20 Agustus 2012

SUBLIM

SEBUAH karya yang indah bisa mengundang kekaguman, kesenangan, atau kepuasan. Sebuah karya yang sublim bisa membangkitkan kedahsyatan, keharuan, bahkan kegelisahan. Adapun yang sesungguhnya terjadi, tentu, bisa tak sesederhana itu.

Sublim. Kata ini lazim disebut untuk menyatakan sifat agung, tinggi, atau halus, pada suatu karya seni. Mungkin orang menghubungkannya dengan proses fisika ”menyublim”, yakni mengubah zat padat menjadi uap dan memadatkannya lagi demi mencapai kadar kemurnian yang lebih tinggi. Atau orang menautkannya dengan istilah ”sublimasi” dalam psikologi, yang berarti mengubah dorongan naluri yang dianggap primitif menjadi tindakan yang dapat diterima atau dihargai oleh masyarakat yang beradab. Malahan, ada kalanya kata ”sublim” dipertukarkan dengan ”subtil” yang memang berarti halus, lembut, atau cerdik, bijaksana. Barangkali kemiripan sejumlah besar unsur kedua kata itu telah mengecoh sejumlah orang.

Namun, kata (dan terutama pengertian) ”sublim” ternyata punya riwayat yang memang jauh dari sederhana. Inilah juga gagasan yang diam-diam hampir tak pernah melepaskan cekamannya atas dunia penciptaan. Berbeda dengan ”yang indah” yang pernah digugat lantaran dianggap banal dan mengelabui serta memalingkan orang dari pemandangan dunia yang timpang ”yang sublim” tampaknya tak pernah kehilangan daya pesonanya.

Traktat kuno berjudul Peri Hypsous (On the Sublime, Tentang yang Sublim) konon ditulis seorang sarjana bernama Longinus dari abad ketiga Masehi, namun belakangan dinyatakan berasal dari dua abad sebelumnya dan entah siapa penulisnya adalah pembuka pembicaraan tentang ”yang sublim”. Dalam risalah itu, ”sublim” (berasal dari terjemahan Latin atas kata Yunani hypsos, ”ketinggian, keluhuran”, yang kemudian diteruskan pemakaiannya dalam pelbagai bahasa lain) mengacu pada pencapaian literer lewat metafora yang melampaui batas-batas bahasa umum. Kepiawaian itu terbangun dari sejumlah anasir: keagungan pikiran, kekuatan imajinasi, gaya bahasa yang tepat, pemilihan dan penyusunan kata secara efektif, dan akhirnya penataan keseluruhan karya secara organik.

Hingga berabad-abad, terutama sejak Renaissance, risalah itu menjadi salah satu panduan utama penciptaan dan penilaian karya sastra di Eropa. Pada tahun 1711 penyair Inggris Alexander Pope, dalam sajaknya An Essay on Criticism, angkat tabik kepada tokoh yang di masa itu masih dianggap sebagai penulis naskah klasik tersebut: ”Thee, bold Longinus!” Hampir setengah abad kemudian, pada tahun 1757, terbitlah A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful karya Edmund Burke.

Dalam traktat itu, Burke membedakan antara yang sublim dan yang indah. ”Yang indah” tentu saja enak dan mudah dinikmati, menimbulkan rasa suka, memperlihatkan kehalusan, kelembutan, keluwesan, kegemilangan, bahkan kemungilan. Sedangkan ”yang sublim”, sebaliknya, berhubungan dengan kepedihan, kekelaman, kesunyian, bahaya, kedalaman, kekosongan, tetapi juga kemegahan, kemahaluasan, ketakterhinggaan. Dibanding ”yang indah”, bagi Burke ”yang sublim” jauh lebih mampu membangkitkan emosi terkuat yang ada dalam diri seseorang. Pandangan ini kemudian berpengaruh besar terhadap estetika romantisisme dan kelak terus mengalami metamorfosisnya melalui ekspresionisme, simbolisme, Dada, surealisme, dan pelbagai aliran avant-garde.

Tak lama setelah Burke, pada tahun 1764 Immanuel Kant menerbitkan risalahnya tentang ”yang indah dan yang sublim”. Ia menelaah kedua gejala itu secara terperinci, meski kadang agak berlebihan, seperti ketika ia memilah watak bangsa-bangsa ke dalam dua kelompok besar: sebagian cenderung kepada ”yang indah”, sebagian lain condong kepada ”yang sublim”. Yang jelas, bahkan lama setelah Kant, ihwal ”yang sublim” rupanya tak kunjung sirna. Dekonstruksi, misalnya, dengan ”gerak bebas penanda” yang menggulirkan kemungkinan tafsir yang tiada habisnya, juga mengilaskan ”yang sublim” di setiap momennya momen yang tak tertentu dan sekaligus menawarkan yang tak terhingga itu.

Sumber: Minggu, 05 Februari 2006

6 Maret 2012

Jalan mana yang akan kau pilih

Begitu mengagumkan semangat para pembela kebudayaan
Begitu mengagumkannya semangat kemanusiaan mereka yg begitu bergairah membela ilmu pengetahuan

Membayangkan kematian yg indah para pejalan seni
Membayangkan kematian yg indah para pejalan pedang
Membayangkan kematian yg indah para pejalan akal
Membayangkan kematian yg indah para pejalan agama

Yang lebih mengagumkan lagi
Membayangkan mereka yg telah mati di jalan tuhannya
Tuhan segala makhluk
Tuhan pencipta,pemberi rizqi
Penggerak,sekaligus pengendali

Jalan batin
jalan para wali
Jalan batin
Jalan para nabi

Juned Topan
06 maret 20012

1 Maret 2012

Pergulatan Iman Kang Marto

Oleh Lik Kopir

Melalui Koran Stanplat ini aku ingin bercerita kepadamu, tentang kehidupan Kang Marto, -seorang suami dari Sutinem, beranak delapan di umurnya yang ke 40 tahun. Keluarga Marto menjalani kehidupannya di sebuah dusun terpencil di Kecamatan Tretep. Suatu ketika Marto bertutur kepadaku tentang kehidupannya. Aku tuangkan cerita Marto dalam tulisan berikut ini:

Ia tak paham benar dengan kehidupan ini. Segalanya tiba-tiba ada. Bagi Marto, pengertian hidup adalah menjalani rutinitas. Makan-minum, tidur, kawin, silaturahmi, kerja bakti dan kerja mencari nafkah,-sebagai kewajiban panggilan hidup manusia. Marto hanya tahu ruang lingkup dunia yang sangat terbatas. Tretep, Parakan, Jumo, Ngadirejo, Temanggung. Sepanjang hidupnya ia tak pernah merantau. Paling jauh Marto pergi ke Magelang, Kendal dan Wonosobo. Tapi imanjinasi tentang kehidupan bak cakrawala, luas menghampar tak bertepi; penuh teka-teki dan misteri.

Kesadaran hidupnya dibangun oleh etos dan moralitas Jawa, lebih tepatnya tradisi Temanggungan. Marto percaya Tuhan, percaya kebenaran agama dan sedikit banyak percaya mitos dan klenik. Selera dan cita rasa seninya tertata oleh imajinasi rakyat jelata. Karena itu Marto lebih menyukai kuda lumping ketimbang tarian kraton,-keseniannya para priyayi feodal yang penuh aturan dan basa-basi. Baginya, kuda lumping adalah cermin kehidupan rakyat, liberalisme (kebebasan) gaya ndeso; makan beling, goyang liar sampai njengking. Kebebasan ekspresi tubuh adalah ciri khas tarian ini.

Bagi Marto, kuda lumping juga berarti desah nafas kehidupannya; kehidupan orang jelata yang rindu akan kesetaraan dan kebebasan. Kalau pentas kesenian lain butuh panggung, pentas kuda lumping hanya butuh tanah lapang. Penunggang kuda, pemusik maupun penonton duduk berdiri di alam bebas tanpa hirarki. Di sinilah kesetaraan sesama umat manusia menyatu dalam suasana suka cita.

Kesurupan adalah ekstase yang paling menganggumkan. Zaenal, seorang pemain kuda lumping asal Kandangan mengatakan; “rasane durung njaran nek durung nyurubi.” Seorang budayawan pernah berkata; “kesurupan adalah manifestasi paling liar sekaligus paling khusuk dari perjalanan liar kehidupan manusia.”

Asal tahu saja, kalau sudah kesurupan yang tak mungkin terjadi bisa terjadi. Mau bukti? Tiada mungkin dalam kondisi normal orang sanggup nguntal beling tanpa rasa sakit. Saat normal, tiada mungkin seseorang manjat pohon kelapa gaya munyuk berlari. Hanya melalui kesurupanlah semua itu terjadi.

Kesurupan sejenis ekstase, atau jazb (baca;jadzab)nya kaum sufi. Sebuah istilah dalam mistisisme untuk “ketertarikan terhadap Tuhan” yang dialami jiwa-jiwa tertentu. Secara khusus menunjukkan keadaan jiwa yang tidak normal bagi sang Majzub, pelakunya. Kalaujadzabnya para sufi bertujuan mencari kesejatian hubungan manusia dengan Tuhannya, maka ekstase para sufi “mahzab jaran kepang” tujuannya mencari kesejatian dalam hubungan sosial. Beda arahnya, tapi keduanya tetap memiliki bobot spritualitas.

Namanya Marto. Cukuplah kau panggil dia Marto! Jangan panggil dia Totok, Togog, apalagi Togel! Sebab Marto akan marah dan mengancam; “Nek de’e nyeluk aku nggo jeneng iku, tak pathak watu ndasmu!” Marto juga berpesan kepadaku; “hargailah diriku dengan nama pemberian orantuaku itu. Karena sebuah nama adalah sebuah identitas kehidupan pribadi seseorang. Gusti Allah pun senang dihargai dengan nama indah. Buktinya, Tuhan menyuruh hamba-Nya selalu berseru “dengan menyebut namaMU.”

Marto percaya bahwa Tuhan ada. Tapi kadang ia merasa aneh. Konon Tuhan maha baik dan bijak, tapi kenapa orang fakir miskin selalu tersia-siakan hidupnya? Kenapa banyak orang beramal saleh hidupnya tetap susah? Kenapa para pejabat-pejabat korup, gemar nyolong duit rakyat, nipu kanan, ngibul kiri selalu hidup makmur nan mulia?

Orang miskin seperti Marto untuk sekedar makan pun susahnya bukan kepalang. Akibatnya, anak-anak Marto kurang gizi, baju kotor tak pernah ganti. Pun demikian, Marto tak pernah mencuri. Ia nafkahi istri anaknya dari hasil jerih paya nguli bangunan, angkut kayu atau buruh macul.”Yang penting halal,”katanya.

Suatu malam ia khusuk berdoa, diiringi rengek tangis anak-anaknya yang tidurnya tak pernah nyenyak karena gigitan nyamuk;

“Tuhan, salah apa aku? kenapa rejeki berlimpah hanya Kau bagikan kepada orang-orang yang berada di lingkar kekuasaan? Selalu saja orang-orang itu bilang; kemiskinan adalah takdir. Benarkah Tuhanku? Kenapa Kau tidak takdirkan diriku sebagai orang kaya? Ah, Tuhanku. Aku tak percaya itu takdirmu, sebab Engkau telah memberikan amanat kepada para khalifahMu, para wakilMu yang duduk di kursi-kursi kekuasaan itu. Aku heran ya Tuhanku, para ulama sudah tak lagi menyerukan amar ma’ruf nahy munkar. Mereka tak berani melawan kekuasaan yang korup dan menindas rakyat. Mereka malah bangga menjadi corong kekuasaan.

Duh Gusti Allah. Empatpuluh tahun aku bekerja dan berdoa, tapi kehidupanku tak kunjung membaik. Sedangkan mereka para politisi itu, hanya modal bacot saat musim Pemilu kini hidup bergelimang harta! Saat kampanye mereka bilang akan membela kami. Sebulan kemudian campakkan kami. Saat pemilu mereka rajin ke desa-desa, kini mereka lebih suka ke kota-kota berbelanja dan berpesta. Aku mohon ya Tuhanku, berilah kutukan kepada para pejabat laknat itu. Oh, Tuhanku….”

Malam semakin larut. Doa-doa berhamburan menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Kentong subuh membuka mata Marto. Cerah pagi benar-benar menggairahkan Marto untuk bersiul dan menyanyi. Dan Marto pun pandai memilih lagu yang cocok dipersembahkan untuk para pejabat di negeri ini;

Menthok..menthok/tak kandani/mung rupamu, angisin-isi/mbok yo ojo ngetok/ono kandang wae/enak-enak ngorok, ora nyambut gawe/menthok…menthok.

(naskah ini pernah di muat di rubrik Asal Usil; media cetak Stanplat, edisi II Juli 2006)

7 Februari 2012

Penyair & Ayam (cerpen Saut Situmorang)

Kerajaan Cikeas gempar! Tiba-tiba saja muncul sajak-sajak subversif yang memfitnah ayam piaraan raja! Sajak-sajak itu ditulis jadi graffiti di seluruh tembok kotaraja termasuk tembok Istana sendiri!

Densus Anti Teroris pun segera dikerahkan untuk mencari & membunuh penyair sajak-sajak teror tersebut. Di seluruh media Cikeas, penulis misterius tersebut digambarkan sebagai "teroris Public Enemy No. 1".

Bertahun-tahun Densus memburunya tapi penyair tersebut selalu berhasil tak ditemukan, selalu berhasil melarikan diri.

Membuat namanya "Penyair Teroris" jadi keramat & suci, terutama bagi gadis-gadis ABG yang mengidolakannya. Namanya dibisikkan dengan takzim tapi mesra. Jadi berhala pubertas. Termasuk jadi tato di buah dada perawan mereka!

Suatu hari Densus akhirnya menemukan tempat persembunyiannya tapi si penyair ternyata sudah mati! Tak ada bekas-bekas kekerasan di tubuhnya.

Tempat persembunyiannya tersebut ternyata di Istana sendiri! Tepatnya di bagian belakang Istana. Sang Penyair Subversif Musuh Negara No. 1 itu ternyata tukang pelihara ayam Istana!

Berdasarkan catatan-harian yang ditemukan Densus di TKP, penyair yang berambut gimbal itu rupanya marah besar pada ayam-ayam Istana yang selalu mematuki gimbalnya tiap kali dia memberi mereka makan! Dia merasa tidak dihargai sama sekali! Dia jadi sangat benci pada ayam-ayam feodal tersebut!

Maka diputuskannya menulis sajak-sajak anti Fascisme Ayam Istana! Kemarahannya makin memuncak karena dia sendiri terpaksa harus makan telor ayam-ayam tersebut tiap paginya sebagai sarapannya! Karena gajinya dibayar pakek telor ayam-ayam keparat itu! Membuat perutnya mual, kepalanya pening berputar, gimbalnya makin rusak!

Karena sudah tak tahan lagi dengan kondisi hidupnya yang begitu tak puitis, plus diburu-buru Densus setiap hari, membuatnya akhirnya frustrasi. Putus asa.

Maka diputuskannya suatu hari untuk membuat "telor dadar pakek kecap" dari seluruh jumlah telor ayam yang ada di Istana. Lalu dimakannya semuanya!

Akhirnya dia mati "Overdosis telor, kecap & kemarahan", menurut laporan media Cikeas. Terkapar dengan sisa telor ayam raksasa di sampingnya.

Kematiannya terbongkar setelah ayam-ayam ribut kelaparan karena belum dikasih makan seharian. Malah ada yang sampai mati kelaparan. Membuat Istana kalang kabut & para pengawal kalut takut lalu mencari penyebab semuanya itu.

Di kamarnya yang sempit & bau telor ayam di samping kiri kandang ayam Istana, Densus menemukan tumpukan sajak-sajak anti ayam Istana yang ditulisnya. Dan kaleng-kaleng cat Pylox yang sudah kosong.

(Jogja, 1 Juni 2011)

6 Februari 2012

AANJING, KUCING DAN TIKUS

oleh Suko Rahadi pada 6 Februari 2012 pukul 16:11



Anjing (1)


waktu kecil dulu, saya pernah punya seekor anjing. uberi nama anjing itu pleki. Dia, anjingku itu, senang sekali kuberi nama itu. setiap kali kupanggil namanya, "plekiplekipleki...." maka dia akan serta merta berlari mendekat sembari menjulurjulurkan lidah, mengopatngapitkan ekor dan badannya bergoyang-goyang tiada henti. lalu jiika aku membawa sepotong roti, misalnya, maka dia akan segera berdiri dengan tumpuan dua kaki belakang sedang kaki depannya akan mengaisngais berkehendak untuk dapat meraih roti yang ada di tanganku. lidahnya tetap terjulur, mulut menganga mengharapkan roti itu aku lempar masuk ke dalam mulutnya. Kawan, kalian tentu bisa membayangkan kejadian yang kuceritakan itu.

si pleki, jika kawan tahu, ah, cantik sekali anjing kesayanganku itu. tubuhnya tak kecil, namun juga tak terlalu besar dan tinggi. yang lebih menarik lagi adalah bulunya. Bulu si pleki, baiklah aku ceritakan kepada kawan, begitu lebat dan indah sekali. bulu itu menutup semua bagian tubuhnya, bahkan di bagian kepala juga sangat lebat dan panjang. bulu si pleki itu halus, lurus, dan mengkilat. warnanya? tentu kawan juga ingin tahu apa warna bulu anjingku itu. namun baiklah, aku tak akan memberitahukan apa warna bulunya. silahkan saja diwarnai sekehendak hati kawan semua. boleh putih, abu-abu, merah, coklat, belang hitamputih, atau warna apa saja terserah kehendak dan selera kawan. yang jelas, saya ulangi lagi, bulu si pleki itu lebat, lurus, halus, bersih dan tersisir rapi.

hampir tiap minggu pagi si pleki kuajak lari pagi. bukan seperti merka yang di kota itu, karena si pleki tak kuikat lehernya dengan tali rantai. jika pun ada kalung di lehernya, itu tempat untuk menggantungkan klinthingan agar berbunyi gemerincing jika sedang berlari.

menuju sungai. ya, tiap minggu pagi si pleki ikut berlarilari pergi ke sungai, mengikutiku dan menemaniku memandikan sapi di kali wetan. Kali wetan itu, sesuai dengan sebutannya, terletak di sebelah timur dusun tempat tinggalku. itu untuk memudahkan dalam penyebutan saja. sebenarnya sungai itu adalah sungai/kali winongo kecil, anak sungai kali winongo. Jika kawan pernah ke jokjakarta, maka perhatikanlah bahwa sepanjang jalan samas, selepas jembatan sungai kali winongo ke arah selatan akan ada aliran sungai yang mengarah lurus ke pantai samas. ya, sungai dan jalan itu berdampingan.

namun, perlu aku ceritakan kepada kalian, bahwa kali wetan yang dahulu sudah jauh berbeda dengan yang sekarang. tentu saja itu akibat perkembangan jaman.

Jaman dulu, sebagaimana di tempat yang lainnya, sepanjang bibir kali senantiasa rungkut ditumbuhi berbagai pepohonan. ada kayu jati, ada pohon kluwih, ada banyak tanaman jarak, pohon ketapang kebo juga mudah kita temui. rumpun bambu? ya, rumpun bambu juga ada. namun yang paling banyak dan menarik bagiku adalah pohon pisang. pohon pisang ini tumbuh secara liar, tak terurus dan tanpa kontrol. beranak pinak sesuka hatinya. jikalau tak punya sayur, maka dengan mudah kita bisa mencari tanaman kangkung liar di sepanjang bantaran sungai. tapi hatihati, jangan sampai keliru memetik kangkung londo. kangkung jenis ini sama enaknya, namun kawan akan mencret dibuatnya jika berani memakan barang selembar daun. pohon trembesi juga ada.

lalu apa menariknya sehingga aku harus bercerita tentang pepohonan itu? baiklah. pohon itu akan melindungi sesiapapun dari pandangan orang lewat saat dia mandi di kali. he.he.

mandi di kali? ya, itu asyik sekali. bisa dikata bahkan, setiap bayi yang lahir di kampungku langsung bisa berenang. namun itu tentu berlebihan. yang jelas, karena dekat sungai, sejak kecil anak-anak di kampungku sudah bisa berenang.

si pleki, anjingku yang kuceritakan tadi, juga mahir berenang. dia senang sekali saat ikut ke sungai. tubuhnya akan mengapung di sungai, gelagepan berenang di ceruk yang agak dalam lalu minggir dan mengibasngibaskan bulu indahnya. di saat itulah aku suka berjalan sepanjang sugai mencari udang untuk si pleki. udang pun ada bermacam warna dan jenis, waktu itu. entah sekarang ini. udang adalah jenis ikan yang paling mudah ditangkap. pun rasanya paling gurih jika dimasak. aku suka mengambil telor yang ada di kali udang itu, lalu aku usap-usapkan ke sekujur tubuh si pleki. mungkin karena itulah bulunya tumbuh subur sekali.

kirakira sejarak 1 km ke utara dari tempatku memandikan sapi, ada sebuah warung yang sekalipun tak pernah aku masuki. warug sengsu. kalian tahu, apa itu sengsu?

~bersambung kukira ya.

AANJING, KUCING DAN TIKUS

Anjing (1)


waktu kecil dulu, saya pernah punya seekor anjing. uberi nama anjing itu pleki. Dia, anjingku itu, senang sekali kuberi nama itu. setiap kali kupanggil namanya, "plekiplekipleki...." maka dia akan serta merta berlari mendekat sembari menjulurjulurkan lidah, mengopatngapitkan ekor dan badannya bergoyang-goyang tiada henti. lalu jiika aku membawa sepotong roti, misalnya, maka dia akan segera berdiri dengan tumpuan dua kaki belakang sedang kaki depannya akan mengaisngais berkehendak untuk dapat meraih roti yang ada di tanganku. lidahnya tetap terjulur, mulut menganga mengharapkan roti itu aku lempar masuk ke dalam mulutnya. Kawan, kalian tentu bisa membayangkan kejadian yang kuceritakan itu.

si pleki, jika kawan tahu, ah, cantik sekali anjing kesayanganku itu. tubuhnya tak kecil, namun juga tak terlalu besar dan tinggi. yang lebih menarik lagi adalah bulunya. Bulu si pleki, baiklah aku ceritakan kepada kawan, begitu lebat dan indah sekali. bulu itu menutup semua bagian tubuhnya, bahkan di bagian kepala juga sangat lebat dan panjang. bulu si pleki itu halus, lurus, dan mengkilat. warnanya? tentu kawan juga ingin tahu apa warna bulu anjingku itu. namun baiklah, aku tak akan memberitahukan apa warna bulunya. silahkan saja diwarnai sekehendak hati kawan semua. boleh putih, abu-abu, merah, coklat, belang hitamputih, atau warna apa saja terserah kehendak dan selera kawan. yang jelas, saya ulangi lagi, bulu si pleki itu lebat, lurus, halus, bersih dan tersisir rapi.

hampir tiap minggu pagi si pleki kuajak lari pagi. bukan seperti merka yang di kota itu, karena si pleki tak kuikat lehernya dengan tali rantai. jika pun ada kalung di lehernya, itu tempat untuk menggantungkan klinthingan agar berbunyi gemerincing jika sedang berlari.

menuju sungai. ya, tiap minggu pagi si pleki ikut berlarilari pergi ke sungai, mengikutiku dan menemaniku memandikan sapi di kali wetan. Kali wetan itu, sesuai dengan sebutannya, terletak di sebelah timur dusun tempat tinggalku. itu untuk memudahkan dalam penyebutan saja. sebenarnya sungai itu adalah sungai/kali winongo kecil, anak sungai kali winongo. Jika kawan pernah ke jokjakarta, maka perhatikanlah bahwa sepanjang jalan samas, selepas jembatan sungai kali winongo ke arah selatan akan ada aliran sungai yang mengarah lurus ke pantai samas. ya, sungai dan jalan itu berdampingan.

namun, perlu aku ceritakan kepada kalian, bahwa kali wetan yang dahulu sudah jauh berbeda dengan yang sekarang. tentu saja itu akibat perkembangan jaman.

Jaman dulu, sebagaimana di tempat yang lainnya, sepanjang bibir kali senantiasa rungkut ditumbuhi berbagai pepohonan. ada kayu jati, ada pohon kluwih, ada banyak tanaman jarak, pohon ketapang kebo juga mudah kita temui. rumpun bambu? ya, rumpun bambu juga ada. namun yang paling banyak dan menarik bagiku adalah pohon pisang. pohon pisang ini tumbuh secara liar, tak terurus dan tanpa kontrol. beranak pinak sesuka hatinya. jikalau tak punya sayur, maka dengan mudah kita bisa mencari tanaman kangkung liar di sepanjang bantaran sungai. tapi hatihati, jangan sampai keliru memetik kangkung londo. kangkung jenis ini sama enaknya, namun kawan akan mencret dibuatnya jika berani memakan barang selembar daun. pohon trembesi juga ada.

lalu apa menariknya sehingga aku harus bercerita tentang pepohonan itu? baiklah. pohon itu akan melindungi sesiapapun dari pandangan orang lewat saat dia mandi di kali. he.he.

mandi di kali? ya, itu asyik sekali. bisa dikata bahkan, setiap bayi yang lahir di kampungku langsung bisa berenang. namun itu tentu berlebihan. yang jelas, karena dekat sungai, sejak kecil anak-anak di kampungku sudah bisa berenang.

si pleki, anjingku yang kuceritakan tadi, juga mahir berenang. dia senang sekali saat ikut ke sungai. tubuhnya akan mengapung di sungai, gelagepan berenang di ceruk yang agak dalam lalu minggir dan mengibasngibaskan bulu indahnya. di saat itulah aku suka berjalan sepanjang sugai mencari udang untuk si pleki. udang pun ada bermacam warna dan jenis, waktu itu. entah sekarang ini. udang adalah jenis ikan yang paling mudah ditangkap. pun rasanya paling gurih jika dimasak. aku suka mengambil telor yang ada di kali udang itu, lalu aku usap-usapkan ke sekujur tubuh si pleki. mungkin karena itulah bulunya tumbuh subur sekali.

kirakira sejarak 1 km ke utara dari tempatku memandikan sapi, ada sebuah warung yang sekalipun tak pernah aku masuki. warug sengsu. kalian tahu, apa itu sengsu?

~bersambung kukira ya.

1 Februari 2012

Komposisi ( Bagian Pertama)

Bahasa terdiri dari dua aspek: Bentuk dan Aspek Makna. Aspek bentuk terdiri dari Unsur Segmental dan Unsur Suprasegmental. Unsur Segmental adalah unsur bahasa yang dapat dibagi-bagi menjadi bagian yang lebih kecil: fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana.

Unsur Supra-segmental adalah unsur bahasa yang kehadirannya tergantung dari kehadiran unsur segmental seperti: tekanan keras, tekanan tinggi (nada) dan tekanan panjang, serta intonasi.

Unsur segmental dapat dikatakan sudah cukup berhasil digambarkan di atas sehelasi kertas, walau masih ada kekurangan. Unsur itu beserta gerak-gerik dan airmuka belum dapat dilukiskan sempurna. Unsur-unsur tersebut biasanya dinyatakan secara tertulis dengan abjad, persukuan, penulisan kata dan sebagainya. Sebaliknya unsur-unsur supra-segmental biasanya dinyatakan secara tertulis melalui tanda-tanda baca atau pungtuasi.

Pungtuasi dibuat berdasarkan dua hal utama yang saling melengkapi:
1. Didasarkan pada unsur supra-segmental
2. Didasarkan pada hubungan sintaksis, yakni unsur-unsur sintaksis yang erat hubungannya dengan tanda-tanda baca dan unsur-unsur sintaksis yang tidak erat hubungannya harus dipisahkan dengan tanda-tanda baca.

Misalnya dalam kalimat berikut terdapat tanda-tanda baca yang memenuhi kedua syarat tersebut: Coba katakan, Saudara, siapa namamu? Dalam ujaran yang wajar antara "katakan" dan "Saudara" tidak terdapat perhentian, sebab itu seharusnya koma dihilangkan. Namun karena kata "Saudara" merupakan unsur yang tidak ada hubungan dengan kata "katakan" maka harus ditempatkan koma di sana.

Antara kata "Saudara" dan "siapa" ditempatkan koma karena di situ diberikan perhentian sebentar dengan intonasi menaik. Sebaliknya pada akhir kalimat diberikan tanda tanya karena intonasinya adalah intonasi tanya.

Sering terjadi bahwa unsur-unsur kalimat yang merupakan kesatuan ditampilkan dalam urutan yang terpisah, yaitu diinterupsi oleh unsur-unsur yang kurang esensil sifatnya. Dalam hal ini harus dipergunakan tanda-tanda baca, agar hubungan itu tidak menjadi kabur. Misalnya kita tidak boleh memisahkan unsur-unsur yang merupakan satu kesatuan seperti subjek dan predikat, atau sebuah kata dengan keterangan yang erat. Sebaliknya kit harus memisahkan anak-anak kalimat yang independen dalam sebuah kalimat majemuk, memisahkan subjek dari unsur-unsur pengantar predikat yang mendahului subjek, memisahkan unsur-unsur yang setara, dan lain sebagainya.

Macam-macam Pungtuasi:
Yang lazim dipergunakan dewasa ini didasarkan atas nada dan lagu (suprasegmental), dan sebagian didasarkan atas relasi gramatikal, frasa dan inter-relasi antar bagian kalimat (hubungan sintaksis). Tanda-tanda tersebut adalah:
a. Titik, atau perhentian akhir biasanya dilambangkan dengan (.). Tanda ini lazim dipakai untuk: Menyatakan akhir dari sebuah tutur atau kalimat. Bila kalimat tanya dan perintah atau seru mengandung pengertian akhir, yaitu berakhirnya suatu tutur, maka tanda tersebut digunakan sebagai sebuah tanda titik.

b. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan gelar, jabatan, pangkat dan singkatan kata atau ungkapan yang sudah lazim. Pada singkatan yang terdiri dari tiga hurug atau lebih hanya dipakai satu tanda titik:
Dr. (Doktor), dr. (Dokter), Ir. (Insinyur) M.Sc. (Master of Science), Drs. (Doktorandus), dkk. (dan kawan-kawan), d.a. (dengan alamat).
Semua singkatan kata yang mempergunakan inisial atau akronim tidak mempergunakan titik: MPR, ABRI, Hankam, Ampera, dll.

c. Tanda titik dipergunakan untuk memisahkan angka ribuan, jutaan, dan seterusnya yang menunjukkan jumlah; juga dipakai untuk memisahkan angka jam, menit dan detik: 1.000, 57.987. pukul 5.45.42
Bila bilangan itu tidak menunjukkan jumlah maka tanda titik itu tidak dipergunakan: Pada halaman 5675 terdapat kata-kata berikut. Ia lahir pada tahun 1976.
Modernisme sebagai kelanjutan dari masa reinesance ternyata hanya melahirkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan,tetapi tidak dalam penegakkan jati diri kemanusiaan seperti yg di cita citakan kaum humanis sa'at melawan kekuasaan gereja gereja dan doktrinitas agama di masa peterilistik dan skolastik. Modernitas hanya melahirkan kegersangan jiwa bagi manusia modern.
Agama/islam khususnya,sesungguhnya tidak membatasi ruang gerak bagi naluri kemanusiaan maupun akal rasional untk menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan seperti yg di tuduhkan kaum atheis selama ini.

Agama/islam khususnya,justru mendorong setiap orang untk mentafakuri keajaiban keajaiban dalam setiap peristiwa yg terjadi di semesta jagat raya ini,dalam rangka untuk mempertegas pengakuan akan kemaha segalaan Allah sbg pencipta penggerak sekaligus pengendali.
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan" QS. Al-Mujaadilah: 11
"Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
QS. Thaahaa: 114..
maha benar Allah dgn segala firmanNya.

Boleh jadi seseorang mengetahui mengerti dan memahami ajaran ajaran moral suatu agama,tetapi tdk lantas begitu saja dia mulus dalam mengimplementasikannya di kehidupan dunia yg di penuhi jebakan jebakan,sebab setiap orang harus menghadapi pertempuran akbar,dan musuh terbesarnya adalah dirinya sendiri.

Manusia sebagai makhluk ruhaniah,disamping memiliki potens ruh hewaniyah yg mereflexi dalam bentuk desakan kehendak selera diri rendah,juga memiliki potens ruh ilahiyah yg mereflexi menjadi suara kemanusiaan dalam bentuk hati nurani.
Apapun rasnya,apapun suku bangsa dan budayanya,hati nuraninya sama persis;yg membedakan hanya pada persepsi,interpretasi dan pola implementasinya.

Dari luar dirinya manusia menghadapi kendala sosial budaya dll serta destorsi informasi seiring perjalanan waktu yg cenderung mengaburkan informasi sejarah yg berdampak pada penyimpangan penyimpangan tafsir;belum lagi intervensi iblis yg menyimpan dendam berakar dengki,dan sangat piawai dlm hal memainkan perangkat lunak di dalam jiwa setiap orang

Ketika kaum agama mengambil hak tuhan,menghakimi musuh yg tdk sepaham,mengatas namakan cinta dgn meniupkan kebencian,dada umatpun lalu di penuhi amarah,gelap jiwa dan gelap akalnya.
Tuhan seakan realita obyek yg menakutkan,sok berkuasa,kasar dan beringas.
Orang orang yg bimbang semakin terkoyak gelisah,dan semakin menjadi jadi kesangsiannya.
Mereka lalu berhimpun di suatu tempat,danmengikrarkan agama cinta dgn kemanusiaan sbg tuhanya.

Dalam gelap ada secuil cahaya yg luput dari sergapan awan hitam
Dalam diam ada gerak yg memaksaku untk mengikuti iramanya
Orang orang berbaku hantam menghunus parang dan bersemangat meneriakan nama tuhannya
Tuhan yg mana yg sedang di belanya
Kebenaran siapa yg di ikutinya
Ketika ruh agama telah tercerabut dari bumi
Orang orang gelap jiwa dgn bodohnya bergerak meraih fatamorgana.

Selama engkau membanggakan pencapaian akal rasionalitasmu dan menafikan keberadaan akal batinmu,maka engkau tidak akan pernah mengerti maksud dari setiap peristiwa yg terjadi di semesta jagad raya ini.
Engkau tidak akan pernah mengerti mengapa tuhan membiarkan pertumpahan darah terus berlangsung di muka bumi.
Di biarkannya manusia membangun peradaban yg sombong,lalu negeri negripun di di lenyapkan keberadaannya.
Tetaplah patuh pada perintah anjuran dan laranganNya
Selama itu datang dari sumber hukum kebenaran.

Juned Topan 01022012

salam !

25 Januari 2012

Syair Ma'rifat Abdurrauf Fin Ali Al-Fansuri

jikalau diibarat
sebiji kelapa kulit dan isi tiada serupa
Janganlah kita bersalah sapa

tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa
ibarat sama

Lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena
sebab pendapat kurang
sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat

Abdurrauf begitulah nama yang dilekatkan kepada anak lelaki itu. Dalam pertumbuhannya kelak ia dikenal sebagai ulama. Dan orang-orang dengan hormat memanggilnya dengan sebutan Syeikh Abdurrauf. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Oleh kharisma yang dimilikinya kemudian orang memberi sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala atau Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel 1593 M), Aceh Selatan.

Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada ‘Dayah Simpang Kanan’ di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di ‘Dayah Teungku Chik’ yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syamsuddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar negeri, 19 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari 15 orang ulama.
Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, ‘Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...’.

Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perjalanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: “Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri, ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekiranya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri’.(‘Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-17) (Dewan Bahasa, 95, Mei 1965).

Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., ‘Turjumanul Mustafiid’, ‘Miraatut Thullab’ (Kitab Ilmu Hukum), ‘Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin’ (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), ‘Bayan Tajalli’ (Ilmu Tasawuf), dan ‘Kifayat al-Muhtajin’(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, ‘Syair Ma’rifat’.

Sebagai penyair sufi Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaiannya dalam menulis puisi ‘Syair Ma’rifat’ itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair Ma’rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi. Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat
sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa
ibarat sama
lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena
sebab pendapat kurang
sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat


(‘Syair Ma’rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: “Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma’rifat”.

Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma’rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

Airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya
karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul ‘Kifayat al-Muhtajin’ disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul ‘Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah.
Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia 105 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.


Syair Ma'rifat Abdurrauf Fin Ali Al-Fansuri

jikalau diibarat
sebiji kelapa kulit dan isi tiada serupa
Janganlah kita bersalah sapa

tetapi beza tiadalah berapa
sebiji kelapa
ibarat sama

Lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena
sebab pendapat kurang
sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat

Abdurrauf begitulah nama yang dilekatkan kepada anak lelaki itu. Dalam pertumbuhannya kelak ia dikenal sebagai ulama. Dan orang-orang dengan hormat memanggilnya dengan sebutan Syeikh Abdurrauf. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Oleh kharisma yang dimilikinya kemudian orang memberi sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala atau Ciah Kuala dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Abdurrauf van Singkel. Sebutan ini semua ada sebabnya. Disebut Syeikh Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Dan disebut Abdurrauf van Singkil karena Syeikh Abdurrauf lahir di Singkel 1593 M), Aceh Selatan.

Dimasa mudanya mula-mula Abdurrauf belajar pada ‘Dayah Simpang Kanan’ di pedalaman Singkel yang dipimpin Syeikh Ali Al-Fansuri ayahnya sendiri. Kemudian ia melanjutkan belajar ke Barus di ‘Dayah Teungku Chik’ yang dipimpin oleh Syeikh Hamzah Fansuri.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pase di Dayah Tinggi Syeikh Shamsuddin as-Sumaterani. Dan setelah Syeikh Syamsuddin pindah ke Banda Aceh lalu diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil, Syeikh Abdurrauf mendapat kesempatan untuk pergi belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar negeri, 19 tahun Syeikh Abdurrauf telah menerima pelajaran dari 15 orang ulama.
Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, ‘Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu...’.

Pada tahun 1661 M Syeikh Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Banda Aceh ia mengadakan perjalanan ke Singkel. Kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syeikh Jamiah Baitur Rahim, untuk menggantikan Syeikh Nuruddin ar-Raniri yang pergi menuju Mekkah.

Mengenai pendapatnya tentang faham orang lain nampaknya berbeda dengan Syeikh Nuruddin. Syeikh Abdurrauf tidak begitu keras. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: “Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasawuf, tetapi -berbeda dengan Nuruddin ar-Raniri, ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini sebagai kafir.

Membuat tuduhan seperti itu sangatlah berbahaya. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekiranya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri’.(‘Abdurrauf Singkel Tokoh Syatariah (Abad ke-17) (Dewan Bahasa, 95, Mei 1965).

Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal a.l., ‘Turjumanul Mustafiid’, ‘Miraatut Thullab’ (Kitab Ilmu Hukum), ‘Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin’ (Mengenai Ke Tuhanan dan Filsafat), ‘Bayan Tajalli’ (Ilmu Tasawuf), dan ‘Kifayat al-Muhtajin’(Ilmu tasawuf). Seluruh karyanya diulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi yakni, ‘Syair Ma’rifat’.

Sebagai penyair sufi Syeikh Abdurrauf mempelihatkan kepiawaiannya dalam menulis puisi ‘Syair Ma’rifat’ itulah. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair Ma’rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi. Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah. Ikuti petikan syairnya dibawah ini,

jikalau diibarat
sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

sebiji kelapa
ibarat sama
lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang
terlena
sebab pendapat kurang
sempurna
kulitnya itu ibarat syariat
tempurungnya itu ibarat
tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat


(‘Syair Ma’rifat. Perpustakaan Universiti Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember l992)

Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat dan hakekat dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat menurut Syeikh Abdurrauf orang harus lebih dahulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas. Dalam kata-katanya sendiri Syeikh Abdurrauf berucap: “Dan sibukkanlah dirimu dalam ibadah dengan benar dan ikhlas demi melaksanakan hak Tuhanmu, niscaya engkau termasuk golongan ahli ma’rifat”.

Suasana mistik akan lebih terasa bila kita membaca dan mengikuti puisinya dalam baris-baris berikut ini. Petikan Syair Ma’rifat dari tulisan Arab berbahasa Melayu, bertulisan tangan ini dikutip dari ML. 378, halaman 40, terdapat di Perpustakaan Nasional RI. berbunyi sebagai berikut,

Airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya
karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syeikh Abdurrauf lainnya diberi judul ‘Kifayat al-Muhtajin’ disebut bahwa buku itu ditulisnya atas titah Tajul ‘Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah.
Ulama besar dan pujangga Islam Syeikh Abdurrauf meninggal l695 M dalam usia 105 tahun. Di makamkan di Kuala, sungai Aceh, Banda Aceh.


KARUNIANYA MENYELAMATKANMU

Absurditas manusia yg tak sanggup di urai logika,membuat sebagian orang berfikir bahwa penderitaan yg ada merupakan bukti tidak adanya tuhan;dan agama hanyalah biang keladi terjadinya perpecahan antar umat manusia.
Seorang filsuf menembak kepalanya sendiri,tatkalah berada dalam pusaran gelisah dan hampa jiwa;sementara dia berfikir bahwa hidup hanyalah antrean panjang melelahkan,dalam menunggu kepastian datangnya kematian;menurutnya hidup hanyalah kosong tanpa makna:
Mati hari ini atau esok sama saja
Persetan dgn Tuhan dan agama
Surga neraka hanya isapan jempol belaka
Mitos
Fiksi
Rekayasa imaji kaum delusi
Untuk menteror manusia
Agar patuh terhadap aturan mereka !

Derita yg tak kau fahami asal usul dan sebab akibatnya,
akan menjadi gumpalan awan hitam yg menyelimuti jiwamu,
menutupi kesadaran akan keberadaan zat terinti,
tertinggi
dan tunggal
yg ada di balik setiap gerak dan peristiwa.

Selama engkau membanggakan pencapaian akal/logikamu dan menafikan keberadaan akal intuisimu,maka engkau tidak akan pernah mengerti maksud dari setiap peristiwa yg terajdi di semesta jagad raya ini.
Engkau tidak akan pernah mengerti mengapa tuhan membiarkan pertumpahan darah terus berlangsung di muka bumi.
Manusia di biarkannya membangun peradaban yg sombong,lalu negeri negripun di tenggelamkan,dan pergantian kaum selalu terjadi.
Tetaplah patuh pada perintah anjuran dan laranganNya,selama itu datang dari sumber hukum kebenaran.
Kesombongan adalah hak tuhan,sebab Dia mencipta memberi rizqi menggerakkan sekaligus mengendalikan semesta jagat raya ini;begitu pula dgn hidayah/petunjuk merupakan hak tuhan,sementara nabi dan para penyambungnya hanyalah berkewajiban menyampaikan kabar dari sumber yg maha benar.. "barangsiapa mendapatkan petunjuk sesungguhnya hanya untuk dirinya,dan barang siapa yg di sesatkan tiada penolong baginya".
Penyimpangan penyimpangan moral yg dilakukan oknum pemeluk agama itu wajar,sebab manusia sebagai penerima informasi menghadapi kendala dari luar dan dari dalam dirinya.
Manusia sebagai makhluk ruhaniah,disamping memiliki potens ruh hewaniyah yg mereflexi dalam bentuk desakan tabiat kebinatangan,juga memiliki potens ruh ilahiyah atau ketuhanan yg mereflexi menjadi suara kemanusiaan dalam bentuk hati nurani.
Apapun rasnya,apapun suku bangsa dan budayanya,hati nuraninya sama persis;yg membedakan hanya pada persepsi,interpretasi dan pola implementasinya.
Dari luar dirinya manusia menghadpi kendala destorsi informasi seiring perjalanan waktu yg cenderung mengaburkan informasi maupn sejarah yg berdampak pada penyimpangan penyimpangan tafsir;belum lagi intervensi iblis yg menyimpan dendam berakar dengki,dan sangat piawai memainkan perangkat lunak di dalam jiwa setiap orang.
Selama iman masih lekat di dada,dan pengabdian tersampaikan ke alamat yg benar,insya'allah ampunanNya menyelamatkanmu.."“Jangan engkau tinggalkan zikir kepada Allah, sebab lalaimu terhadap Allah tanpa adanya zikir adalah lebih berbahaya daripada lalaimu kepada Allah dengan masih tertinggal zikir di hatinya. Mudah-mudahan Allah mengingat kamu untuk berzikir dari suka melalaikan kepada sadar melaksanakan zikir. Dari zikir yang sadar meniadi zikir yang penuh kehadiran hati. Dari zikir dengan hadimya hati kepada zikir yang masuk kepada kegaiban. Tidaklah ada kesukaran bagi Allah tentang hal-hal seperti itu.”ibn Athaillah

17 Januari 2012

‎' KIDUNG RUMEKSO ING WENGI

Ana kidung rumekso ing wengi Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh jim setan datan purun paneluhan tan ana wani niwah panggawe ala gunaning wong luput geni atemahan tirta maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno Sakehing lara pan samya bali Sakeh ngama pan sami mirunda Welas asih pandulune Sakehing braja luput Kadi kapuk tibaning wesi Sakehing wisa tawa Sato galak tutut Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwaning Wong lemah miring Myang pakiponing merak Pagupakaning warak sakalir Nadyan arca myang segara asat Temahan rahayu kabeh Apan sarira ayu Ingideran kang widadari Rineksa malaekat Lan sagung para rasul Pinayungan ing Hyang Suksma Ati Adam utekku baginda Esis Pangucapku ya Musa Napasku nabi Ngisa linuwih Nabi Yakup pamiryarsaningwang Dawud suwaraku mangke Nabi brahim nyawaku Nabi Sleman kasekten mami Nabi Yusuf rupeng wang Edris ing rambutku Baginda Ngali kuliting wang Abubakar getih daging Ngumar singgih Balung baginda ngusman Sumsumingsun Patimah linuwih Siti aminah bayuning angga Ayup ing ususku mangke Nabi Nuh ing jejantung Nabi Yunus ing otot mami Netraku ya Muhamad Pamuluku Rasul Pinayungan Adam Kawa Sampun pepak sakathahe para nabi Dadya sarira tunggal TERJEMAHAN dalam bahasa indonesia: Ada kidung rumekso ing wengi. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat. guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap. Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak. Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa. Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakup pendenganranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rupaku. Ali sebagai kulitku. Abubakar darahku dan Umar dagingku. Sedangkan Usman sebagai tulangku. Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti fatimah sebagai kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada didalam ususku. Nabi Nuh didalam jantungku. Nabi Yunus didalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhamad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.
Kecemburuan sosial merupakan anakanak kandung iri dengki yg akan pula bercucu amuk amarah yg lalu melahirkan dendam benci yg mengkeruhkan jiwa. Ketika kemiskinan disadari sbg sebentuk ujian dalm ketetapanNYa,dan dgn cerdas pula mampu mensabarinya dalam keberserahan diri tanpa kehilangan daya hidup yg akan pula melahirkan daya kreatif,maka kemiskinan tidak perlu dirisaukan. Yg menyedihkan justru kekayaan yg dapat melalaikan setiap orang dari rasa syukur dan sanggup pula melenyapkan kesadaran bahwa dirinya hanyalah agen penyalur dari rahmatNya.."Dialah pemilik segala perbendaharaan di langit dan di bumi" dan "Dia memberi rizqi kepada siapa yg di kehendaki".
Barang siapa bekerja keras hanya untk memenuhi desakan kehendak selera diri rendah/ego rendahnya,maka bersiap siaplah untk bangkrut kelak ketika pulang ke kampung asal,dan barangsiapa bekerja keras untk mensejahterakan bumi dan sesama makhuk dalam iringan ikhlas karna Allah semata,maka itulah sebaik baik investasi.
Menjaga ruh kemanusiaan adalh tugas agama dan kebudayaan,ketika agama telah di kalahkan oleh kebebasan berfikir yg di semangati selera ego rendah,maka Tuhan surga dan neraka hanyalah omong kosong,kitab suci hanyalah rekayasa imaji para delusi.
Puisi dan nyanyi lebih efekti dalam memberi cerah bagi jiwa,ketimbang retorika cendekia para ulama yg tak menyadari jebakan ria ujub dan dengki..ulama ulama semacam inilah yg hanya akan menjadi siksa bagi masyarakatnya.."kelak di akhir zaman,akan ada diantara umatku yg menghafal alquran dan sunnahku,tetapi imannya sebatas tenggorokan".


Juned Topan
17 januari2012