29 April 2011

SUTARDJI DAN PUITIKA TIMUR

SUTARDJI DAN PUITIKA TIMUR (2)
oleh Abdul Hadi Wm pada 27 April 2011 jam 23:19

SUTARDJI CALZOUM BACHRI

DAN PUITIKA TIMUR (2)



Abdul Hadi W. M.



Puisi dan Rasa

Tibalah kita pada testimony berikutnya. Melalui Sakutaro kita telah mengetahui bahwa kodrat shiseishin, dan juga pengalaman estetik, adalah spiritual. Karena itu tidak mengherankan jika yang disajikan penyair melalui puisinya cenderung pada hal-hal yang bersifat metafisik dan trasendental, atau mungkin juga surealis. Penjelasan tentang itu lebih jauh dijumpai dalam hermeneutika puitik Sanskerta di India yang lazim dikenal dengan istilah Rasa Dhvani atau sugesti rasa.

Sejak lama di India puisi (kavya) dipandang sebagai perjalanan kata dari pikiran penyair ke pikiran pembaca, dari jiwa penyair ke jiwa pembaca. Kendaraannya adalah bahasa. Tujuan puisi seperti seni secara umum ialah membangkitkan rasa yang telah sedia ada dalam jiwa pembaca melalui kendaraan yang disebut penuturan puitik. Kendaraan ini sekaligus merupakan wakil dari kehadiran sang penyair di dalam pikiran dan imaginasi pembaca. Bagi penyair dan sarjana sastra di India, kodrat puisi jelas. Ia bukan penuturan ilmiah atau falsafah menggunakan bahasa diskursif. Ia juga bukan penuturan keseharian yang dalam bahasa Perancis disebut parole, melainkan langue. Cara menuturkannya juga bukan seperti laporan jurnalistik.

Di India juga diyakini bahwa bahasa merupakan hasil pemikiran manusia yang menakjubkan. Bahasa adalah struktur atau bangunan keruhanian yang dibangun dari serangkaian bunyi (fonem) tak bermakna, tetapi di bawah bimbingan akal budi lantas berkembang menjadi bangunan kejiwaan penuh makna. Lantas bagaimana peran penyair dalam memberi hayat kepada bahasa? Salah satu tugas penyair yang penting ialah memberi sentuhan rasa melalui tatanan penuturan tertentu.

Keyakinan bahwa apa yang disampaikan penyair bukan pengetahuan tentang obyek-obyek (arthajnana) seperti dalam ilmu atau filsafat, tetapi sesuatu hal yang lain yang juga bersifat spiritual yaitu pengalaman estetik, mendorong sarjana-sarjana seni dan sastra di India sampai pada kesimpulan demikian. Istilah rasa telah ada dalam kitab Veda. Tetapi hanya dengan munculnya seorang estetikus terkemuka Bharata (abad ke-1 M), istilah rasa tampil sebagai konsep kunci dalam perbincangan tentang seni dan sastra. Adalah rasa yang sebenarnya yang ingin disampaikan oleh seorang penyair, demikian para sarjana sastra di India.

Tetapi bagaimana cara menyajikan rasa dalam penuturan puitik? Bhamaha seorang ahli puitika terkenal abad ke-6 M berpendirian bahwa seorang penyair menyampaikan rasa melalui alamkara, permainan kata atau ornamentasi. Sarjana lain mengemukan bahwa rasa disajikan melalui diksi atau riti. Teori Alamkara dan Riti sangat dominan dalam kritik sastra hingga abad ke-9 M. Teori ini melahirkan paham formalisme yang memandang karya sastra sebagai representasi atau mimesis dari kenyataan, dan juga teori ekspresi.

Menurut paham ini bahasa secara umum, khususnya bahasa puitik, memiliki dua fungsi sehubungan dengan penyampaian makna. Yang pertama ialah fungsi abidha, menyampaikan makna referensial atau denonatif. Sedangkan yang kedua ialah fungsi lakshana, menyampaikan makna metaforikal atau konotatif. Dua abad kemudian teori ini ditentang keras oleh Anandavardhana. Dia berpendapat ada fungsi bahasa yang dilupakan, yaitu fungsi sugestif atau vyanjana yang tersembunyi di sebalik sebuah penuturan. Melalui kekuatan vyanjana sebuah penuturan puitik tidak hanya menyajikan makna denotatif dan konotatif, tetapi juga makna yang lebih dalam lagi yang disebut dhvani, yaitu makna sugestif atau evokatif. Mammata (abad ke-10 M) mempertajam pandangan ini dan Abhinavagupta (abad ke-11 M) menyempurnakannya.

Kini seni tidak lagi dipandang sebagai tiruan atas kenyataan, melainkanungkapan simbolik imaginatif yang dengan itu seorang menyampaikan pengalaman estetiknya yang disebut rasa. Pengalaman estetik bukan pengalaman subyektif, melainkan pengalaman yang bersifat obyektif. Dikatakan demikian karena puisi mimiliki tujuan di luar dirinya, yaitu sarana yang menyebabkan kesadaran penikmatnya naik ke alam keberadaan yang lebih tinggi dari keberadaan rutinnya sehari-hari.

Ketiga ahli puitika dan estetikus itu kembali pada pandangan Bharata yang mengatakan bahwa asas penciptaan karya seni ialah rasa. Sebagai bentuk pengalaman estetik yang bersifat spiritual, rasa memiliki implikasi yang luas dan dapat memberikan kesadaran kosmik kepada mereka yang mengalaminya. Dalam karyanya seorang penyair berusaha menggambarkan (abhinaya) rasa dan idea yang lahir dari pengalaman estetiknya yang bersifat spiritual itu. Sejak itu puisi dipandang sebagai penggambaran rasa atau pengalaman estetik menggunakan kendaraan bahasa (vachika abhinaya). Dengan demikian rasa atau perasaan yang dalam dipandang sebagai jiwa dan asas puisi.

Secara tersirat Sutardji Calzoum Bachri memaparkan dalam tanpa judul pada halaman awal antologi O, “Ah rasa yang dalam!/datang Kau padaku!/aku telah mengecup luka/aku telah membelai aduhai!/aku telah tiarap harap/aky telah mencium aum!/aku telah dipukau au!/aku telah meraba/celah/lobang/pintu/aku telah tinggalkan puri purapuraMu/rasa yang dalam…”. Bahwa rasa yang ditekankan juga tampak dalam sajaknya yang lain seperti “Batu”: “Dengan seribu gunun langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?” Inilah yang dimaksud Sutardji bahwa kata/puisi adalah pengertian itu sendiri, dan karenanya tidak perlu menjadi alat menyampaikan pengertian lain.

Sebagai konsep estetika, pengertian rasa berkembang dari waktu ke waktu. Dalam Atharva Veda perkataan ‘rasa’ dikaitkan dengan rasa lezat yang diperoleh dari sari buah atau makanan. Dalam Upanishad kata-kata tersebut digunakan untuk menyebut nilai transendental dan keruhanian yang terdapat dalam segala sesuatu. Rasa lantas diberi arti sebagai hakikat tertinggi keberadaan alam semesta, dan juga kesadaran yang muncul dengan sendirinya dari segala sesuatu. Veda merujukkan arti kata-kata rasa kepada jiwa yang mampu menikmati rasa lezat dari sebuah pengalaman getir atau manis. Sejalan dengan ini penyair dipandang sebagai orang yang memiliki kepekaan (sensibilitas) terhadap keindahan estetis dari obyek-obyek di dalam jiwa dan pikirannya. Orang seperti itu akan mudah menikmati kelezatan yang ditimbulkan oleh pengalaman spiritual. Puisi yang lahir dari jiwa spontan penyair juga mengandung semacam kelezatan, terutama disebabkan daya ucapnya yang penuh dengan kata-kata pilihan (diksi) dan alamkara (permainan kata-kata).

Upanishad memperluas arti 'rasa lezat' yang bersifat duniawi menjadi rasa lezat yang bersifat kerohanian dan transendental, yakni rasa lezat yang timbul dalam jiwa disebabkan mengenal hakikat terdalam dan tertinggi kehidupan, yaitu atman (jiwa individual) dan Brahman (Jiwa Tertinggi). Karya seni dikatakan menimbulkan rasa lezat sebagaimana obyek-obyek indah lain di alam semesta. Walaupun rasa lezat itu berasal dari dunia nyata atau obyek yang dapat diindera sebagaimana citraan dalam puisi, akan tetapi pengalaman yang dirasa dapat mengalami transformasi menjadi sesuatu yang bersifat keruhanian dan transcendental. Kemampuan meningkatkan pengalaman estetik menjadi pengalaman transendental adalah kodrati pada manusia.

Sebagai konsep kunci dalam pemahaman sastra, rasa atau pengalaman estetik dalam puisi dipandang sebagai ‘perasaan yang mengalami obyektifikasi dan universalisasi’. Rasa seperti ini merupakan obyek renungan estetik dan mampu mengubah sesuatu menjadi kegembiraan spiritual yang memberikan kedamaian agung. Di lain hal ia dapat dikatakan sebagai hasil dari proses tranfigurasi perasaan yang disajikan secara kongkrit dalam ungkapan puitik sastra.

Bharata mengemukakan ada delapan rasa yang asas dalam sastra, tetapi Abhinavagupta pada abad ke-11 M menambahkan satu rasa lagi yang penting, yaitu santa (damai). Rasa dalam sastra atau seni memiliki padanan dengan rasa yang terdapat dalam jiwa manusia. Rasa dalam karya seni disebut rasa, dalam jiwa manusia disebut sthayi-bava. Yang terakhir ini dapat diartikan sebagai keadaan-keadaan jiwa bawaan yang terpendam dalam diri manusia dan hanya bisa bangkit bila ada rangsangan dari luar. Fungsi seni membangkitkan keadaan-keadaan jiwa yang terpendam ini dan membawanya ke arah yang lebih tinggi dan produktif.

Kesembilan rasa dan sthayi-bhava itu ialah: Cinta (srngara) berpadanan dengan kasih sayang dan berahi (rati); duka (karuna) berpasangan dengan sedih dan pilu (soka); lucu (hasya) berpasangan dengan riang (hasa); berang (raudra) berpasangan dengan marah (krodha); rasa kepahlawanan dan kesatria (wira) berpasangan dengan berdaya upaya (utsaha); dahsyat dan ngeri (bhayanaka) berpasangan dengan takut atau rasa terancam (bhaya); benci (bhibhatsa) berpasangan dengan jijik dan muak (jugupta); kagum atau takjub (adbhuta) berpasangan dengan kagum atau terpesona (vismaya) dan damai (santa) berpasangan dengan tenang atau tenteram (sama).

Semua rasa yang dikemukakan ini dapat dijumpai dalam sajak-sajak Sutardji dalam O, Amuk, Kapak. Sajak-sajak religius sufistiknya menekankan pada santa (damai) yang oleh Abhinavagupta sebagai pengalaman estetik paling tinggi dan sepenuhnya bersifat spiritual dan trasendental.

Melalui karyanya, menurut Abhinavagupta, seorang penyair pada dasarnya berupaya memberi rangsangan bagi bangkitnya sthayi-bhava yang merupakan rasa terpendam dalan jiwa. Bagaimana sebuah puisi menyampaikan rasa? Dengan menjadikan citraan puitik sebagai obyek-obyek yang saling berkaitan dan masing-masing menggambarkan rasa-rasa yang saling menghidupi satu dengan yang lain. Pada abad ke-9 M Sankuka mengatakan bahwa pelaksanaan rasa dalam karya seni merupakan tindakan pikiran yang sengaja direka. Tujuannya ialah memberi sugesti atau dhvani.

Penjelasan tersebut diberikan berdasar kenyataan bahwa rasa ialah pengalaman subjektif tentang obyek-obyek estetik dalam karya seni, bukan pengalaman yang lahir dari obyek-obyek yang ada di alam dunia. Dunia dalam karya seni ialah dunia imaginatif. Pengalaman estetik dengan demikian juga bersifat imaginatif. Bhattanoyaka (abad ke-10 M) menguraikan terealisasikannya rasa dalam karya seni terjadi disebabkan ‘universalisasi pengalaman estetik’ dan ‘pemindahan tempat rasa dari alam lahir ke alam transendental’. Melalui proses itu dicapailah keriangan ruhani dalam penikmatan sastra.

Tetapi bagaimana pun juga apa yang dikemukakan oleh Bhattanoyaka dan teoritikus sezamannya masih menyisakan kekaburan. Terutama berkenaan dengan anggapan bahwa rasa sebagai pengalaman estetik dalam penikmatan sastra atau puisi bersifat obyektif. Kekaburan lain terletak pada anggapan mereka bahwa rasa yang diperoleh dari penikmatan estetik seni tidak berbeda dengan rasa yang timbul dari penikmatan obyek-obyek dalam kehidupan. Jika demikian untuk apa karya seni/puisi dicipta, jika hasil dari penikmatan yang diperoleh sama dengan penikmatan atas obyek-obyek dalam kehidupan?

Dengan menganggap seperti itu pula secara tersirat seni/puisi dipandang sebagai tiruan (imitasi, mimesis) dari kenyataan. Bedanya dengan peniruan yang terjadi pada penuturan lain ialah bahwa peniruan dalam puisi didasarkan atas ornamentasi (alamkara) atau permainan kata-kata. Anggapan ini tersirat dalam dua teori sastra yang dominan ketika itu, yaitu Teori Riti dan Teori Lakshana. Dalam yang pertama dinyatakan bahwa kekuatan puisi terletak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya dan diksi (pilihan kata). Kata riti sendiri artinya gaya, yang dalam penuturan puitik tampak dalam pemilihan kata-kata yang indah dan memikat. Teori Lakshana menekankan pada ekspresi melalui penggunaan majaz (bahasa figuratif). Unsur utama majaz ialah metafora (rupaka), citra (chitti), dan simbol (pralambang).

Dikaitkan dengan teori bahasa (linguistik) yang sedang berkembang, Teori Riti terkait dengan teori yang memandang bahwa fungsi bahasa dalam penuturan adalah sekadar penandaan dan pelambangan atas sesuatu (abidha). Sedangkan Teori Lakshana terkait dengan teori bahasa yang memandang kata-kata atau bahasa dalam penuturan puitik memiliki fungsi kias dan perumpamaan. Dalam telaah puisi, teori kedua ini tidak puas hanya mencari makna formal atau denotatif puisi. Yang dicari ialah makna konotatif.

Kekaburan yang ditinggalkan oleh dua teori terdahulu diperjelas dengan munculnya teori Dhvani (evokasi) yang dikemukakan Anandhavardhana, seorang ahli bahasa dan sastra abad ke-9 M yang terkemuka. Kata-kata dhvani dalam bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai rangsangan yang ditimbulkan oleh sesuatu, dalam hal ini ialah kata-kata tertentu. Melalui bukunya Dhvanyaloka dia mengemukakan bahwa fungsi bahasa yang tidak kalah penting ialah vyanjana (sugesti, resonansi). Fungsi ini terutama dijumpai dalam penuturan puitik. Ia tersembunyi di sebalik perkataan. Berdasarkan pandangan inilah Abhinavagupta, seorang filosof, ahli sastra dan estetikus abad ke-11 M, menyetuskan hemeneutika estetik yang disebut rasa-dhvani. Teorinya itu merupakan paduan teori Bharata tentang rasa dan Anandavardhana tentang dhvani. Karyanya yang terkenal ialah Dhvanyalokalocana dan Abhinava Bharati. Dengan menyatukan teori Bharata tentang rasa dan teori Anandavardhana tentang dhvani dia membangun teori sastra dan sekaligus teori penafsiran (hermeneutika) baru. Dalam bukunya itu dia membicarakan panjang lebar persoalan yang berkaitan dengan kodrat pengalaman estetik (rasa) dan manifestasinya dalam karya seni, khususnya puisi dan drama.

Pengalaman estetik bukan seperti pengalaman biasa. Ia bersifat spiritual dan transendental. Tempatnya di alam lain di luar pengalaman obyektif kita sehari-hari. Abhinavagupta menggunakan istilah alaukika yang diberi arti sebagai pengalaman transendental. Rasa yang dialami dalam karya sastra menurut Abhinavagupta adalah sebuah pengalaman estetik yang bersifat transendental. Inilah yang disugestikan atau diresonansikan dalam setiap karya sastra yang bermutu tinggi. Karena hermeneutikanya didasarkan atas teori Bharata tentang rasa dan teori Anandavardhana tentang dhvanya, maka hermeneutika Abhinavagupta disebut sebagai hermeneutika rasadhvani. Pemahaman ditujukan kepada makna terdalam karya sastra yang disebut rasa yang disugestikan atau diresonansikan dengan berbagai cara.

Menurut filosof ini, sastra adalah penyajian rasa melalui obyek-obyek yang dihadirkan sebagai pembangkit pengalaman estetik yang bersifat trasendental (alaukika) bagi penikmatnya. Bahasa rasa bukan bahasa perorangan, ia tidak subyektif melainkan obyektif. Dalam puisi atau kavya, bahasa bukan sekadar sistem penandaan, tetapi sebagai sistem pralambang, sebuah permainan kata-kata yang hanya bisa dilakukan dan dipahami oleh seseorang yang telah mempelajari kebiasaan-kebiasaan pemakaiannya yang sifatnya kompleks.

Rasa yang diikat dalam sebuah puisi bukanlah proyeksi keadaan jiwa pembaca dan juga bukan proyeksi rasa yang dialami penyair secara subyektif. Rasa merupakan situasi-situasi obyektif yang terkandung dalam puisi dan dapat dikenal serta diresapi secara imaginatif dan intuitif. Seorang penyair memilih tema tertentu oleh karena ia melihat secara intuitif kemungkinan-kemungkinan tertentu untuk mengembangkan dan mengeksplorasi pengalaman estetiknya. Misalnya dengan cara menjadikan rincian-rincian dari tema tersebut menjadi sebuah lakon yang kompleks.

Seperti telah dikemukakan pandangan Abhinavagupta berbeda dari pandangan sebelumnya. Abhinavabharati, penafsir awal kitab Natyasastra, mengartikan rasa atau pengalaman estetik sebagai makna yang diperoleh dari susunan kalimat. Bhatalolata yakin bahwa seni/puisi adalah tiruan dari kenyataan dan tidak pernah melihat bahwa pengalaman estetik berada di luar dunia obyektif keseharian. Tetapi pendapat itu dibantah oleh kritikus abad ke-8 M. Sri Sankuka yang berpendirian bahwa puisi tidak mungkin merupakan tiruan atas kenyataan, oleh karena realitas puisi berada di ruang dan waktu yang berbeda. Apa yang ditampilkan puisi, dalam kaitannya dengan realitas, ialah hasil-hasil dari identifikasi jiwa manusia yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk pengalaman estetik tertentu. Puisi, sebagaimana karya seni pada umumnya, tidak dapat dan tidak akan pernah dapat meniru semua kualitas dari subyek atau obyek yang asli kecuali menyajikan kesan-kesan tertentu dari perjumpaannya dengan subyek atau obyek tersebut.

Bhatta Tauta, guru Abhinavagupta, mengajukan jawaban bahwa apa yang dihadirkan dalam karya sastra seperti drama memang terkesan tiruan. Di situ ditampilkan seorang pelaku lakon seakan-akan dapat merasa dan bereaksi seperti pelaku asli. Tetapi yang disajikan pelaku tidak lain adalah perasaan, yaitu bagaimana ia bereaksi dengan cara mengambil alih kedudukan dan peran pelaku asli. Dalam sastra sesuatu memang tidak dapat disajikan tanpa tergantung pada imaginasi. Abhinavagupta melanjutkan lebih jauh dan mengembangkan pandangan gurunya. Menurutnya seni tidak hanya membangkitkan rasa-rasa tertentu, karena karya seni yang unggul memiliki sugesti yang kuat dalam dirinya, yang mampu melahirkan beragam makna dan pengalaman estetik dalam diri penikmatnya. Daya sugestif itu diberi istilah dhvanivada yang artinya lebih kurang ialah daya evokasi atau kekuatan yang dapat merangsang lahirnya pengalaman estetik yang disebut rasa.

Berdasar pandangan ini ia mengatakan bahwa karya sastra/puisi tidak cukup memiliki makna harfiah/formal (abidha) dan makna metaforis/kias (lakshana). Puisi yang baik mesti memiliki makna sugestif/evokatif (vyanjana). Makna kedua ini tidak ada hubungan dengan dua makna pertama. Kecuali itu Abhinavagupta mengatakan bahwa pengalaman estetik tidak diperoleh sebagaimana pengalaman biasa diperoleh. Sebab obyek-obyek estetik tidak hanya menggetarkan indera tetapi juga menggerakkan imaginasi. Sekali imaginasi bangkit, pengalaman estetik penikmat akan bergerak pula ke dunia imaginatif ciptaannya sendiri.

Pengalaman estetik yang disebut rasa itu dapat membebaskan diri seseorang dari keberadaan lahiriahnya dan dapat membawanya ke ruang dan waktu lain yang bersifat spiritual dan trasendental. Dengan cara itu pengalaman estetik atau rasa menjadi universal. Begitulah Abhinavagupta menyebut kodrat seni/puisi sebagai alaukika-katva, artinya lebih kurang ‘membawa ke alam lain yang sifatnya transendental’. Seperti dikatakannya: “Ketika seorang lelaki mendengar berita, “Kau dianugerahi anak lelaki!”, maka kegembiraan muncul (disebabkan kekuatan abidha atau fungsi denotasi bahasa). Tetapi rasa yag disugestikan (rasa dan yang serupa dengan itu) tidak muncul seperti halnya munculnya kegembiraan dari mendengar berita seperti telah dikemukakan. Ia juga tidak lahir melalui kekuatan kedua bahasa (lakshana, gunavrtti, bhakti). Tetapi timbul dalam diri seseorang yang peka (sahrdaya ­– orang yang memiliki kepekaan terhadap sastra) disebabkan pengetahuannya tentang vibhava dan anubhava, disebabkan sahrdaya-samvada (tanggapan simpatetiknya) dan tanmayibhava (daya identifikasi). Ia berbeda (vilaksana) dari kesadaran biasa seperti kebahagiaan yang diperoleh dari pengalaman keseharian, oleh karena pengalaman estetik tidak disebabkan oleh hal-hal yang dialami secara obyektif”. (Dhvanyalokalocana hal. 79).

Bahwa pengalaman estetik yang timbul dari penikmatan puisi bersifat ‘alaukika-katva’, membawa ke dunia lain yang berbeda dengan pengalaman biasa, merupakan pernyataan yang tepat. Mari kita perhatikan misalnya syair Hamzah Fansuri ini:



Hamzah Fansuri di dalam Mekkah

Mencari Tuhan di Bayt al-Ka`bah

Di Barus ke Quds terlalu payah

Akhirnya jumpa di dalam rumah



Sajak Hamzah Fansuri bukan sekadar tiruan dari kenyataan, sebab jika demikian ia takkan mampu memberikan alaukika-katva. Ia lebih tepat disebut obyektifikasi dan universalisasi rasa tertentu, yang timbul dari pengalaman unio-mystica. Kata-kata ‘bayt al-ka`bah’ dalam syairnya seolah obyek di luar dirinya, begitu juga kata ‘mencari’ seakan dapat dirujuk pada tindakan keseharian. Padahal tidak demikian halnya, sebab ia telah menjelma citraan simbolik yang membawa kepada makna batin, yang disebut makna sugestif. Pengalaman estetik yang disajikan penyair ialah dalam pikiran atau kesadaran terdalam kita. Rasa yang hendak disugestikan penyair ialah santa (damai) yang lahir dari perjumpaan dengan Tuhan. Sebagaimana perjumpaan dengan Tuhan berada dalam kalbu, begitu pula rasa yang disugestikan. Di dalam sajak ini sattva (keberadaan) atau Dasein-nya Heidegger/Gadamer terasa kehadirannya.

Contoh berikutnya tentang peran puisi sebagai pembawa alaukika-katva ialah sajak Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:



dari hari ke hari

bunuh diri perlahan-lahan



dari hari ke hari

luka bertimbun di badan



dari hari ke hari

maut menabungku segobang segobang



(dalam O, Amuk, Kapak)



Citraan yang dihadirkan penyair memang seakan dapat dirujuk kepada obyek yang dijumpai dalam pengalaman biasa. Tetapi karena bersumber dari pengalaman estetik, citraan-citraan dalam sajak tersebut tidak dapat dianggap sebagai sekadar tiruan (mimesis). Citraan-citraan dalam sajak Sutardji mampu menggerakkan imaginasi pembaca ke wilayah kesadaran batin yang mengatasi alam kesadaran biasa. Rasa yang tersugestikan dalam sajak tersebut ialah karuna (kesedihan, kepiluan) disebabkan kesadaran bahwa maut sebenarnya sangat dekat dengan kita, dan jarak antara kelahiran dan kematian bak rambut dibelah tujuh.

Rasa ialah jiwa yang sebenarnya dari puisi dan karya sastra secara umum. Berdasarkan pandangannya ini Abhinavagupta mengatakan bahwa hubungan obyek-obyek dalam karya sastra – atau keterjalinan antara vibhava, anubhava dan vyabicharibhava – membuat makna yan tak terucapkan (tersirat) dapat dirasakan, dan bergaung dalam diri kita. Ini bisa terjadi jika sebuah puisi atau karya sastra memiliki kekuatan vyanjana yang memadai.

Karena itu rasa diberi pula arti sebagai ‘isyarat yang digaungkan oleh citraan simbolik’. Rasa bukan referensi atau inferensi, yaitu perujukan dan pengambilan kesimpulan. Kata-kata dalam puisi bukan hanya denotasi atau penandaan. Rasa yang disugestikan dalam sastra atau seni adalah rasa dhvani yang dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai suggested emotion.Dalam puisi makna konotatif dan sugestif sering tersirat, tidak dinyatakan secara tersurat. Dengan itu objek-objek rasa estetik bukan merupakan ‘tanda referensi’, tetapi ‘lambang evokatif’. Ia tidak dihasilkan melalui inferensi atau pengambilan kesimpulan, tetapi melalui pelukisan secara imaginatif. Objek-objek estetis dalam karya seni tidak tunduk pada perasaan seniman melalui hukum sebab akibat, melainkan sesuatu yang fungsinya menyampaikan rasa yang dalam. Hubungan objek estetis dan rasa tidak pernah bersifat leksikal atau logis, tetapi lebih bersifat psikologis atau kejiwaan.

Keseluruhan sajak Sutardji membenarkan sebagian besar pandangan para kritikus dan estetikus India itu. Sangat mengherankan bahwa sejenis estetika yang telah lama berkembang di Nusantara itu, khususnya dalam sastra Melayu dan Jawa, dilupakan oleh banyak sastrawan dan sarjana sastra modern. Ini dikarena karena luasnya anggapan bahwa teori sastra yang benar hanya teori yang muncul dan berkembang di Barat setelah zaman Pencerahan dan Neo-Positivisme.



Jakarta 20 Mei 2008





Daftar Bacaan:



Abdul Hadi W. M. (2007), ”Perlawanan Estetik dan Merafisik Sutardji Calzoum

Bachri”. Dalam Raja Mentera, Presiden Penyair. Ed. Maman S. Mahayana. Depok: Yayasan Panggung Melayu.



Abdul Jadii W. M. (2008). Hermeneutika Sastra Barat dan Timur. Akan terbit.



Budi Darma (2004), Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.



Donny Gahral Adian (2007), ”Puisi Hidup, Puisi Mati, dan Tragedi”. Dalam Raja

Mantera, Presiden Penyair. Editor Maman S. Mahayana. Depok: Yayasan

Panggung Melayu.



Gnoli Taniero (1968), The Aesthetic Experience According Abhinavagupta. Varanasi:

Chowlhamba Sanskrit Series Off.



Harry Aveling (2007), ”Some Unconventional Aspects of the Poetry of Sutardji

Calzoum Bachri”. Dalam Raja Mantera, Presiden Penyair. Ed. Maman S. Mahayana. Depok: Yayasan Panggung Melayu.



John Brough (1982), Poems from the Sanskrit. Middlesexm England: Penguin

Books.



Krishna Chaitanya (1965), Sanskrit Poetics: A Critical and Comparative Study.

London: Asia Publishing House.



Makoto Ueda (1983). Modern Japanese Poets and the Nature of Literature. Stanford

California: Stanford University Press. Bab tentang Hagiwara Sakutaro.



Subagio Sastrowardoyo (1971), Bakat Alam dan Intelektualisme. Jakarta: Pustaka

Jaya.



Sui Kit-wong (1978), ”Ch`ing and Ching in the Critical Writings of Wang Fu-

chih”. Dalam Chinese Approaches to Literature from Confucius to Liang Ch’i-

ch’ao. Adele Austin Rickett dkk. Princeton, New Jersey: Princeton

University Press.



Sutardji Calzoum Bachri (1981), O, Amuk, Kapak. Jakarta: Sinar Harapan.



Vincente Catarino (1975), Arabic Poetics in the Golden Age. Leiden: E. J. Brill.



V. Raghavan (1970), An Introduction to Indian Poetics. Bombay, Calcutta, London:

Macmillan Company Ltd.
WebRepOverall rating

Tidak ada komentar:

Posting Komentar