6 April 2011

Potret nabi dalam puisi

“Kasih sayangnya kepadamu melebih
semua orang/mencintai dia
menumbuhkan pribadi perkasa”

asep1Sunan Gunung Djati-Puisi di atas yang menanamkan kecintaan kepada Nabi saw dicuplik dari kumpulan “Asrar-i-Khudi”-nya penyair terkemuka, Muhammad Iqbal.

Puisi seperti itu dalam khazanah tradisi sastra Islam dinamakan atau dikelompokkan dalam genre puisi na’tiyah. Yakni, sebagaimana dielaborasi H.M. Bukhari Lubis dalam Qasidahs in honor on The Prophet, sejenis puisi sufistik yang disebarluaskan kaum sufi sebagai sarana menyampaikan pesan religius, dan ia menjelma sebagai bentuk pengucapan yang mantap oleh karena lahir dari hati yang dipadati kebenaran dan ketulusan.

Ghulam D. Rasheed dalam bukunya The Development of Na’tiya Poetry in Persian Literature, seperti dikutip Abdul Hadi W.M. (2000) mengatakan, “Sifat-sifat Nabi yang terpuji, sebagaimana digambarkan puisi-puisi na’tiyah, menyajikan kepada dunia sebuah contoh ketaatan kepada Tuhan. Sebagian besar puisi na’tiyah bertalian dengan nilai-nilai moral, dan khususnya berkelindan langsung dengan pembinaan kepribadian secara perorangan atau kolektif,” kemudian, “Na’tiyah juga merupakan satu cabang sastra yang memainkan bagian penting dalam membangun jenis akhlak yang bertujuan mematahkan rintangan-rintangan rasial, geografis dan kelas.”

Dengan kata lain, puisi na’tiyah lahir sebagai wujud artikulatif kerinduan seseorang untuk mewarisi akhlak Nabi, mengalami sejarah ruhaniahnya, kehendak menempatkannya sebagai teladan dalam segenap hal sebagaimana diguratkan dalam sebuah ayat yang memaklumkan ihwal sang Nabi sebagai contoh ideal. Kita pun mafhum, seperti diteguhkan Tuhan, kaum beriman mengandaikan untuk senantiasa setia mengikuti jejaknya, dan meniru perangainya.

Lebih jauh, dalam tilikan teologis-transendental, pigur Muhammad saw menempati posisi luar biasa istimewa: dia manusia pilihan (al-musthafa) yang telah dinobatkan-Nya sebagai wisudawan terbaik seluruh umat (khair ummah) yang benar-benar mempunyai pekerti prima (Q.S. al-Qalam/68: 4), di mana kalau Tuhan mengajarkan kepada Adam hanya tentang nama-nama benda (Q.S. al-Baqarah/2: 30), kepada Muhammad saw langsung diajarkannya keseluruhan al-Quran (Q.S. at-Taubah/9: 63). Bahkan dalam sebuah ayat tidak tanggung-tanggung Allah dan para malaikat-Nya pun mengirim penghormatan (shalawat) kepadanya (Q.S. al-Ahzab/33: 56) seraya menyatakan bahwa terciptanya Muhammad merupakan modus diciptakannya semua makhluk seperti termaktub dalam hadis Qudsi yang sangat popular di kalangan mistikus muslim, “Laulaka-laulaka lamma khalaqtul aflak: jika bukan karena engkau, aku tidak sudi menciptakan semesta dan segenap isinya”.

Melihat latar pigur auratik seperti itu, maka tidak heran kalau umatnya menambatkan cita-cita teragungnya: mengikuti sunnah Nabi. “Siapa yang mengikutiku,” kata Nabi, “Termasuk dalam golonganku, dan siapa yang tidak mencintai sunnahku, tidak termasuk golonganku.” Dalam penafsiran Frithjof Schoun dalam Islam and The Perennial Philosophy dikatakan, “Ciri khas kebajikan-kebajikan Muhammad ini…menjelaskan gaya relatif impersonal orang-orang suci, tidak ada kebajikan-kebajikan lain kecuali kebajikan-kebajikan Muhammad sehingga kebajikan-kebajikan itu hanya dapat berulang pada orang-orang yang mengikuti contohnya, melalui merekalah Nabi hidup di tengah masyarakatnya”.

Dalam semangat itu, sekali lagi, puisi na’tiyah lahir dari rahim para penyair muslim. Hampir bisa dipastikan, dalam khazanah peradaban sastra Islam tidak ada satu penyair besar muslim pun yang tidak pernah menuangakan pengalaman estetis-religiusnya dalam hamparan kasidah pujian kepada Nabi (al-maidah an-nabawiyah) dengan ungkapan-ungkapan yang penuh daya pukau mulai dari Ka’ab ibn Zuhair, Sa’labi, Sana’i, Baba Thahir, al-Busyairi, al-Barjanji, Attar, Rumi, Iqbal, sampai Hamzah Fansuri bahkan seorang Goethe pun (penyair Eropa berkebangsaan Jerman yang hidup pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19) mengakui sejak usia belia sangat mengagumi Muhammad saw dan hasil-hasil kesustraan na’tiyah khususnya karya Sa’di dan Hafiz ia abadikan dalam sebuah antologi puisi bercorak Persia West-oustlicher Divan (sajak-sajak pujian Barat Ketimuran).

Dalam Divan misalnya, seperti ditunjukkan Abdul Hadi W.M., terdapat sebuah sajak Goethe yang sangat romantik yang berjudul Mohamet Gesang (Nyanyian Muhammad) yang bermuatan ungkapan kekaguman Goethe terhadap perjuangan Nabi dalam menyampaikan risalah Tuhan dan sekaligus pujian terhadap kesejatian ajaran Islam. Menurut Goethe, dibanding perkembangan sejarah agama-agama lain sebelumnya, perkembangan Islam sangat dinamis, selain itu kebenaran ajaran agama ini sangat sukar untuk diragukan, memiliki ajaran yang indah dan luhur.

Selanjutnya kita kutip puisi na’tiyah versi Goethe itu: Lihat sungai ini/antara karang/kemilau riang/bagaikan gemerlap bintang/di mana masa mudanya/masuk roh budiman/di karam dalam semak belukar/segar bagaikan muda rupawan/muncul dari gulungan awan, menari/sungai ini turun/melintasi batu-batu pualam/dan kembali mengarungi langit/menuruni lembah-lembah/di bawah jejaknya/kembang-kembang dimunculkan/dan nafasnya memberikan/hayat atas padang-padang.

Di antara sekian banyak hamparan puisi na’tiyah, al-Qasidah al-Burdah karya Syaikh al-Busairi (pujangga Maroko lahir 608 H dan wafat di Iskandariah tahun 696 H) dan al-Qasidah al-Barjanji karangan Syaikh al-Barjanzi (sastrawan dari Persia abad-17) nampaknya menempati urutan teratas dari sisi popularitas. Hal ini terbukti, di beberapa negeri yang populasi muslimnya terbesar, kedua kitab itu acapkali dijadikan ‘kurikulum wajib’ yang dibaca berulang-ulang dengan khidmat, khusu’, dan ikhlas dalam upacara maulid Nabi dan maulid seorang bayi (kelahiran bayi). Dilagukan dengan irama memikat yang berangkat dari hasrat hati yang diliputi rasa ingin memiliki pengalaman keagamaan dan melakoni medan kemanusiaan sebagaimana yang dihayati Nabi tempo hari dalam maknanya yang tuntas.

Alhasil, menyimak pesan berharga limpahan hikmah kearifan yang terpendam dalam endapan puisi-puisi na’tiyah, terselubung di balik syair-syair pujian kepada Nabi, merupakan sesuatu yang mendesak untuk kita insyafi bersama di tengah situasi kebangsaan (dan keberagamaan) kita yang tengah dihimpit krisis kepemimpinan (pemimpin memang banyak atau minimal yang mengklaim dirinya sebagai pemimpin, namun pemimpin sejati yang laik diteladani dalam segenap hal adalah sangat langka) dan krisis-krisis lainnya baik yang berdimensi kultural-struktural atau horizontal-vertikal yang telah mencekik kita dalam waktu yang lama di mana semuanya sebagai simpul kian jauhnya kita dari nilai-nilai dan etika yang telah dikobarkan sang Nabi, dari moralitas perennial yang diajarkan agama Tuhan; di tengah zaman di mana kita begitu setia hidup dalam lumpur kebudayaan hawa nafsu, dan begitu susah mendepak keinginan-keinginan rendah, syahwat dangkal, kumuh dan degil sehingga harkat kemanusiaan kita (peradaban muslim) kian terpuruk, martabat kehidupan semakin meluncur ke titik nadir dan tidak layak untuk dipertahankan. “Tahukah engaku, apa yang diperbuat zaman ini kepada kita?” tanya Iqbal, “Zaman ini mengasingkan kita dari diri kita sendiri dan menjauhkan kita dari pesona al-Musthafa,” jawabnya. Atau dalam puisinya yang lain: Karena cinta pada Mustafa pergi meninggalkan dada/cerminmu kabur tidak cemerlang lagi/engkau tak paham sifat sebenarnya zaman ini/dan kehilangan aba-aba sejak langkah pertama.

Bagaimana juga kecintaan kepada Nabi saw dalam maknanya yang purba “… mengalir bak darah di dalam urat-urat umatnya”.*** [ASEP SALAHUDIN, Pengasuh Kolom Kesundaan Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Kamis]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar