6 April 2011

Sa'di

Detik-Detik Kesucian (7)
Bahasa dan sastra Persia di sepanjang sejarah pasang surutnya, senantiasa menjadi ranah yang tepat untuk mengembangkan pengetahuan dan ajaran agama, sosial, dan budaya. Para penyair sebagai bagian dari masyarakat, merupakan penggiat sastra yang mengungkapkan keyakinan, akidah, dan pemikirannya ke dalam bentuk puisi. Puisi Persia adalah cermin dari segenap refleksi kebudayaan religius, politik, dan sosial masyarakat Iran. Puisi Persia juga merupakan perangkat yang tepat dan efektif untuk mengenal dan menelisik adat istiadat, tradisi, keyakinan, dan budaya sosial Iran. Ketika agama Islam telah menyebar dan menjadi agama resmi di tanah Persia, prinsip akidah Islam terpancar di seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat Iran. Tentu saja, penyair sebagai bagian dari elemen terpelajar masyarakat menjadi salah satu roda penggerak utama pengembangan ajaran Islam di ranah kebudayaan Iran.

Sejak Roudaki, Bapak Sastra Persia, mengembangkan sastra Persia, agama, tradisi keagamaan, dan pengentahuan reliji telah menjadi salah satu kandungan utama karya para penyair dan penulis sastra Persia. Para penyair Iran di berbagai periode perkembangan puisi Persia, selalu berusaha memenuhi ruang syairnya dengan ide-ide tauhid, pujian kepada Sang Khaliq, para Nabi dan imam, serta pengetahuan Islam.

Memuliakan bulan Ramadhan dan mengungkapkan keistimewaan bulan suci ini merupakan salah satu kandungan dari rangkain puisi Persia uang digubah oleh para penyair muslim Iran sejak era Roudaki hingga sekarang. Puasa, Ramadhan, saum atau siyam menjadi salah satu kosakata kunci puisi Persia dalam berbagai ragamnya, mulai dari puisi pujian, puisi moral, puisi edukatif, puisi nyanyian, dan puisi bergaya mars.

Naser Khousrou adalah salah seorang penyair puisi filosofis dan edukatif sastra Persia. Dalam puisi-puisi Ramadhannya ia senantiasa mengajak umat untuk tidak hanya memperhatikan dimensi lahir kewajiban di bulan Ramadhan. Dalam puisi-puisinya, ia mengajak untuk merenungkan lebih dalam filosofi diwajibkannya puasa Ramadhan. Khousrou meyakini, barang siapa yang tidak mengenal filosofi puasa dan menjalankannya tanpa pemikiran, sejatinya tak ada apapun yang ia peroleh kecuali rasa lapar. Naser Khousrou selalu menegaskan bahwa ketaatan mesti diiringi dengan pengetahuan. Ia menerawang ritus keagamaan hingga ke batinnya, dan tidak cukup zahirnya semata. Karena itulah, ia begitu memuji orang berpuasa yang mengetahui pula rahasia ilahi ibadah mulia ini.

Sanai adalah salah satu penyair besar Iran. Ia termasuk pelopor puisi sufistik atau irfani Persia. Puisi-puisi Sanai selalu dipenuhi dengan substansi ajaran dan pengetahuan luhur Islam. Sanai, dalam salah satu syair berjenis gazal atau puisi cinta sufistiknya, melantunkan ucapan selamat tinggalnya kepada bulan Ramadhan. Dalam puisinya ini, Sanai seakan mengucapkan selamat tinggal kepada Ramadhan layaknya perpisahan dengan seorang sahabat yang begitu disayanginya. Umumnya, masyarakat muslim menyebut Ramadhan sebagai bulan perjamuan Ilahi. Namun, Sanai menyebut Ramadhan itu sendiri sebagai tamu yang mulia. Tamu yang hanya datang setahun sekali dan hanya sejenak menemui kita.

Di mata Sanai, puasa dan shalat merupakan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan manusia. Ia percaya bahwa dua laku ibadah inilah yang akan melindungi manusia di hari kiamat dan menjadi perisai dari kobaran api neraka.

Keutamaan dan keistimewaan bulan Ramadhan juga tergambar begitu apiknya dalam puisi-puisi Syeikh Faridud-Din Attar. Ia adalah salah seorang tokoh penyair sufistik Iran. Ia begitu banyak menggubah syair-syair tentang puasa dan filosofi puasa. Ia menyebut ifthar atau berbuka puasa sebagai penyaksian ilahi atau musyahadah dan menganggap puasa sebagai upaya melindungi diri dari beragam bahaya.

Attar dalam puisinya yang lain, mengungkap sisi lain ibadah puasa. Ia mengingatkan bahwa puasa bukan hanya menahan lapar dan haus. Ramadhan adalah bulan ibadah dan menyucikan diri. Attar beranggapan, puasa merupakan kelahiran baru bagi seorang yang menjalankan ibadah suci itu.

Sesuai dengan ajaran para pemimpin agama Islam, Attar mengingatkan bahwa setiap anggota tubuh memiliki cara puasa tersendiri yang mesti diperhatikan dan dijalankan. Dalam bulan suci ini, mata harus disucikan dari segala noda penglihatan. Telinga juga harus dibersihkan dari segala hal yang tak layak didengarkan. Lidah harus digunakan hanya untuk memuji Tuhan, karena itu jangan pernah menodai lidah dengan mengucap dusta atau gunjingan.

Ramadhan dalam syair-syair Sa'di, pujangga besar Iran abad ke-7 H, memiliki posisi yang istimewa. Sa'di mengungkap Ramadhan secara simbolis dalam puisi-puisi cinta sufistiknya. Penegasan berulang-ulang Sa'di untuk meninggalkan perilaku makan dan tidur yang berlebihan, merupakan refleksi dari pandangannya mengenai hidup. Sa'di melihat Ramadhan dengan pandangan teologis, sosial-politik, dan kultural.

Puisi-puisi Sa'di sarat dengan muatan kritik sosial. Sa'di beranggapan, Ramadhan sejatinya bukan sekedar bulan untuk menahan makan. Tapi justru bulan untuk memberi makan mereka yang memerlukan. Di berbagai puisinya ia mengkritik keras orang-orang kaya yang hidup dalam kemewahan namun mengabaikan kalangan fakir miskin di sekitarnya.

Sa'di menilai bahwa agama dan kewajiban yang diperintahkanyya bukan sekedar masalah pribadi. Ia meyakini bahwa agama dan ritus peribadatan akan menjadi luhur dan bernilai jika bisa melampaui dimensi personal dan memiliki dampak sosial yang positif, yang bisa mengobati penyakit sosial masyarakat.

Ucapan selamat tinggal Sa'di kepada Ramadhan, merupakan perpisahan yang begitu arif. Saat mengucap selamat tinggal dengan Ramadhan ia seakan berpisah dengan sahabat yang paling disayanginya. Ia begitu khawatir maut menjemputnya, sebelum ia bertemu kembali dengan Ramadhan. Sa'di merasa bisa bertahan hidup di dunia ini, lantaran ia berharap Ramadhan datang kembali setiap tahunnya. (IRIB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar