6 April 2011

Suluk

Suluk, Warisan Kreativitas Para Wali

Nurfadhil Al-Alawi Al-Husaini

PARA wali di Jawa abad ke-15 dan 16 M telah lama dikenal bukan saja sebagai penyebar Islam yang gigih dan produktif, melainkan juga sebagai perintis dan pelopor berbagai kegiatan kreatif seni. Banyak khazanah budaya lokal berhasil ditransformasikan menjadi ekspresi baru, melalui cara yang halus, misalnya dengan mengubah wawasan estetikanya dan memasukkan pandangan dunia (world view) serta sistem nilai yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hasilnya dapat kita lihat dalam seni musik, perwayangan, sastra, dan seni rupa.

Dominasi arabesque (ragam hias tetumbuhan) yang sangat simbolis dalam ukiran dan batik Jawa; begitu pula pola garis dan kecenderungan pewarnaannya yang mirip dengan lukisan miniatur Persia abad ke-13 dan 14 M, menunjukkan besarnya pengaruh para wali, yang tidak lain adalah juga para sufi. Gamelan Jawa menjadi musik yang begitu kontemplatif setelah para wali menerapkan estetika sufi bagi penabuhan instrumennya, juga dengan menambahkan instrumen baru dari tradisi Islam Arab, yaitu rebab.

Gamelan Bali, yang mempertahankan estetika tantrik Hindu, tidak demikian halnya. Dalam tradisi sufi, fungsi utama musik sebagai tajarrud atau transendensi, yaitu pembebasan dari yang material melalui yang material itu sendiri; dan sebagai sarana tawajjud atau meditasi, yaitu pemusatan pikiran terhadap Yang Satu yang sekaligus adalah Yang Transenden. Dengan demikian, musik dapat membantu pendengarnya melakukan penyucian diri (thazkiya al-nafs) dan membebaskan keterikatannya dari kungkungan alam material.

Tetapi, yang jarang dikemukakan ialah peranan menonjol beberapa wali di Jawa dalam penulisan karya sastra. Khususnya dalam penulisan puisi bercorak tasawuf yang lazim disebut suluk, dari bahasa Arab, yang artinya ialah jalan kerohanian menuju pemahaman mendalam terhadap keesaan Tuhan (tawhid). Pemahaman atau pengenalan mendalam terhadap keesaan itu disebut ma’rifa. Oleh karena itu, dalam sastra Melayu, puisi-puisi suluk sering disebut sebagai syair tauhid dan makrifat.

Sayangnya, apabila ahli-ahli sejarah sastra Jawa berbicara tentang suluk, puisi sufistik atau mistikal, selalu yang menjadi perhatian adalah karya-karya abad ke-18 dan 19. Misalnya, Serat Cebolek karya Yasadipura II dan Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito. Namun, suluk-suluk para wali sangat sedikit yang membicarakan. Padahal, karya para wali bukan saja relevan bersamaan dengan maraknya kajian tasawuf dewasa ini, melainkan juga cukup melimpah dan tersimpan sebagai koleksi mati, khususnya di museum-museum Belanda dan Tanah Air.

Suluk, sebagai bentuk ekspresi sastra bernapas Islam, mulai ditulis di Jawa pada akhir abad ke-15 dan 16 M, bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan makin banyaknya orang Jawa memeluk agama Islam. Pentingnya suluk-suluk awal itu karena ia menggambarkan suasana zaman peralihan dari Hindu ke Islam, termasuk kesibukan para wali mengolah tradisi budaya lokal menjadi tradisi Islam Jawa.

Di antara wali yang paling prolifik dalam penulisan kreatif itu ialah Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang alias Ibrahim Asmarakandi (baca al-Samarkandi). Menurut Drewes, tidak kurang dari 20 suluk panjang dalam koleksi naskah Museum Perpustakaan Universitas Leiden dan Museum Jakarta (sekarang Perpustakaan Nasional) dapat diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau rekaman ajaran kerohanian sang wali yang sempat dicatat beberapa muridnya yang pandai.

Banyak yang penting dan relevan dari suluk-suluk Sunan Bonang, khususnya sebagai bahan renungan. Misalnya, uraian sang wali tentang cinta (‘isyq) (baik cinta sebagai metode ilmu pengetahuan maupun cinta sebagai cara mendekatkan diri kepada Yang Satu). Persoalan Ada dan Tiada, masalah keberadaan manusia, pengaruh pikiran dan kemauan terhadap perjalanan sejarah, makna keberadaan manusia di bumi, hakikat tauhid dan pentingnya pengetahuan tertinggi yang disebut makrifat bagi kebahagiaan seseorang, dan lain-lain.

Simaklah misalnya kisah Wujil, bekas aktor dan pelawak di istana Majapahit yang terpelajar, dalam sebuah suluknya. Setelah 10 tahun berguru kepada Sunan Bonang, dan mempelajari agama serta sastra Arab secara mendalam, dia akhirnya jemu dan merasa sia-sia. Jiwanya merasa kerontang dan gelisah, hatinya menjerit dan kebingungan. Suatu ketika, dia menghadap Sunan Bonang dan berkata:

Agama dan sastra Arab telah saya pelajari Tetapi saya masih terus mencari-cari…

Uraian kesatuan huruf, dulu dan sekarang Tak berbeda. Musik masih digunakan Bahasa tetap bahasa, Saya meninggalkan Majapahit dan semua yang dicintai Namun tak menemukan apa-apa sebagai penawar

Diam-diam saya pergi malam-malam Mencari rahasia Yang Satu Mencari jalan sempurna Semua pendeta, biksu dan ulama saya temui Agar terjumpa hakikat hidup, akhir kuasa sejati Ujung utara selatan, tempat matahari dan bulan terbenam Akhir mata tertutup dan inti maut akhir ada dan tiada

Tidak tega melihat penderitaan batin muridnya, Sunan Bonang dengan terpaksa mengajarkan tasawuf, khususnya jalan mengenal hakikat diri yang merupakan sumber kebahagiaan. Selain Suluk Wujil, banyak lagi karya Sunan Bonang yang relevan. Di antaranya ialah Suluk Khalifah, Suluk Bentur, Suluk Jebeng, dan Gita Suluk Ing Aewuh.

Dalam Suluk Khalifah, Sunan Bonang menceritakan anekdot para wali di Jawa, pengalaman mereka mengajar Islam kepada orang Hindu, dan juga pengalamannya selama belajar di Pasai.

Suluk Bentur ditulis dalam tembang wirangrong. Bentur artinya lengkap atau sempurna. Dalam suluk ini, Sunan Bonang menggambarkan jalan yang ditempuh para sufi sehingga mencapai kesadaran tertinggi, yaitu makrifat dan persatuan mistikal (fana, dan baqo). Garam jatuh ke dalam laut dan lenyap, tetapi tidak dapat dikatakan menjadi laut. Demikian pula manusia yang mencapai persatuan mistik, tidak dapat menjadi Tuhan. Persatuan mistikal yang tertinggi disebut fana’ruh idafi, yaitu keadaan hati yang dapat menyaksikan peralihan bentuk lahir dan fenomena menjadi wujud spiritual. Dalam keadaan demikian, kesadaran intuitif menguasai hati seseorang, dan dengan demikian penglihatan tentang keesaan terhadap Tuhan menjadi sempurna.

Suluk Jebeng ditulis dalam pupuh dandanggula. Dimulai dengan pembicaraan mengenai wujud manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi dan uraian bahwa manusia merupakan gambaran-Nya. Menurut Sunan Bonang, ”Puncak ilmu yang sempurna seperti api berkobar. Yang tampak hanya bara dan nyalanya, kilatan cahaya dan asap yang menyeliputinya.” Untuk mengetahui hakikat keberadaan, ”Kenali apa yang ada sebelum api menyala dan apa yang tinggal sesudah api padam.” Inilah perkataan Sunan Bonang yang relevan dalam suluk ini: ”Jangan meninggalkan diri, berlindunglah kepada-Nya/ Ketahui, tempat tinggal jasad yang sebenarnya ialah ruh/ Jangan bertanya/ Jangan memuja nabi dan wali/ Jangan kau mengaku Tuhan/ Jangan mengira tak ada padahal ada/Baik diam/ Jangan diguncang kebingungan.”

Suluk Regol ditulis dalam pupuh asmaradana. Regol artinya gapura, bentuknya menyerupai gabungan kata la (tidak) dan lam dalam ayat ”lam yalid wa lam yulad” (tidak beranak dan tidak diperanakkan) Surat al-Ikhlas. Kata lam diumpamakan sebagai gapura yang menghalangi sesuatu yang ada di belakangnya. Dalam suluk ini, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia diumpamakan sebagai pertunjukan wayang kulit, yang dilihat dari berbagai sudut. Ada yang melihat sebagai permainan yang dilakukan Ki Dalang namun menganggap antara permainan dan yang memainkan terpisah. Ada yang melihat antara Ki Dalang dan lakon yang dimainkan tidak terpisah, bahkan melihat bahwa Ki Dalang benar-benar hadir dalam lakon yang dimainkannya. Yang lain lagi melihat bahwa pertunjukan wayang sebenarnya mencerminkan dan mengisyaratkan keberadaan Dalang.

Telah dikemukakan bahwa gagasan utama suluk-suluk Sunan Bonang ialah cinta. Menurut para sufi, cinta merupakan asas penciptaan dan apa yang berasal dari cinta itu baik. Para sufi mengambil gagasan ini dari hadis qudsi, ”Aku perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfiy), Aku cinta (ahbabtu) untuk dikenal maka Aku mencipta dan karena itu dikenal.” Para sufi juga merujuk kepada kalimat Bismilahirrahmannirrahim. Dalam kalimat ini ada dua jenis cinta, yaitu, al-rahman (pengasih) dan al-rahim (penyayang). Rahman adalah cinta yang esensial (dzatiyah) sebab dilimpahkan kepada semua ciptaannya, tak peduli orang Melayu, Cina, Jawa, Inggris, Afghanistan, atau Libya. Sedangkan rahim merupakan cinta wujud, artinya wajib diberikan kepada orang-orang tertentu yang sangat dicintai oleh-Nya.

Menurut Sunan Bonang, kerusakan di dunia akan merajalela apabila cinta telah lenyap. Di sini cinta sering diidentikkan dengan iman, pengetahuan intuitif, dan dorongan kuat terhadap kebenaran tertinggi. Karena itu, Sunan Bonang berkata dalam Suluk Wujil, ”Jadikan dirimu cinta, agar dapat memandang dunia dengan terang…/Kerusakan di dunia ini muncul/ Karena amal perbuatanmu dan karena tiadanya cinta/ Yang harus dimiliki ialah yang tak dapat hancur/ Yakni cinta dan makrifat, pengetahuan sempurna.”

[Abdul Hadi W.M., Penyair, budayawan, dan dosen Universitas Paramadina]

http://ahmadsamantho.wordpress.com/2010/10/08/suluk-warisan-kreativitas-para-wali/#more-4347

Tidak ada komentar:

Posting Komentar