7 Juli 2011

KHAZANAH ISLAM (3): CINTA DAN KEADILAN DALAM HIKAYAT MELAYU

KHAZANAH ISLAM NUSANTARA (3)

CINTA DAN KEADILAN DALAM HIKAYAT MAHARAJA ALI

Abdul Hadi W. M..

Hikayat Maharaja Ali adalah contoh yang menarik dari cerita berbingkai yang agak menyimpang dari pakem hikayat berbingkai. Ia adalah karangan seorang penulis Sufi Melayu abad ke-18 M. Sebagai cerita berbingkai hikayat ini memaparkan persoalan cinta dan keadilan. Karena pesan moralnya yang tinggi dan relevansinya, banyak sarjana sastra Melayu memuji hikayat ini sebagai kisah teladan yang penting. Sinopsisnya seperti berikut:

"Maharaja Ali memerintah di negeri Badraga. Karena selama beberapa tahun dari perkawinannya dengan permaisuri Hasinan tidak dianugerahi seorang anak, maka dia rajin berdoa serta memohon kepada Tuhan agar dianugerahi buah hati. Tidak berapa lama kemudian permaisuri melahirkan seorang anak lelaki. Selang berapa tahun kemudian anaknya yang kedua dan ketiga lahir, juga lelaki. Seorang tokoh paranormal terkemuka meramalkan bahwa kelak anak sulungnya akan menjadi sumber malapetaka karena perangainya yang buruk. Maharaja Ali disarankan agar membuang anaknya itu jauh-jauh dari sisinya. Saran itu diabaikan karena maharaja dan permaisuri sangat menyayangi anak-anaknya.

Ramalan paranormal ternyata benar. Setelah dewasa tabiat buruk Baharum Syah, putra sulung maharaja Ali, semakin tampak. Dia gemar membunuh, menganiaya dan memperkosa anak para pejabat dan pegawai istana, serta mengambil istri orang lain dengan kekerasan. Rakyat negeri Badraga tidak tahan lagi. Dia meminta Maharaja Ali dan keluarganya pergi jauh-jauh meninggalkan negeri, seraya mengancam apabila raja tidak mau pergi maka rakyatlah yang akan meninggalkan negeri Badraga. Karena begitu kuatnya desakan rakyat, Maharaja Ali sekeluarga akhirnya pergi meninggalkan negerinya. Dalam perjalanan, di tengah hutan Maharaja Ali diserang perampok. Seluruh miliknya ludes dirampas. Anak sulungnya lari dan tersesat di hutan rimba.

Maharaja Ali serta permaisuri dan dua anaknya melanjutkan perjalanan. Mereka tiba di negeri Kabitan. Raja negeri itu bernama Sardala. Pada suatu hari Hasinan dan dua anaknya pergi ke kota untuk minta sedekah. Seorang wazir melihat kecantikan Hasinan dan memberi tahu raja Sardala. Dengan berbagai tipu muslihat mereka memancing Hasinan masuk istana, dan menutup pintu gerbang. Dua anaknya tidak diperbolehkan masuk ke dalam.

Mendengar istrinya masuk ke dalam jerat raja Sardala, Maharaja Ali sakit hatinya. Dia pun meneruskan perjalanan dengan dua anaknya yang masih kecil. Suatu hari sampailah mereka di tepi sungai besar. Maharaja Ali berusaha menyeberang tetapi disambar oleh buaya. Seketika Maharaja Ali tewas. Dua anaknya dipiara seorang penambang miskin. Sementara itu raja Serdala berusaha membujuk Hasinan supaya mau menjadi gundiknya. Untuk mengulur waktu, Hasinan menyampaikan sebuah cerita yang panjang selama berhari-hari kepada raja Sardala. Namun raja Sardala terus membujuk dan merayu Hasinan. Karena pertahanannya semakin lemah, Hasinan berdoa dan memohon agar Tuhan menjatuhkan penyakit lumpuh kepada Serdala. Dengan demikian raja itu tidak berdaya lagi untuk merayunya.

Sekali peristiwa Nabi Isa menjumpai tengkorak Maharaja Ali di tepi sungai. Tengkorak itu bercerita panjang lebar tentang nasibnya yang malang di dunia, walaupun dia seorang raja yang pernah berkuasa, dan meminta Nabi Isa agar berdoa untuknya serta berharap Tuhan menghidupkan lagi dirinya agar bisa bertemu istri yang dicintai dan dapat memerintah kembali di negeri Badraga sebagai raja yang adil serta dicintai rakyat. Berkat pertolongan Allah s.w.t. Setelah Maharaja Ali bertobat, Nabi Isa menghidupkannya kembali dan menobatkannya menjadi raja di negeri Badraga. Kecuali itu Nabi Isa mengajari Maharaja Api ilmu kedokteran dan mujarobat. Dua putranya yang diasuh penambang tiba istana meminta sedekah. Maharaja Ali yang tidak lagi mengenalnya mengangkat mereka sebagai biduanda.

Nama Maharaja Ali sebagai penguasa yang adil di negeri Badraga dan pandai mengobati segala penyakit, masyhur ke mana-mana. Raja Serdala yang mendengar berita itu segera pergi kepadanya untuk berobat. Maka pergilah ia bersama Hasinan berlayar ke Badraga. Raja Serdala diterima oleh Maharaja Ali dengan berbagai kehormatan, dan menyuruh dua orang biduandanya pergi ke kapal, menjaga istri raja Serdala. Setiba di kapal biduanda itu bercakap-cakap satu dengan yang lain, dan Hasinan yang secara kebetulan mendengar percakapannya itu mengetahui bahwa mereka adalah dua orang anaknya yang hilang. Penuh kegembiraan dipeluk dan diciumnya kedua anaknya itu. Maharaja Ali yang mendapat laporan tenteng kejadian itu marah dan bertindak. Dia memerintahkan agar kedua biduandanya itu dijatuhi hukuman mati.

Setelah beberapa hari dua biduanda itu meringkuk dalam penjara, baru hukuman matinya dilaknakan. Ternyata algojo yang diberi tugas memancung kedua tahanan itu adalah Baharum Syah, anak sulung Maharaja Ali sendiri. Sangat beruntung sebelum hukuman mati dilaksanakan dua biduanda itu sempat bercakap-cakap dan percakapan mereka didengar oleh alogojo. Melalui percakapan itu Baharum Syah tahu bahwa dua biduanda itu tidak lain adalah adik kandungnya yang terpisah lama. Pagi-pagi sekali algojo menghadap Maharaja Ali dan bercerita tentang semua yang didengarnya. Kini jelaslah bagi Maharaja Ali bahwa Hasinan adalah istrinya sendiri, dua biduanda dan algojo adalah putra-putranya sendiri. Setelah raja Serdala berhasil disembuhkan Maharaja Ali menyuruhnya pulang. Raja Serdala mendapat istri baru hadiah Maharaja Ali, yakni putri seorang menteri yang tak kalah cantik dan bahkan jauh lebih muda dari Hasinan

Mengenai hikayat ini V. I. Braginsky (2000) berkomentar, ”Isi hikayat ini ditentukan oleh perpaduan dua tema pokok. Yang partama tema tentang raja yang sangat mencintai keluarganya sehingga melupakan kewajibannya yang asasi, yaitu menjalankan pemerintahan yang adil. Yang kedua tema tentang kesetiaan seorang perempuan. Dua tema yang saling jalin-menjalin ini, serta pertentangan internalnya yang terpendam dalam tema yang pertama (yaitu cinta keluarga yang nilainya positif vs. pelanggaran kewajiban disebabkan oleh cinta ini, yang nilainya negatif) melahirkan ‘tekstur’Hikayat Maharaja Ali: konflik etika yang sengit dan tajam antara kewajiban dan perasaan (baca juga sebagai hawa nafsu, penulis)”.

Melalui kisah di atas sekurang-kurangnya tampak bahwa cinta, yang dalam banyak hal bersifat positif, tidak selamanya baik apabila bertentangan dengan kewajiban moral seseorang selaku hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi. Seorang raja pertama-tama harus mencintai Tuhan dan kewajiban seorang pencinta ialah mematuhi perintah-Nya dengan melaksanakan syariah dan amanah yang dibebankan kepadanya. Amanah utama seorang raja ialah memerintah dengan adil. Adil adalah bentuk lain dari cinta, sebab adil adalah pintu menuju kebenaran dan cinta sejati. Seorang raja menjadi adil karena cinta kepada rakyatnya dan menaati perintah agama. Konsep adil diterangkan lebih luas dan mendalam kitab Tajus Salatin karangan Bukhari al-Jauhari dari Aceh pada akhir abad ke-16 M (BERSAMBUNG)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar