Sa’di
Dimasukkan oleh w3a4n3 On 18 Oct 2010. Terhimpun dalam Hikmah Tags: Hikmah
Oleh Fikri Yathir
Hikmah Alam 1“Balaghal ’ula bi kamalihi kasyafad duja bijamalihi hasunat jami’u hishalihi, shallu ’alaihi wa alihi.”
Saya menemukan kuplel-kuplet yang indah ini pada haji saya yang pertama. Karena bergabung dengan rombongan ONH biasa, saya tinggal berdesakan dalam ruang sempit. Ruang itu tidak mempunyai hiasan dinding apa pun selain tulisan kaligrafi dengan kuplet-kuplet itu. Syair yang sangat indah dan gampang dihapal. Penyair melukiskan sifat Nabi saw dengan singkat: la sudah mencapai kemuliaan dengan kesempurnaannya. Ia telah menyingkapkan kegelapan dengan keindahannya. Cemerlang semua perilakunya. Sampaikan salawat kepadanya dan keluarganya.
Sekian puluh tahun sesudah itu, saya berkenalan dengan penulisnya. Ternyata, ia bukan orang Arab, walaupun menurut penulis biogralinya ia berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Ia juga lebih banyak menulis puisi dalam bahasa Persia. Hampir setiap orang Iran sekarang menghapal paling tidak satu kupletnya. Para pembicara dan penulis menaburkan syair-syairnya dalam pembicaraan dan tulisan mereka. Sa’di, yang punya lakon dalam perbincangan kita ini, memang hanya dapat ditandingi oleh Firdausi, Nizami, dan Anwari.
Sa’di mengikuti tarekat Naqshabandi; ia sempat naik haji bersama Syaikh Abdul Qadir Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah. Puluhan tahun ia menjalani kehidupan sebagai sufi yang berkelana ke berbagai negeri, menjajakan kearifan perenial. Sufisme yang diajarkannya bukanlah sufisme ritual. Lewat puisi-puisinya, Sa’di mengkritik para tiran dan orang-orang kaya di zamannya. Walaupun amat dihormati oleh para raja, ia hidup sederhana. Ia mempraktikkan apa pun yang ia khotbahkan. Seperti kakeknya, Muhammad saw, ia menyebarkan kasihnya kepada semua manusia, apa pun agama dan keyakinannya. Ia berusaha untuk menebarkan rahmat ke seluruh alam.
Bani Adam semuanya anggota badan yang sama
Karena pada awalnya berasal dari jauhar yang sama
Jika satu anggota sakit karena kemalangan
Anggota-anggota yang lain tak kan menikmati ketenangan
Jika kamu tidak merasakan apa yang orang lain derita
Tidak pantas kamu menyebut dirimu manusia
Puisi di atas diambil dari salah satu master piece-nya, Guliston, Taman Bunga Mawar. Sa’di sedang berziarah ke kuburan Nabi Yahya di Damaskus. Ia memberikan nasihat kepada seorang tiran, yang meminta doa darinya untuk mengalahkan musuh-musuhnya: Bar ra’yat-e zhaif rahmat kun, ta az dusyman-e qawiyy zahmat nabini (Perlihatkan kasih sayangmu kepada rakyat yang lemah, supaya kamu dilepaskan dari gang-guan musuhmu yang kuat).
Dalam Gulistan, ia mempersembahkan 40 cerita untuk mengkritik para penguasa. Kita akan memperkenalkan sebagian di antaranya.
Seorang sufi, yang doanya selalu dikabulkan Tuhan, datang ke Baghdad. Hajjaj bin Yusuf, seorang penguasa yang sangat kejam, memanggilnya.
“Tolong doakan yang baik buat saya,” kata Hajjaj kepadanya.
Sang sufi berdoam “Tuhan, ambillah nyawanya.”
“Demi Allah, doa macam apa ini?” kata Hajjaj.
Ia menjawab, “Inilah doa yang baik buat kamu dan seluruh kaum muslimin.”
Hai penindas! Penindas rakyat tak berdaya
Betapa cepatnya pasarmu akan binasa
Apa untungnya kerajaan bagimu
Ketimbang menindas, lebih baik kematianmu
Seorang raja yang tidak adil bertanya kepada seorang saleh, “Bagiku apa ibadat yang paling baik?”
Ia menjawab, “Bagimu ibadat yang paling baik adalah tidur siang hari. Dengan begitu, kamu berhenti sejenak dari menindas manusia.”
Pada waktu siang hari, seorang tiran berbaring
Kataku, lebih baik bencana ini tetap terbaring
Siapa saja yang tidurnya lebih baik dari bangunnya
Lebih baik memilih mati orang yang jahat hidupnya
Alkisah, ada seorang zalim mengambil kayu bakar dari orang miskin dengan paksa. Kemudian ia memberikannya kepada orang kaya. Seorang saleh lewat di hadapannya dan memberi nasihat: “Apakah kamu ular yang menggigit siapa pun yang kamu lihat. ataukah kamu burung hantu, di mana pun kamu duduk kamu mematuknya? Sekiranya kekerasan kamu itu lewat begitu saja di hadapan kami, ia tidak akan luput dari pengamatan Tuhan. Hati-hati, penduduk bumi yang kamu zalimi akan melawanmu dengan doa mereka ke langit.”
Orang zalim itu tidak menghiraukan ucapannya.
Pada suatu malam, api menjalar dari dapur, membakar bongkah-bongkah kayu, melalap seluruh kekayaannya, melemparkan dia dari ranjang yang empuk ke tumpukan debu. Pada saat itu, orang saleh lewat lagi di hadapannya. Ia sempat nguping pembicaraan si zalim itu kepada kawan-kawannya: “Aku tidak tahu dari mana asal api yang membakar rumahku ini?”
Orang saleh itu berkata, “Dari hati orang-orang miskin.”
Hati-hatilah pada jeritan hati yang terluka
Karena deritanya yang tersembunyi akan terlambat kauamati
Jika mampu, jangan buat siapa pun menderita
Karena jeritan derita dapat mengguncang dunia
Sa’di tak hanya bercerita tentang para tiran. Ia juga berkisah tentang Nusyirwan, tokoh yang terkenal adil; atau Hatim al-Thay, orang kaya yang terkenal dermawan.
Sekali waktu, Nursyirwan berburu. Pejabat rumah tangganya mempersiapkan ayam bakar untuk makannya. Tapi, garam tak ada. Mereka mengutus budak mencari garam di desa yang berdekatan.
Nursyirwan berkata, “Bayarlah garam yang kamu ambil, supaya pengambilan garam begitu saja tak jadi kebiasaan, nanti desa itu akan hancur.”
Mereka berkata, “Apa ruginya? Kita hanya akan mengambil sedikit saja.”
Raja berkata, “Semua kezaliman bermula dari yang sedikit. Kemudian tiap orang sesudah itu menambahnya, hingga akhirnya menjadi sangat besar.”
Jika raja makan sebutir apel dari kebun rakyat
Anak buahnya akan mencabuti semua pohonnya
Orang zalim tidak selalu abadi
Tetapi laknatnya akan terns lestari
Sumber: UMMAT No. 6 Tahun IV 17 Agustus 1998 / 23 Rabiul Akhir 1419 H hal. 74
Disebarluaskan oleh Wawan Kurniawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar