembiraan spiritual yang memberikan kedamaian agung. Di lain hal ia dapat dikatakan sebagai hasil dari proses tranfigurasi perasaan yang disajikan secara kongkrit dalam ungkapan puitik sastra.

Bharata mengemukakan ada delapan rasa yang asas dalam sastra, tetapi Abhinavagupta pada abad ke-11 M menambahkan satu rasa lagi yang penting, yaitu santa (damai). Rasa dalam sastra atau seni memiliki padanan dengan rasa yang terdapat dalam jiwa manusia. Rasa dalam karya seni disebut rasa, dalam jiwa manusia disebut sthayi-bava. Yang terakhir ini dapat diartikan sebagai keadaan-keadaan jiwa bawaan yang terpendam dalam diri manusia dan hanya bisa bangkit bila ada rangsangan dari luar. Fungsi seni membangkitkan keadaan-keadaan jiwa yang terpendam ini dan membawanya ke arah yang lebih tinggi dan produktif.

Kesembilan rasa dan sthayi-bhava itu ialah: Cinta (srngara) berpadanan dengan kasih sayang dan berahi (rati); duka (karuna) berpasangan dengan sedih dan pilu (soka); lucu (hasya) berpasangan dengan riang (hasa); berang (raudra) berpasangan dengan marah (krodha); rasa kepahlawanan dan kesatria (wira) berpasangan dengan berdaya upaya (utsaha); dahsyat dan ngeri (bhayanaka) berpasangan dengan takut atau rasa terancam (bhaya); benci (bhibhatsa) berpasangan dengan jijik dan muak (jugupta); kagum atau takjub (adbhuta) berpasangan dengan kagum atau terpesona (vismaya) dan damai (santa) berpasangan dengan tenang atau tenteram (sama).

Semua rasa yang dikemukakan ini dapat dijumpai dalam sajak-sajak Sutardji dalam O, Amuk, Kapak. Sajak-sajak religius sufistiknya menekankan pada santa (damai) yang oleh Abhinavagupta sebagai pengalaman estetik paling tinggi dan sepenuhnya bersifat spiritual dan trasendental.

Melalui karyanya, menurut Abhinavagupta, seorang penyair pada dasarnya berupaya memberi rangsangan bagi bangkitnya sthayi-bhava yang merupakan rasa terpendam dalan jiwa. Bagaimana sebuah puisi menyampaikan rasa? Dengan menjadikan citraan puitik sebagai obyek-obyek yang saling berkaitan dan masing-masing menggambarkan rasa-rasa yang saling menghidupi satu dengan yang lain. Pada abad ke-9 M Sankuka mengatakan bahwa pelaksanaan rasa dalam karya seni merupakan tindakan pikiran yang sengaja direka. Tujuannya ialah memberi sugesti atau dhvani.

Penjelasan tersebut diberikan berdasar kenyataan bahwa rasa ialah pengalaman subjektif tentang obyek-obyek estetik dalam karya seni, bukan pengalaman yang lahir dari obyek-obyek yang ada di alam dunia. Dunia dalam karya seni ialah dunia imaginatif. Pengalaman estetik dengan demikian juga bersifat imaginatif. Bhattanoyaka (abad ke-10 M) menguraikan terealisasikannya rasa dalam karya seni terjadi disebabkan ‘universalisasi pengalaman estetik’ dan ‘pemindahan tempat rasa dari alam lahir ke alam transendental’. Melalui proses itu dicapailah keriangan ruhani dalam penikmatan sastra.

Tetapi bagaimana pun juga apa yang dikemukakan oleh Bhattanoyaka dan teoritikus sezamannya masih menyisakan kekaburan. Terutama berkenaan dengan anggapan bahwa rasa sebagai pengalaman estetik dalam penikmatan sastra atau puisi bersifat obyektif. Kekaburan lain terletak pada anggapan mereka bahwa rasa yang diperoleh dari penikmatan estetik seni tidak berbeda dengan rasa yang timbul dari penikmatan obyek-obyek dalam kehidupan. Jika demikian untuk apa karya seni/puisi dicipta, jika hasil dari penikmatan yang diperoleh sama dengan penikmatan atas obyek-obyek dalam kehidupan?

Dengan menganggap seperti itu pula secara tersirat seni/puisi dipandang sebagai tiruan (imitasi, mimesis) dari kenyataan. Bedanya dengan peniruan yang terjadi pada penuturan lain ialah bahwa peniruan dalam puisi didasarkan atas ornamentasi (alamkara) atau permainan kata-kata. Anggapan ini tersirat dalam dua teori sastra yang dominan ketika itu, yaitu Teori Riti dan Teori Lakshana. Dalam yang pertama dinyatakan bahwa kekuatan puisi terletak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya dan diksi (pilihan kata). Kata riti sendiri artinya gaya, yang dalam penuturan puitik tampak dalam pemilihan kata-kata yang indah dan memikat. Teori Lakshana menekankan pada ekspresi melalui penggunaan majaz (bahasa figuratif). Unsur utama majaz ialah metafora (rupaka), citra (chitti), dan simbol (pralambang).

Dikaitkan dengan teori bahasa (linguistik) yang sedang berkembang, Teori Riti terkait dengan teori yang memandang bahwa fungsi bahasa dalam penuturan adalah sekadar penandaan dan pelambangan atas sesuatu (abidha). Sedangkan Teori Lakshana terkait dengan teori bahasa yang memandang kata-kata atau bahasa dalam penuturan puitik memiliki fungsi kias dan perumpamaan. Dalam telaah puisi, teori kedua ini tidak puas hanya mencari makna formal atau denotatif puisi. Yang dicari ialah makna konotatif.

Kekaburan yang ditinggalkan oleh dua teori terdahulu diperjelas dengan munculnya teori Dhvani (evokasi) yang dikemukakan Anandhavardhana, seorang ahli bahasa dan sastra abad ke-9 M yang terkemuka. Kata-kata dhvani dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh sesuatu, dalam hal ini ialah kata-kata tertentu. Melalui bukunya Dhvanyaloka dia mengemukakan bahwa fungsi bahasa yang tidak kalah penting ialah vyanjana (sugesti, resonansi). Fungsi ini terutama dijumpai dalam penuturan puitik. Ia tersembunyi di sebalik perkataan. Berdasarkan pandangan inilah Abhinavagupta, seorang filosof, ahli sastra dan estetikus abad ke-11 M, menyetuskan hemeneutika estetik yang disebut rasa-dhvani. Teorinya itu merupakan paduan teori Bharata tentang rasa dan Anandavardhana tentang dhvani. Karyanya yang terkenal ialah Dhvanyalokalocana dan Abhinava Bharati. Dengan menyatukan teori Bharata tentang rasa dan teori Anandavardhana tentang dhvani dia membangun teori sastra dan sekaligus teori penafsiran (hermeneutika) baru. Dalam bukunya itu dia membicarakan panjang lebar persoalan yang berkaitan dengan kodrat pengalaman estetik (rasa) dan manifestasinya dalam karya seni, khususnya puisi dan drama.

Pengalaman estetik bukan seperti pengalaman biasa. Ia bersifat spiritual dan transendental. Tempatnya di alam lain di luar pengalaman obyektif kita sehari-hari. Abhinavagupta menggunakan istilah alaukika yang diberi arti sebagai pengalaman transendental. Rasa yang dialami dalam karya sastra menurut Abhinavagupta adalah sebuah pengalaman estetik yang bersifat transendental. Inilah yang disugestikan atau diresonansikan dalam setiap karya sastra yang bermutu tinggi. Karena hermeneutikanya didasarkan atas teori Bharata tentang rasa dan teori Anandavardhana tentang dhvanya, maka hermeneutika Abhinavagupta disebut sebagai hermeneutika rasadhvani. Pemahaman ditujukan kepada makna terdalam karya sastra yang disebut rasa yang disugestikan atau diresonansikan dengan berbagai cara.

Menurut filosof ini, sastra adalah penyajian rasa melalui obyek-obyek yang dihadirkan sebagai pembangkit pengalaman estetik yang bersifat trasendental (alaukika) bagi penikmatnya. Bahasa rasa bukan bahasa perorangan, ia tidak subyektif melainkan obyektif. Dalam puisi atau kavya, bahasa bukan sekadar sistem penandaan, tetapi sebagai sistem pralambang, sebuah permainan kata-kata yang hanya bisa dilakukan dan dipahami oleh seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan pemakaiannya yang sifatnya kompleks.

Rasa yang diikat dalam sebuah puisi bukanlah proyeksi keadaan jiwa pembaca dan juga bukan proyeksi rasa yang dialami penyair secara subyektif. Rasa merupakan situasi-situasi obyektif yang terkandung dalam puisi dan dapat dikenal serta diresapi secara imaginatif dan intuitif. Seorang penyair memilih tema tertentu oleh karena ia melihat secara intuitif kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengembangkan dan mengeksplorasi pengalaman estetiknya. Misalnya dengan cara menjadikan rincian-rincian dari tema tersebut menjadi sebuah lakon yang kompleks.

Seperti telah dikemukakan pandangan Abhinavagupta berbeda dari pandangan sebelumnya. Abhinavabharati, penafsir awal kitab Natyasastra, mengartikan rasa atau pengalaman estetik sebagai makna yang diperoleh dari susunan kalimat. Bhatalolata yakin bahwa seni/puisi adalah tiruan dari kenyataan dan tidak pernah melihat bahwa pengalaman estetik berada di luar dunia obyektif keseharian. Tetapi pendapat itu dibantah oleh kritikus abad ke-8 M. Sri Sankuka yang berpendirian bahwa puisi tidak mungkin merupakan tiruan atas kenyataan, oleh karena realitas puisi berada di ruang dan waktu yang berbeda. Apa yang ditampilkan puisi, dalam kaitannya dengan realitas, ialah hasil-hasil dari identifikasi jiwa manusia yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk pengalaman estetik tertentu. Puisi, sebagaimana karya seni pada umumnya, tidak dapat dan tidak akan pernah dapat meniru semua kualitas dari subyek atau obyek yang asli kecuali menyajikan kesan-kesan tertentu dari perjumpaannya dengan subyek atau obyek tersebut.

Bhatta Tauta, guru Abhinavagupta, mengajukan jawaban bahwa apa yang dihadirkan dalam karya sastra seperti drama memang terkesan tiruan. Di situ ditampilkan seorang pelaku lakon seakan-akan dapat merasa dan bereaksi seperti pelaku asli. Tetapi yang disajikan pelaku tidak lain adalah perasaan, yaitu bagaimana ia bereaksi dengan cara mengambil alih kedudukan dan peran pelaku asli. Dalam sastra sesuatu memang tidak dapat disajikan tanpa tergantung pada imaginasi. Abhinavagupta melanjutkan lebih jauh dan mengembangkan pandangan gurunya. Menurutnya seni tidak hanya membangkitkan rasa-rasa tertentu, karena karya seni yang unggul memiliki sugesti yang kuat dalam dirinya, yang mampu melahirkan beragam makna dan pengalaman estetik dalam diri penikmatnya. Daya sugestif itu diberi istilah dhvanivada yang artinya lebih kurang ialah daya evokasi atau kekuatan yang dapat merangsang lahirnya pengalaman estetik yang disebut rasa.

Berdasar pandangan ini ia mengatakan bahwa karya sastra/puisi tidak cukup memiliki makna harfiah/formal (abidha) dan makna metaforis/kias (lakshana). Puisi yang baik mesti memiliki makna sugestif/evokatif (vyanjana). Makna kedua ini tidak ada hubungan dengan dua makna pertama. Kecuali itu Abhinavagupta mengatakan bahwa pengalaman estetik tidak diperoleh sebagaimana pengalaman biasa diperoleh. Sebab obyek-obyek estetik tidak hanya menggetarkan indera tetapi juga menggerakkan imaginasi. Sekali imaginasi bangkit, pengalaman estetik penikmat akan bergerak pula ke dunia imaginatif ciptaannya sendiri.

Pengalaman estetik yang disebut rasa itu dapat membebaskan diri seseorang dari keberadaan lahiriahnya dan dapat membawanya ke ruang dan waktu lain yang bersifat spiritual dan trasendental. Dengan cara itu pengalaman estetik atau rasa menjadi universal. Begitulah Abhinavagupta menyebut kodrat seni/puisi sebagai alaukika-katva, artinya lebih kurang ‘membawa ke alam lain yang sifatnya transendental’. Seperti dikatakannya: “Ketika seorang lelaki mendengar berita, “Kau dianugerahi anak lelaki!”, maka kegembiraan muncul (disebabkan kekuatan abidha atau fungsi denotasi bahasa). Tetapi rasa yag disugestikan (rasa dan yang serupa dengan itu) tidak muncul seperti halnya munculnya kegembiraan dari mendengar berita seperti telah dikemukakan. Ia juga tidak lahir melalui kekuatan kedua bahasa (lakshana, gunavrtti, bhakti). Tetapi timbul dalam diri seseorang yang peka (sahrdaya ­– orang yang memiliki kepekaan terhadap sastra) disebabkan pengetahuannya tentang vibhava dan anubhava, disebabkan sahrdaya-samvada (tanggapan simpatetiknya) dan tanmayibhava (daya identifikasi). Ia berbeda (vilaksana) dari kesadaran biasa seperti kebahagiaan yang diperoleh dari pengalaman keseharian, oleh karena pengalaman estetik tidak disebabkan oleh hal-hal yang dialami secara obyektif”. (Dhvanyalokalocana hal. 79).

Bahwa pengalaman estetik yang timbul dari penikmatan puisi bersifat ‘alaukika-katva’, membawa ke dunia lain yang berbeda dengan pengalaman biasa, merupakan pernyataan yang tepat. Mari kita perhatikan misalnya syair Hamzah Fansuri ini:



Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Bayt al-Ka`bah

Di Barus ke Quds terlalu payah

Akhirnya jumpa di dalam rumah



Sajak Hamzah Fansuri bukan sekadar tiruan dari kenyataan, sebab jika demikian ia takkan mampu memberikan alaukika-katva. Ia lebih tepat disebut obyektifikasi dan universalisasi rasa tertentu, yang timbul dari pengalaman unio-mystica. Kata-kata ‘bayt al-ka`bah’ dalam syairnya seolah obyek di luar dirinya, begitu juga kata ‘mencari’ seakan dapat dirujuk pada tindakan keseharian. Padahal tidak demikian halnya, sebab ia telah menjelma citraan simbolik yang membawa kepada makna batin, yang disebut makna sugestif. Pengalaman estetik yang disajikan penyair ialah dalam pikiran atau kesadaran terdalam kita. Rasa yang hendak disugestikan penyair ialah santa (damai) yang lahir dari perjumpaan dengan Tuhan. Sebagaimana perjumpaan dengan Tuhan berada dalam kalbu, begitu pula rasa yang disugestikan. Di dalam sajak ini sattva (keberadaan) atau Dasein-nya Heidegger/Gadamer terasa kehadirannya.

Contoh berikutnya tentang peran puisi sebagai pembawa alaukika-katva ialah sajak Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:



dari hari ke hari

bunuh diri perlahan-lahan



dari hari ke hari

luka bertimbun di badan



dari hari ke hari

maut menabungku segobang segobang



(dalam O, Amuk, Kapak)



Citraan yang dihadirkan penyair memang seakan dapat dirujuk kepada obyek yang dijumpai dalam pengalaman biasa. Tetapi karena bersumber dari pengalaman estetik, citraan-citraan dalam sajak tersebut tidak dapat dianggap sebagai sekadar tiruan (mimesis). Citraan-citraan dalam sajak Sutardji mampu menggerakkan imaginasi pembaca ke wilayah kesadaran batin yang mengatasi alam kesadaran biasa. Rasa yang tersugestikan dalam sajak tersebut ialah karuna (kesedihan, kepiluan) disebabkan kesadaran bahwa maut sebenarnya sangat dekat dengan kita, dan jarak antara kelahiran dan kematian bak rambut dibelah tujuh.

Rasa ialah jiwa yang sebenarnya dari puisi dan karya sastra secara umum. Berdasarkan pandangannya ini Abhinavagupta mengatakan bahwa hubungan obyek-obyek dalam karya sastra – atau keterjalinan antara vibhava, anubhava dan vyabicharibhava – membuat makna yan tak terucapkan (tersirat) dapat dirasakan, dan bergaung dalam diri kita. Ini bisa terjadi jika sebuah puisi atau karya sastra memiliki kekuatan vyanjana yang memadai.

Karena itu rasa diberi pula arti sebagai ‘isyarat yang digaungkan oleh citraan simbolik’. Rasa bukan referensi atau inferensi, yaitu perujukan dan pengambilan kesimpulan. Kata-kata dalam puisi bukan hanya denotasi atau penandaan. Rasa yang disugestikan dalam sastra atau seni adalah rasa dhvani yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai suggested emotion.Dalam puisi makna konotatif dan sugestif sering tersirat, tidak dinyatakan secara tersurat. Dengan itu objek-objek rasa estetik bukan merupakan ‘tanda referensi’, tetapi ‘lambang evokatif’. Ia tidak dihasilkan melalui inferensi atau pengambilan kesimpulan, tetapi melalui pelukisan secara imaginatif. Objek-objek estetis dalam karya seni tidak tunduk pada perasaan seniman melalui hukum sebab akibat, melainkan sesuatu yang fungsinya menyampaikan rasa yang dalam. Hubungan objek estetis dan rasa tidak pernah bersifat leksikal atau logis, tetapi lebih bersifat psikologis atau kejiwaan.

Keseluruhan sajak Sutardji membenarkan sebagian besar pandangan para kritikus dan estetikus India itu. Sangat mengherankan bahwa sejenis estetika yang telah lama berkembang di Nusantara itu, khususnya dalam sastra Melayu dan Jawa, dilupakan oleh banyak sastrawan dan sarjana sastra modern. Ini dikarena karena luasnya anggapan bahwa teori sastra yang benar hanya teori yang muncul dan berkembang di Barat setelah zaman Pencerahan dan Neo-Positivisme.



Jakarta 20 Mei 2008





Daftar Bacaan:



Abdul Hadi W. M. (2007), ”Perlawanan Estetik dan Merafisik Sutardji Calzoum

Bachri”. Dalam Raja Mentera, Presiden Penyair. Ed. Maman S. Mahayana. Depok: Yayasan Panggung Melayu.



Abdul Jadii W. M. (2008). Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Akan terbit.



Budi Darma (2004), Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.



Donny Gahral Adian (2007), ”Puisi Hidup, Puisi Mati, dan Tragedi”. Dalam Raja

Mantera, Presiden Penyair. Editor Maman S. Mahayana. Depok: Yayasan

Panggung Melayu.



Gnoli Taniero (1968), The Aesthetic Experience According Abhinavagupta. Varanasi:

Chowlhamba Sanskrit Series Off.



Harry Aveling (2007), ”Some Unconventional Aspects of the Poetry of Sutardji

Calzoum Bachri”. Dalam Raja Mantera, Presiden Penyair. Ed. Maman S. Mahayana. Depok: Yayasan Panggung Melayu.



John Brough (1982), Poems from the Sanskrit. Middlesexm England: Penguin

Books.



Krishna Chaitanya (1965), Sanskrit Poetics: A Critical and Comparative Study.

London: Asia Publishing House.



Makoto Ueda (1983). Modern Japanese Poets and the Nature of Literature. Stanford

California: Stanford University Press. Bab tentang Hagiwara Sakutaro.



Subagio Sastrowardoyo (1971), Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta: Pustaka

Jaya.



Sui Kit-wong (1978), ”Ch`ing and Ching in the Critical Writings of Wang Fu-

chih”. Dalam Chinese Approaches to Literature from Confucius to Liang Ch’i-

ch’ao. Adele Austin Rickett dkk. Princeton, New Jersey: Princeton

University Press.



Sutardji Calzoum Bachri (1981), O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.



Vincente Catarino (1975), Arabic Poetics in the Golden Age. Leiden: E. J. Brill.



V. Raghavan (1970), An Introduction to Indian Poetics. Bombay, Calcutta, London:

Macmillan Company Ltd.
WebRepOverall rating

12 April 2011

nazam

MOHAMAD HILMI BIN MOHD DAN
PPISMP INSTITUT PERGURUAN RAJA MELEWAR, 2009
http://mohdhilmi.com/ http://bakalguru.com

Nazam merupakan sebuah puisi klasik Melayu pengaruh Arab. Pada zaman dahulu,
pedagang -pedagang dari Asia Barat atau Timur Tengah iaitu Arab dan Parsi telah
datang ke Melaka untuk berdagang. Selain berniaga. mereka juga mengajar agama
Islam kepada penduduk tempatan. Selain kitab suci AI-Quran. kitab-kitab Hadis.
Kitab Tauhid, Fekah, Tasauf dan Tajwid juga diperkenalkan. Selain itu, mereka juga
memperkenalkan Kitab Berzanji yang di dalamnya mengandungi pelbagai puisi Arab
seperti Ratib. Berzanji. Syair, Burdah, Qasidah, Nasyid. Thamsil, Rubai. Kithah,
Masnawi, Marhaban, Ghazal, Bayt dan Nazam.
--------------------------//---------------------------

merupakan salah satu jenis puisi lama yang telah wujud lebih 100 tahun yang lalu. Nazam yang
seakan-akan menyerupainas yi d tetapi ia boleh didendangkan secara perseorangan atau
berkumpulan secara sponton oleh kaum wanita ketika menganyam tikar, membuatketup at,
menidurkan anak dan sebagainya.

Kebanyakan lirik atau senikatanya berbentuk puisi lama mengandungi pelbagai nasihat dan
tunjur ajar biasanya berkaitan dengan ilmutauhid, Fardhu Ain, Sifat Rasul, Sifat 20 dan
sebagainya. Kumpulan yang mendendangkan nazam ini biasanya terdiri daripada 5 hingga 8
orang.
Menurut sejarah, Nazam dikatakan berasal dariParsi dan pada abad ke 16, nazam dibawa ke
Asia Tenggara melalui pedagang dan alim ulamak.

Aku mula nazam ini dengan nama,
Allah yang memberi fahaman agama,
Puji itu bagi Allah yang mulia,
Lagi kekal ia lagi yang sedia.

Dari contoh di atas yang di karang oleh Tuan Guru Haji Mustapa dari Kuala Linggi, dapat dilihat
nazam dicipta oleh alim ulama yang mempunyai ilmu yang mendalam mengenai agama. Cara
penyampaian bergantung kepada tajuk atau mesej yang hendak disampaikan.

Di Melaka, Hajah Ramlah bte Haji Baba merupakan peminat nazam sehingga sekarang. Beliau
merupakan ketua kepada Suara Srikandi Melaka yang memimpin Kumpulan Nazam Sri Kandi
Tanjung Kling. Beliau yang berasal dari Tanjung Kling ,Melaka telah melibatkan diri dan
menghidupkan semula nazam ini hampir 10 tahun lalu. Beliau merupakan wanita tunggal yang
masih mengingati nazam yang hampir pupus. Menurut beliau, puisi-puisi lama yang
didendangkan itu asli daripada nenek moyang turun temurun dan ia tidak diubah suai serta di
tulis dengan tulisanjawi.

Lanjutan

MOHAMAD HILMI BIN MOHD DAN
PPISMP INSTITUT PERGURUAN RAJA MELEWAR, 2009
http://mohdhilmi.com/ http://bakalguru.com
Kami nama nazam ini mukadimah,
Bagi yang baru belajar ilmu Allah,

Kami harap bagi Allah Tuhan Esa,
Mana salah faham kami ampun dosa,
Ya Rabbana kami harap akan rahmat,
Dari dunia sampai kami ke akhirat,
Ya Rabbana bila sampai mati kami,
Dengan iman supaya kami tidak rugi,
Oleh itu mari kita sama-sama,
Buat amal jangan leka jangan lena,
Sampai sini nazam kami akhir kata,
Mana salah faham kami ampun dosa.
————————–

NAZAM berasal daripada perkataan Arab dan tergolong dalam puisi Melayu tradisional. Nazam mempunyai struktur dan ciri-ciri irama lagu yang tersendiri. Biasanya nazam terdiri daripada dua baris dalam satu rangkap. Setiap barisnya juga terikat, iaitu mempunyai sekitar dua belas suku kata dan dibaca atau dinyanyikan dengan lagunya yang tersendiri.
Kebanyakan lagu nazam bertemakan keagamaan seperti memuji kebesaran Allah, menceritakan
syurga dan neraka, amal ibadat, nabi, malaikat, dan kadangkala berbentuk nasihat.
Nazam dilagukan dalam majlis keagamaan di masjid, sekolah, rumah, dan sebagainya

Lanjutan

MOHAMAD HILMI BIN MOHD DAN
PPISMP INSTITUT PERGURUAN RAJA MELEWAR, 2009
http://mohdhilmi.com/ http://bakalguru.com
Contoh nazam :
Nazam Mukadimah (Risalah Ahmad Mufti)
Allah Allah azza wajal tuhan kami,
Kami minta ampun akan dosa kami.
Kami nama nazam ini mukadimah,
Bagi orang baru belajar ilmu Allah.
Kami harap bagi Allah Tuhan Esa,
Mana salah faham kami ampun dosa.
Ya rabbana kami harap akan rahmat,
Dari dunia sampai kami ke akhirat.
....
Sampai sini nazam kami akhir kata,
Mana salah faham kami ampun dosa.

Nazam juga mestilah dimulakan dengan salam, selawat dan basmalah. Zaman dahulu, nazam menjadi satu cara untuk menghidupkan surau dan madarasah. Kuliah yang disampaikan dalam bentuk ceramah mungkin ada menarik satu pihak sahaja tetapi, apabila disampaikan dalam bentuk nazam (perbandingan sekarang nasyid) kesannya berbeza kepada pihak yang lain.

Lihat sahaja bagaimana anak-anak yang didedahkan dengan nasyid "Raihan" begitu mudah
menghafal nama-nama Rasul, mudah selawat dan mengucap. Ungkapan yang amat fasih pada
lidahnya. Demikian halnya dengan nazam. Nazam Sifat 20 misalnya, memudahkan seseorang
menghafal makna Sifat-Sifat Allah; ataupun Nazam Rukun Islam.

FARIDDUDIN ATTAR

You are here : Dunia Penyair » Penyair Timur Tengah » Puisi Penyair Sufi Fariduddin 'Aththar
Puisi Penyair Sufi Fariduddin 'Aththar

Ketika Ya’qub berangkat untuk mengunjungi putranya,
dan meninggalkan Kanaan untuk pergi ke Mesir,
orang-orang Mesir menghiasi negeri mereka
dari ujung yang satu ke ujung yang lain.
Ketika Zulaikha mengetahui hal ini
dia menjatuhkan dirinya ke atas tanah,
sama sekali tak berdaya
dia menutupi kepalanya dengan kerudung
dan membungkuk dengan rendah hati ke sisi jalan.
Kebetulan pula, Yusuf harus melewati tempat ini;
dia melihat orang yang sedih dan terluka.
Tinggi di atas kudanya, dengan cambuk di tangan,
dia menemukan wanita yang amat-sangat mencintainya.
Suatu keluhan meluncur keluar dari lubuk hatinya,
yang hasratnya membuat cambuk itu semakin membara,
dan, ketika api semakin membesar,
Yusuf, yang paling menyedihkan, menjatuhkan cambuknya.
Zulaikha berkata, “Wahai engkau dengan iman begitu
murni. Tidakkah keterlaluan bagimu, bahwa engkau tidak mampu menahannya!
Api ini meloncat keluar dari hatiku
dan kau tidak mampu memegangnya di tanganmu?
Api yang telah memenuhi diriku selama bertahun-tahun,
tidak dapatkah engkau memegangnya sekejap saja?
Engkau, yang Pertama dari semua kaum beriman, dan
aku seorang wanita!
Begitukah caramu menunjukkan ketaatan?”

~ Attar

BANGSA KASIHAN

You are here : Dunia Penyair » Khalil Gibran » Bangsa Kasihan ~ Khalil Gibran
Bangsa Kasihan ~ Khalil Gibran

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,
dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur,
sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,
dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya
sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu
dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,
dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

~ Khalil Gibran

KEHIDUPAN

You are here : Dunia Penyair » Khalil Gibran » Prosa (II) ~ Khalil Gibran
Prosa (II) ~ Khalil Gibran

Bila kau memberi dari hartamu, tidak banyaklah pemberian itu. Bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh erti. Sebab, apalah harta milikan itu, pabila ia bukan simpanan yang kaujaga buat persediaan di hari kemudian ?

Dan hari kemudian; terkandung janji apakah bagi dia, si anjing kikir, Yang menimbun tulang-tulang di bawah pasir, Dalam perjalanan ke kota suci, mengikuti musafir ?

Dan bukankah ketakutan akan kemiskinan, Merupakan kemiskinan itu sendiri ? Ketakutan akan dahaga, sedangkan sumur masih penuh, Bukankah dahaga yang tak mungkin dipuaskan ?

Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak Dan pemberian itu dilakukan demi sanjungan, Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya.

Ada pula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya. Merekalah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan, Dan peti mereka tiada pernah mengalami kekosongan.

Ada yang memberi dengan kegembiraan di hati, Kegembiraanlah yang menjadi anugerah pengganti. Ada yang memberi dengan kepedihan di hati, maka Kepedihan menjadi air pensucian diri.

Dan ada yang memberi tanpa merasa sakit di dalamnya, Tanpa mencari kegirangan dari pemberiannya, Tanpa mengingat-ingat kebaikannya; Mereka memberi, sebagaimana di lembah sana, Bunga-bunga menyebarkan wewangiannya ke udara.

Melalui mereka inilah, Tuhan berbicara, Dan dari sinar lembut tatapan mata mereka Dia tersenyum pada dunia.


Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi pada kehidupan .Sedangkan kau, yang mengira dirimu seorang pemberi, Sebetulnya hanyalah seorang saksi.

Dan kau, kaum penerima – ya, engkau semuanya tergolong penerima ! Jangan memberati diri dengan rasa terhutang budi, Sebab kau akan membebani dirimu dan dia yang memberi.

Sayugia kau bangkit bersama si pemberi, Naik sayap pemberiannya, Melambung ke taraf yang lebih tinggi.

Terlampau menyedari hutangmu, adalah meragukan kedermawanan dia, Sang putera Bumi yang murah hati, Dan Tuhan, sebagai sumber segala hartanya.

~ Khalil Gibran

PROSA ( II )

You are here : Dunia Penyair » Khalil Gibran » Prosa (II) ~ Khalil Gibran
Prosa (II) ~ Khalil Gibran

Bila kau memberi dari hartamu, tidak banyaklah pemberian itu. Bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh erti. Sebab, apalah harta milikan itu, pabila ia bukan simpanan yang kaujaga buat persediaan di hari kemudian ?

Dan hari kemudian; terkandung janji apakah bagi dia, si anjing kikir, Yang menimbun tulang-tulang di bawah pasir, Dalam perjalanan ke kota suci, mengikuti musafir ?

Dan bukankah ketakutan akan kemiskinan, Merupakan kemiskinan itu sendiri ? Ketakutan akan dahaga, sedangkan sumur masih penuh, Bukankah dahaga yang tak mungkin dipuaskan ?

Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak Dan pemberian itu dilakukan demi sanjungan, Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya.

Ada pula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya. Merekalah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan, Dan peti mereka tiada pernah mengalami kekosongan.

Ada yang memberi dengan kegembiraan di hati, Kegembiraanlah yang menjadi anugerah pengganti. Ada yang memberi dengan kepedihan di hati, maka Kepedihan menjadi air pensucian diri.

Dan ada yang memberi tanpa merasa sakit di dalamnya, Tanpa mencari kegirangan dari pemberiannya, Tanpa mengingat-ingat kebaikannya; Mereka memberi, sebagaimana di lembah sana, Bunga-bunga menyebarkan wewangiannya ke udara.

Melalui mereka inilah, Tuhan berbicara, Dan dari sinar lembut tatapan mata mereka Dia tersenyum pada dunia.


Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi pada kehidupan .Sedangkan kau, yang mengira dirimu seorang pemberi, Sebetulnya hanyalah seorang saksi.

Dan kau, kaum penerima – ya, engkau semuanya tergolong penerima ! Jangan memberati diri dengan rasa terhutang budi, Sebab kau akan membebani dirimu dan dia yang memberi.

Sayugia kau bangkit bersama si pemberi, Naik sayap pemberiannya, Melambung ke taraf yang lebih tinggi.

Terlampau menyedari hutangmu, adalah meragukan kedermawanan dia, Sang putera Bumi yang murah hati, Dan Tuhan, sebagai sumber segala hartanya.

~ Khalil Gibran

LAGU OMBAK

Pantai yang perkasa adalah kekasihku,
Dan aku adalah kekasihnya,
Akhirnya kami dipertautkan oleh cinta,
Namun kemudian Bulan menjarakkan aku darinya.
Kupergi padanya dengan cepat
Lalu berpisah dengan berat hati.
Membisikkan selamat tinggal berulang kali.

Aku segera bergerak diam-diam
Dari balik kebiruan cakerawala
Untuk mengayunkan sinar keperakan buihku
Ke pangkuan keemasan pasirnya
Dan kami berpadu dalam adunan terindah.

Aku lepaskan kehausannya
Dan nafasku memenuhi segenap relung hatinya
Dia melembutkankan suaraku dan mereda gelora di dada.
Kala fajar tiba, kuucapkan prinsip cinta
di telinganya, dan dia memelukku penuh damba

Di terik siang kunyanyikan dia lagu harapan
Diiringi kucupan-kucupan kasih sayang
Gerakku pantas diwarnai kebimbangan
Sedangkan dia tetap sabar dan tenang.
Dadanya yang bidang meneduhkan kegelisahan

Kala air pasang kami saling memeluk
Kala surut aku berlutut menjamah kakinya
Memanjatkan doa

Seribu sayang, aku selalu berjaga sendiri
Menyusut kekuatanku.
Tetapi aku pemuja cinta,
Dan kebenaran cinta itu sendiri perkasa
Mungkin kelelahan akan menimpaku,
Namun tiada aku bakal binasa.

~ Khalil Gibran

PROSA ( V )

Aku akan melakukan segala apa yang telah engkau ucapkan tadi
Dan aku akan menjadikan jiwaku sebagai sebuah kelambu yang
menyelubungi jiwamu.
Hatiku akan menjadi tempat tinggal keanggunanmu
serta dadaku akan menjadi kubur bagi penderitaanmu.
Aku akan selalu mencintaimu…sebagaimana padang rumput
yang luas mencintai musim bunga.

Aku akan hidup di dalam dirimu laksana bunga-bunga yang hidup oleh panas matahari.
Aku akan menyanyikan namamu seperti lembah menyanyikan gema loceng di desa
Aku akan mendengar bahasa jiwamu seperti pantai mendengarkan kisah-kisah gelombang.
Aku akan mengingatimu seperti perantau asing yang mengenang tanahair tercintanya,
Sebagaimana orang lapar mengingati pesta jamuan makan,
Seperti raja yang turun takhta mengingati masa-masa kegemilangannya,
Dan seperti seorang tahanan mengingati masa-masa kesenangan dan kebebasan.
Aku akan mengingatimu sebagaimana seorang petani yang mengingati bekas-bekas gandum di lantai tempat simpanannya,
juga seperti gembala mengingati padang rumput yang luas dan
sungai yang segar airnya.”

(Dari Sayap Sayap Patah)

~ Khalil Gibran

IBU

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.

Ibu adalah segalanya. Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi. Siapa pun yang kehilangan ibinya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasa
merestui dan memberkatinya.

Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu. Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.

Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan. Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya. Pepohonan
dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.

Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.
Penuh cinta dan kedamaian.

~ Khalil Gibran

FIKIRAN DAN SAMADI

You are here : Dunia Penyair » Khalil Gibran » Fikiran Dan Samadi ~ Khalil Gibran
Fikiran Dan Samadi ~ Khalil Gibran

Hidup menjemput dan melantunkan kita dari satu tempat ke tempat yang lain; Nasib memindahkan kita dari satu tahap ke tahap yang lain. Dan kita yang diburu oleh keduanya, hanya mendengar suara yang mengerikan, dan hanya melihat susuk yang menghalangi dan merintangi jalan kita.

Keindahan menghadirkan dirinya dengan duduk di atas singgahsana keagungan; tapi kami mendekatinya atas dorongan Nafsu ; merenggut mahkota kesuciannya, dan mengotori busananya dengan tindak laku durhaka.

Cinta lalu di depan kita, berjubahkan kelembutan ; tapi kita lari ketakutan, atau bersembunyi dalam kegelapan, atau ada pula yang malahan mengikutinya, untuk berbuat kejahatan atas namanya.

Meskipun orang yang paling bijaksana terbongkok kerana memikul beban Cinta, tapi sebenarnya beban itu seiringan bayu pawana Lebanon yang berpuput riang.

Kebebasan mengundang kita pada mejanya agar kita menikmati makanan lazat dan anggurnya ; tapi bila kita telah duduk menghadapinya, kita pun makan dengan lahap dan rakus.

Tangan Alam menyambut hangat kedatangan kita, dan menawarkan pula agar kita menikmati keindahannya ; tapi kita takut akan keheningannya, lalu bergegas lari ke kota yang ramai, berhimpit-himpitan seperti kawanan kambing yang lari ketakutan dari serigala garang.

Kebenaran memanggil-manggil kita di antara tawa anak-anak atau ciuman kekasih, tapi kita menutup pintu keramahan baginya, dan menghadapinya bagaikan musuh.

Hati manusia menyeru pertolongan ; jiwa manusia memohon pembebasan ; tapi kita tidak mendengar teriak mereka, kerana kita tidak membuka telinga dan berniat memahaminya. Namun orang yang mendengar dan memahaminya kita sebut gila lalu kita tinggalkan.

Malampun berlalu, hidup kita lelah dan kurang waspada, sedang hari pun memberi salam dan merangkul kita. Tapi di siang dan malam hari, kita sentiasa ketakutan.

Kita amat terikat pada bumi, sedangkan gerbang Tuhan terbuka lebar. Kita memijak-mijak roti Kehidupan, sedangkan kelaparan memamah hati kita. Sungguh betapa budiman Sang Hidup terhadap Manusia, namun betapa jauh Manusia meninggalkan Sang Hidup.

~ Khalil Gibran

KAMI DAN KALIAN

You are here : Dunia Penyair » Khalil Gibran » Kami Dan Kalian ~ Khalil Gibran
Kami Dan Kalian ~ Khalil Gibran

Kalian tinggal dalam rumah kebodohan, karena
dalam rumah ini
Tiada cermin kaca buat memandang jiwa.
Kami menghela nafas panjang, dan
Dari keluhan ini
Terbitlah bisikan bunga-bunga dan gemerisik
Daunan
Dan bisikan anak sungai ..

Kami hiba akan kekerdilanmu setara kebencian
Kalian
Akan Kejayaan kami; antara rasa hiba kami dan
Kebencian kalian, sang waktu berhenti tertahan.

Kami mnenghampirimu sebagai teman, tapi kalian
menyerang kami sebagai musuh; antara
persahabatan
Kami dan permusuhan kalian, terbentang jurang
dalam
Yang dialiri darah dan airmata.

~ Khalil Gibran (1833-1931)

PENYAIR

Dia adalah rantai penghubung
Antara dunia ini dan dunia akan datang
Kolam air manis buat jiwa-jiwa yang kehausan,
Dia adalah sebatang pohon tertanam
Di lembah sungai keindahan
Memikul bebuah ranum
Bagi hati lapar yang mencari.

Dia adalah seekor burung ‘nightingale’
Menyejukkan jiwa yang dalam kedukaan
Menaikkan semangat dengan alunan melodi indahnya

Dia adalah sepotong awan putih di langit cerah
Naik dan mengembang memenuhi angkasa.
Kemudian mencurahkan kurnianya di atas padang kehidupan. Membuka kelopak mereka bagi menerima cahaya.

Dia adalah malaikat diutus Yang Maha Kuasa mengajarkan Kalam Ilahi.
Seberkas cahaya gemilang tak kunjung padam.
Tak terliput gelap malam
Tak tergoyah oleh angin kencang
Ishtar, dewi cinta, meminyakinya dengan kasih sayang
Dan, nyanyian Apollo menjadi cahayanya.

Dia adalah manusia yang selalu bersendirian,
hidup serba sederhana dan berhati suci
Dia duduk di pangkuan alam mencari inspirasi ilham
Dan berjaga di keheningan malam,
Menantikan turunnya ruh

Dia adalah si tukang jahit yang menjahit benih hatinya di ladang kasih sayang
dan kemanusiaan menyuburkannya

Inilah penyair yang dipinggirkan oleh manusia
pada zamannya,
Dan hanya dikenali sesudah jasad ditinggalkan
Dunia pun mengucapkan selamat tinggal dan kembali ia pada Ilahi

Inilah penyair yang tak meminta apa-apa
dari manusia kecuali seulas senyuman
Inilah penyair yang penuh semangat dan memenuhi
cakerawala dengan kata-kata indah
Namun manusia tetap menafikan kewujudan keindahannya

Sampai bila manusia terus terlena?
Sampai bila manusia menyanjung penguasa yang
meraih kehebatan dgn mengambil kesempatan??
Sampai bila manusia mengabaikan mereka yang boleh memperlihatkan keindahan pada jiwa-jiwa mereka
Simbol cinta dan kedamaian?

Sampai bila manusia hanya akan menyanjung jasa org yang sudah tiada?
dan melupakan si hidup yg dikelilingi penderitaan
yang menghambakan hidup mereka seperti lilin menyala
bagi menunjukkan jalan yang benar bagi orang yang lupa

Dan oh para penyair,
Kalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini:
Telah engkau tundukkan abad demi abad termasuk tirainya.

Penyair..
Suatu hari kau akan merajai hati-hati manusia
Dan, kerana itu kerajaanmu adalah abadi.

Penyair..periksalah mahkota berdurimu..kau akan menemui kelembutan di sebalik jambangan bunga-bunga Laurel…

(Dari ‘Dam’ah Wa Ibtisamah’ -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)

~ Kahlil Gibran

6 April 2011

MSAOKA SHIKI

Masaoka Shiki (正岡子規?, lahir di Matsuyama, 14 Oktober 1867 – meninggal di Tokyo, 19 September 1902 pada umur 34 tahun) adalah nama pena penyair Jepang asal zaman Meiji. Nama aslinya adalah Masaoka Tsunemori, dan sewaktu kecil dipanggil Noboru.

Shiki dikenal sebagai penulis haiku, waka, puisi gaya baru (shintaishi), kritik sastra, dan esai. Shiki menggemari bisbol yang waktu itu merupakan olahraga baru di Jepang, dan sejumlah haiku dan tanka ditulisnya tentang bisbol. Setelah 7 tahun menderita tuberkulosa, ia meninggal dalam usia 34 tahun.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Masa kecil
* 2 Masuk universitas
* 3 Akhir hayat
* 4 Pranala luar

[sunting] Masa kecil

Masaoka Shiki dilahirkan sebagai putra sulung di Distrik Onsen, Provinsi Iyo (sekarang kota Matsuyama, Prefektur Ehime). Ayahnya adalah samurai Domain Matsuyama bernama Masaoka Tsunenao, sedangkan ibunya bernama Yae, putri sulung ahli Konfusianisme bernama Ohara Kanzan. Ketika berusia 5 tahun, ayahnya meninggal dunia, dan ia dibesarkan oleh kakek dan ibunya. Ketika berusia 6 tahun, Masaoka belajar menghafal sastra Cina klasik di di sekolah privat milik kakeknya, Ohara Kanzan. Selain itu, pelajaran membaca dan menulis didapatnya di sekolah kuil (terakoya).

Pada tahun 1875, Masaoka pindah ke Sekolah Dasar Katsuyama (sekarang Sekolah Dasar Banchō Matsuyama) Setelah kakeknya meninggal pada April 1875, Masaoka belajar sastra klasik Cina dari penerus kakeknya, Tsuchiya Kyūmei. Pada tahun 1878, Shiki menulis karya pertamanya berupa puisi Cina, dan Kyūmei memberikan koreksi. Bulan Maret 1880, Shiki melanjutkan ke Sekolah Menengah Matsuyama (sekarang Sekolah Lanjutan Atas Matsuyama). Keinginannya untuk mengikuti tes masuk sekolah tingkat persiapan (daigaku yobimon) Universitas Kekaisaran Tokyo membuatnya berhenti sekolah pada Mei 1883.
[sunting] Masuk universitas

Bulan berikutnya (Juni 1983), Masaoka sampai di Tokyo dan memasuki bimbingan masuk universitas bernama Kyōritsu Gakkō (Sekolah Kyoritsu) yang mengajarkan bahasa Inggris untuk ujian masuk universitas. Sekarang sekolah tersebut bernama Sekolah Menengah Pertama dan Atas Kaisei.

Pada bulan September 1884, Masaoka diterima di sekolah tingkat persiapan Universitas Kekaisaran Tokyo, dan mulai aktif menulis haiku. Sewaktu bersekolah di sana, sekolahnya berganti nama menjadi Sekolah Menengah Atas I. Di antara teman seangkatannya terdapat Natsume Soseki, Yamada Bimyō, dan Ozaki Kōyō. Masaoka menyelesaikan kelas persiapan (yoka) Sekolah Menengah Atas 1 pada bulan Juli 1888, untuk seterusnya melanjutkan ke kelas utama (honka) yang dimulai bulan September 1888.

Masaoka mulai batuk darah pada bulan Mei 1889. Sejak itu pula, ia mulai menggunakan nama pena "Shiki". Nama pena tersebut berasal dari sebutan bahasa Mandarin klasik untuk burung yang di Jepang disebut hototogisu (Cuculus poliocephalus). Menurut legenda, burung hototogisu bernyanyi sampai memuntahkan darah.

Shiki lulus Sekolah Menengah Atas I pada bulan Juli 1890, dan melanjutkan ke Jurusan Filsafat, Fakultas Budaya, Universitas Kekaisaran Tokyo. Pada bulan Januari 1891, Shiki pindah ke Jurusan Sastra Jepang. Namun pada bulan Oktober 1892, Shiki berhenti kuliah, dan selanjutnya bekerja di surat kabar Nihon Shimbun.

Sejak April 1895, Shiki bertugas sebagai wartawan perang dalam Peperangan Jiawu. Pada bulan Januari 1896, Shiki mengadakan pertemuan apresiasi haiku (kukai) di rumah yang diberi nama Shiki-an. Dua tahun selanjutnya, di tempat yang sama dilangsungkan pertemuan apresiasi tanka (utakai).
[sunting] Akhir hayat

Penyakit Shiki makin parah setelah pulang bertugas meliput Peperangan Jiawu. Pada bulan Mei 1895, di atas kapal yang membawanya pulang, Shiki memuntahkan darah dalam jumlah besar, dan langsung masuk rumah sakit di Kobe. Setelah beristirahat di Suma (pinggiran kota Kobe), Shiki pulang ke kampung halaman di Matsuyama. Ketika itu, Natsume Soseki sahabat dekatnya sedang bertugas mengajar di Sekolah Lanjutan Pertama Matsuyama. Setelah beristirahat di tempat kediaman Soseki, Shiki berangkat ke Tokyo pada bulan Oktober 1895. Di tengah perjalanan, pinggang yang sakit membuatnya sulit berjalan. Tahun berikutnya (1896), bakteri TBC sudah sampai ke tulang belakangnya. Dokter ingin mengoperasinya, namun harapan untuk sembuh sudah tidak ada.

Pada tahun 1899, Shiki sudah sulit untuk duduk apalagi berdiri. Sejak itu pula, Shiki menghabiskan sisa hidupnya terbaring di tempat tidur. Walaupun demikian, Shiki terus produktif menulis haiku, tanka, dan esai. Sewaktu terbaring sakit pun, Shiki masih memberi bimbingan kepada murid-muridnya: Kyoshi Takahama, Hekigitō Kawahigashi, Itō Sachio, dan Takashi Nagatsuka. Shiki meninggal dunia pada 19 September 1902.
[sunting] Pranala luar

* (Jepang) Karya Masaoka Shiki di situs web Aozora Bunko
* (Inggris) Puisi terpilih (haiku dan tanka) karya Masaoka Shiki, diterjemahkan oleh Janine Beichman
* (Inggris) Biografi dan foto di situs Perpustakaan Nasional Jepang
* (Inggris) Haiku tentang bisbol karya Masaoka Shiki
* (Jepang) Museum Masaoka Shiki di kota Matsuyama, Ehime

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Masaoka_Shiki"
Kategori: Kelahiran 1867 | Kematian 1902 | Penulis Jepang

JIWA MANUSIA MELINTASI KARYA SASTRA KLASIK

(Epochtimes.co.id)

Kesusastraan merupakan seni yang menggunakan kata-kata untuk mencerminkan realitas secara obyektif seperti aktivitas psikologis. Ini bagian penting dari suatu kebudayaan. Kriteria kesusastraan klasik terletak pada nilai sastra dan pewarisannya. Kandungan maknanya memainkan peran sebagai panutan, inspirasi dan keabadian.

China memiliki tradisi yang menggunakan puisi untuk menyampaikan ambisi, serta sastra untuk pengajaran moralitas. Sastra klasik menarik minat pembacanya serta mengolah pikiran mereka dengan teknik seni yang halus dan ideologi yang bermakna mendalam. Hal ini akan membuat seseorang terus menggemarinya.

Kesusastraan klasik mencakup puisi, syair, prosa dan novel serta bentuk lainnya seperti Ci (賦, puisi zaman Dinasti Tang, yang ditulis untuk nada-nada tertentu dengan pola tonal (gaya suara) yang ketat dan sajak, dalam jumlah baris dan kata tertentu), Fu (賦, bentuk kesusastraan yang rumit menggabungkan unsur-unsur puisi dan prosa), serta musik. Pengaruh dogma ”harmonisasi Langit dan manusia” yang dianjurkan Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme pada hubungan antara kata dan makna, secara langsung menaikkan taraf puisi, prosa, kaligrafi , lukisan dan musik tersebut.

Manifestasi kesusastraan klasik dapat diringkas dalam kategori sebagai berikut: pikiran yang menghubungkan masa jauh lampau, menjelajahi hukum Langit, melihat ke dalam maupun ke luar, menjelajahi misteri, membuat keilahian menjadi hal yang kekal, dan menampilkan keabadian.

Berikut saya akan mengupas beberapa kategori ini.

1. Memperhatikan jiwa rasional manusia

Mencari kebenaran, hukum Langit, serta nilai-nilai kemanusiaan merupakan tema abadi dalam karya sastra klasik. Kecuali terhadap keabadian alam semesta, pemahaman orang zaman dahulu terhadap kehidupan manusia yang singkat, boleh dikatakan sebenarnya merupakan kerinduan mereka akan dunia kekal yang tak terbatas.

I Ching: Book of Changes, berada di atas semua karya klasik lainnya. Ini menunjukkan kosmologi “harmonisasi Langit dan manusia” yang mencakup langit dan bumi, alam semesta, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta kemanunggalan manusia dengan alam. Manusia dapat mendorong perubahan dan memupuk kekuatan Langit dan bumi, selain itu manusia juga berhubungan dengan alam.

Book of Changes mengungkapkan prinsip-prinsip dasar hubungan antara manusia dan alam: manusia harus peduli satu sama lainnya termasuk segala hal, serta menjadi jujur dan toleran.

Kitab Laozi (Laotse): Dao De Ching (Buku Jalan dan Kebajikan), kitab klasik Konfusius: The Book of Songs, The Book of History, The Analects of Confucius and Spring, semuanya membicarakan Jalan Ketuhanan, menghormati serta menganjurkan kebajikan. Dengan pengajaran dan bimbingan dari para sang Bijak, manusia menghormati Langit dan Tuhan, menyelaraskan diri pada Langit dan menjalani takdir mereka, terbuka dan tulus namun tidak melanggar aturan. Berbagai pendidikan filsafat seluruh teorinya berdasarkan pada Tao (jalan kebajikan).

Sima Qian dari Dinasti Han menulis maha karya Shiji (Historical Records). Meskipun Sima Qian hidup dalam zaman yang sulit, ia masih menempatkan pemikiran moralitas sebagai tingkat tertinggi dalam tujuan kehidupan manusia. Karya-karyanya diturunkan dari generasi ke generasi, beberapa diantaranya mengungkap rasa penyesalan atas berjalannya waktu; ada juga beberapa pemikiran alasan menjadi manusia; menjelajahi mitologi alam semesta; sedangkan yang lainnya tentang kerinduan sesuatu yang melampaui dunia fana.

Setelah menetapkan tujuan mulia, harus ada cara untuk mencapainya, sehingga para sang Bijak dari berbagai dinasti semuanya memperhatikan kultivasi (menjalani kehidupan dengan memperbaiki akhlak diri secara terus menerus). Kesadaran untuk mengoreksi diri, nilai-kesadaran dan upaya kultivasi, penyempurnaan diri dan pembentukan kepribadian yang ideal, membentuk pemahaman jiwa manusia yang mendalam dari bangsa China. Kitab klasik Konfusius, Book of Rites - the Great Learning, menunjukkan: “Berharap memperbaiki hatinya, mereka yang pertama kali berusaha menjadi tulus dalam pikirannya.” Hal tersebut merupakan proses kultivasi, serta memberi contoh diri sendiri dalam hal: “Kultivasi diri, keharmonisan keluarga, mengatur negara dan perdamaian dunia.”

Konfusius berkata, “Ketika kita melihat manusia yang mulia, kita harus berpikir untuk menirunya, ketika kita melihat manusia yang berkarakter sebaliknya, kita harus melihat ke dalam dan memeriksa diri sendiri.” Konfusius juga mengatakan: “Setiap hari, saya mengoreksi diri sendiri, sekali dan sekali lagi.” Hal ini memerlukan standar yang ketat dan melingkupi diri sendiri, tetapi harus sederhana dan toleran terhadap orang lain. Hanya dengan cara ini, seseorang dapat mengembangkan diri menjadi seorang yang bijak.

2. Menerapkan moralitas dan kebajikan

Sebagai pembawa misi penting kebudayaan tradisional, kesusastraan klasik menerapkan secara utuh moralitas, pertalian manusia dan tiga panduan pejabat (panduan bagi penguasa, mendidik anak, dan bimbingan pada istri) dan lima kebajikan (kebaikan, kebenaran, kesopanan, kebijaksanaan dan kesetiaan) serta standar moralitas.

Spirit kebajikan yang dianjurkan Konfusius menjadi patokan manusia untuk hidup bermasyarakat, dalam masyarakat kuno diartikan mengasihi orang lain. Kitab Book of History berbicara “lima ajaran”, yakni humanitas Ayah, kebajikan ibu, persahabatan kakak, menghormati adik dan rasa berbakti putra. Anjuran Zhuang Zi yakni “Mengasihi segalanya, langit dan bumi “ digunakan dalam spirit kebajikan, yang mengayomi segala sesuatu di dunia dan membentuk kemanunggalan dengan Langit dan Bumi.

Selama lebih dari 5.000 tahun, tak terhitung orang dengan kebijakan agung datang dan pergi. Mereka sepenuhnya tulus, jujur, bersih dan jauh dari perilaku menjilat dan mendengarkan suara rakyat. Nilai-nilai dan upaya seperti ini, mendorong rakyat China melangkah ke depan menaklukkan segala kesulitan, dan melalui rangkaian sejarah yang panjang dan berliku, hingga hari ini. Ini merupakan salah satu faktor penting bagi kesusastraan klasik China menjadi penuh kekuatan. Telah membentuk tradisi sastra yang menjunjung kebenaran dan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat.

Karya-karya klasik yang terkenal sepanjang masa, semuanya menaruh perhatian besar pada karakter integritas moral, dan selalu mengagungkan loyalitas, kesalehan, kesucian dan kebenaran, seperti orang yang memegang standar moralitas yang tinggi. Mereka juga berfokus pada penggambaran karakter yang baik. Karya klasik ini tidak hanya memperhatikan keindahan eksternal tetapi juga kaya makna moralitas. Seluruhnya memberikan kenikmatan estetika tinggi serta alam yang tinggi bagi jiwa manusia.

3. Indoktrinasi tradisional: moral melalui sastra

Salah satu keistimewaan penting dari budaya tradisional adalah digunakan sebagai referensi, karena semua karya klasik memiliki tradisi pendidikan. Penyair Dinasti Tang, Bai Juyi, berkata, ”Karya sastra ditulis dengan latar belakang waktu, sedangkan puisi, Ci, lagu dan fu ditulis untuk peristiwa individu.” Orang dahulu menekankan karakter moral seseorang, kebajikan, manfaat dan menuangkan pikiran seseorang dalam tulisan. Memelihara dunia juga spontan menjadi tanggung jawab mereka. Mereka jauh melampaui “memperoleh dan kehilangan”, tidak merasa bahagia karena keuntungan materi dan tidak menyesali diri sendiri karena kerugian. Mereka memperhatikan negara dan masyarakat.

Sastra Klasik melantunkan pujian akan kecerahan dan keadilan, mencaci kegelapan dan kemerosotan, mendukung standar moralitas, mempromosikan kebaikan, menghukum kejahatan dan mengangkat isu takdir. Karya-karya klasik Konfusianisme, Budhisme dan Taoisme semua mengajarkan suatu filsafat hidup berdasarkan kebajikan dan moralitas. Kitab Book of Songs, Lament dan beberapa lainnya menggambarkan pengejaran manusia akan kepribadian yang ideal. Ketika Sima Qian menulis Lian Po dan Biografi Lin Ju Hsiang, ia menggambarkan sikap ksatria Lin Ju Hsiang juga Lian Bo yang bersikeras meminta hukuman, dan berniat memperbaiki kesalahannya setelah ia menyadari bahwa hal itu merupakan dasar manifestasi dari standar moralitas.

Orang bisa merasakan kekhidmatan dan gaya sastra dari Historical Records. Puisi-puisi Dinasti Tang dan Ci Dinasti Song digambarkan sebagai kekayaan sastra China. Mereka telah menjadi inti dari makna mendalam kebudayaan China dan menggambarkan spiritual dunia manusia. Empat novel terkenal dari Dinasti Ming dan Qing, membantu meningkatkan estetika masyarakat dan penilaian estetika dengan alur cerita menarik. Koleksi novel pendek Stories from a Ming, berbicara tentang pembalasan karma untuk memperingatkan orang bahwa “Melakukan perbuatan baik akan mendapat imbalan baik, dan kejahatan akan membuahkan kejahatan pula”, sehingga orang bisa memilih dan mengikuti perbuatan baik.

Dalam persepsi pencerahan dalam kehidupan, sastra klasik ini menunjukkan arah bagi kehidupan, dan menyatakan kepedulian sosial dan manusia yang kuat. Dari literatur klasik, kita melihat Picture of Justice of Heaven and Earth (Potret Pengadilan Langit dan Bumi) dan mendengar Song of Justice (Lagu Keadilan) di dunia manusia. Mereka seperti sungai yang sehat, yang membersihkan kotoran dan lumpur.

Karya-karya ini tidak hanya membuka proses sejarah China dengan bahasa mereka dan bentuk seni, tetapi juga menuntut standar moral yang tinggi dan mengejar prinsip “harmoni antara langit dan manusia.” Mereka menyediakan generasi masa depan dengan sumber-sumber spiritual yang tiada habisnya. Mereka bersinar dalam artistik dan ideologis karakter, mengilhami hati nurani rakyat dan pemikiran belas kasih, sehingga mereka bisa menghadapi Jalan Surgawi, melampaui kehidupan manusia serta memilih keadilan dan belas kasih. (Zhi Mei/The Epoch Times/lie)

SASTRA INGGRIS KUNO

Sastra Inggris Kuno
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Halaman utama Kronik Peterborough, kemungkinan disalin pada tahun 1150, adalah salah satu sumber utama Kronik Anglo-Saxon.

Sastra Anglo-Saxon atau sastra Inggris Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Inggris Kuno pada periode pasca Romawi dari kurang lebih pertengahan abad ke-5 sampai pada Penaklukan Norman tahun 1066. Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, hagiografi, khotbah, terjemahan Alkitab, undang-undang, kronik, teka-teki, dan lain-lain. Secara total ada sekitar 400 manuskrip yang terlestarikan dari masa ini, sebuah korpus penting baik bagi khalayak ramai atau para peneliti.

Beberapa karya penting termasuk syair Beowulf, yang telah mencapai status wiracarita nasional di Britania. Kronik Anglo-Saxon merupakan koleksi awal sejarah Inggris. Himne Cædmon dari abad ke-7 adalah salah satu tulisan tertua dalam bahasa Inggris yang terlestarikan.

Sastra Inggris Kuno telah melampaui beberapa periode penelitian yang berbeda-beda. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 awal, fokusnya terutama ialah akar Jermanik bahasa Inggris, lalu aspek kesusastraannya mulai ditekankan, dan dewasa ini fokusnya terutama pada paleografi dan naskah manuskripnya sendiri: para peneliti mendiskusikan beberapa isyu seperti: pentarikhan manuskrip, asal, penulisan, dan hubungan antara budaya Anglo-Saxon atau Inggris Kuno dengan benua Eropa secara umum pada Abad Pertengahan.
Daftar isi
[sembunyikan]

* 1 Tinjauan umum
* 2 Puisi Inggris Kuno
o 2.1 Para penyair
o 2.2 Puisi kepahlawanan
o 2.3 Puisi elegi
o 2.4 Puisi Klasik dan Latin
* 3 Puisi Kekristenan
o 3.1 Kehidupan orang suci
o 3.2 Terjemahan Alkitab
o 3.3 Puisi Kristen
* 4 Puisi lainnya
* 5 Ciri-ciri khas puisi Inggris Kuno
o 5.1 Simile dan metafora
o 5.2 Aliterasi
o 5.3 Jeda
o 5.4 Elaborasi
* 6 Prosa Inggris Kuno
o 6.1 Prosa Kristen
o 6.2 Prosa sekuler
* 7 Historiografi
* 8 Catatan kaki
* 9 Rujukan
* 10 Pranala luar

[sunting] Tinjauan umum

Banyak manuskrip yang terlestarikan dari periode Anglo-Saxon yang berlangsung selama 600 tahun. Sebagian besar dari semuanya ditulis pada masa 300 tahun terakhir (abad ke-9 - abad ke-11), baik dalam bahasa Latin maupun bahasa rakyat. Bahasa Inggris Kuno termasuk bahasa rakyat yang terlama sudah dituliskan. Bahasa Inggris Kuno, dalam bentuk tertulis mulai sebagai kebutuhan praktis setelah adanya invasi Denmark. Para petinggi gereja mulai khawatir bahwa dengan jatuhnya pengetahuannya akan bahasa Latin, nanti tidak ada yang bisa membaca karya mereka. Begitu pula Raja Alfred yang Agung (849–899), yang ingin menguri-uri Budaya Inggris, meratapi keadaan memprihatinkan dari pendidikan Latin:
“ Swæ clæne hio wæs oðfeallenu on Angelcynne ðæt swiðe feawa wæron bihionan Humbre ðe hiora ðeninga cuðen understondan on Englisc oððe furðum an ærendgewrit of Lædene on Englisc areccean; ond ic wene ðæte noht monige begiondan Humbre næren. ”
“ Keterpurukan pendidikan di Inggris sungguh umum sehingga hanya sedikit saja di tepi Humber di sini yang bisa ... menerjemahkan sebuah surat Latin ke bahasa Inggris; dan saya yakin bahwa sebelumnya juga tidak ada di tepi lain Humber (Pastoral Care, pengantar). ”

Raja Alfred mengamati bahwa meskipun hanya sedikit sekali yang bisa membaca bahasa Latin, masih banyak yang bisa membaca bahasa Inggris Kuno. Maka ia mengusulkan bahwa para siswa diajari bahasa Inggris Kuno, dan mereka yang prestasinya bagus, diperbolehkan untuk meneruskan mempelajari bahasa Latin. Dengan ini banyak teks yang terlestarikan adalah teks-teks khas pengajaran dan teks kuliah.

Secara total, jumlah manuskrip yang terlestarikan adalah sekitar 400 yang mengandung teks dalam bahasa Inggris Kuno, 189 dari semua ini dianggap manuskrip utama. Naskah-naskah manuskrip ini telah dihargai semenjak abad ke-16, baik untuk nilai sejarah dan keindahan estetika manuskrip-manuskrip ini secara fisik dengan bentuk-bentuk huruf yang seragam dan unsur-unsur dekoratifnya karena banyak naskah ini merupakan naskah bersungging.

Tidak semua teks-teks ini bisa dianggap teks kesusastraan; beberapa hanyalah daftar nama atau latihan menulis saja. Teks-teks yang bisa mewakili karya sastra yang cukup besar, bisa disenaraikan di sini menurut jumlahnya: khotbah dan kehidupan orang-orang suci (yang paling banyak), terjemahan Alkitab; karya-karya terjemahan dari bahasa Latin yang ditulis oleh Bapa-Bapa Gereja; kronik-kronik Anglo-Saxon dan karya-karya naratif sejarah; hukum, surat waris dan dokumen hukum lainnya; karya-karya mengenai tata bahasa, obat-obatan, geografi; dan terakhir tapi bukan yang paling tidak penting, puisi.

Hampir semua penulis karya-karya ini adalah anonim, dengan beberapa perkecualian.

Penelitian pada abad ke-20 terutama berfokus kepada pentarikhan manuskrip (para peneliti abad ke-19 memiliki kecenderungan untuk mentarikh manuskrip-manuskrip ini lebih tua daripada yang ditemukan para peneliti modern). Dalam menemukan tempat-tempat manuskrip ini disalin, para peneliti menemukan ada tujuh skriptorium utama: Winchester, Exeter, Worcester, Abingdon, Durham, dan dua tempat di Canterbury Christ Church dan St. Augustine. Mereka juga telah mengindentifikasikan dialek-dialek regional yang dipakai: dialek Inggris Kuno Northumbria, Mercia, Kent, Saxon Barat, (yang terakhir ini adalah dialek utama).
[sunting] Puisi Inggris Kuno
Pada ilustrasi ini dari halaman 46 yang diambil dari naskah Caedmon (atau Junius), seorang malaikat ditampilkan sedang menjaga pintu gerbang sorga.

Puisi Inggris Kuno dibagi menjadi dua jenis, puisi heroik pra-Kristen Jermanik dan puisi Kristen. Secara sebagian besar puisi-puisi ini terlestarikan dalam empat manuskrip. Manuskrip pertama disebut sebagai Naskah Junius (juga dikenal sebagai Naskah Caedmon), yang merupakan sebuah antologi puisi bersungging. Manuskrip kedua disebut Buku Exeter, juga merupakan sebuah antologi, dan terletak di Katedral Exeter karena telah dihibahkan ke sana semenjak abad ke-11. Manuskrip ketiga disebut Buku Vercelli, sebuah campuran antara puisi dan prosa. Buku ini sekarang terletak di Vercelli, Italia. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan mengapa buku ini bisa sampai di Italia dan masih merupakan bahan perdebatan. Manuskrip keempat adalah Codex Nowell, yang juga merupakan campuran antara prosa dan puisi.

Bangsa Inggris Kuno tidak meninggalkan kaidah puisi atau sistem eksplisit; semua yang kita ketahui mengenai puisi pada masa ini ialah berdasarkan analisis modern. Teori pertama yang diterima secara luas disusun oleh Eduard Sievers (1885). Ia membedakan lima pola aliterasi yang berbeda-beda. Teori John C. Pope (1942), yang menggunakan notasi musik untuk melacak lima pola, telah diterima di beberapa kalangan; beberapa tahun sekali sebuah teori baru muncul dan topik ini masih tetap diperdebatkan secara hangat.

Pengertian yang paling populer dan dikenal luas mengenai puisi Inggris Kuno masih tetap teori sajak aliterasi Sievers. Sistem ini berdasarkan aksen, aliterasi, kuantitas vokal, dan pola aksentuasi berdasarkan suku kata. Sistem ini terdiri atas lima permutasi pada sebuah skema sajak dasar; sembarang dari lima jenis ini bisa dipakai pada semua bentuk puisi. Sistem ini diwarisi dari sistem serupa pada bahasa Jermanik tua lainnya. Dua majas yang secara umum ditemukan pada puisi Inggris Kuno adalah kenning, sebuah frasa formulais yang melukiskan sesuatu menggunakan istilah lainnya (misalkan dalam Beowulf, lautan disebut sebagai "jalan angsa") dan litotes, sebuah eufemisme dramatis yang dipakai oleh sang penulis untuk mendapatkan efek dramatis.

Secara kasar, bait-bait puisi Inggris Kuno dibagi oleh sebuah jeda pada bagian tengah; jeda ini disebut caesura. Setiap paruh bait memiliki dua suku kata yang mendapatkan tekanan. Suku kata pertama yang mendapatkan tekanan pada paruh bait kedua harus beraliterasi dengan satu atau kedua suku kata yang mendapatkan tekanan pada paruh pertama bait (artinya tentu saja, ialah bahwa suku kata yang mendapatkan tekanan pada paruh pertama bisa beraliterasi satu sama lain). Suku kata kedua yang mendapatkan tekanan tidak boleh beraliterasi baik suku kata yang mendapat tekanan manapun pada paruh pertama.

fyrene fremman feond on helle.
("untuk melestarikan sengsara, musuh neraka.")

-- Beowulf, baris 101

Puisi Inggris Kuno merupakan sebuah kesenian lisan, dan pengertian kita daripadanya dalam bentuk tulisan tidaklah lengkap; sebagai contoh, kita mengetahui bahwa sang penyair (dirujuk sebagai sang Scop) bisa saja diiringi dengan sebuah harpa, dan kemungkinan ada tradisi lisan lainnya yang tidak kita ketahui.

Puisi mewakili jumlah terkecil sastra Inggris Kuno yang terlestarikan, tetapi budaya Inggris Kuno memiliki tradisi narasi lisan kaya, di mana bentuk tertulisnya yang terlestarikan sangatlah sedikit.
[sunting] Para penyair

Kebanyakan penyair Inggris Kuno tidak dikenal namanya; duabelas di antara mereka dikenal berkat sumber-sumber dari Abad Pertengahan, tetapi hanya empat yang bisa dikenali cukup pasti berkat karya mereka dalam bahasa rakyat semasa: Caedmon, Bede, Alfred, dan Cynewulf. Dari mereka hanya Caedmon, Bede, dan Alfred yang memiliki biografi yang dikenal.

Caedmon adalah yang paling dikenal dan dianggap Bapak puisi Inggris Kuno. Ia hidup di biara Whitby di Northumbria pada abad ke-7. Hanya ada satu puisi sembilan baris yang masih terlestarikan, dan disebut Himne Caedmon. Teks ini juga merupakan tulisan tertua dalam bahasa Inggris:

Nu scylun hergan hefaenricaes uard
metudæs maecti end his modgidanc
uerc uuldurfadur sue he uundra gihuaes
eci dryctin or astelidæ
he aerist scop aelda barnum
heben til hrofe haleg scepen.
tha middungeard moncynnæs uard
eci dryctin æfter tiadæ
firum foldu frea allmectig

Terjemahan
Maka marilah kita sekarang memuja Penjaga Kerajaan Sorgawi
kekuasaan Sang Pencipta dan daya pikirNya,
karya Bapa yang Jaya, bagaimana Beliau, Tuhan abadi
mendirikan permulaan setiap mukjizat.
Bagi anak manusia, Beliau, Sang Pencipta Suci
pertama membuat sorga sebagai atap, lalu
Penjaga umat manusia, Tuhan abadi
Tuhan Yang Mahakuasa kemudian membuat madyapada
bumi, bagi manusia.

--(Caedmon, Himne, St Petersburg Bede)

Aldhelm, uskup Sherborne (meninggal 709), diketahui dari William dari Malmesbury yang mengatakan ia mementaskan langu-lagu duniawi sementara diiringi dengan sebuah harpa. Banyak karya prosanya dalam bahasa Latin yang terlestarikan, tetapi tidak ada satu-satupun karyanya dalam bahasa Inggris Kuno yang masih ada.

Cynewulf telah terbukti merupakan seseorang yang sangat sulit diidentifikasikan, tetapi penelitian terkini memberi kesan bahwa ia berasal dari awal abad ke-9 di mana beberapa puisi bisa diatribusikan kepadanya termasuk Nasib Para Rasul dan Elene (dua-duanya ada di Buku Vercelli), dan Christ II dan Juliana (dua-duanya ada di Buku Exeter)
[sunting] Puisi kepahlawanan
Halaman pertama Beowulf, seperti dimuat pada Kodeks Nowell yang rusak.

Puisi atau sajak Inggris Kuno telah menerima perhatian terbesar, berkisar mengenai masa lampau bangsa Jermanik yang heroik. Yang terpanjang (dengan 3.182 baris), dan terpenting adalah Beowulf, yang terdapat pada Kodeks Nowell. Puisi ini menceritakan kisah seorang pahlawan Geat yang bernama Beowulf. Tokoh ini juga merupakan judul puisi ini. Setting cerita adalah Skandinavia, di Swedia dan Denmark. Cerita ini kelihatannya memiliki asal-usul Skandinavia. Genre kisah cerita digolongkan pada genre biografi dan merupakan trendsetter dari puisi Inggris Kuno lainnya. Puisi ini mencapai status wiracarita nasional pada tingkatan yang sama seperti Iliad, dan sangat penting bagi sejarawan, antropolog, kritik sastrawan, dan para peneliti di mahasiswa dunia.

Selain Beowulf, ada pula puisi-puisi kepahlawan yang lain. Dua puisi kepahlawan yang terlestarikan dalam beberapa fragmen adalah: Fragmen Finnsburg, sebuah pengkisahan ulang dari salah sebuah adegan pertempuran di dalam Beowulf (meski hubungannya dengan Beowulf masih banyak dipertentangkan), dan Waldere, sebuah versi kejadian-kejadian kehidupan Walter dari Aquitaine. Dua puisi lainnya yang menyinggung tokoh-tokoh heroik lainnya adalah: Widsith yang diyakini sangat tua pada beberapa bagiannya dan berasal dari peristiwa yang terjadi pada abad ke-4 menyangkut Ermanaric dan kaum Gotik, dan memuat senarai nama-nama pribadi dan tempat yang dihubungkan dengan karya-karya kepahlawanan. Deor adalah sebuah puisi liris yang memakai gaya Penghiburan filsafat, dan memakai contoh beberapa pahlawan ternama, termasuk Weyland dan Eormaric, menurut setting kisah yang empunya cerita sendiri.

Kronik Anglo-Saxon memuat beberapa puisi heroik yang berbeda-beda dan disisipkan. Yang paling awal dari tahun 937 disebut Pertempuran Brunanburh, yang mengenang kemenangan Raja Athelstan atas bangsa Skotlandia dan Norwegia. Ada lima puisi yang agak pendek: penaklukkan Five Boroughs (942); pentahbisan Raja Edgar (973); wafat Raja Edgar (975); wafat Pangeran Alfred (1036); dan wafatnya Raja Edward sang Pengaku (1065).

Puisi berbaris 325 yang berjudul Pertempuran Maldon mengenang Earl Byrhtnoth dan orang-orangnya yang gugur pada sebuah pertempuran melawan orang-orang Viking pada tahun 991. Puisi ini dianggap sebagai salah satu yang terbaik, walau baik awal dan akhirnya tidak ada dan satu-satunya manuskrip yang mengandungnya hilang dilalap api pada tahun 1731. Sebuah pidato yang terkenal terdapat pada akhir puisi ini:

Hige sceal þe heardra, heorte þe cenre,
mod sceal þe mare, þe ure mægen lytlað.
Her lið ure ealdor eall forheawen,

god on greote. A mæg gnornian
se ðe nu fram þis wigplegan wendan þenceð.
Ic eom frod feores; fram ic ne wille,
ac ic me be healfe minum hlaforde,
be swa leofan men, licgan þence.

Thought shall be the harder, the heart the keener, courage the greater, as our strength lessens.
Here lies our leader all cut down, the valiant man in the dust;
always may he mourn who now thinks to turn away from this warplay.
I am old, I will not go away, but I plan to lie down by the side of my lord, by the man so dearly loved.

-- (Battle of Maldon)

Puisi heroik Inggris Kuno terlestarikan secara lisan dari generasi ke generasi. Dengan munculnya agama Kristen, maka para penyalin sering kali mengadaptasi cerita-cerita Kekristenan pada cerita-cerita heroik yang lebih tua.
[sunting] Puisi elegi

Berhubungan dengan cerita-cerita heroik adalah sejumlah puisi pendek dari Buku Exeter yang diperikan sebagai "elegi"[1] atau "puisi kebijaksanaan"[2][3]. Puisi-puisi ini bersifat liris dan Boethian dalam deskripsi mereka tentang keberuntungan dan kemalangan dalam kehidupan. Yang bersuasana gelap adalah The Ruin ("Reruntuhan"), yang menceritakan kebobrokan sebuah kota Romawi di Britania yang pernah jaya (kota-kota di Britania jatuh rusak setelah ditinggalkan oleh orang-orang Romawi pada awal abad ke-5, sementara orang-orang Inggris awal melanjutkan kehidupan pertanian mereka), dan The Wanderer ("Sang Pengembara"). Dalam puisi terakhir ini seorang tua menceritakan sebuah serangan yang dialaminya ketika masih muda, di mana teman-teman dekat dan kerabatnya dibunuh semua. Kenangan akan pembunuhan dan pembantaian ini tetap berada padanya seumur hidupnya. Ia mempertanyakan kebijaksanaan dari sebuah keputusan impulsif untuk melawan sebuah pasukan yang lebih kuat: orang yang bijak ikut berperang untuk "melestarikan" masyarakat sipil, dan tidak boleh tergesa-gesa untuk maju berperang tetapi harus mencari sekutu jika dalam keadaan buruk. Sang penyair tidak dapat mengagungkan keberanian hanya untuk keberanian saja. The Seafarer ("Sang Pelaut") adalah cerita seseorang yang terbuang secara menyedihkan dari rumahnya dan harus tinggal di laut. Satu-satunya harapan untuk bebas adalah kebahagiaan sorgawi. Beberapa elegi lainnya termasuk Wulf and Eadwacer ("Wulf dan Eadwacer"), The Wife's Lament ("Ratapan Sang Istri"), dan The Husband's Message ("Pesan Sang Suami"). Raja Alfred yang Agung juga menulis puisi tentang keadaan pemerintahannya yang didasarkan secara bebas pada filsafat neoplatonik Boethius dan disebut sebagai Lays of Boethius ("Puisi Lagu Boethius").
[sunting] Puisi Klasik dan Latin

Beberapa puisi Inggris Kuno merupakan adaptasi dari teks-teks filsafat Zaman Klasik Akhir. Yang terpanjang adalah sebuah terjemahan abad ke-9 dari teks Boethius berjudulkan Consolation of Philosophy yang terdapatkan di dalam manuskrip Cotton. Yang lain adalah The Phoenix di dalam Buku Exeter, sebuah alegorisasi De ave phoenice oleh Lactantius.

Beberapa puisi pendek lainnya diturunkan dari tradisi bestiarum (ensiklopedi kehewanan) Latin. Beberapa contoh termasuk The Panther, The Whale dan The Partridge.
[sunting] Puisi Kekristenan
[sunting] Kehidupan orang suci

Buku Vercelli dan Buku Exeter memuat empat puisi naratif panjang tentang kehidupan santo dan santa atau hagiografi. Dalam buku Vercelli ini adalah Andreas dan Elene. Sementara dalam Exeter puisinya adalah Guthlac dan Juliana.

Andreas panjangnya adalah 1.722 baris dan yang terdekat dari puisi Inggris Kuno ke Beowulf dalam gaya dan nadanya. Ini adalah cerita Santo Andreas dan perjalannya dalam menyelamatkan Santo Matius dari kaum Mermedonia. Elena adalah cerita dari Santa Helena (ibu dari Kaisar Konstantin I) dan penemuannya akan Salib Sejati. Kultus Salib Sejati termasuk populer dalam budaya Anglo-Saxon di Inggris dan puisi ini ikut mempopulerkannya.

Guthlac sebenarnya adalah dua puisi tentang Santo Guthlac dari Inggris (abad ke-7). Juliana adalah cerita seorang martir perawan Juliana dari Nikomedia.
[sunting] Terjemahan Alkitab

Manuskrip Junius memuat tiga terjemahan teks-teks Perjanjian Lama. Ini merupakan penulisan ulang beberapa fragmen Alkitab dalam bahasa Inggris Kuno, bukan terjemahan secara harafiah, namun parafrasa, kadangkala dibuat menjadi puisi indah yang bisa dinikmati secara mandiri. Yang pertama dan yang terpanjang adalah Kitab Kejadian. Yang kedua adalah Kitab Keluaran. Dan yang ketiga adalah Kitab Daniel.

Kodeks Nowell memuat sebuah parafrasa puitis Alkitab yang terbit setelah Beowulf, dan disebut Judith, sebuah penceritaan ulang kisah Yudit. Namun jangan kaburkan puisi ini dengan homili Judith oleh Aelfric, yang menceritakan cerita yang sama dari Alkitab dalam bentuk prosa aliterasi.

Psalter kitab Mazmur 51-150 juga terlestarikan, mengikuti sebuah versi prosa 50 bait Mazmur pertama. Dipercayai bahwa pernah ada psalter lengkap berdasarkan bukti ini, namun hanya 150 pertama yang selamat.

Ada beberapa terjemahan dalam bentuk puisi dari Gloria in Excelsis Deo, Doa Bapa Kami, dan Pengakuan Iman Rasuli (Doa Syahadat Singkat). Selain itu ada pula sejumlah himne dan peribahasa.
[sunting] Puisi Kristen

Ditambahkan pada parafrasa Alkitab ada pula beberapa puisi religius asli, biasanya bersifat liris dan non-naratif.

Buku Exeter memuat sejumlah puisi yang berjudul Christ, dan dibagi menjadi Christ I, Christ II dan Christ III.

Yang dianggap salah satu puisi terindah Inggris Kuno adalah Dream of the Rood, yang termuat dalam Buku Vercelli. Ini merupakan salah satu wahyu mimpi tentang Kristus pada salib, dengan si salib yang dipersonifikasikan berbicara:

"Feala ic on þam beorge gebiden hæbbe wraðra wyrda. Geseah ic weruda god þearle þenian. þystro hæfdon bewrigen mid wolcnum wealdendes hræw, scirne sciman, sceadu forðeode, wann under wolcnum. Weop eal gesceaft, cwiðdon cyninges fyll. Crist wæs on rode."

-- (Dream of the Rood)

"Aku mengalami kesengsaraan di atas bukit itu. Aku melihat Tuhan para tamu melentangkan kekejaman. Kegelapan telah menutupi badan Tuhan, terang bersinar, dengan awan. Sebuah bayangan bergerak, gelap di bawah langit. Semua makhluk menangis, meratapi kematian sang raja. Kristus ada di salib."

Sang pemimpi bertekad untuk mempercayai salib, dan impian ini berakhir dengan wahyu akan sorga.

Ada pula sejumlah perdebatan religius dalam bentuk puisi. Yang terpanjang adalah Christ and Satan ("Kristus dan Setan") dalam naskah Junius. Puisi ini menceritakan konflik antara Kristus dan Iblis pada masa empatpuluh di gurun pasir. Puisi sejenis lainnya adalah Solomon and Saturn ("Salomo dan Saturnus"), yang terlestarikan pada sejumlah fragmen tekstual, Saturnus digambarkan sebagai seorang ahli majus yang berdebat dengan Raja Salomo yang bijaksana.
[sunting] Puisi lainnya

Puisi dalam bentuk-bentuk lain ada pula dalam sastra Inggris Kuno termasuk teka-teki, syair pendek, gnome, dan puisi mnemonik untuk menghafalkan daftar-daftar nama.

Buku Exeter memiliki koleksi 95 teka-teki. Jawabannya tidak diberikan, beberapa di antaranya masih merupakan teka-teki sampai sekarang dan beberapa jawaban tidak senonoh.

Lalu ada pula sajak-sajak pendek yang ditulis di pinggir-pinggir manuskrip yang memberikan nasihat praktis. Ada solusi untuk hilangnya ternak, bagaimana menangani kelahiran yang terlambat, segerombolan tawon dan sebagainya. Yang terpanjang diberi nama Nine Herbs Charm ("Jimat Sembilan Obat") dan mungkin memiliki asal pagan.

Ada sekelompok puisi mnemonik yang dirancang untuk menghafal daftar dan senarai nama-nama dan untuk menjaga benda-benda pada urutan yang benar. Puisi-puisi ini disebut Menologium, The Fates of the Apostles ("Nasib para Rasul"), The Rune Poem ("Puisi tentang Runa"), The Seasons for Fasting ("Masa-masa Puasa"), dan Instructions for Christians ("Pengajaran bagi Orang-orang Kristen").
[sunting] Ciri-ciri khas puisi Inggris Kuno
[sunting] Simile dan metafora

Puisi Inggris Kuno memiliki ciri bahwa dalam tipe ini secara relatif tidak banya simile. Ini merupakan ciri khas gaya penulisan puisi Inggris Kuno dan merupakan akibat dari baik strukturnya, maupun kecepatan di mana lukisan-lukisan diterapkan dan dengan ini tidak bisa untuk secara efektif mendukung majas simile yang luas. Sebagai contoh, wiracarita Beowulf memuat paling banyak lima simile, dan semuanya dalam bentuk pendek. Di sisi lain hal ini sungguh bertolak belakang dengan ketergantungan puisi Inggris Kuno terhadap penggunaan metafora, terutama yang dicapai dengan penggunaan kennings. Contoh yang paling menonjol terdapat di The Wanderer di mana sebuah pertempuran dirujuk sebagai "badai tombak".[4]. Cara perujukan terhadap pertempuran seperti ini memberi kita kesempatan untuk melihat bagaimana orang Inggris Kuno memandang sebuah pertempuran: sebagai tak terduga, kacau, kejam, dan mungkijn bahkan merupakan sebuah tugas dari alam. Dengan unsur-unsur gaya dan tematik inilah seseorang harus menghadapi puisi Inggris Kuno.
[sunting] Aliterasi

Puisi Inggris Kuno secara tradisional beraliterasi. Artinya ialah bahwa bunyi-bunyi (biasanya konsonan pada posisi awal) diulang-ulang pada baris yang sama. Sebagai contoh di Beowulf terdapatkan pada baris weras on wil-siþ wudu bundenne[5] "seseorang pada perjalanan yang diinginkan menuju ke kapal", kebanyakan kata-kata beraliterasi pada konsonan "w". Bentuk aliterasi ini sungguh tersebar luas dan penting sehingga pada baris Beowulf yang baru dikutip ini, kemungkinan sang penyair bermula menggunakan kata wil-siþ ("perjalanan yang diinginkan" gagasan terpenting baris ini) dan lalu meletakkan kata-kata lainnya di baris ini yang beraliterasi dengannya. Sungguh pentinglah aliterasi sehingga hal inilah yang menjadi esensi baris secara keseluruhan. Hal ini bukanlah sesuatu hal yang aneh pada studi tradisi lisan pada transkripsi.
[sunting] Jeda

Puisi Inggris Kuno juga memiliki ciri khas adanya pembagian baris berupa jeda Jerman (caesura). Selain menambah tempo setiap baris, jeda ini juga mengelompokkan setiap baris menjadi dua kuplet.
[sunting] Elaborasi

Puisi Inggris Kuno memiliki gaya dramatis tempo yang cepat, dan dengan ini cenderung tidak terpengaruh oleh hiasan luas yang bisa, katakan, ditemukan pada sastra Keltik pada masa yang sama.

Di mana seorang penyair Keltik kontemporer bisa menggunakan 3 atau 4 simile, seorang penyair Inggris Kuno bisa saja hanya memasukkan sebuah kenning saja sebelum dengan cepat melanjutkan alur cerita.
[sunting] Prosa Inggris Kuno

Jumlah karya prosa Inggris Kuno yang terlestarikan jauh lebih besar daripada jumlah puisi. Dari karya prosa yang terlestarikan, sebagian besar merupakan khotbah dan terjemahan dari karya agama dalam bahasa Latin. Prosa Inggris Kuno pertama muncul pada abad ke-9, dan berlanjut disalin sampai ke abad ke-12.
[sunting] Prosa Kristen

Penulis Inggris Kuno yang paling dikenal luas adalah Raja Alfred, yang menterjemahkan banyak buku dari bahasa Latin ke bahasa Inggris Kuno. Terjemahan ini termasuk: The Pastoral Care karya Gregorius Agung, sebuah buku pedoman bagi para pastor tentang bagaimana mereka harus bertindak melaksanakan kewajiban mereka; The Consolation of Philosophy oleh Boethius; dan The Soliloquies karya Santo Agustinus. Alfred juga bertanggung jawab untuk menerjemahkan 50 Mazmur ke dalam bahasa Inggris Kuno. Banyak terjemahan penting Inggris Kuno lainnya diselesaikan oleh mitra-mitra Alfred termasuk: The History of the World oleh Orosius, sebuah karya untuk mengiringi The City of God karya Agustinus dari Hippo; Dialog Gregorius Agung; dan Ecclesiastical History of the English People oleh Bede.

Ælfric dari Eynsham, menulis pada abad ke-10 akhir dan abad ke-11 awal. Ialah yang paling besar dan paling aktif sebagai penulis khotbah Inggris Kuno, yang disalin dan disesuaikan terus untuk digunakan sampai ke abad ke-13. Ia juga menulis sejumlah riwayat hidup orang suci, sebuah karya Inggris Kuno mengenai penghitungan waktu, surat-surat pastoral, terjemahan enam kitab pertama Alkitab, terjemahan antarbaris dan terjemahan bagian-bagian lainnya dari Alkitab termasuk Kitab Amsal, Kitab Kebijaksanaan, dan Kitab Yesus bin Sirakh.

Terdapat pada kategori yang sama seperti Aelfric, dan orang semasa adalah Wulfstan II, uskup agung York. Khotbah-khotbahnya sungguh stilistik. Karyanya yang paling ternama adalah Sermo Lupi ad Anglos di mana ia menyalahkan dosa-dosa orang Britania sehingga sampai diinvasi orang Viking. Ia juga menulis sejumlah teks-teks hukum kerohanian Institutes of Polity dan Canons of Edgar.

Salah satu teks tertua Inggris Kuno dalam bentuk prosa adalah Martyrology, informasi mengenai orang suci dan martir menurut hari lahir mereka dan hari raya dalam kalender gerejawi. Teks ini terlestarikan pada enam fragmen. Diyakini teks ini berasal dari abad ke-9 oleh seorang penulis Mercia anonim.

Kumpulan tertua khotbah gerejawi adalah Homili Blickling dalam Buku Vercelli dan berasal dari abad ke-10.

Terdapat sejumlah riwayat hidup orang suci dalam karya prosa. Selain yang ditulis oleh Aelfric terdapat pula karya prosa mengenai riwayat hidup Santao Guthlac (Buku Vercelli), riwayat hidup Santa Margaret dan riwayat hidup Santo Chad. Selain itu ada empat riwayat hidup di manuskrip Julius: Tujuh Orang Tidur dari Efesus, Santa Maria dari Mesir, Santo Eustacius, dan Santo Euphrosynus.

Lalu terdapat banyak terjemahan Inggris Kuno dari banyak bagian Alkitab. Aelfric menterjemahkan enam kitab pertama (Hexateuch). Kemudian ada pula terjemahan Injil. Yang paling populer adalah Injil Nikodemus, yang lain termasuk Injil Pseudo-Matius, Vindicta salvatoris, Wahyu Santo Paulus dan Wahyu Thomas"[6].

Salah satu korpus terbesar teks Inggris Kuno terdapat pada teks-teks hukum yang dikumpulkan dan diselamatkan oleh rumah-rumah ibadah. Teks-teks ini termasuk bermacam-macam jenis: catatan tentang sumbangan kaum bangsawan, surat wasiat, dokumen emansipasi, daftar buku-buku dan relikwi, risalah sidang pengadilan, dan peraturan berserikat. Semua teks-teks ini menyajikan informasi berharga mengenai sejarah sosial masa Inggris Kuno, namun mereka juga memiliki nilai kesusastraan. Sebagai contoh, beberapa kasus persidangan menarik dilihat dari sudut pandang penggunaan retorikanya.
[sunting] Prosa sekuler

Kronik Anglo-Saxon kemungkinan dimulai pada masa Raja Alfred dan berlanjut lebih dari 300 tahun sebagai catatan historis mengenai sejarah Anglo-Saxon.

Sebuah contoh tunggal roman (cerita hikayat) klasik terlestarikan, ini merupakan sebuah fragmen dari terjemahan Latin Apollonius dari Tyana oleh Philostratus (220 Masehi), dari abad ke-11.

Seorang biarawan yang menulis dalam bahasa Inggris Kuno pada masa yang sama seperti Aelfric dan Wulfstan adalah Byrhtferth dari Ramsey, di mana buku-bukunya Handboc dan Manual merupakan makalah matematika dan retorika.

Aelfric juga menulis dua karya neo-sains, Hexameron dan Interrogationes Sigewulfi, yang membicarakan cerita Penciptaan. Ia juga menulis sebuah tatabahasa dan glosarium dalam bahasa Inggris Kuno yang disebut Latin, yang kemudian dipakai oleh para peneliti yang tertarik untuk mempelajarai bahasa Perancis Kuno karena karya ini diberi terjemahan antarbaris dalam bahasa Perancis Kuno.

Lalu banyak pula pedoman dan penghitungan dalam menemukan hari-hari raya, dan tabel mengenai penghitungan pasang-surut dan musim bulan.

Dalam Kodeks Nowell terdapat teks The Wonders of the East yang juga memuat sebuah peta dunia luar biasa, dan ilustrasi lain-lainnya. Selain itu kodeks yang sama juga memuat Alexander's Letter to Aristotle. Karena ini merupakan manuskrip yang sama yang memuat Beowulf, beberapa pakar berspekulasi bahwa kemungkinan manuskrip ini merupakan kumpulan material mengenai tempat-tempat dan makhluk-makhluk eksotis.

Terdapat sejumlah karya medis menarik. Ada sebuah terjemahan Herbarium Apuleius dengan ilustrasi menarik dan ditemukan bersama dengan Medicina de Quadrupedibus. Koleksi teks-teks kedua adalah Bald's Leechbook, sebuah buku dari abad ke-10 yang memuat pengobatan herbal dan bahkan beberapa pengobatan operasi. Koleksi ketiga dikenal sebagai Lacnunga, yang berdasarkan mantra, nyanyian magis, dan ilmu putih.

Teks-teks hukum Inggris Kuno merupakan bagian yang besar dan penting dari korpus ini. Menjelang abad ke-12, mereka telah ditata menjadi dua koleksi besar (lihat Textus Roffensis). Mereka termasuk hukum raja-raja, bermula dengan mereka yang berasal dari Aethelbert dari Kent, dan teks-teks mengenai hal-hal dan tempat-tempat tertentu di dalam negeri. Sebuah contoh menarik adalah Gerefa yang menggarisbawahi kewajiban seorang reeve pada sebuah kompleks rumah bangsawan besar. Lalu ada pula sebuah jilid besar dokumen-dokumen hukum yang berhubungan dengan rumah-rumah ibadah.
[sunting] Historiografi
J.R.R. Tolkien dahulu adalah seorang pakar sastra Inggris Kuno yang berpengaruh.

Sastra Inggris Kuno tidak musnah dengan Penaklukkan Norman pada tahun 1066. Banyak khotbah dan karya-karya lainnya tetap dibaca dan dipakai secara sebagian atau keseluruhan sampai ke abad ke-14, dan kemudian dikatalogisasikan dan ditata lebih lanjut. Semasa Reformasi, ketika biara-biara dibubarkan dan koleksi perpustakaannya tersebar, manuskrip-manuskrip ini dikoleksi oleh para penjual buku bekas dan kaum ilmuwan. Termasuk golongan ini adalah Laurence Nowell, Matthew Parker, Robert Bruce Cotton dan Humfrey Wanley. Pada abad ke-17 mulailah tradisi perkamusan dan buku pedoman sastra Inggris Kuno. Yang pertama dikerjakan oleh William Somner dan berjudulkan Dictionarium Saxonico-Latino-Anglicum (1659). Ahli leksikografi Joseph Bosworth merintis sebuah kamus pada abad ke-19 yang diselesaikan oleh Thomas Northcote Toller pada tahun 1898 dan disebut An Anglo-Saxon Dictionary, yang dimutakhirkan oleh Alistair Campbell pada tahun 1972.

Karena bahasa Inggris Kuno merupakan salah satu bahasa rakyat pertama yang dituliskan, maka para pakar dari abad ke-19 yang mencari akar dari "budaya nasional" Eropa (lihat Nasionalisme Romantik) tertarik secara khusus terhadap sastra Inggris Kuno, dan bahasa Inggris Kuno menjadi bagian tetap kurikulum universitas. Semenjak Perang Dunia II, ada menambahnya ketertarikan terhadap manuskrip-manuskrip ini sendiri. Neil Ker, seorang ahli paleografi, menerbitkan Catalogue of Manuscripts Containing Anglo-Saxon yang mendobrak pada tahun 1957, dan menjelang tahun 1980 hampir semua manuskrip Inggris Kuno sudah diterbitkan. J.R.R. Tolkien mendapat nama sebagai seseorang yang menciptakan gerakan untuk melihat bahasa Inggris Kuno sebagai subyek daripada teori kesastraan dalam makalah seminalnya Beowulf: The Monsters and the Critics (1936).

Sastra Inggris Kuno memiliki pengaruh besar terhadap sastra modern. Beberapa terjemahan terkenal termasuk terjemahan William Morris dari Beowulf dan terjemahan Ezra Pound dari The Seafarer. Pengaruh puisi bisa dilihat pada puisi modern T. S. Eliot, Ezra Pound dan W. H. Auden. Banyak bahan cerita dan peristilahan puisi heroik bisa ditemukan di The Hobbit, The Lord of the Rings dan banyak lainnya.
[sunting] Catatan kaki

1. ^ elegies
2. ^ Angus Cameron (1983). "Anglo-Saxon literature" in Dictionary of the Middle Ages, v.1, pp.280-281
3. ^ Carl Woodring (1995). The Columbia Anthology of British Poetry. Page 1
4. ^ "The Wanderer baris 99"
5. ^ Alexander, Michael, ed. Beowulf: A Glossed Text. London: Penguin Books, 1995. (ln. 216)
6. ^ Cameron (1982). "Anglo-Saxon Literature". Dictionary of the Middle Ages. Volume 1. pg. 285

[sunting] Rujukan

* Joseph Bosworth (1889). An Anglo-Saxon Dictionary
* Alistair Campbell (1972). Englarged Addenda and Corrigenda
* Angus Cameron (1982). "Anglo-Saxon Literature". Dictionary of the Middle Ages. ISBN 0-684-16760-3

[sunting] Pranala luar

* (Inggris) Sebuah pengantar terhadap Manuskrip Inggris Kuno seminar online bebas oleh British Library.
* (Inggris) Anglo-Saxon Literature, dari The Columbia Encyclopedia, Edisi ke-enam. 2001
* (Inggris) Bibliografi Anglo-Saxon
* (Inggris) Sebuah kamus Inggris Kuno

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Inggris_Kuno"
Kategori: Sastra Ingris