24 November 2015

Proses Kreatif Saya (Rendra) Sebagai Penyair (Bagian 1) Posted on November 3, 2014 by Pengembara Mimpi

Sebagai seorang penyair, tentu saja karya-karya Rendra tidak muncul begitu saja. Ada proses mendalam yang kemudian menjadi latar belakang terlahirnya untaian kata yang enak dibaca itu. Bagaimana proses itu terjadi? Dalam artikel yang ada di dalam bukuMempertimbangkan Tradisi ini, Rendra menjelaskan semuanya. Membaca ceritanya mungkin bisa menjadi inspirasi bagi anda dalam menjalani proses kreatif anda sendiri. Selamat menikmati.

***
Cara berpikir yang mencampuradukkan kenyataan alam dengan kenyataan kebudayaan adalah warisan dari sejarah lama bangsa kita, warisan dari jaman penjajahan dan jaman raja-raja.
Di jaman dulu kekuasaan raja dan sistem feodal yang menyertainya dianggap sama mutlaknya dengan hukum alam. Oleh karena itu, apabila orang menghadapi sistem kekuasaan seperti itu maka ia bersikap sebagaimana ia menghadapi nasib: harus nrimo dan pasrah.
Keadaan sosial, politik, dan ekonomi seakan-akan adalah buah dari kemauan nasib dan dewata. Rakyat tidak bisa ikut campur tangan apa-apa. Apalagi kalau mau mengubahnya! Dalam keadaan yang sangat buruk sekalipun, paling banter rakyat hanya bsa berdoa dan berharap. Persis seperti menghadapi dewata dengan kehendaknya. Atau mendemonstrasikan kemampuannya nrimo dan pasrah, sebagai sajen dan tumbal, untuk melunakkan hati sang dewata agar berkenan melimpahkan samodra kasih dan perlindungan.
Kesenian tradisional menggambarkan pergulatan politik antara ksatria dan raja-raja sebagai pergulatan moral atau pergulatan kekuatan wahyu masing-masing. Rakyat tidak pernah digambarkan sebagai suatu unsur yang menentukan di dalam kancah pergulatan semacam itu. Rakyat tidak bisa mengharapkan perubahan sistem. Paling jauh rakyat hanya bisa mengharapkan bahwa raja yang menang adalah raja yang baik hati, adil, dan bijaksana. Jadi keadaan sosial, politik, dan ekonomi yang baik hanya digantungkan pada kebaikan hati dan iklim temperamen sang raja, yang sama dengan berhala, yang sama dengan sang dewata, sang penguasa nasib.
Tetapi sekarang ini sudah jaman modern. Sejak revolusi kemerdekaan tahun 1945 dengan sadar kita memasuki jaman demokrasi. Kita melawan feodalisme dan rakyat mempunyai hak untuk ikut menentukan kebijaksanaan sosial, politik, dan ekonomi. Lembaga pendapat umum harus terbuka untuk kritik dan saran dari rakyat mengenai kebijaksanaan tersebut. Perhatian dan partisipasi rakyat dalam hal-hal tersebut adalah sah dan wajar. – Maka seniman sebagai anggota masyarakat, sebagai sebagian dari rakyat yang tidak ikut berkuasa, akan sah dan wajar pula kalau menyuarakan hasrat dan pendapat mengenai keadilan sosial, ekonomi, dan politik di dalam karyanya. Tidak bisa karyanya dianggap merosot hanya karena ia membicarakan masalah tersebut di dalam karyanya. – Ataukah ada perbedaan pendapat mengenai “bentuk seni” di dalam hal ini?
Adapun “bentuk seni” tidak pernah terlepas dari kaitan dengan “isi”-nya.
Dulu di Eropa, di jaman neoklasik, orang selalu memakai bentuk sanjak apabila menulis cerita atau sandiwara. Tetapi begitu Eropa menginjak era modern dan mengenal realisme orang lalu memakai bentuk prosa. Tentu saja orang-orang kolot, sisa neoklasikisme, menganggap seni yang realistis itu merosot nilainya. Tetapi ternyata bentuk seni kaum realis ini tahan ujian jaman karena ternyata memang memberi bentuk kepada kebutuhan jamannya. Jadi otentik dan wajar. Tidak artifisial.
Ternyata “bentuk seni” itu tidak mutlak dan dogmatis. Melainkan selalu dinamis dan berkembang.
Sebagai seniman saya mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan “bentuk seni” yang beragam.
Sebagai seniman saya mempunyai disiplin untuk tidak mengabdi pada “bentuk seni” tertentu. Melainkan saya harus menguasai daya kekuatan seni yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikiran saya.
Pada waktu remaja, rohani dan pikiran saya asyik melebur ke dalam alam. Hukum alam dan gejala-gejala alam menghisap minat saya. Sejajar dengan itu saya tertarik pada penghayatan alam dongeng, legenda, dan mitologi.
Waktu itu alam di luar dan alam di dalam diri saya, saya amati, saya peluk, saya setubuhi, saya hayati. Seluruh pancaindra saya, saya pertanyakan kembali, saya kenali kembali, saya segarkan dalam gairah pergaulan yang baru.
Dalam proses itu saya sampai pada “kesadaran alam”, yakni kesadaran di luar “kesadaran kebudayaan”, atau kesadaran di luar perbendaharaan kebudayaan sehari-hari, di luar akal sehat pada umumnya. Dengan kata lain saya sering berada dalam keadaan tranceatau stoned.
Bisa dimengerti bahwa pada waktu itu saya senang sekali menonton wayang kulit, mendalami suluk-suluk sang dalang, dan juga dekat dengan teknik dan bentuk tembang dolanan anak-anak Jawa yang penuh dengan imajinasi orang yang sedang stoned atau trance.
“Bentuk seni” Angkatan 45 yang liris-ekspresif atau realistis-ekspresif, yang waktu itu sedang dominan dan juga saya kagumi, tidak bisa saya pakai untuk mengungkapkan isi rohani dan pikiran saya yang sedangstoned. Karena itu saya pakai “bentuk seni” sebagaimana yang terlihat di dalam kumpulan sajak saya Ballad Orang-orang Tercinta, Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Duabelas Perak, dan Malam Stanza.
Di permulaan tahun-tahun Mahasiswa saya, masih dalam keadaan rohani dan pikiran yang stoned, saya jatuh cinta dan menikah. Jadi, saya menghayati pernikahan dan percintaan saya lebih sebagai peristiwa alam daripada peristiwa sosial. Muda dimengerti bahwa alun gelombang asmara dalam keadaan seperti membuat saya sangat peka pada melodi dan irama dalam alam.
Selain dari itu peristiwa pernikahan dan jatuh cinta yang mendorong saya untuk lebih menyadari peristiwa mati dan hidup dalam alam. Ya, keterbatasan, kefanaan, dan daya hidup menjadi pusat penghayatan saya. Dan sejajar dengan itu saya berusaha berdialog dengan yang Abadi. Keterbatasan dan kefanaan saya mencoba mengerti dan meraba yang Abadi. Di dalam proses itu saya merasakan anugerah daya hidup yang diberikan oleh yang Abadi kepada keterbatasan dan kefanaan saya. – Memang, setiap manusia diberi anugerah daya hidup dan daya mati. Dan daya hiduplah yang bisa memberi makna positif kepada keterbatasan dan kefanaan manusia.
Dalam periode itulah lahir sajak-sajak saya Kakawin Kawin danMasmur Mawar.
Pada waktu itu sebenarnya di Indonesia sedang terjadi pergolakan sosial, politik, dan ekonomi yang besar. Banyak seniman terlibat di dalam pergulatan dengan masalah-masalah itu dan mencerminkan hal tersebut di dalam karya mereka.
Saya juga tergugah oleh persoalan sosial, ekonomi, dan politik masa itu. Tetapi pengetahuan saya dalam ilmu politik, ilmu sosial, dan ilmu ekonomi waktu itu minim sekali. Lagi pula rohani dan pikiran saya masih asyik stoned. Karena itu jelas penghayatan saya terhadap masalah-masalah itu tidak bisa tuntas. Jadi, paling banter sentuhan saya dengan masalah-masalah tersebut hanya mendorong saya untuk melakukan instropeksi sebagai langkah pertama saya untuk melihat letak diri saya dalam peradaban sehari-hari. Hasilnya adalah Sajak-sajak Sepatu Tua.
Pada masa itu saya juga terdorong untuk bersikap rekatif terhadap pandangan-pandangan mutlak yang mengharuskan seni untuk terlibat di dalam masalah sosial-politik.
Saya menghargai kelayakan, tetapi saya selalu mempertanyakan keharusan yang dipaksakan. Daya hidup saya yang mendorong pada sikap semacam itu! Oleh karenanya sukar dibayangkan bahwa saya akan sudi untuk kterlibat di dalam masalah sosial-politik-ekonomi sebagaimana seniman-seniman Lekra yang didikte oleh keputusan-keputusan Sentral Partai. Meskipun begitu saya tidak pernah anti kepada seni yang “terlibat”. Bahkan, mungkin sebenarnya saya sudah terdorong untuk terlibat tetapi belum menguasai sarana-sarana penghayatannya.
Baru setelah tahun 1964 saya pergi ke Amerika Serikat dan tinggal di sana selama 3,5 tahun saya sempat berkenalan secara sungguh-sungguh dengan sarana-sarana penghayatan itu. Yakni ilmu sosial, ilmu politik, dan ilmu ekonomi. Bukan berarti saya lalu menjadi ahli dalam bidang-bidang itu, tetapi saya mulai memahami dasar ilmu tersebut.
Meskipun demikian, proses penghayatan itu ternyata tidak gampang. Dari alam stoned saya harus menyeberang ke alam common-sense.Seperti orang bertapa yang turun gunung, lalu tergagap dan termangu di dalam pasar.
Banyak pengalaman rohani dan pikiran saya di dalam persentuhan dengan persoalan sosial, politik, dan ekonomi itu. Tetapi saya belum bisa merumuskan pengalaman itu dengan baik di dalam alam kesadaran saya yang baru itu. Demikian pula belum bisa menemukan “bentuk kesenian”-nya yang cocok.
Di dalam ketegangan kreatif serupa itu, persoalan itu menyentuh rasa moral saya. Sebagai hasilnya, lahirlah Blues untuk Bonnie yang tidak merumuskan persoalan sosial-politik, tetapi persoalan moral dancommon-sense. Dari common-sense saya mulai sering melihat situasi absurd yang tidak ada di dalam alam stoned.
Baru setelah tahun 1971 saya mulai bisa melihat persoalan ketimpangan keadilan sosial-politik dan ekonomi secara struktural. Bersama dengan Bengkel Teater saya mulai membina diri saya dengan menyelenggarakan diskusi-diskusi, seminar-seminar kecil yang sangat terbatas, dokumentasi guntingan-guntingan koran, dan melakukan perjalanan studi ke desa-desa.
Ketegangan kreatif saya meningkat. Saya hidup dengan disiplin pribadi yang kuat. Saya tengah mencari “bentuk seni” yang tepat untuk isi pikiran dan rohani saya yang sedang terlibat dengan persoalan sosial-politik-ekonomi. Bentuk yang pernah saya pakai dulu tidak memenuhi kebutuhan saya sekarang.
Lalu terjadilah satu ironi. Dalam saat seperti itu saya melakukan meditasi lagi. Kembali saya masuk ke dalam gelombang pikiran “alpha”. Kembali saya stoned. Saya menulis sajak-sajak “Anuning Ning”. Sesudah itu saya mengalami ketenangan. Dan saya bunting. Beberapa saat kemudian lahirlah sajak-sajak saya yang terlibat dengan masalah sosial-politik dan ekonomi. Tidak gampang menuliskan sajak-sajak tersebut. Dari tahun 1971 sampai 1978 hanya beberapa sajak yang saya tulis, yakni sajak-sajak yang saya kumpulkan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Waktu saya bacakan di muka umum, ternyata sambutan umum sangat baik. Berarti usaha artistik saya berhasil. Sebab jembatan seniman dengan khalayak ramai hanyalah kekuatan “bentuk seni”. Sebab meskipun isinya hebat, tetapi kalau “bentuk seni”-nya lemah, tidak akan menarik khalayak ramai. Ibarat orang gagap yang punya gagasan bagus tetapi tidak mampu menyampaikannya.
Khalayak ramai adalah alat penunjuk suksesnya “bentuk seni” yang lebih baik daripada kritikus. Sebab khalayak ramai selalu punya kenyataan kehidupan yang akan dipakai untuk mengukur relevansi “bentuk seni” maupun “isi seni”. Sedangkan kritikus hanya punya teori seni dan selera seni yang kadang-kadang aneh secara memalukan karena sudah jauh terlepas dari kenyataan kehidupan manusia secara lahir maupun secara mental.
Sejarah sudah menunjukan bagaimana kritikus salah menilai Chairil Anwar semasa hidupnya. Demikian pula di Eropa, William Shakespeare dan Moliere selama hidupnya selalu dicaci oleh para kritikus sebagai pencipta seni yang merosot, tetapi selalu mendapatkan penonton yang meluap. Dan ternyata sejarah memihak kepada Shakespeare dan Moliere; tidak kepada para kritikus dijamannya.
Mozart mati dalam kemiskinan bukan karena ia tidak punya penonton, tetapi karena sistem ekonomi yang memungkinkan penindasan kepada seniman. Ia selalu mendapat sambutan hangat dari khalayak ramai meskipun para kritisi di jamannya, yang dikuasai oleh selera musik Itali, selalu menekannya dengan ganas.
Tentu saja, ada juga kritikus-kritikus yang cukup peka kepada kenyataan kehidupan. Pengecualian seperti itu selalu ada. Tetapi secara umum kalau saya harus memilih, saya akan memilih reaksiaudience daripada kritikus.
Bukan maksud saya bahwa saya akan mengabdi kepada selera massa, tetapi saya akan membimbing selera massa. Karena massa selalu hanya mengagumi apa yang mereka belum punya, tetapi relevan dengan kenyataan kehidupan. Meskipun itu kenyataan hidup yang sebelumnya tidak pernah mereka sadari. Jadi dalam “bentuk seni” yang otentik-unik. Bukan yang eksentrik-unik.
(Waktu dibacakan di dalam acara Temu Sastra di TIM tanggal 6 Desember 1982, makalah ini baru selesai ditulis sampai di sini. Selanjutnya disambung secara lisan. Sekarang apa yang diucapkan secara lisan itu ditulis kembali dengan tambahan-tambahan susulan pikiran yang dianggap perlu).
Pengalaman mengajarkan bahwa penonton dan pembaca tidak bodoh, dan lebih peka daripada kritikus. Mereka lebih cepat menerima karya-karya saya yang tergolong “sulit” seperti – Teater Mini Kata, Kasidah Berzanzi, yang keduanya sangat eksperimental. Dan mereka juga lebih hangat dan spontan dalam menanggapi sajak-sajak saya yang eksperimental, seperti “Khotbah”, dan lain-lain. Tetapi mereka memang tidak akan bisa menerangkan kenapa mereka suka atau tidak suka dengan bahasa kritik seni. Bahasa mereka adalah bahasa kehidupan sehari-hari. Ya, saya menghargai penonton dan pembaca lebih tinggi daripada kritikus.
Kritikus adalah jembatan antara para penonton dan pembaca dengan seniman? Omong kosong! Kritikus adalah jembatan antara seniman dengan kemungkinan-kemungkinan spekulatif dalam dunia seni.
Jembatan yang benar-benar bisa diandalkan antara seniman dengan penonton atau pembacanya adalah kekuatan “bentuk seni”-nya. Seniman yang menghiba-hiba dan memohon agar kritikus suka menjadi jembatan bagi karyanya, sebenarnya kalau diteliti ternyata karyanya itu memang punya “bentuk seni” yang lemah, atau yang tidak otentik timbul dari penghayatan terhadap kehidupan, tetapi timbul dari prasangka-prasangka yang eksentrik dan dari tingkah genit yang dibikin-bikin. Jadi memang serba artifisial.
Ya, kekuatan “bentuk seni”-lah yang bisa menjadi jembatan antara seniman dan publiknya. Tetapi setelah publik menyeberangi jembatan itu, kekuatan yang bisa memuaskan publik dalam hal mutu adalah “isi seni” itu.
Dalam hal ini saya sependapat dengan ucapan penyair warga negara Inggris kelahiran Amerika, T.S Eliot, yang dikutip oleh Mochtar Lubis: “Kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika”.
Memang betul. Karya-karya sastra yang dianggap besar di dunia dan banyak dibaca oleh orang adalah karya-karya yang yangsetelah bisa menawan rasa-sen pembacanya (bukan kritikusnya), lalu masih bisa pula memberikan pemikiran-pemikiran penting yang menyangkutkebutuhan dasar manusia dalam hidupnya yang aktual ataupun yang spekulatif, yang rohani ataupun yang jasmani, yang filosofis ataupun yang sosial-politik-ekonomi, yang mistis ataupun yang logis, yang puitis ataupun yang prosais; pendeknya yang menyangkut kebutuhan dasar manusia sebagai totalitas. Dan yang saya maksud dengan yang “dasar” adalah tak terhindarkan secara nasib dan kebudayaan. – Karya sastra yang besar selalu mengandung gagasan yang menyangkut kebutuhan dasar tersebut. Gagasan yang disebut sebagai “gagasan besar” sebenarnya lebih tepat disebut “gagasan penting” karena sifatnya yang mendasar itu. Dan itulah pula sebabnya kenapa “gagasan besar” itu rumusannya sederhana, tidak di-kompleks-kan atau di-muluk-kan.
Lalu masih ada tempatkah untuk gagasan kecil dalam kesenian? Pertanyaan semacam ini sebetulnya tidak relevan. Tentu saja ada. Dalam kehidupan kita toh juga membutuhkan hiburan hati atauklangenan, melihat yang aneh-aneh atau yang manis-manis untuk selingan dan melewatkan waktu senggang kita. Kerajinan tangan pun ada gunanya dalam hidup ini. Meskipun semuanya itu tidak bersifat dasar. Karena manusia memang tidak hanya sekadar bersifat dasar. Tetapi untuk yang kecil dan yang besar masing-masing kan ada proporsi dan harganya yang sesuai.
Kalau yang dipersoalkan apakah ada faedahnya seniman menggarap peristiwa-peristiwa kecil, lain lagi relevansinya. Sebab gagasan besar sering justru suka meminjam peristiwa kecil. Tidak semua gagasan besar harus punya wadah peristiwa besar seperti dalam Arjuna Wiwaha, Dewa Ruci, Bhagawad Gita, Oidipus Rex, Hamlet, dan seterusnya. Anton Chekov justru sengaja memakai peristiwa yang kecil dan datar untuk mengutarakan gagasannya mengenai hubungan jalan hidup manusia yang konyol dan mancet dengan keterbatasan kebudayaan kota kecil di daerah yang jauh dari Ibu Kota dan masih bersifat borjuis-feodal. Contoh lain serupa itu masih banyak lagi.
Ironinya justru gagasan-gagasan remehlah yang sering meminjam peristiwa-peristiwa yang dramatis atau eksentrik. Ironis pula bahwa seniman yang “sok seni” hanya sampai pada “tipu seni” dan bukan “daya seni”.
Sekarang, kembali kepada persoalan kegelisahan saya waktu akan menulis sajak-sajak yang terlibat di dalam masalah sosial-politik-ekonomi. Jelas saya tidak bisa mengulang sukses sajak “Khotbah” atau “Nyanyian Angsa” yang banyak disenangi pembaca/penonton, diterjemahkan ke beberapa bahasa, dan dipuji oleh banyak kritikus.
Dasar keterlibatan kedua sajak itu adalah moral dan akal-sehat, sehingga lahir sifat yang menggugat pada konvensi. Sarana di luar estetika yang saya pakai adalah filsafat kemanusiaan dan pengalaman mistis. Di situ mungkin bagi saya untuk memberikan kontur misteriambiguity kepada sifat brutal dari sajak-sajak itu.
Tetapi untuk menulis sajak yang terlibat di dalam masalah sosial-ekonomi-politik, di luar sarana estetika, saya tidak bisa hanya memakai filsafat semata. Saya harus memakai terutama ilmu sosial-politik-ekonomi, termasuk juga riset akan data dan fakta. Jadi bukan sekadar sarana yang spekulatif tetapi sarana yang kongkret dan lugas. – Astaga! Maka sadarlah saya, bahwa saya akan kehilangan isi yang mempunyai nuansa misteri. Ya, saya harus mengikhlaskan diri untuk tidak memakai pesona misteri dan ambiguity yang menjadi kekuatan “Nyanyian Angsa” dan “Khotbah”. Kebutuhan isi rohani dan pikiran saya tidak mengizinkan saya untuk bimbang lagi. Kalau perlu saya harus ikhlas kehilangan penggemar-penggemar yang lama. Sebab dari dulu saya tidak mencari penggemar, meskipun saya gemar penggemar. Wawancara dan persetubuhan dengan hidup lebih utama bagi saya.
Makin lama saya makin mantap. Misteri dan ambiguity saya ganti dengan pengertian analisa struktural. Tanpa itu sajak sosial tidak punya relevansi politis. Dan inilah yang saya ingin dan maksudkan di dalam menulis sajak-sajak sosial-politis: relevansi politis. Bukan relevansi moral seperti dalam sajak-sajak saya “Khotbah” dan “Nyanyian Angsa”.
Dan isi gagasan saya tersebut di atas membutuhkan “bentuk seni” yang lain. Metafora surealistis dari “Khotbah” dan “Nyanyian Angsa” tidak bisa dipakai di sini secara pokok. Melainkan saya harus menggantinya dengan struktur sajak yang mengandung skema danmetafora yang mempunyai kekuatan grafis.
Saya bersyukur pada bakat artistik saya yang membuat saya dengan gampang bisa mengganti metafora yang simbolistis dan surealistis dengan metafora yang mempunyai plastisitas yang grafis itu. Rupa-rupanya persoalan estetika dalam menulis sajak sosial-politik-ekonomi bukanlah kesukaran praktis begitu ide “bentuk seni”-nya sudah saya temukan.
Tinggal selanjutnya menguji perkembangan kesenian saya itu dalam komunikasi yang nyata.
Di depan gelora massa mahasiswa di kampus-kampus UI, ITB, UNPAD, IPB, dan UII, dan juga di depan para penonton dari beragam lapangan kehidupan yang memenuhi Teater Terbuka di TIM dan Gedung Olahraga di Yogyakarta, ternyata kekuatan “bentuk seni” saya yang strukturnya skematis dan metaforanya plastis-grafis itu berhasil mencekam penonton. Sedangkan waktu sajak-sajak itu diterbitkan sebagai buku yang berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi, dalam tempo sebentar sudah mencapai cetak ulang. Selanjutnya buku itu sudah pula diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Inggris. Sebentar lagi akan muncul pula terjemahannya dalam bahasa Jepang.
Ya, faktor estetika sudah saya pecahkan. Saya tidak lagi pusing dengan pendapat para kritisi yang terkurung oleh alam pikiran yang meskipun sudah beragam tetapi tidak punya pengertian politis, dan oleh karenanya saya anggap tidak mengerti persoalan dalam hal ini.
Orang-orang Lekra dulu tidak bisa mencapai publik besar karena mereka tidak mau berpikir serius mengenai “bentuk seni” dari gagasan mereka.
Saya akhiri makalah pesanan DKJ ini di sini. Selesailah tugas pesanan saya untuk menguraikan proses kreatif saya sebagai penyair. Gambaran periode-periode proses kreatif itu tidak terlalu mutlak batasnya. Sebenarnya batasnya bukan dalam gambaran tahun atau masa (meskipun ada unsur tahun dan masa itu), tetapi dalam gambaran “momentum”.
O, ya baru-baru ini saya pergi ke Tana Toraja dan Tana Bugis. Saya mengalami cultural shock. Latar belakang kebudayaan Jawa Mataram Baru saya diguncang-guncang oleh dinamisme kebudayaan di sana dan saya merasa mengkeret. Saya merasa bahwa sajak-sajak yang sudah saya tulis perlu saya per…. Ah, saya sungguh belum siap bicara mengenai proses yang sekarang ini sedang terjadi dalam diri saya.