12 Juli 2011

RAJA ALI HAJI, SALASILAH BUGIS DAN TUHFAT AL-NAFIS

RAJA ALI HAJI, SALASILAH BUGIS DAN TUHFAT AL-NAFIS

(Bagian II atau terakhir dari sebuah tulisan)

Abdul Hadi W. M.

Keterkaitan Raja Ali Haji dengan tasawuf, khususnya ajaran Imam al-Ghazali, bukan hanya nampak dalam Tuhfat al-Nafis. Tetapi juga dalam Gurindam 12, Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Bustan al-Katibin (Taman Para Pengarang) adalah kitab tatabahasa Melayu baru yang disusun oleh Raja Ali Haji berdasarkan nahu Arab aliran Sibawaih dan diterbitkan pada tahun 1875. Tatabahasa yang dirumuskan Raja Ali Haji adalah upaya untuk menjaga kemurnian bahasa Melayu, keindahan dan kesantunannya dalam penuturan, yang dengan demikian terbentengi dari proses perusakan dan vulgarisasi yang mulai terjadi sebagai akibat pemakaiannya yang semau gue. Buku ini digunakan sebagai buku pelajaran di sekolah Johor dan Singapura, serta di berbagai madrasah dan pesantren di Sumatra. Bahasa Indonesia yang digunakan penulis seperti Marah Rusli, Abdul Muis dan Hamka dapat dinisbahkan pada bahasa Melayu Riau yang tatabahasa dan balaghahnya dibangun oleh Raja Ali Haji.

Kitab Pengetahuan Bahasa, walaupun tidak selesai, merupakan semacam kamus bahasa Melayu yang isinya mencakup pengetahuan bahasa dan makna kosa kata (semantik) dan istilah-istilah Melayu yang penting khususnya berkenaan dengan agama, kebudayaan dan adab. Melalui bukunya itu jelas Raja Ali Haji ingin membantu masyarakat Melayu yang menginginkan kehidupan yag saleh danm berperilaku baik sesuai istiadat Melayu Islam (Matheson 1984). Ajaran tasawuf lebih jelas lagi tampak dalam karyanya yang bercorak undang-undang dan politik seperti Tsamrat al-Muhimmah (Aturan Tentang Tugas Kewajiban Keagamaan) dan Intizam Wasa`il al-Malik.

Dua buku tersebut mengingatkan kita pada dua karya Melayu masyhur abad ke-17 yang ditulis di Aceh, yaitu Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja, 1602) karya Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja, 1647) karya Nuruddin al-Raniri. Setelah munculnya dua buku ini, tidak banyak karya sejenis dalam bobot yang memadai ditulis dalam bahasa Melayu. Baru pada abad ke-19 M dengan munculnya Raja Ali Haji kitab serupa ditulis dalam bahasa yang indah dan kandungan yang mendalam.

Demikian melalui karya-karyanya itu Raja Ali Haji melakukan perlawanan intelektual dan budaya menghadapi kehadiran yang direncanakan dari kebudayaan sekular Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggris bersama kaum orientalis dan misionaris yang menjadi tulang punggung mereka. Sementara di tempat lain di Nusantara para pemimpin tariqat, gerakan pemurnian agama (Padri) dan tokoh-tokoh adat sibuk mengangkat senjata menentang kolonialisme, Raja Ali Haji dan pemimpin Riau tidak merasakan itu hal seperti itu cukup. Raja Ali Haji dan kawan-kawannya di Riau melengkapi diri dengan melalukan perlawanan melalui saluran intelektual dan kebudayaan. Seperti dikatakan Virginia Matheson (ibid), Raja Ali Haji termasuk orang yang tidak berpangku tangan menghadapi kehadiran budaya Barat yang membawa banyak aspek negatif di samping unsur positif. Dia juga memikirkan masalah modernisasi, tetapi tanggapannya berbeda dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Dia merasakan sekali betapa hadirnya kebudayaan Barat dan interaksinya yang intensif dengan budaya Melayu menimbulkan cabaran yang pelik. Dia percaya bahwa setiap perubahan pasti menimbulkan banyak akibat yang tidak diinginkan, karena kebudayaan Barat dalam banyak hal bertentangan dengan kebudayaan Melayu Islam. Nilai-nilai luhur dan agung dari kebudayaan Melayu bisa terkikis disebabkan fitnah yang bertubi-tubi dilancarkan Barat, khususnya melalui propaganda kaum oirientalisnya yang memburuk-burukkan hamper semua aspek kebudayaan Asia, khususnya Melayu Islam.

Kerusakan kebudayaan Melayu akibat perjumpaannya dengan kebudayaan Barat sangat jelas nampak melalui rusaknya bahasa Melayu, yang dilakukan demi pembaruan atau modernisasi. Kata Virginia Matheson, “Raja Ali Haji menganggap bahwa perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tatabahasa adalah penting untuk memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus. Imam al-Ghazali untuk menulis bukunyaKitab Ilmu merasa perlu mendalami keahlian dalam bidang ilmu bahasa, sebagai disiplin pelengkap, sebagai cara untuk menambah ilmu pengetahuan dan mendekatkan diri kepada Tuhan…”. Pandangan Imam al-Ghazali inilah yang mengilhami Raja Ali Haji dalam menulis buku-bukunya, sebab kerusakan dalam bidang bahasanya merupakan pertanda kemerosotan tata nilai dalam kehidupan dan kemunduran pemikiran suatu bangsa.

Karya Agung Tuhfat al-Nafis.

Tidak disangsikan karya terbesar Raja Ali Haji ialah Tuhfat al-Nafis (Anugerah Berharga). Walaupun yang memulai penulisan kitab ini ialah ayahandanya Raja Ahmad, namun yang merombak, menyelesaikan dan bertanggungjawab atas seluruh penulisannya sudah pasti Raja Ali Haji. Kitab ini dapat digolongkan sebagai karya sejarah bercorak adab, yaitu walaupun yang dipaparkan adalah fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa sejarah, namun yang jauh lebih penting lagi yang ingin ditekankan penulisnya ialah persoalan adab. Fakta dan peristiwa sejarah, yang melibatkan manusia sebagai pelaku utama – khususnya raja, pemimpin politik, tokoh sosial keagamaan dan pejabat pemerintahan – dilihat oleh pengarangnya dari sudut pandang tasawuf. Kemudian dipaparkan seolah-olah sebagai cermin agar pembaca melihat betapa keimanan, moral, ikhtiar dan akal budi memainkan peranan penting dalam menentukan nasib dan martabat sebuah kaum, bangsa atau masyarakat manusia.

Raja Ali Haji yakin bahwa Islam dan prinsip keislaman yang selama ini dijadikan pedoman bangsa Melayu merupakan pegangan yang benar, tetapi sayang dalam pelaksanaannya sering dialahkan oleh sikap egosentris dan lalai disebabkan kecintaan berlebihan dari para pemimpin Melayu sendiri terhadap kesenangan dan kekuasaan duniawi. Melalui karyanya ini Raja Ali Haji mengingatkan kepada pembacanya dua ancaman yang langgeng dalam sejarah bangsa Melayu dan Nusantara. Yang satu ancaman dari dalam berupa pertikaian antar kaum atau etnik, serta kelalaian menjalankan perintah agama dan memelihara kebudayaan yang sudah mantap sebagai sumber identitas dan ilham pembaruan. Ancaman dari dalam ini disaksikan kembali oleh bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang menyebabkan bangsa ini kian terpuruk. Pemimpin masyarakat kita sering lupa bahwa walaupun bangsa ini terdiri dari aneka etnik dan ragam budaya lokal, namun sebenarnya saling tergantung secara ekonomi dan politik, serta dipertalikan ikatan tradisi besar, yaitu budaya Islam Nusantara. Yang kedua, ancaman dari luar, derasnya budaya asing yang masuk ke dalam hampir semua aspek kehidupan. Sayangnya budaya asing yang masuk itu, khususnya budaya Barat, yang diambil hanya aspek-aspek dan unsur-unsurnya yang negatif.

Buku ini dimulai dengan puji-pujian kepada Allah swt dan salawat kepada Nabi Muhammad saw. Sesudah itu memaparkan maksud penulisan karyanya. Yaitu menguraikan peristiwa-peristiwa penting yang dialami raja-raja Melayu dan Bugis selama lebih dua kurun sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Peristiwa-peristiwa yang dipaparkan dijadikan cermin untuk menyampaikan gagasan dan falsafah hidup pengarang, khususnya mengenai pentingnya akhlaq, keimanan, budaya kreatif, adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Semua itu adalah penting untuk memelihara negara dan masyarakat . Kemerosotan negeri-negeri Melayu dan krisis politik yang dialami pada abad ke-18 dan 19 M bersumber dari kriris moral dan lunturnya keimanan raja-raja Melayu dan kelalaian memelihara serta menegakkan kebudayaan bangsanya secara mandiri. Krisis ini pada akhirnya mengandung campur tangan kolonial Inggris dan Belanda yang berhasil memecah kerajaan Melayu besar terakhir Johor-Riau menjadi kerajaan Johor dan kerajaan Riau Lingga.

Dalam buku ini pengarang mengingatkan raja-raja yang gemar mengumbar hawa nafsu dan mementingkan diri seperti Sultan Mahmud dari Johor, yang mengakibatnya timbulnya bencana yang merugikan negara dan rakyat. Sebagai seorang sultan dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain-main dan berfoya-foya, khususnya ke Singapura dan tidak menghiraukan keadaan negeri dan rakyat yang diperintahnya. Dia membangun istana megah bergaya Eropa sementara rakyat hidup sengsara dilanda kemiskinan. Pembangunan istana megah gaya Eropa juga mencerminkan betapa sultan ini tidak mempedulikan kebudayaan bangsanya.

Sultan Mahmud juga digambarkan orang yang lemah dalam menggunakan ikhtiar dan akal budi. Hal ini digambarkan misalnya oleh Raja Ali Haji melalui peristiwa ketika Residen Riau meminta pendapat Sultan Mahmud tentang pengganti Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman yang sudah wafat. Sultan Mahmud baru dapat memberi jawaban beberapa hari kemudian. Tiadanya jawaban yang jelas dari Sultan Mahmud menumbuhkan krisis yang merugikan jalannya pemerintahan di lingkungan kerajaan Riau Lingga. Dengan bahasa yang elok Raja Ali Haji melukiskan sebagai berikut:

“Syahdan adapun Sultan Mahmud itu apabila sudah mangkatlah Yang Dpertuan Muda itu maka datanglah pintanya wakil gubermen, yaitu Residen Riau siapa-siapa akan gantinya almarhum itu. Maka Sultan Mahmud pun bertangguhlah hendak berfikir serta hendak musyawarah dengan segala anak raja-raja yang di Pulau Penyengat. Maka tiadalah dapat berbetulan ijtihad Sultan Mahmud itu dengan fikiran segala anak raja-raja dan orang besar-besar di Pulau Penyengat itu. Maka di dalam itu maka Residen Riau pun selalu juga minta tentukan siapa-siapa akan gantinya. Kemudian daripada itu maka Sultan Mahmud pun memberi wakil tiga orang menantikan ketentuan yang akan jadi Yang Dipertuan Muda. Pertama saudara Yang Dipertuan al-Marhum yang bernama Raja Ali, kedua saudaranya yang bernama Raja Haji Abdullah, ketiga anak marhum yang bernama Raja Idris. Maka apabila selesai ia meletakkan wakil itu, maka Sultan Mahmud pun berlayarlah ke Singapura.”

(Matheson 1982:337-338)

Raja Melayu lain yang perangainya buruk dan membawa bencana bagi negeri dan rakyat, dicontohkan oleh Raja Ali Haji ialah Raja Keciik Siak dan Raja Kecik Trengganu. Raja Kecik Siak digambarkan sebagai tokoh yang gemar memperlihatkan kekuasaan dengan segala tipu muslihat tanpa mampu mengukur kekuatan dirinya. Dia ingin merebut kekuasaan dari tangan Raja Abdul Jalil karena merasa bahwa dialah satu-satunya anak almarhum Sultan Mahmud. Siasat yang dilakukan ialah menakut-nakuti dan memecah belah rakyat. Karena rakyat takut akan tulah almarhum Sultan Mahmud, maka maka banyaklah orang membelot kepadanya dan dengan mudah Sultan Abdul Jalil mudah dikalahkan. Raja Kecik juga dilukiskan sebagai orang bengis dan kasar, serta tega mencemarkan nama baik keluarga.

Adapun Raja Kecik Trengganu adalah Yang Dipertuan Besar Negeri Trengganu, putra Sultan Zainal Abidin Syah dari Trengganu. Dia adalah ketua dari suku-suku Melayu yang anti keturunan Bugis di Riau. Banyak fitnah disebarkan dan upaya dilakukan untuk melenyapkan Melayu keturunan Bugis di Riau. Dia juga menghasut Belanda untuk membantu Melayu Riau menghalau orang Bugis dengan alasan bahwa itulah yang dikehendaki Sultan Sulaiman, ayah mertuanya. Sultan Sulaiman menanggung malu karena hasutan itu menyebabkan Raja Haji dari Riau harus berperang melawan Belanda dan harus menanggung pula hutang kepada Gubernur Melaka. Yang melunasi pembayaran hutang itu ialah orang-orang Melayu keturunan Bugis. Secara umum Raja Ali Haji melukiskan dalam Tuhfat al-Nafis keunggulan orang Melayu (keturunan Bugis) yang memiliki ethos kerja yang terpuji dan lebih mengutamakan ikhtiar serta akal budi dalam mengatasi berbagai persoalan. Kedaya-upayaan mereka dalam bidang ekonomi berkaitan dengan ketangguhan mereka berpegang pada identitas budaya dan memelihara istiadat kecendikiawanan.

Lebih dari itu Raja Ali Haji menggambarkan dengan cermat dalam bukunya itu betapa dahsyatnya proses demoralisasi yang melanda kehidupan raja-raja dan bangsawan Melayu selama Inggris dan Belanda menancapkan taring kekuasaannya di kepulauan Melayu. Hanya melalui proses demoralisasi itu mereka menguasai Nusantara. Hal itu ditambah lagi dengan pertikaian dan perpecahan yang sering terjadi di kalangan pemimpin Melayu sendiri. Perpecahan semakin parah karena kelobaan dan saling mendengki antara para pemimpin dari masing-masing kaum dalam masyarakat Melayu.

Sebagai karya adab, Tuhfat al-Nafis juga mempebicarakan masalah raja yang baik dan yang buruk, yang adil dan yang zalim. Raja yang buruk biasanya congkak, serakah, jahat, iri hati, pendengki dan sok benar sendiri, serta gemar menghambur-hamburkan uang, tidak acuh pada masalah administrasi, tidak suka humor dan menghambat kemajuan berpikir. Kaum ulama, cendikiawan dan budayawan dipinggirkan dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dan berbangsa. Perbedaan Tuhfat dengan karya sejarah yang lebih awal, ialah dalam Tuhfat unsure legenda dan mitos dihilangkan. Tarikh peristiwa-peristiwa juga dinyatakan dengan jelas. Kedaulatan seorang raja, menurut penulis buku ini, tidak dapat diukur hanya berdasarkan garis keturunan. Seorang raja memiliki kedaulatan apabila ia memiliki kemampuan memimpin dan pengetahuan yang luas dalam bidang yang diperlukan seperti hukum, politik, agama, sejarah, bahasa dan kebudayaan.

Raja Ali Haji memang percaya bahwa takdir menentukan kehidupan manusia, khususnya manusianya, namun yang lebih menentukan lagi runtuhnya suatu kaum ialah kelalaian kaum itu sendiri dan pembangkangannya terhadap hukum Tuhan. Pembangkangan terhadap ajaran agama dan moral merupakan sebab utama dari berbagai konflik dan malapetaka yang menimpa masyarakat. Dia memberi contoh betapa stabilitas Riau dan kesejahteraan masyarakatnya menjadi rusak akibat kegagalan kaum Melayu Riau menaati ajaran agama dan menguasai dirnya sendiri. Daya-daya tersembunyi yang merusak kehidupan masyarakat bukan takdir, tetapi hasrat manusia yang gemar mengikuti hawa nafsunya. Orang yang gemar mengikuti hawa nafsunya cenderung sombong, keras kepala dan egois, serta gemar kasak-kusuk dan menyebar fitnah.

Keistimewaan karya ini telah banyak dikemukakan para peneliti seperti Tengku Iskandar (1996), Barbara Watson (1982), Ali Ahmad (1987), Virginia Matheson (1999) dan lain-lain. Baik Ali Ahmad maupun Virginia Matheson memandang bahwa Tuhfat al-Nafismerupakan karya bercorak sejarah dalam bahasa Melayu yang gaya bahasanya paling elok setelah Sejarah Melayu (abad ke-17M). Sebagai karya besar kitab ini juga mudah dibaca karena keluwesan bahasanya. Bahkan Virginia Matheson memandang bahwa Tuhfatmerupakan karya sejarah Melayu paling canggih dan kompleks yang ditulis pengarang Melayu hingga akhir abad ke-19.

Kecanggihan iu tampak pertama-tama dalam konsepsi sejarah atau landasan historiografi yang digunakan dalam penulisan kitab ini. Konsep sejarah yang digunakan Raja Ali Haji sangat mendalam dan luas. Rentang waktu di mana peristiwa-peristiwa yang digambarkan begitu luasnya, meliputi peristiwa-peristiwa abad ke-17 dan 19, disertai gambaran ringkas latar belakang sejarah sebelumnya hingga zaman Sriwiyaja pada abad ke-7 dan 8 M. Wilayah yang diceritakan juga sangat luas, belum pernah ada karya sejarah seperti itu dalam sastra Melayu sebelumnya. Wilayah yang diceritakan mencakup Semenanjung Malaya, Riau-Lingga, Siak, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (asal-usul bangsawan Melayu keturunan Bugis) dan beberapa peristiwa di Betawi. Dilihat dari sudut pandang ini Raja Ali Haji telah merintis penulisan sejarah Melayu yang bersifat nasional dan regional dalam arti yang sebenarnya.

Akhir Kalam

Melalui apa yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa setidak-tidaknya ada tiga hal yang relevan untuk dijadikan pelajaran bagi kita. Pertama, Raja Ali Haji menegaskan bahwa kerusakan bahasa merupakan pertanda rusaknya kebudayaan. Menghadapi kerusakan ini adalah tugas dan kewajiban para sastrawan dan cendikiawan untuk mencegahnya. Para umara dan pemimpin masyarakat juga harus merasa terpanggil dengan memperbaiki mutu pengajaran bahasa dan pelajaran karang mengarang. Kesusastraan Melayu dan kesusastraan Nusantara lain yang utama perlu diajarkan dengan baik di sekolah menengah. Apabila Raja Ali Haji masih hidup sekarang tentu dia lebih sedih lagi melihat perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mengalami kerancuan disebabkan banyaknya kata-kata dan istilah-istilah dari bahasa Inggris yang diambil begitu tanpa diindonesiakan dengan sepatutnya. Begitu pula dengan penggunaan banyak akronim. Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang ini tidak mencerminkan bahwa pemakainya memiliki kepribadian, tingkat budi pekerti dan intelektual yang memadai.

Kedua, Raja Ali Haji juga mengingatkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan suatu kaum atau bangsa hancur ialah pertikaian antar-etnik, perpecahan kalangan pemimpin, pembangkangan terhadap agama dan kebudayaan, serta proses demoralisasi yang dirancang oleh bangsa lain untuk menguasai ekonomi, politik dan alam pikiran bangsa kita.

Ketiga, merosotnya suatu kaum juga bermula dari ketakpedulian para umara terhadap kesejahteraan rakyat, keamanan negara dan mutu pendidikan. Raja Ali Haji dan karib kerabatnya di Pulau Penyengat Riau pada abad ke-19 M telah memberikan suri tauladan yang terpuji, bukan hanya bagi masyarakat Melayu di Riau, tetapi juga kepada bangsa Indonesia secara seseluruhan. Bangsa Indonesia berhutang budi terutama karena jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa intelektual dan budaya, yang melaluinya Bahasa Indonesia yang baik bisa dijelmakan dan dikembangkan di dunia modern.

Jakarta 5 April 2004

1 komentar:

  1. Karya leluhur manusia bugis terbesar setelah I La Galigo. Mustafa Haji Alwy 2016

    BalasHapus