19 Oktober 2011

HIDANGAN RUHANI: SAJAK-SAJAK JAMI, IBN `ARABI DAN SANA'I

HIDANGAN RAMADHAN:

SAJAK-SAJAK JAMI, IBN `ARABI DAN SANA`I

Abdul Hadi W. M.

Abdul Rahman Jami

AKU DAN DUNIA

Perselisihan antara aku dan dunia ini

Membuatku enggan pada dunia

Dari tujuan lain telah kupalingkan hatiku

Agar terhapus diriku oleh cinta kepada-Mu

O Tuhan, bisakah Kaubebaskan daku

Dari genggam kesesatan agar kusaksikan kebesaran-Mu?

Orang ingkar telah Kau jadikan Muslim sejati

Mengapa tak Kau jadikan aku Muslim yang bijak?

Nafsuku atas dunia ini telah menjerumuskan aku

Beri aku mahkota kefakiran dan kemuliaan

Supaya aku menjadi zarrah dalam rahasia-Mu

Palingkan wajahku dari jalan yang tiada menuju-Mu

Ibn ‘Arabi

MESTIKAH KUPAHAM

Mestikah kupaham apa mereka tahu

Kandungan kalbu mereka

Dan mestikah hatiku tahu

Puncak gunung apa mereka lintasi?

Apa kau pikir mereka selamat

Atau sudah mati pula?

Pencinta dalam cinta

Kehilangan jalan dan terjerat

KUPERGI

Jika kupergi mencari Dia

Takkan putus ku mencari

Jika menjelang ke hadirat-Nya

Melejitlah Dia dariku

Walau tak jauh dari mataku

Tiada aku melihat-Nya

Semula dalam diriku Dia ada

Tapi tak bertemu sepanjang hayatku

ARIF

Hatiku arif menerima segala bentuk:

Padang hijau penggembalaan atau biara orang Kristen

Candi pemuja arca, Ka’bah orang menunaikan haji

Meja tempat menaruh Taurat atau al-Qur’an

Agamaku adalah agama cinta: Jalan apa pun

Yang ditempuh oleh kendaraan Cinta

Itulah agamaku dan kepercayaanku

HARAM

Haramlah semua yang asyik

Memandang selain Dia

Jika wujud Tuhan dan cahaya-Nya

Memancarkan sinar cerlang

Segala yang kukatakan ini tiada

Selain Kau satu semata

Dari-Mu segala yang lain ini

Lahir menjelang rupanya

Hakim Sana'i

HIDUPMU

Hidupmu hanya sesuap nasi di mulutnya

Pestanya pesta perkawinan dan kebangunan

Mengapa kegelapan membuatmu berduka?

Sedangkan malam mengandung hari baru?

Katamu telah kaubentang gulungan permadani waktu

Dan telah melaluinya empat hingga lebih sembilan kali

Langkahkan kakimu ke seberang hidup dan nalar

Baru dapat kaucapai Perintah Tuhan

Tak sesuatu pun kau lihat

Matamu buta disebabkan malam

Di siang hari matamu terkatup

Oleh kebodohanmu sendiri

Kerendahan hati memuaskan dirimu

Sedangkan siksaan tidak

Oleh sarang lebah seorang hamba kebingungan

Sebab dia berada jauh di tempatnya

Kawan, segala yang ada

Adanya melalui dia

Adamu sendiri hanya pinjaman

Lebihnya tiada! Maka fanakan dirimu

Dan jadikan neraka hatimu sorga

Fanakan dirimu! Maka semua akan terpenuhi

Sebab dirimu hanya anak kuda

Yang belum terlatih untuk berlari

Kau adalah kau seperti adamu

Di dalam dirimu cinta dan benci semayam

Kau adalah kau seperti adamu

Percaya dan ingkar bersarang dalamnya

Harap dan cemas

Mendapat keberuntungan dari pintumu

Fanakan dirimu, keduanya

Akan sirna seketika

Di pintunya, apa beda

Antara Muslim dan Kristen

Di pintunya semua pencari

Dan dialah yang dicari

Tuhan tanpa sebab:

Mengapa kaucari sebab?

Matahari kebenaran terbit tanpa diminta

Dan dengannya bulan pengetahuan berkilauan.

(Terjemahan Abdul Hadi W. M. )

WebRepOverall rating Ali Singa Padang Pasir, lukisan kaligrafis pada kaca dari Cirebon.

ORANG PALESTINA

ORANG PALESTINA

SAJAK-SAJAK PERJUANGAN BANGSA PALESTINA

Abdul Hadi W. M. dan Taufiq Ismail

Makhmud Darwish

BURUNG TAK BERKELEPAK

Anak-anak kami berserakan

tanpa rumah, tanpa sandal!

hilang, semua jalan menuju kesesatan

padam, dalam derita dan kemiskinan

demi mereka, demi masa depan mereka

aku belajar berjuang!

Hingga musim bunga mereka kembali

hingga mereka pulang dengan keranjang

berisi segala jenis hasi tanaman

karena itu matahari teruntuk anak-anak

teruntuk hari esok, teruntuk kebenaran

Dan angan-angan.

(terjemahan Abdul Hadi W. M.)

Samir al-Qaseem

DARAH DI TELAPAK TANGAN

Tuan-tuan!

Biarkan mulut beruk berputar-putar

menurut maunya

Ayo!

Akan kuhancurkan jembatan dunia

darahku mengalir pucat

hatiku terdampar di lumpur janji-janji

Hai tuan-tuan dari semua penjuru!

Biar rasa maluku berubah jadi wabah penyakit

Dukaku menjema ular berbisa

Hai sandal hitam berkilat

dari segenap polosok bumi!

Pembalasanku lebih besar

dari suaraku dan usia pengecut

dan diriku…kekuatanku

Hanya sepasangtangan.

(Terjemahan Abdul Hadi W. M.)

PUISI KANAK-KANAK PALESTINA

(dari buku anak-anak bergambar)

Ayam punya rumah

Rumahnya adalah

Kandang ayam yang indah

Kelinci punya rumah

Rumahnya

Lubang dalam tanah

Kuda punya rumah

Rumahnya sangat indahnya

Lautan dan samudra

Kucing gemar berkeliaran

Sepanjang jalan

Tapi seliar-liar kucng

Dia punya rumah juga

Yang dibanggakannya

Burung punya rumah

Nama rumahnya adalah

Sarang burung yang indah

Setiap makhluq punya

Rumah

Dan kampung halaman

Karena rumah di kampung halaman

Adalah tempat orang

Menaat keteduhan

Yang damai

Yang bahagia

Orang Palestina

Tidak berumah

Tidak berkampung haaman

Kemah dan bangunan

Yang didiaminya kini

Bukan rumahnya sendiri

Bukan kampung halamannya sendiri

Di mana rumah

Orang Palestina?

Di Palestna

Tetapi sekarang dia

Tidak diam di sana

Kampung halaman

Orang Palestina

Dirampas

Musuhnya

Siapa musuh

Orang Palestina?

Musuh orang Palestina

Adalah orang

Yang merampas

Kampung halamannya

Bagaimana cara

Orang Palestina

Mendapatkan lagi

Rumahnya sendiri?

Hanya dengan senjata

Orang Palestina bisa

Mendapatkan rumahnya

Dan kampung halamannya

Kembali

Orang Palestna

Akan pulang kampung

Bagi orang Palestina’Kampung halamannya

Adalah punya mereka

(Terjemahan Taufiq Ismail)

Harun Hashim Rashid

ORANG PALESTINA

Orang Palestina

Namaku orang Palestina

Jelas aksaranya

Di seluruh medan pertempuran

Kuguratkan namaku

Tidak ada alias lainnya

Ksara namaku mencengkeramku

Dialah nyala

Dialah denyut

Di darahku

Orang Palestina

Begitulah namaku

Nama yang gaduh

Nama yang duka

Mata mereka mengincar

Membunuh dan mengejar

Karena aku orang Palestina

Dan sesuka hati mereka

Memaksaku ngembara

Daku, seumur hidupku

Tanpa ciri dan tanda

Dan sesuka hati mereka

Mereka beri daku nama

Dan julukan

Penjara dengan gerbang menganga

Menyedotku

Di seluruh airport dunia

Dicatat nama dan julukanku

Angin nista membawaku

Mencincang daku

Orang Palestina

Nama itu memburuku

Menetap dalam diriku

Orang Palestina nasibku

Nama itu bergantung

Di kudukku

Menggelegakkan darahku

Orang Palestina aku

Walau mereka menginjak badanku

Menginjak namaku

Orang Palestina aku

Walau merekamengkhianatiku

Dan meludahi cita-citaku

Orang Palestina aku

Walau mereka menjualku

Di pasar dunia

Dengan harga beribu juta

Orang Palestina aku

Walau ke tiang gantungan dihalau aku

Orang Palestina aku

Walau ke dinding diikat aku

Orang Palestina aku

Orang Palestina

Walau ke api unggun dilempar aku

Aku….apa aku?

Tanpa namaku, orang Palestina

Tanpa kampung halaman

Tempat berlindung

Ku….apa aku?

Jawab aku

Jawab!

(Terjemahan Taufiq Ismail).

WebRepOverall rating Demo bebaskan Palestina di Australia.

KEBUDAYAAN DAN NASIONALISME Abdul Hadi W. M.

Abdul Hadi W. M.

Saya diminta menyampaikan pandangan ringkas tentang nasionalism Indonesia dilihat dari perspektif sejarah kebudayaan. Ini tidak mungkin karena memaparkan perkembangan suatu bangsa dari sudut pandang sejarah memerlukan uraian panjang lebar. Tetapi baiklah, saya hanya akan menyampaikan pokok-pokoknya saja. Nasionalisme adalah sebuah pengertian, begitu pula kebudayaan. Keduanya sebagai pengertian muncul dan berkembang dalam sejarah.

Secara umum nasionalisme sering diartikan sebagai tuntutan politik yang menghendaki agar sebuah negara dibangun di wilayah tertentu. Di dalam wilayah tersebut telah diam komunitas yang secara turun temurun menjadi penduduk tetap negeri tersebut. Komunitas itu berbentuk etnik-etnik dan golongan-golongan politik, keagamaan dan sosial tertentu yang anekaragam, namun telah lama dipertalikan oleh hubungan-hubungan sejarah dan kebudayaan.

Di dalam sebuah negara yang sedang dibangun pasti ada penduduk yang secara turun temurun telah lama membangun suatu kebudayaan. Di sana secara tuturn temurun mereka mengembangkan aliran-aliran pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan tertentu;agama dan aliran-aliran keagamaan; pola hidup dan adat istiadar; berbagai kearifan yg dijelmakan dalam sistem ilmu pengetahuan, seni, filsafat dan kesusastraan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai tuntutan politik, nasionalisme tidak bisa dipahami tanpa melihat sejarah bangsa kita. Bukan saja dari sudut pandang sejarah kekuasaan politik, melainkan juga dari sejarah kebudayaan dan sosial. Krisis yang kita alami dewasa di bidang sosial, politik dan ekonomi pada dasarnya bersumber dari krisis kebudayaan. Salah satu faktor penyebabnya ialah kecenderungan negara kita menjadi negara birokrat (beamstate) selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Karena negara dikuasai birokat maka kepemimpinan non-formal dan lokal menjadi hancur, begitu pula kepemimpinan dalam civil society di bidang sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan.

Hantaman dahsyat globalisasi lebih memperburuk keadaan. Apalagi globalisasi dianggap sebagai suatu keniscayaan yang tidak boleh disikapi secara kritis sebagaimana sistem ekonomi pasar bebas (neoliberalisme). Padahal Dirk dalam bukunya Colonialism and Culture (1992) berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan proyek neokolonialisme yang bertujuan meredakan ketegangan dunia atau peradaban Barat dengan dunia atau peradaban non-Barat. Rasa kepemilikan manusia atas negerinya, yaitu nasionalisme, dihancurkan, begitu pula ikatan alamiah manusia dengan tanah air, agama dan kebudayaan. Dengan globalisasi terciptalah pola dan gaya hidup yang homogen dengan nilai-nilai kosmopolitan yang dangkal seperti hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan pragmatisme.

Kebudayaan

Apa yang disebut kebudayaan sering diberi batasan dan pengertian yang anekaragam. Bidang keilmuan yang satu sering memberi arti berbeda dengan bidang keilmuan yang lain. Begitu pula aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam bidang keilmuan yang sama tidak jarang memberi arti dan melihatnya dari perspektif yang berbeda. Sebetulnya sebagai konsep dan institusi dalam kehidupan manusia, kebudayaan tidak mudah diberi batasan formal. Cakupannya yang luas selalu menuntut batasan atau defnisi luas. Agar taat asas dan sesuai dengan maksud pembicaraan ini saya ingin menelusuri melalui makna etimologisnya terlebih dulum baru kemudian mengemukan aspek-aspek pokok yang terkandung dalam pengertian kebudayaan.

Kata-kata kebudayaan dalam bahasa Indonesia diambil dari kata-kata Jawa ‘kabudayan’. Menurut Fizee (1981) kata-kata ‘kabudayan’ diperkenalkan oleh Mangkunagara ke-8 dan dibentuk dari kata Sanskerta yang telah dijawakan ‘budi’ dan ‘daya’. Kata-kata budidaya sendiri sering dikaitkan cara-cara bertani termasuk mengolah sawah untuk menanam padi melalui metode dan dengan pengetahuan tertentu yang telah ditanamkan dalam masyarakat petani secara turun temurun.

Kalau kita kembalikan kepada makna etimologisnya, kebudayaan dapat diartikan sebagai cara, kebiasaan, atau segala hasil daya upaya manusia mengolah akal budinya. Upaya itu dilakukan tidak secara individual, melainkan dalam sebuah rangka komunitas besar sebab tanpa komunitas ia, kebudayaan, tidak bisa dipelajari dan dimunculkan kehadirannya. Agar lebih dapat dipertanggungjawabkan bolehlah saya katakan begini. Kata buddhi (budi) dan daya dalam filsafat India dipercaya merupakan perwujudan dari mahat (jiwa agung) dalam diri manusia dan mahat itu sendiri merupakan perwujudan dari purusha (Ruh Tertinggi) setelah ruh manusia disatukan dengan jasad atau tubuhnya (prakrti). Yang terakhir ini mewakili unsur bendawi dalam kehidupan. Kata-katamahat darimana budi muncul, dapat disetarakan dengan kata Geist dalam bahasa Jerma, yang diambil dari kata Persia gheisd, dari akar kata ghei yang artinya bergerak penuh tenaga, dorongan kuat, kekuatan vital dan semacamnya yang ada dalam jiwa manusia. Ia mengandung dalam dirinya potensi-potensi kecerdasan (adrsta), aktivitas, gerak keluar dari dirinya serta kemampuan untuk mengembangkan diri rohani.

Hamzah Fansuri adalah salah seorang penulis Melayu awal yang mnerjemahkan kata ‘budi’ menjadi akal pikiran, sebab baginya kaa-kata tersebut dipadankan dengan kata `aql (akal) dalam bahasa Arab. Dasarnya adalah karena akal pikiran yang merupakan kekuatan asas dari diri manusia yang membuatnya mampu menggerakkan kemampuan rohani dan jiwanya. Dengan akal atau budinya manusia dapat membedakan baik dan buruk, salah dan benar. Dengan akal budinya pula manusia menyadari keakuan atau kediriannya, sebagaimna juga kedudukan dan keberadaannya di alam semesta, hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan alam sekitarnya.

Begitulah dengan cara apa pun kebudayaan itu didefinisikan pastilah ia dapat dkaitkan dengan kegiatan dalam suatu komunitas atau sebuah komunitas, byang disebut etnik maupun kaum dan bangsa. Juga dengan cara apa pun diberi batasan pasti ia dikaitkan dengan upaya masyarakat atau individu untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Akal atau budi hanya ada dalam diri manusia dan merupakan sarana yang memungkinkan manusia mengembangkan diri, dan untuk menunjukkan keunggulan dibanding obyek-obyek di luar dirinya. Sehingga adalah janggal apabila akal digunakan bukan untuk mengembangkan dan membangun diri. Ia tidak hanya didayagunakan untuk mengolah lingkungan hidup atau alam demi manusia, tetapi juga untuk mengolah pribadi dan kepribadian demi martabat manusia itu sendiri bersama komunitasnya.

Dilihat dari sudut pandang filsafat, kebudayaan memiliki lima aspek yang saling terkait: (1)Aspek atau asas batin, yang sering disebut juga sebagai asas metafisik. Asas ini sering diartikan sebagai gambaran dunia (worldview), pandangan/cara hidup (way of life) membimbing tindakan lahiriyah dan formal manusia dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat; (2) Aspek epistemologis atau metodologis, yang juga dapat disebut aaspek pengetahuan. Karena itu aliran anthropologi tertentu sering menyebut kebudayaan sebagai sistem penngetahuan. Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara, kaedah-kaedah atau metode-metode tertentu untuk memperoleh pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu. Bila kebudayaan modern Barat lebih meniscayakan metode empiris, rasional positivistik dan histories (kesejarahan), kebudayaan Timur meyakini juga metode intuitif dan metode reliius, yaitu pembuktian kebenaran dengan bersandar pada kitab suci seperti Veda, Dhammapada, al-Qur’an, dan lain sebagainya; (3) Aspek nilai atau aksiologis. Karena itu sering dikatakan bahwa suatu kebudayaan pasti didasarkan atas sistem nilai tertentu. Sistem ini ditransformasikan dalam norma-norma sosial, etika, ethos atau prinsp-prinsip moral. Dengan kata lain aspek aksiologis dapat disebut sebagai aspek yang berkenaan dengan etika dan estetika. Ingat pepatah Melayu: Yang kurik kundi, yang merah saga/Yang baik budi, yang indah bahasa. Yang terakhir ini merujuk kepada seni secara khusus; (4) aspek sosiologis dan historis. Suatu kebudayaan berkembang dinamis atau statis tergantung pada masyarakat, begitu pula maju mundurnya kebudayaan tergantung pada kemampuan suatu komunitas dalam menjawab tantangan yang dhadapkan padanya. Apabila tiga aspek terdahulu megalami kemerosotan dan suatu komunitas mengalami disintegrasi, disebabkan rapuhnya solidaritas, runtuhnya organisasi sosial dan rusaknya pemerintahan disebabkan tak berfungsinya kekuasaan, maka kebudayaan akan mengalami kemerosotan dan kehancuran; (5) Aspek formal teknis. Yaitu ketrampilan yang dibiasakan untuk mengolah sarana-sarana produksi atau peralatan tertentu misalnya dalam mengembangkan budaya baca tulis, pertanian, seni rupa, dan lain sebagainya.

Berdasarkan aspek-aspeknya ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem jaringan simbol-simbol yang saling terkait, dan setiap simbol mengandung makna yang terkait dengan makna yang dikandung simbol lain. Bertolak dari hal yang lebih kurang sama `Effat al-Syarqawi (1986) mengartikan kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/kaum yang tercermin pada bentuk pengakuan bangsa tersebut akan keyakinan dan nilai-nilai tertentu, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan tujuan ideal dan makna rohaniah bagi kehidupan kaum tersebut.

Dengan berpegang pada itu semua, lantas bagaimana kita mengartikam kebudayaan Indonesia? Atau adakah kebudayaan nasional Indonesia? Semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” sebenarnya telah menjawab pertanyaan itu, setidak-tidaknya ketika negara ini mulai memproklamasikan kemerdekaannya. Kita memang belum memiliki kebudayaan Indonesia dalam arti seutuhnya dan selengkapnya, tetapi proses ke arah itu bisa saja sedang berjalan. Yang kita miliki ialah kebudayaan-kebudayaan daerah mulai mengalami proses pembusukan dan pendangkaan di satu, dan kebudayaan masyarakat kota yang belum jelas sosoknya.

Nasionalisme

Nasionalisme sebagai dasar dan tujuan berdirinya negara republik Indonesia tercantum dalam Pancasila, yang selama ini dipandang sebagai dasar ideologi negara kita dan sekaligus sumber hukum. Pada mulanya kelima sila atau asas yang tercantum di dalamnya itu merupakan usulan Bung Karno pada Sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKI) pada bulan Juni 1945. Lima asas itu ialah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dari segi politik Pancasila sering dipandang sebagai bentuk rekonsiliasi dan sintesa dari tiga arus politik utama di Indonesia, yaitu nasionalisme, Islam dan sosialisme (Ruslan Abdulgani 1976)

Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’. Alasannya, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik. Walaupun semangat persatuan telah bertunas sebelum datangnya kolonialisme, akan tetapi konsep nasionalisme yang dikenal pada abad ke-20 di negeri kita berakar dalam konsep nasionalisme Eropa.

Sebagai ideologi modern, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan mulai dominant di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.

Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel.

Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’.

Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan. Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.

Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat berpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia termasuk Sukarno dan Hatta ialah teori Ernest Renan. (BERSAMBUNG KE BAGIAN II “NASIONALISME INDONESIA”).

KEBUDAYAAN DAN NASIONALISME Abdul Hadi W. M.

Abdul Hadi W. M.

Saya diminta menyampaikan pandangan ringkas tentang nasionalism Indonesia dilihat dari perspektif sejarah kebudayaan. Ini tidak mungkin karena memaparkan perkembangan suatu bangsa dari sudut pandang sejarah memerlukan uraian panjang lebar. Tetapi baiklah, saya hanya akan menyampaikan pokok-pokoknya saja. Nasionalisme adalah sebuah pengertian, begitu pula kebudayaan. Keduanya sebagai pengertian muncul dan berkembang dalam sejarah.

Secara umum nasionalisme sering diartikan sebagai tuntutan politik yang menghendaki agar sebuah negara dibangun di wilayah tertentu. Di dalam wilayah tersebut telah diam komunitas yang secara turun temurun menjadi penduduk tetap negeri tersebut. Komunitas itu berbentuk etnik-etnik dan golongan-golongan politik, keagamaan dan sosial tertentu yang anekaragam, namun telah lama dipertalikan oleh hubungan-hubungan sejarah dan kebudayaan.

Di dalam sebuah negara yang sedang dibangun pasti ada penduduk yang secara turun temurun telah lama membangun suatu kebudayaan. Di sana secara tuturn temurun mereka mengembangkan aliran-aliran pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan tertentu;agama dan aliran-aliran keagamaan; pola hidup dan adat istiadar; berbagai kearifan yg dijelmakan dalam sistem ilmu pengetahuan, seni, filsafat dan kesusastraan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai tuntutan politik, nasionalisme tidak bisa dipahami tanpa melihat sejarah bangsa kita. Bukan saja dari sudut pandang sejarah kekuasaan politik, melainkan juga dari sejarah kebudayaan dan sosial. Krisis yang kita alami dewasa di bidang sosial, politik dan ekonomi pada dasarnya bersumber dari krisis kebudayaan. Salah satu faktor penyebabnya ialah kecenderungan negara kita menjadi negara birokrat (beamstate) selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Karena negara dikuasai birokat maka kepemimpinan non-formal dan lokal menjadi hancur, begitu pula kepemimpinan dalam civil society di bidang sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan.

Hantaman dahsyat globalisasi lebih memperburuk keadaan. Apalagi globalisasi dianggap sebagai suatu keniscayaan yang tidak boleh disikapi secara kritis sebagaimana sistem ekonomi pasar bebas (neoliberalisme). Padahal Dirk dalam bukunya Colonialism and Culture (1992) berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan proyek neokolonialisme yang bertujuan meredakan ketegangan dunia atau peradaban Barat dengan dunia atau peradaban non-Barat. Rasa kepemilikan manusia atas negerinya, yaitu nasionalisme, dihancurkan, begitu pula ikatan alamiah manusia dengan tanah air, agama dan kebudayaan. Dengan globalisasi terciptalah pola dan gaya hidup yang homogen dengan nilai-nilai kosmopolitan yang dangkal seperti hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan pragmatisme.

Kebudayaan

Apa yang disebut kebudayaan sering diberi batasan dan pengertian yang anekaragam. Bidang keilmuan yang satu sering memberi arti berbeda dengan bidang keilmuan yang lain. Begitu pula aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam bidang keilmuan yang sama tidak jarang memberi arti dan melihatnya dari perspektif yang berbeda. Sebetulnya sebagai konsep dan institusi dalam kehidupan manusia, kebudayaan tidak mudah diberi batasan formal. Cakupannya yang luas selalu menuntut batasan atau defnisi luas. Agar taat asas dan sesuai dengan maksud pembicaraan ini saya ingin menelusuri melalui makna etimologisnya terlebih dulum baru kemudian mengemukan aspek-aspek pokok yang terkandung dalam pengertian kebudayaan.

Kata-kata kebudayaan dalam bahasa Indonesia diambil dari kata-kata Jawa ‘kabudayan’. Menurut Fizee (1981) kata-kata ‘kabudayan’ diperkenalkan oleh Mangkunagara ke-8 dan dibentuk dari kata Sanskerta yang telah dijawakan ‘budi’ dan ‘daya’. Kata-kata budidaya sendiri sering dikaitkan cara-cara bertani termasuk mengolah sawah untuk menanam padi melalui metode dan dengan pengetahuan tertentu yang telah ditanamkan dalam masyarakat petani secara turun temurun.

Kalau kita kembalikan kepada makna etimologisnya, kebudayaan dapat diartikan sebagai cara, kebiasaan, atau segala hasil daya upaya manusia mengolah akal budinya. Upaya itu dilakukan tidak secara individual, melainkan dalam sebuah rangka komunitas besar sebab tanpa komunitas ia, kebudayaan, tidak bisa dipelajari dan dimunculkan kehadirannya. Agar lebih dapat dipertanggungjawabkan bolehlah saya katakan begini. Kata buddhi (budi) dan daya dalam filsafat India dipercaya merupakan perwujudan dari mahat (jiwa agung) dalam diri manusia dan mahat itu sendiri merupakan perwujudan dari purusha (Ruh Tertinggi) setelah ruh manusia disatukan dengan jasad atau tubuhnya (prakrti). Yang terakhir ini mewakili unsur bendawi dalam kehidupan. Kata-katamahat darimana budi muncul, dapat disetarakan dengan kata Geist dalam bahasa Jerma, yang diambil dari kata Persia gheisd, dari akar kata ghei yang artinya bergerak penuh tenaga, dorongan kuat, kekuatan vital dan semacamnya yang ada dalam jiwa manusia. Ia mengandung dalam dirinya potensi-potensi kecerdasan (adrsta), aktivitas, gerak keluar dari dirinya serta kemampuan untuk mengembangkan diri rohani.

Hamzah Fansuri adalah salah seorang penulis Melayu awal yang mnerjemahkan kata ‘budi’ menjadi akal pikiran, sebab baginya kaa-kata tersebut dipadankan dengan kata `aql (akal) dalam bahasa Arab. Dasarnya adalah karena akal pikiran yang merupakan kekuatan asas dari diri manusia yang membuatnya mampu menggerakkan kemampuan rohani dan jiwanya. Dengan akal atau budinya manusia dapat membedakan baik dan buruk, salah dan benar. Dengan akal budinya pula manusia menyadari keakuan atau kediriannya, sebagaimna juga kedudukan dan keberadaannya di alam semesta, hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan alam sekitarnya.

Begitulah dengan cara apa pun kebudayaan itu didefinisikan pastilah ia dapat dkaitkan dengan kegiatan dalam suatu komunitas atau sebuah komunitas, byang disebut etnik maupun kaum dan bangsa. Juga dengan cara apa pun diberi batasan pasti ia dikaitkan dengan upaya masyarakat atau individu untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Akal atau budi hanya ada dalam diri manusia dan merupakan sarana yang memungkinkan manusia mengembangkan diri, dan untuk menunjukkan keunggulan dibanding obyek-obyek di luar dirinya. Sehingga adalah janggal apabila akal digunakan bukan untuk mengembangkan dan membangun diri. Ia tidak hanya didayagunakan untuk mengolah lingkungan hidup atau alam demi manusia, tetapi juga untuk mengolah pribadi dan kepribadian demi martabat manusia itu sendiri bersama komunitasnya.

Dilihat dari sudut pandang filsafat, kebudayaan memiliki lima aspek yang saling terkait: (1)Aspek atau asas batin, yang sering disebut juga sebagai asas metafisik. Asas ini sering diartikan sebagai gambaran dunia (worldview), pandangan/cara hidup (way of life) membimbing tindakan lahiriyah dan formal manusia dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat; (2) Aspek epistemologis atau metodologis, yang juga dapat disebut aaspek pengetahuan. Karena itu aliran anthropologi tertentu sering menyebut kebudayaan sebagai sistem penngetahuan. Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara, kaedah-kaedah atau metode-metode tertentu untuk memperoleh pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu. Bila kebudayaan modern Barat lebih meniscayakan metode empiris, rasional positivistik dan histories (kesejarahan), kebudayaan Timur meyakini juga metode intuitif dan metode reliius, yaitu pembuktian kebenaran dengan bersandar pada kitab suci seperti Veda, Dhammapada, al-Qur’an, dan lain sebagainya; (3) Aspek nilai atau aksiologis. Karena itu sering dikatakan bahwa suatu kebudayaan pasti didasarkan atas sistem nilai tertentu. Sistem ini ditransformasikan dalam norma-norma sosial, etika, ethos atau prinsp-prinsip moral. Dengan kata lain aspek aksiologis dapat disebut sebagai aspek yang berkenaan dengan etika dan estetika. Ingat pepatah Melayu: Yang kurik kundi, yang merah saga/Yang baik budi, yang indah bahasa. Yang terakhir ini merujuk kepada seni secara khusus; (4) aspek sosiologis dan historis. Suatu kebudayaan berkembang dinamis atau statis tergantung pada masyarakat, begitu pula maju mundurnya kebudayaan tergantung pada kemampuan suatu komunitas dalam menjawab tantangan yang dhadapkan padanya. Apabila tiga aspek terdahulu megalami kemerosotan dan suatu komunitas mengalami disintegrasi, disebabkan rapuhnya solidaritas, runtuhnya organisasi sosial dan rusaknya pemerintahan disebabkan tak berfungsinya kekuasaan, maka kebudayaan akan mengalami kemerosotan dan kehancuran; (5) Aspek formal teknis. Yaitu ketrampilan yang dibiasakan untuk mengolah sarana-sarana produksi atau peralatan tertentu misalnya dalam mengembangkan budaya baca tulis, pertanian, seni rupa, dan lain sebagainya.

Berdasarkan aspek-aspeknya ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem jaringan simbol-simbol yang saling terkait, dan setiap simbol mengandung makna yang terkait dengan makna yang dikandung simbol lain. Bertolak dari hal yang lebih kurang sama `Effat al-Syarqawi (1986) mengartikan kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/kaum yang tercermin pada bentuk pengakuan bangsa tersebut akan keyakinan dan nilai-nilai tertentu, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan tujuan ideal dan makna rohaniah bagi kehidupan kaum tersebut.

Dengan berpegang pada itu semua, lantas bagaimana kita mengartikam kebudayaan Indonesia? Atau adakah kebudayaan nasional Indonesia? Semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” sebenarnya telah menjawab pertanyaan itu, setidak-tidaknya ketika negara ini mulai memproklamasikan kemerdekaannya. Kita memang belum memiliki kebudayaan Indonesia dalam arti seutuhnya dan selengkapnya, tetapi proses ke arah itu bisa saja sedang berjalan. Yang kita miliki ialah kebudayaan-kebudayaan daerah mulai mengalami proses pembusukan dan pendangkaan di satu, dan kebudayaan masyarakat kota yang belum jelas sosoknya.

Nasionalisme

Nasionalisme sebagai dasar dan tujuan berdirinya negara republik Indonesia tercantum dalam Pancasila, yang selama ini dipandang sebagai dasar ideologi negara kita dan sekaligus sumber hukum. Pada mulanya kelima sila atau asas yang tercantum di dalamnya itu merupakan usulan Bung Karno pada Sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKI) pada bulan Juni 1945. Lima asas itu ialah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dari segi politik Pancasila sering dipandang sebagai bentuk rekonsiliasi dan sintesa dari tiga arus politik utama di Indonesia, yaitu nasionalisme, Islam dan sosialisme (Ruslan Abdulgani 1976)

Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’. Alasannya, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik. Walaupun semangat persatuan telah bertunas sebelum datangnya kolonialisme, akan tetapi konsep nasionalisme yang dikenal pada abad ke-20 di negeri kita berakar dalam konsep nasionalisme Eropa.

Sebagai ideologi modern, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan mulai dominant di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.

Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel.

Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’.

Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan. Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.

Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat berpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia termasuk Sukarno dan Hatta ialah teori Ernest Renan. (BERSAMBUNG KE BAGIAN II “NASIONALISME INDONESIA”).

NASIONALISME INDONESIA DAN KEBUDAYAAN (2)

Abdul Hadi W. M.

Walaupun persatuan telah bertunas lama dalam sejarah Nusantara, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang sebenarnya secara resmi baru lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan hubungan ini akan kita lihat dulu unsur-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.

Nasionalisme Indonesia dan Kolonialisme

Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsur penting: Pertama. Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Karena itu nasinalisme Indonesia di bidang politik bertujuan menghilangkan dominasi politik negara asing dengan membentuk pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dipimpin badan permusyawaratan dan permufakatan dalam perwakilan.

Kedua. Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro. Larena itu nasionalisme Indonesia hadir untuk menghentikan eksploitasi ekonomi asing dengan berdikari.

Ketiga. Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui system pendidikan. Karena itu di bidang kebudayaan nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia.

Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam dari semangat yang mendadasi Pancasila. Dan dapat dirujuk kepada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah:Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika".

Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh sejarahnya itu maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideologi Barat yang mempengaruhi perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, dan marhaenisme.

Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).

Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928. Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti berikut:

1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman dan keseragaman.

2.Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.

3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakatdemokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.

4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.

          5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dankebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa.

          Konsepnya itu didasarkan atas pengamatannya terhadap sejarah Indonsia khususnya sejak masa penjajahan. Ia jelas sekali menerima beberapa pandangan yang dikemukakan oleh Ernest Renan. Notonagoro, seorang ahli falsafah dan hukum terkmuka dari Universitas Gajah Mada, mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945; (2) Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang; (3) Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam; (4) Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia; (5) Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.

                    Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut paham integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Paham integralistik mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua golongan. Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi negara yang berasaskan kekeluargaan, tetapi diartikan keliru oleh Suharto dan rezimnya selama lebih 30 tahun. Sampai sekarang tampaknya kita masih gamang akan memilih paham yang mana untuk menentukan masa depan negara kita. Kita juga belum tahu bagaimana menempat kebudayaan penduduk Nusantara yang bineka itu, yang multi-etnik, multi-budaya dan multi-agama, dalam rangka negara persatuan.

                    Penutup

                    Tak perlu saya kemukakan secara rinci bagaimana ide integralisme dan negara kekeluargaan ditafsirkan dan dipraktekkan selama ini, terutama oleh rezim Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1967-1998) yang sama otoriter dan hegemoniknya. Yang jelas dampaknya sangat mendalamm terhadap perkembangan kebudayaan. Pada masa Demokrasi Terpimpin politik dipandang sebagai panglima, dan pada masa Orde Baru ekonomilah yang dipandang sebagai panglima. Kecuali itu kita diajar untuk melihat Indonesia dan keindonesiaan secara parsial dan sektoral, serta sepenggal-sepenggal, sehingga sampai kini kita tidak dapat membangun visi yang segar dan diperlukan untuk menata kehidupan komunitas bangsa kita yang ”Bhinneka Tunggal Ika”.

                    Seperti telah saya tulis dalam esai saya terdahulu, baik Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru telah menanamkan ingatan kolektif yang sama buruknya ke dalam kesadaran kita, yaitu ingatan bahwa cara berpolitik yang baik ialah dengan memaksakan pendapat, menggempur pikiran orang melalui penguasaan makna, menabur wacana phobia ini dan itu, dan berusaha menjawab persoalan tanpa menyentuh substansi permasalahan yang sebenarnya. Marilah saya ambil contoh penggunaan logo ’goyong royong’ pada masa Demokrasi Terpimpin dan asas kekeluargaan pada masa Orde baru yang ternyata menyuburkan KKN.

                    Penggunaan logo ’gotong royong’ untuk menegakkan etos persatuan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dilakukan dengan alasan bahwa gotong royong merupakan intipati Pancasila setelah diperas sedemikian rupa. Sebagai nilai budaya yang penting, sebenarnya gotong royong sangat bagus sejauh diberi makna yang luas dan dihayati dengan semangat persatuan benar-benar. Pada tahun 1930an Muhammad Hatta menggunakan istilah kolektivisme, yang sebenarnya mengandung makna yang sama dengan gotong royong. Lebih jauh istilah ini dapat dipadankan dengan solidaritas, suatu prinsip yang penting dalam mendirikan negara di samping prinsip subsidiaritas.

                    Dalam era Orde Baru kekeluargaan diangkat ke permukaan dan dijadikan asas kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi ternyata menyuburkan KKN. Negara lantas jatuh menjadi milik keluarga, kepribadian asli bangsa Indonesia yang berorientasi pada pemerintahan sentralistik dan otoriter, menemukan wadahnya yang lebih pas lagi. Dalam negara yang berteraskan kedaulatan keluarga, rakyat dan orang yang berada di luar inner circle dianggap hanya sebagai orang tumpangan dan dijaga agar tidak menjadi orang dalam dengan cara memarginalkan peran, kedudukan dan haknya untuk bersuara. Dengan perkataan lain mereka sengaja dibuat rentan terhadap pemerasan, penindasan dan perlakuan sewenang-wenang lain oleh negara atau birokrasi negara.

                    Dalam era Orde Baru juga kita sering mendengar betapa nilai-nilai 45 diagung-agungkan sedemikian rupa. Jika yang dimaksud nilai-nilai 45 adalah kandungan Mukadimah UUD 45 secara menyeluruh, yang ditafsirkan secara jembar, ikhlas serta bersungguh-sungguh; maka kita dapat menerimanya sebagai titik tolak membangun etos persatuan yang sesungguhnya. Tetapi kenyataannya, nilai-nilai 45 dibatasi pengertiannya pada semangat perjuangan melawan kolonialisme menggunakan kekuatan fisik atau bersenjata, sebagaimana terjadi pada masa revolusi fisik 1945-1950. Kalau itu yang dimaksud, maka nilai-nilai 45 sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena perang menentang kolonialisme (Portugis, VOC, Belanda) telah bermula sejak abad ke-16 dan 17 pada zaman kerajaan Demak, Ternate dan Aceh Darussalam.

                    Dalam hal ini yang terjadi ialah distorsi nilai yang sengaja dilakukan untuk mengesahkan bahwa peranan pejuang bersenjata sangat menonjol dan paling penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sekaligus dalam mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme. Selain distorsi nilai, yang berlaku adalah penafsiran yang kelewat subyektif terhadap sejarah, bahkan pemenggalan sejarah menjadi fragmen-fragmen perjuangan fisik. Karena itu perjuangan intelektual, perjuangan ilmuwan dan sastrawan, pemimpin agama dan budayawan, dianggap tidak penting. Begitu juga pemimpin politik yang berjuang melalui diplomasi dan pendidikan politik untuk mencerdaskan rakyat, dianggap tidak penting.

                    Lantas apa yang dapat kita tarik menjadi pelajaran dari apa yang telah dikemukakan? Nilai-nilai budaya apa saja yang dapat diangkat dalam upaya memulihkan sehatnya kehidupan bernegara dan berbangsa? Pertama-tama, menurut pendapat saya ialah membebaskan diri dari belenggu ingatan kolektif yang ditanamkan dua rezim pemerintahan otoriter dan anti-demokrasi, yaitu Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Konsekwensinya kita juga harus membebaskan diri dari paradigma-paradigma yang dibangun kedua rezim ini. Kedua, mencari visi baru tentang Indonesia berdasarkan pengetahuan dan kesadaran sejarah yang lebih luas dan holistik, di mana pemahaman terhadap kemajemukan bangsa Indonesia dapat diperoleh secara lebih obyektif, tidak bersifat fragmentaris atau sepenggal-sepenggal. Ketiga, melakukan penafsiran baru yang lebih segar dan luas, dengan cahaya baru pula, terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Mukadimah UUD 45, sebab bagaimana pun juga Mukadimah UUD 45 telah diakui sebagai landasan kehidupan bernegara dan berbangsa sejak berdirinya negara ini.

                    Jakarta Agustus 2008

                    WebRepOverall rating Perajurit Aceh dalam perang menentang penjajahan abad ke-19 M.