6 April 2011

Senin, 22 Maret 2010
PUISI SA’DI PADA BATU NISAN NAI’NA HUSAM AL DIN
Oleh L.K.Ara

Pada batu Aceh terdapat puisi ciptaan penyair sufi Sa'di. Sajak penyair besar dari Persia itu diguratkan di batu nisan Na'na Husam Al Din, seorang ratu pada masa kerajaan Pasai. Pada batu nisan yang terpahat dengan tulisan Arab Persia itu menggambarkan kehidupan yang singkat. Pada baris pertama dibayangkan bagai tahun-tahun datang dan berlalu. Hampir tak terhitung jumlahnya. Dan itu semua melintas dibumi ini seperti air mengalir tak henti-henti. Juga seperti angin yang tak berhenti mengalir. Dan kehidupan seperti itu jugalah. Dan kehidupan tak lain dari sekumpulan hari-hari, bulan dan tahun. Selama ini menempuh hari-harinya manusia ada di bumi. Selama itulah manusia singgah di bumi. Setelah itu ia kembali.

Mengetahui kehidupan demikian mengapa manusia ‘merasa angkuh’. Ghazal Sa'di yang tertulis dibatu nias itu berbunyi, (terjemahan),

Tiada terhitung jumlah tahun-tahun
yang melalui bumi kita/bagaimana air mengalir
dan semilir angin lalu.
Bila kehidupan ini
tak lain hanyalah seperangkat
kumpulan/hari-hari manusia
mengapakah orang yang menyinggahi
bumi
ini merasa angkuh?

Itulah bagian awal dari puisi yang menyinggung kehiduan manusia itu. Bagian lain yang merupakan kelanjutan puisi itu menggambarkan orang yang diberi nasihat. Nasihat itu disampaikan kepada ‘sahabat’. Bila seorang sahabat lewat atau melalui kuburan seorang musuh janganlah bersukaria. Memang musuh telah binasa dan kuburan telahnya telah kita ketahui pula. Bahkan sedang kita lalui. Namun seorang sahabat itu tetap diberi nasihat, janganlah bersukaria. Mengapa diberi nasihat. Karena kematian tak hanya dapat menimpa musuh tetapi juga dapat menimpa kita. Kata Sa’di,

Oh sahabat
jika kau lalui makam seorang musuh
janganlah kau bersuka ria
karena hal semacam itu dapat jua
menimpa dirimu.

Dibagian lain yang merupakan kelanjutan puisi ini Sa’di memperingatkan janganlah bersikap sombong. Karena sekali waktu manusia yang hidupun bila telah mati, dalam kubur akan merasakan debu memsuki tulang belulang. Dengan mengambil contoh sehari-hari penyair melukiskan sebagai layaknya pupur celak, sekali waktu akan memasuki kotaknya.

Tak usah pula orang menyombongkan diri dengan pakaian yang cantik dan mahal harganya. Karena bila sekaliwaktu ia mati, badannya akan terkubur. Orang dalam kubur tak ada yang dapat menolong. Isteri atau suami yang paling kasihpun hanya mengantar ditepi kuburan. Namun masih ada yang dapat menolong orang yang sudah meninggal. Yakni budi baik, sedekah, amal-amal selama ia hidup.

Wahai yang bercelik mata dengan kesombongan
debu-debu akan memasuki tulang belulang
laksana pupur celak
memasuki kotak penyimpanannya.

Barang siapa pada hari ini
menyombongkan diri dengan hiasan bajunya
maka esok hari
debu badannya yang terkubur hanya tinggal menguap.

Tak ada yang memberi
pertolongan kepadanya
kecuali amal saleh."

Tradisi penulisan puisi pada batu nisan seperti pada Na'na Husam Al Din di Lhok Seumawe, Aceh, terdapat juga pada misalnya batu nisan Raja Fatimah (m l495) di Pekan, Pahang. Disana terdapat perkataan Arab yang diterjemahkan oleh Barnes sebagai 'gate'(pintu gerbang). Menurut terjemahannya baris puisi itu berbunyi, "Death is a gate and all men go in threat" atau "kematian adalah sebuah pintu gerbang dan semua manusia akan melaluinya untuk ke sana." Di dalam buku “Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam” karangan DR Othman Mohd.Yatim juga dijelaskan bahwa Linehan telah pula menterjemahkan perkataan Arab yang sama sebagai 'door' atau pintu. Terjemahan bagi puisi itu adalah sebagai berikut, "death is door which all men must enter" atau "kematian adalah sebuah pintu, semua manusia akan masuk melaluinya."

DR Othman didalam bukunya itu menyebutkan bahwa dalam sufisme, mihrab, pintu ataupun pintu gerbang semuanya melambangkan tempat lalu setiap orang muslim, setelah kematian dalam perjalanan ke dunia yang lain untuk menghadapi Tuhan yang menciptanya. Cammann menarik perhatian kita kepada beberapa orang penyair sufi seperti, Rumi (meninggal l273) dan Hafiz (meninggal l389) yang sangat gemar menggunakan perbendaharaan kata sufi dan bayangannya. Syair-syair Hafiz sering menyebut pintu atau pintu gerbang untuk menuju ke 'pangkuan' Allah, merujuk kepada pintu langit dan arah setelah itu, yaitu pintu mata hari yang berhampiran dengan pintu syurga. Sebagai contoh dibawah ini kita kutipkan bagian sajak Hafiz berjudul Diwan,

Musuh-musuhku telah menyekapku dan menghukumku
Cintaku berpaling dan meninggalkan pintuku
Tuhan cermat menghitung air mata kami
Dan tahu derita kami:
Ah, jangan berduka! Tuhan telah mendengar
Jika derita datang dan dalam malam kau karam
Hafiz, ambil qur'an dan bacalah
Lagu maha abadi, jangan berduka

Pintu nampaknya ada hubungan yang erat dengan tangga. Terutama bagi rumah yang tinggi. Dan motif tangga itulah yang juga digunakan dan terdapat dalam beberapa tulisan. Tulisan-tulisan itu biasanya dalam bentuk dua, tiga, empat dan lima baris berbentuk relief. Hal ini mengingatkan kita pada doktrin sufi yang penting, ialah, "Tuhan itu Satu (Ahad)" dan "Jalan Menuju kepada-Nya (Tariqat)". Menurut Dr Othman, motif tangga ini boleh dikaitkan dengan jalan menuju kepada Tuhan.

Pada bagian pembicaraan tentang sumber sufisme di Semenanjung Malaysia, DR Othman Mohd. Yatim menyebutkan bahwa bentuk-bentuk dan ragam hias (tulisan dan motif) pada batu-batu Aceh dan beberapa bahan seni yang lain menunjukkan telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk kesenian agama lain. Othman juga menyatakan persetujuannya pada pendapat Heine Geldern, yang menyatakan bentuk-bentuk kesenian Islam di Sumatera sepintas lalu nampaknya seperti terdiri daripada satu gaya sahaja tetapi dalam kenyataannya terdapat campuran daripada berbagai-bagai unsur. Pengaruh Hindu, Hindu Jawa, kemudian Cina dan Islam dan semuanya itu digabungkan menjadi satu.

Di bagian akhir tulisannya Othman mengambil semacam kesimpulan bahwa sungguhpun orang-orang Melayu di Kepulauan Melayu telah menganut agama Islam, kebudayaan dan simbolisme mereka masih tetap dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Sementara itu ia juga mengetengahkan pendapat Johns yang menyebut bahwa orang-orang Kepulauan Melayu secara sadar atau tidak telah bersedia untuk mengekalkan semacam kesinambungan dengan zaman lepas dan terus menggunakan unsur-unsur pra-Islam dalam konteks Islam.

Bila melihat pembicaraan yang ditulis secara khusus tentang simbolisme di dalam buku berjudul "Warisan Kesenian Dalam Tamadun Islam" terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka,K.L, l989, itu, maka Othman mengisaratkan bahwa penyampaiannya berupa perutusan Islam yang tersembunyi. Kata Othman, "Simbul secara visual maupun secara vokal telah digunakan dengan meluas sekali dalam kehidupan manusia. Lantaran itu kita dapati banyak sekali definisi yang diberikan terhadap perkataan simbol. Definisi yang paling umum telah dikemukakan oleh Needham yang mengatakan simbol itu ialah sesuatu yang mewakili sesuatu perkara yang lain. Beliau mengambil mahkota sebagai contoh, menurutnya mahkota ialah simbol kepada sistem pemerintahan beraja."

Terdapat pula simbol untuk masyarakat. Needham berpendapat bahwa fungsi simbol masyarakat bukanlah sekedar menandakan atau untuk membesarkan kepentingan apa yang disimbolkan itu tetapi juga bertujuan untuk menimbulkan dan mempertahankan kewajiban emosi yang telah ditetapkan sebagai perlu atau penting didalam sesuatu kumpulan masyarakat itu. Berdasarkan para ahli-ahli itu
telah dibuat semacam kesimpulan bahwa simbolisme adalah penting karena ia bertujuan untuk menandakan sesuatu yang penting dari segi sosial dan mendorong manusia untuk mematuhi atau mengikuti dan mengenali nilai-nilai yang mereka patut hidup bersamanya.
Selain puisi Sa’di pada batu nisan Na’na Husam Al-Din masih dapat ditemukan puisi sufi pada batu nisan Malikul Saleh (meninggal 1297 M) di Geudong, Lhok Seumawe, Aceh. Di sana ditulis puisi sufi dengan huruf Aceh yang menggambarkan dan menjelaskan bahwa dunia ini sesungguhnya fana. Dunia ini tidak kekal, dan ditamsilkan bagai sarang laba-laba yang sangat rapuh. Puisi itu berbunyi, (terjemahan)

Wahai sesungguhnya dunia ini fana
Dunia ini tiadalah kekal

Sesungguhnya dunia ini
Ibarat sarang yang ditenun oleh laba-laba

Demi sesungguhnya memadailah buat engkau dunia ini
Hai orang yang mencari kekuatan
Hidup hanya untuk masa singkat sahaja
Semuanya tentu akan menghembuskan nafas yang penghabisan


(dari: “Seulawah”, Antologi Sastra Aceh, Yayasan Nusantara, Jakarta, 1995)
Diposkan oleh L.K. ARA di Banda Aceh 23:42:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar