RAJA ALI HAJI, ULIL ALBAB
DI PERSIMPANGAN ZAMAN
Oleh Abdul Hadi W. M.
Raja Ali Haji sebenarnya bukan nama asing dalam sejarah kesusastraan Melayu Nusantara. Karyanya Gurindam 12 dahulu begitu dikenal oleh pelajar-pelajar sekolah menengah di Indonesia dan Malaysia. Baru dua tiga dekade terakhir namanya mulai menghilang dari buku pelajaran sastra. Sudah sepatutnya kepengarangan tokoh Ini diapresiasikan kembali kepada generasi muda bangsa Indonesia, mengingat jasanya yang sangat besar bukan saja bagi perkembangan sastra dan bahasa Indonesia, tetapi juga terhadap pemikiran keagamaan dan tradisi intelektual Melayu. Seperti banyak cendekiawan Melayu sebelumnya, misalnya Hamzah Fansuri, Abdul Rauf al-Singkili, Arsyad al-Banjari dan Abdul Samad al-Falimbangi; Raja Ali Haji adalah seorang cendekiawan yg sekaligus juga sastrawan, ulama dan ahli tasawuf terkemuka pada zamannya. Kecuali itu Raja Ali Haji juga seorang pakar bahasa, sejarawan dan ahli dalam bidang politik dan pemerintahan. Dalam tradisi Islam tokoh sepertinya dapat disebut sebagai Ulil Albab, yaitu seorang ilmuwan dan cendekiawan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang diperlukan pada zamannya dan memiliki wawasan luas di bidang keagamaan, intelektual, seni, dan kebudayaan.
Ciri seorang ulil albab ialah corak pemikirannya yang kosmopolitan. Sekalipun demikian apa yang disampaikan dalam karya-karyanya berpijak pada kenyataan yang ada dalam masyarakat dan sejarah budaya masyarakatnya. Di Dunia Melayu Nusantara, ciri kosmopolitan dari pemikiran seorang ulil albab itu, ikut dibentuk oleh sejarah perkembangan agama Islam. Pusat-pusat kebudayaan dan peradaban Islam di dunia Melayu sejak abad ke-13 M tumbuh dari kota-kota dagang yang pelabuhannya ramai dikunjungi kapal-kapal asing karena letak kota-kota itu sangat strategis, yaitu di Selat Melaka, yang merupakan tempat persinggahan dan laluan utama pelayaran internasonal yang menghubungkan Timur Tengah, Afrika, Eropa, Persia dan India denganAsia Tenggara dan Timur Jauh, khususnya Indocina dan Cina. Samudra Pasai, Malaka, Aceh Darussalam dan Palembang, yang merupakan pendahulu Johor dan Riau, adalah pusat-pusat kebudayaan dan peradaban Islam awal yang semuanya terletak di Selat Malaka.
Penduduk kota-kota di pesisir Sumatra dan Semenanjung Malaya ini tidak hanya berinteraksi dengan para pedagang dan pelaut asing, tetapi juga dengan cendikiawan, ulama, tabib, sastrawan, penyebar agama, guru tariqat dan musafir dari mancanegara yang datang dengan bermacam tujuan mengikuti pelayaran kapal-kapal dagang itu. Semua itu memungkinkan tumbuhnya tradisi pemikiran yang bercorak kosmopolitan. Ini tampak sekali dalam pemikiran dan karya-karya Raja Ali Haji. Apa relevansi dan arti sumbangan Raja Ali Haji melalui pemikiran dan karya-karyanya bagi kita sekarang? Apa hikmah dan pelajaran yang dapat kita teladani dari kecendikiawannya?
Pengarang dan Zamannya
Raja Ali Haji (1808-1873 M) bukan sekadar produk dari zamannya. Sebagai seorang ulil albab ia adalah hati nurani dari dan suri tauladan dalam zamannya. Karya-karyanya ditulis sebagai tanggapan dan jawaban yang kreaif dari seorang cendikiawan yang sangat prihatin terhadap kehidupan bangsanya dan krisis yang mulai melanda kebudayaannya.
Sejak permulaan abad ke-19 M masyarakat Melayu di Riau menyaksikan berbagai perubahan sosial politik dan ekonomi yang menggerogoti kebudayaannya. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang memberi pertanda mengenai hal ini. Pertama, cengkraman dan campur tangan kolonial Eropa (Belanda dan Inggris) semakin kuat dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi bangsa-bangsa Nusantara, demikian juga dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Hal ini diikuti dengan kian intensifnya interaksi kebudayaan tradisional Melayu dengan kebudayaan Barat. Kedua, peristiwa ini diikuti dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam yang mulai menampakkan pengaruhnya pada pertengahan abad ke-19 M.di Indonesia, merupakan tanah jajahan Belanda, bahasa Melayu mulai digunakan lagi secara intensif sebagai lingua franca untuk keperluan perdagangan. Pemerintah kolonial juga menggunakan bahasa ini sebagai bahasa resmi pemerintahan.
Tanda-tanda kemorosotan mutu bahasa Melayu mulai nampak dan ini sudah barang tentu sangat
memprihatinkan masyarakat asli pendukung bahasa Melayu. Usaha yang dilakukan oleh pemimpin Melayu Riau, khususnya keturunan Bugis, untuk memulihkan martabat bahasa Melayu dan menggalakkan kegiatan penulisan sastra Melayu, harus dilihat dalam lingkupkait (konteks) ini. Bukankah “Bahasa itu menunjukkan bangsa”, kaa Raja Ali Aji?
Kuatnya cengkraman kolonial atas kedaulatan bangsa Melayu sebenarnya telah ditunjukkan pada abad ke-18, tetapi pertikaian internal antara pemimpin Melayu yang bermula pada awal abad ke-18 berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memenangkan politik divide et empire-nya. Pada tahun 1816, Inggris yang baru memperoleh kedaulatan atas Singapura setelah menukar wilayah Bengkulu di Sumatra yang dikuasainya, m,embangun kota pulau itu menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus pusat perdagangan internasional. Kota itu cepat maju dan berkembang. Di kota inilah pola hidup kebarat-baratan dan kebudayaan Eropa menancapkan akar dalam arti sebenarnya untuk kelak mempengaruhi kehidupan orang-orang Melayu.
Cengkraman kolonial semakin dimantapkan dengan ditandatanganinya Perjanjian London 1824 oleh Inggris dan Belanda. Di bawah perjanjian itu kedaulatan bangsa Melayu atas kerajaan Johor dan Riau runtuh seketika. Pada mulanya Johor dan Riau merupakan sebuah kerajaan yang berdaulata dan melalui perjanjian itu kini dipecah dua. Kesultanan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris dan Riau didaulat oleh Belanda. Pecahnya Johor dan Riau berakar lama. Ia bermula dari pertikaian internal antara pemimpin Melayu pada awal abad ke-18. Dalam pertikaian itu Sultan terbunuh dan dinasti baru memerintah kerajaan Johor-Riau. Serbuan Minangkabau yang memporak-porandakan kesultanan ini, mendorong Sultan minta bantuan pada pelaut-pelaut Bugis yang tangguh dalam peperangan di laut maupun di darat. Setelah itu orang-orang Bugis memperoleh jabatan Yang Dipertuan Muda (pembantu sultan), yang untuk selanjutnya dijabat secara turun temurun. Baik Sultan maupun Yang Dipertuan Muda didukung oleh pegawai-pegawai pemerintahan tersendiri yang diangkat oleh masing-masing. Ini menyebabkan pemerintahan dijalankan secara dualistis. Bangsawan-bangsawan Melayu tidak puas, karena merasa bahwa orang-orang keturunan Bugis semakin berkuasa. Sejak itu pertikaian tidak henti-hentinya terjadi. Akibatnya kehidupan kerajaan ini di lingkungan kesultanan Johor Riau selalu goncang. Orang-orang Melayu selalu berusaha menjatuhkan kekuasaan raja-raja Melayu keturunan Bugis di Riau. Pertikaian meruncing pada tahun 1812 ketika kelompok Bugis dan kelompok Melayu bersengketa tentang raja yang harus dinaikkan tahta di kesultanan Linggi. Puncak pertikaian terjadi ketika pada tahunm 1819 ketika Raffles menempatkan seorang sultan dari Singapura di kerajaan Lingga. Belanda bereaksi dengan menempatkan orang lain sebagai sultan. Itulah awal mula pecah belahnya kerajaan Melayu terpenting di Selat Malaka pada abad ke-19 itu.
Semua itu merupakan mimpi buruk yang semestinya telah dibayangkan oleh paa pemimpin Melayu. Ketika itu Raja Ali Haji baru berusia 15 tahun. Kehidupan sosial ekonomi orang-orang Melayu di Riau ketika itu semakin buruk dan tiada pemulihan sedikit pun setelah berada di bawah payung kekuasaan Belanda. Sementara itu di seberangnya, Singapura tumbuh menjadi kota metropolitan yang dari ke hari semakin berjaya dengan kemakmuran ekonomi dan lembaga-lembaga pendidikannya yang mentereng. Dengan bangganya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menulis, “Dunia lama telah hancur, dunia baru tercipta dan sekeliling kita segalanya telah berubah” (Virginia Matheson 1984).
Kendati demikian para pemimpin dan cendikiawan Melayu keturunan Bugis di Riau patut mendapat pujian. Mereka seakan tidak terpengaruh oleh kesibukan yang berlangsung di Singapura. Mereka juga tidak merasa perlu terkecoh dengan pola hidup dan silaunya budaya Eropa yang mulai merasuki kehidupan orang-orang Melayu di Singapura dan Semenanjung. Istiadat Melayu Islam dengan gigihnya dipertahankan, dipelihara dan tetak dikembangkan di lingkungan kerajaan Riau. Negeri itu seakan-akan menjelma menjadi benteng terakhir kebudayaan Melayu Islam, yang walaupun terpuruk pada pertengahan abad ke-20, tetapi menjanjikan kebangkitannya kembali menjelang Alaf ke-3 tarikh Masehi.
Pada pertengahan abad ke-19 M, pemikiran cendikiawan Melayu Riau mendapatkan suntikan baru dengan tersebarnya pengaruh pemikiran pembaruan Islam yang diperkenalkan oleh Jamaluddin al-Afghani, serta Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir. Pengaruh dari gerakan pembaruan Islam itu semakin terasa pada akhir abad ke-19, membuat kebudayaan Melayu kembali berkilauan. Semangat rasional Islam yang menjadi jantung perkembangan kebudayaan Melayu lama, kini hidup kembali dalam pemikiran orang-orang Melayu. Jasa dan peranan Raja Ali Haji sebagai ulil albab atau cendikiawan terkmuka pada zamannya dapat dilihat dalam kaitannya dengan hal-hal yang telah dikemukakan. Seperti telah saya kemukakan dalam tulisan saya “Iqbal dan Renaisan Asia” (2001), gerakan kebangsaan pada awal ke-20 yang bermunculan di berbagai dunia Islam tidak hanya diilhami oleh peristiwa seperti kalahnya Rusia dalam perangnya melawan Jepang pada tahun 1905. Tetapi juga ikut diresapi oleh pemikiran yang dicetuskan oleh para pembaru Islam abad ke-19 M. Gerakan pembaru Islam muncul di Mesir, India dan sejumlah negeri Arab, sebagai penyangga bagi gerakan-gerakan anti-kolonial. Pada abad ke-19 agama Islam yang diamalkan oleh orang Islam mulai tercemar oleh berbagai khurafat dan bentuk ketakhyulan. Taklid berkembang dan muncul pengertian yang sempit terhadap agama. Di antaranya yang menganggap bahwa Islam adalah agama ritual formal, yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Snouck Hurgronje, orientalis yang pikiran-pikirannya sangat berpengaruh bagi kebi jakan pemerintah Belanda dalam menangani masalah-masalah berkenaan dengan perlawanan anti-kolonial di kalangan orang Islam, memandang bahwa Islam ritual dan Islam Pribadi (yang memandang agama sebagai urusan pribadi) merupakan Islam sejati. Sedangkan Islam politik bukan Islam sejati. Islam ritual dan Islam Pribadi inilah yang dipelihara oleh pemerintah kolonial untuk melunturkan élan Islam yang sebenarnya. Iqbal mengatakan bahwa Islam yang demikian percaya bahwa penjajahan telah merupakan takdir yang tidak bisa diubah lagi.
Gerakan pembaruan Islam muncul untuk mengatakan bahwa Islam yang dipiara oleh kolonial sebagai kuda tunggang penjajahannya itulah Islam yang keliru. Islam yang benar ialah yang meniscayakan bukan saja keimanan kepada Allah s.w.t., tetapi juga meniscayakan ikhtiar dan pemikiran untuk mengatasi persoalan-persoalan zaman. Penjajahan adalah bentuk perbudakan yang bertentangan dengan ajaran dan arena itu harus dilawan. Untuk itu orang Islam harus ambil bagian dalam kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan, tidak berpangku tangan dan menyerahkan kepada orang lain. Di antara manifestasi utama gerakan pembaruan Islam ialah dalam bentuk gerakan budaya, seperti terlihat dalam kebangkitan kembali sastra Arab, Parsi, Urdu, Turki dan Melayu.
Di Nusantara pada abad ke-19 M kebangkitan seperti itu, yang di dalamnya bertunas benih-benih nasionalisme, bisa terjadi hanya di beberapa kantong kebudayaan Melayu yang masih hidup. Tempat itu tidak lain adalah Riau Lingga, khususnya Pulau Penyengat, tempat Raja Ahmad dan putranya Raja Ali Haji mengerahkan tenaga untuk memelihara dan mengembangkan kembali bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu. Tetapi berbeda dengan kecenderungan umum dari gerakan pembaruan abad ke-20 yang cenderung anti tariqat dan tasawuf, gerakan pembaruan yang dihidupkan Raja Ali Haji di Riau tidak mengenyampingkan peranan tasawuf dan tariqat, khususnya Tariqat Naqsabandiyah yang telah lama berkembang di Nusantara dan mengalami pembaruan pada akhir abad ke-18, misalnya seperti tampak pada Tariqat Naqsabandiyah yang dikembangkan oleh Burhanudin Ulakan di Minangkabau. Di Riau sendiri guru Tariqat Naqsabandiyah yang mencetuskan pembaruan ialah Syekh Abdul Gafur al-Madura (Tuhfath. 316).
Dengan cara demikian gerakan pembaruan yang dimunculkan Raja Ali Haji dan rekan-rekannya di Riau tidak terputus dari akar budaya bangsanya. Ini dapat dipahami karena dalam sejarahnya istiadat kecendikiawanan Melayu justru berkembang dan mekar, serta memperoleh dinamikanya karena diresapi pemikiran para sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani dan Bukhari al-Jauhari.Tidak mengherankan apabila Raja Ali Haji menggali kembali pemikiran Imam al-Ghazali, khususnya melalui kitabnya Ihya Ulumuddin(“Membangkitkan Kembali Ilmu-ilmu Islam). Berbeda dengan pemahaman sejumlah pembaru yang mengira Imam al-Ghazali anti-falsafah dan pemikiran rasional dalam memecahkan masalah kemanusiaan dan keagamaan, Raja Ali Haji justru melihat tidak demikian. Imam al-Ghazali tidak anti pemikiran rasional dan falsafah, bahkan karya-karyanya dengan jelasnya menggunakan logika dan pemikiran yang mendalam. Yang dikecam ialah kecendrungan sekular dalam falsafah Aristotelian yang dianut sejumlah pemikir Muslim pada zamannya. Misalnya anggapan bahwa sebelum Tuhan mencipta alam semesta dan makhluq-makhluq, materi sudah ada.
Relevansi ajaran Imam al-Ghazali ialah sang Hujatul Islam menekankan pentingnya moral untuk menopang keimanan dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya. Peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan keruntuhan suatu masyarakat, menurut Imam al-Ghazali, tidak semata-mata disebabkan oleh mundurnya pemikiran, tetapi juga oleh keruntuhan moral yang melanda para pemimpinnya. Ini terbukti dalam sejarah bangsa Melayu dan Raja Ali Haji melukiskan itu semua khususnya dalam Tuhfat al-Nafis, yang merupakan karya magnum opus-nya.
Jika tasawuf dibersihkan dari unsur-unsur yang melemahkan daya hidupnya dan mengikis aspek intelektualnya, pasti ia merupakan ajaran yang relevan. Tasawuf sebagai ilmu kerohanian mengajarkan bahwa jalan mencapai kebenaran atau Tauhid ialah dengan memperbaiki aqidah dan akhlaq melalui penyucian diri dan kalbu. Hanya melalui jalan itu seorang yang beriman mendapat pencerahan dan tidak mudah tergoda oleh kesenangan dunia yang dapat menyesatkan.
Jansen dalam bukunya Islam Militan (1983:41) dengan baiknya menggambarkan sebagai berikut: “Tetapi sesudah kemenangan militer dicapai (pada Perang Salib tahun 1187), kepercayaan kaum Sunni ortodoks dikembalikan dan kaum Syiah memperoleh kedudukan minoritas di beberapa daerah di luar negeri Arab…Keberhasilan ini cenderung menjadikan Islam Sunni menjadi kaku, dogmatis dan terpisah dari rakyat. Oleh karena itu perlu dimasukkan ke dalam agama ini unsur-unsur kesalehan, doa dan wirid untuk penyelamatan diri, bahkan sejenis mistisisme, agar penganut Islam dapat melakukan hubungan langsung dengan Tuhan secara khusyuk. Adalah suatu keuntungan besar bagi Islam bahwa sebuah sintesa, sebagai kesepakatan untuk memulihkan kekuatannya, telah disusun oleh pemikir besar sekaligus ahli ilmu-lmu agama Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111). Dasar-dasar dari Islam Sunni yang telah dihidupkan kembali diletakkan pada tempatnya yang tepat oleh Imam al-Ghazali.”
Penempatan yang tepat dari dasar-dasar Islam Sunni ini, yang merupakan fundasi utama kebudayaan Melayu, tampak dalam tiga hal. Pertama, dengan memasukkan tasawuf sebagai inti peradaban dan kebudayaan, maka Islam menjadi lebih merakyat karena para sufi menolak doktrin yang kaku dan bersedia menggunakan tradisi lokal sebagai unsur pengembangan kebudayaan dengan cara mengislamkannya. Kedua,penekanan ajaran tasawuf pada kesalehan dan perbaikan moral, serta pentingnya penyelamatan diri, membuat umat Islam tangguh dalam menghadapi berbagai perubahan dan pergolakan yang timbul serta berkemungkinan merusak perkembangannya. Ketiga,sampai abad ke-19 M, hanya ulama sufi yang mampu memelihara istiadat kecendikiawanan Islam meliputi bidang-bidang seperti metafisika, seni, sejarah, epistemologi, adab dan estetika (BERSAMBUNG KE BAGIAN II)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar