Friedriech Nietzsche
KEPADA TUHAN YANG TAK DIKENAL
Sebelum perjalanan kulanjutkan
Dan sebelum pandang kulayangkan ke depan
Baiklah sekali lagi dalam sepi kuangkat tangan
Kepada-Mu tempat aku melarikan diri
Dari lubuk hati terdalam kupersembahkan
Altar-altar pemujaan penuh takzim
Agar setiap kali suara-Mu memanggilku kembali
Di altar itu akan teruikir sedalam-dalamnya
Kata-kata membara: Kepada Tuhan tak dikenal
Aku ini milik-Nya, walau sampai kini
Tetap bersama gerombolan para penghujat:
Aku milik-Nya dan kurasakan perangkap
Yang dalam pergulatan menjeratku ke bawah
Dan walau aku coba melarikan diri
Tetap jerat itu memaksakku menjadi hamba-Nya
Aku ingin mengenal-Mu, wahai Yang Tak Dikenal
Kau, yang mengorek terus ceruk jiwaku
Yang menjelajahi hidupku seperti badai
Kau yang tak terpahamkan, sama sepertiku!
Aku ingin mengenal-Mu, malahan ingin jadi hamba-Mu!
Fridriech Hoelderlin
DIOTIMA
Kau menderita dan tetap membisu, asing pada mereka
Ya, kau hidup tulus! Diam-diam pudar dan layu
Sebab bersama orang kasar memanglah sia-sia
Susah kawan dicari dalam cahaya matahari
Jiwa luhur lembut tiada lagi, namun
Waktu toh cepat berlalu. Walau fana laguku akan hidup
Menyaksikan hari-hari malaikat
Dan kau pun akan diberi nama selaras dengan dirimu
SETENGAH HIDUP
Penuh buah-buah pir
Dan mawar-mawar liar
Pemandangan tergantung di danau
O angsa-angsa lembut;
Mabuk oleh siuman
Kaucelupkan kepalamu
Di air suci tenang
Amboi, di mana dapat kupetik
Jika musimdingin tiba, kembang-kembang
Di mana matahari terbit
Dan baying-bayang di tanah?
Tembok berdiri tegak
Tuli dan dingin, pipa penyalur udara
Berdesing-desing dalam angina
KEMUDIAN DAN SEKARANG
Pada hari-hari mudaku tiap pergi aku bangkit riang
Menangis waktu malam turun; sekarang, pada masa tuaku
Walau ragu kumulai hari-hariku lagi, namun
Selalu akhirnya terang dan kudus.
Rainer Maria Rilke
APA YANG KAULAKUKAN
Apa yang kaulakukan, Tuhan, bila aku mati?
Bila aku, kendimu, pecah dan terbaring?
Bila aku, minumanmu, basi dan kering?
Aku adalah jubahmu, dagang yang kau jjalankan,
Kau kehilangan makna, kehilangan aku.
Tanpa aku kau tak berumah, terampas
Dari sambutan riangmu, kehangatan dan kemanisan
Aku adalah sandalmu,kaki lelahmu
Akan berjalan telanjang sebab memerlukan aku
Mantel kebesaranmu akan terlempar jauh
KKilauanmu di pipiku
Dan kehangatan empuk, akan mencari dengan putus asa
Kesenangan yang pernah kuhidangkan –
Buat menggeketak, ketika warna matahari senja memudar
dalam pelukan dingin batu-batu asing.
Apa yang kaulakukan Tuhan? Aku cemas.
KAMI SEMUA PEKERJA
Kami semua pekerja: murid ilmu pertukangan, musafir
atau guru, kami membangunmu – kau lingkar pusat gereja menjulang
Kadang akan muncul pada kami sebuah kubur
Pelancong, yang bagaikan keharuan berkilauan
Jiwa ratusan pengrajin
Lketika gemetar memnunjukkan kecakapan barunya
Kami mendaki bukit perancah karang
Palu di tangan kami berat berayun
Hingga dahi kami merasakan belaian sayap
Dari waktu gemerlapan yang kenal segala
Dan berasal darimu seperti angin berasal dari lautan
Lalu pukulan palu bergema, tak terhingga
Dan melalui gunung-gunung gaung nyaring bersahutan
Hanya dalam sembur gelap kepada-Mu menyerah akhirnya
Dan pelahan garis-garis sosokmu tersingkap pada kami.
Johann Woflfgang Von Goethe
AZIMAT
Timur milik Tuhan
Barat di bawah kuasa Tuhan
Tanah-tanah, utara dan selatan
Di tangan pengasih-Nya semayam
Dialah yang adil hanya
Bagi setiap orang apa yang benar?
Dri seratus nama-nama-Nya
Biar saja satu yang disanjung! Amien.
Perjalananku membuatku kusut
Tapi Kau dapat meluruskannya
Kala aku bekerja atau mengarang
Semoga Kau saja jadi petunjuk jalanku
Dibanding perkara dunia yang kupikirkan
Tetap ini saja yang membuatku tegak lebih tinggi
Tidaklah bersama debu jiwa ini berserakan
Tetapi kepda dirinya kembali dan meninggi
Ada dua berkah dalam bernafas:
Menghela di udara dan membuangnya
Yang satu membingungkan, yang lain menyegarkan
Begitu mulia hidup yang bercampur baur
Ketika tersiksa bersyukurlah kepada Tuhan
Pun kembalilah bersyukur jika dibebaskan.
TAK TERHALANGI
Kepada Hafiz
Karena kau tak dapat berakhir
Itu yang membuatmu besar
Nasibmu sudah untuk tak pernah memulai
Lagumu riang seperti lompatan bintang-bintang
Awal dan akhir serupa
Dan yang di tengah tetap yang akhir dan yang awal
Sungguh kau mata air keriangan puisi
Air tak habis-habis mengalir darimu
Sebuah bibir yang siap mencium
Lagu nikmat dalam terus mengalir
Sebuah kerongkongan dahaga senantiasa
Hati yang selalu mencurahkan kebaikan dengan sendirinya
Dan walau seluruh dunia karam dalam keruntuhan
Hafiz, denganmu sendiri aku akan bangkit
Biar kita yang kembar ini berbagi duka dan riang
Mencinta seperti kau mencinta
Minum seperti kau minum
Jadi kebanggaan dan kerja sepanjang hayatku
Kini, o laguku, bicaralah dengan apimu sendiri
Sebab kau lebih tua, pun lebih muda darinya.
Di sunting dari catatan Abdul Hadi W. M.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar