PANCASILA, ETIKA POLITIK
DAN ISLAM
Abdul Hadi W. M.
Universitas Paramadina, Jakarta
(Karangan ini dibacakan dalam sebuah seminar tentang Pancasila di Fakultas Filsafat UGM dan dimuat dalam buku peringatan 80 tahun Dr Midian Sirait alm. pada tahun 2008).
ADA beberapa alasan mengapa saya memilih topik ini dijadikan bahan pembicaraan. Pertama ialah karena Pancasila dapat dibahas tidak hanya sebagai dasar ideologi negara sehingga berkencenderungan eksesis menjadi semacam agama politik. Padahal sebagai landasan hidup bernegara dan berbangsa Pancasila dapat juga dilihat sebagai sebuah paradigma budaya, yaitu bagi terbentuknya civil society (msyarakat madani) sebagaimana disarankan Mukadimah UUD 45. Sebagai paradigma budaya ia bisa dijadikan pedoman untuk merumuskan sebuah etika politik yang ideal, yang dengan itu dapat dikembangkan sebuah budaya politik yang selaras dengan cita-cita proklamasi 45.
tertentu, yang telah ada dalam suatu kebudayaan. Dalam konteks bangsa Indonesia yang telah lama kebudayaannya, yaitu nilai-nilai, pandangan hidup dan gambaran dunianya dibentuk oleh agama seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen, dan lain-lain dengan sendirinya berbicara tentang etika adalah berbicara juga tentang nilai-nilai dan pandangan hidup yang diajarkan oleh agama-agama tersebut, khususnya Islam. Pepatah Melayu mengatakan bahwa “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah”, artinya bahwa kebudayaan Melayu sebenarnya diadasarkan atas ajaran agama. Di sini akan tampak keselarasan antara Pancasila dengan Islam, karena sila-sila dalam Pancasila sebenarnya juga digali budaya bangsa Indonesia termasuk budaya etnik-etnik Nusantara yang memeluk agama Islam seperti Melayu, Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda, Madura, Bugis Makassar, Banjar, dan lain sebagainya.Weltanschauungdan gambaran dunia way of life)
Akan tetapi perlu dijelaskan sedikit pengertian agama dalam kaitan ini. Untuk itu saya akan meminjam definisi sosiologis. Dalam sosiologi agama sering agama diberi definisi ekslusif seperti dilakukan oleh Emile Durkheim. Dalam definisinya itu Durkheim memberikan tekanan pada persoalan kekudusan dan ketabuan, yang dipancarkan jiwa, sikap hidup, perilaku dan moral pengikut suatu agama. Menurut Durkheim, agama adalah suatu sistem yang padu tentang kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan yang berhubungan dengan hal-hal yang suci , yaitu hal-hal yang berbeda dari yang semata-mata dunia dan hal-hal yang terlarang. Kepercayaan-kepercayaan dan amalan-amalan itu menyatukan penganut agama dalam suatu komunitas moral yang disebut umat.
yang secara tipikal merupakan wilayah kepercayaan dan nilai-nilai agama ((Max Weber 1963; Fairchild 1970; Robertson 1972). Pengertian lain diberikan oleh Ben Bellah yang menyebut agama sebagai tingkat paling tinggi dan umum dari budaya atau kebudayaan. Sebab dalam setiap sistem tindakan manusia, individu-individu secara disadari atau tidak disadari sebenarnya dikontrol oleh norma-norma dan interaksi yang telah ditentukan oleh sistem sosial, sedangkan sistem sosial dikontrol oleh sistem budaya yang terdiri atas kepercayaan-kepercayaan, nilai-nilai, dan simbol-simbol. Secara umum pula dalam sistem budaya itu terkandung asas metafisika, yaitu
Alasan ketiga, keuntungan melihat Pancasila sebagai sumber rujukan atau dasar etika politik dan juga sebagai paradigma budaya ialah kita akan memperoleh acuan dalam melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan negara serta kebijakan-kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam bidang-bidang seperti ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.
Nilai dan Paradigma Budaya
Telah sering diungkapkan bahwa Pancasila berkaitan dengan berbagai system falsafah dan pandangan hidup yang berkembang dalam sejarah bangsa Indonesia. Sila-sila tersebut saling terkait satu dengan yang lain dan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bahkan saling menjelaskan. Karena itu apabila ditafsirkan secara benar akan menjelma sebagai suatu sistem falsafah yang sejalan dengan budaya bangsa. Sebagai dasar falsafah bangsa dan dasar ideologi negara Indonesia, Pancasila mengandung makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan kebangsaan, kemasyarakatan dan kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Orang Islam menerjemahkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai tauhid, kesaksian bahwa Tuhan itu tunggal dan maha kuasa.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyatakan: Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45 merupakan sumber hukum yang berlaku di negara RI dan karena itu secara obyektif ia merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan bangsa Indonesia. Sebagai cita-cita hukum dan moral, kedudukan Pancasila dapat dirujuk pada pandangan Bung Karno yang dianggap sebagai penggali asas-asas ideologi negara tersebut. Menurut Bung Karno Pancasila adalah hegereoptrekking antara dua kutub ekstrim Declaration of Independence Thomas Jefferson dan Manifesto Komunis Marx dan Engels. Terhadap yang pertama kelebihan Pancasila terletak dalam semangat sosialismenya, yang oleh Bung Karno disebut gotong royong atau oleh Hatta disebut kolektivisme atau asas kekeluargaan. Dalam ekonomi asas ini tercermin dalam sistem Ekonomi Terpimpin, yang tidak lain merupakan penjelmaan dari sosialisme religius. Sedangkan terhadap yang kedua yaitu Manifesto Komunis, kelebihan Pancasila tampak dalam pengakuan terhadap keesaan Tuhan dan kemahakuasaan-Nya Nurcholis Madjid 1987).
Sebagai dasar pandangan hidup bernegara dan sistem nilai kemasyarakatan, menurut Prof. Notonagoro (1975) Pancasila setidak-tidaknya mengandung empat pokok pikiran, sebagai berikut: Pertama, negara Indonesia merupakan negara persatuan, yang bhinneka tunggal ika. Persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi mengakui kebhinnekaan yang mengacu pada nilai-nilai universal ketuhanan, kemanusiaan, rasa keadilan dan seterusnya; kedua, negara Indonenesia didirikan dengan maksud mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan berkewajiban pula mewujudkkan kesejahteraan serta mencerdaskan kehidupan bangsa; ketiga, negara Indonesia didirikan di atas asas kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat tidak bisa dibangun hanya berdasarkan demokrasi di bidang politik. Demokrasi harus juga dilaksanakan di bidang ekonomi; keempat, negara Indonesia didirikan di atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung arti bahwa negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaan agama-agama yang dianut bangsa Indonesia.
Sila pertama dan kedua berkaitan erat dengan agama dan paham kemanusiaan yang juga dianjurkan oleh agama seperti Islam, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Tampak pula di situ bahwa Pancasila sebagai landasan ideologis berdirinya Negara Republik Indonesia terdiri dari kumpulan sistem nilai yang saling berhubungan. Sila pertama, yaitu Katuhanan Yang Maha Esa. Nilai-nilai ketuhanan sebagaimana terkandung dalam agama-agama yang dianut bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai yang mengayomi, meliputi dan menjiwai keempat sila yang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, termasuk moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara dan peraturan perundang-undangan negera, kebebasan dan hakasasi warga negara harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian pula dengan nilai-nilai etis dalam sila pertama harus mendasari dan menjiwai nilai etis keempat sila yang lain.
Sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini setidak-tidaknya mememberi pengakuan bahwa manusia yang hidup di negeri ini dan merupakan warga yang syah di negeri ini diperlakukan secara adil dan beradab oleh penyelenggara negara, termasuk hak dan kebebasannya beragama. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai bahwa suatu tindakan yang berhubungan dengan kehidupan bernagara dan bermasyarakat didasarkan atas sikap moral, kebajikan dan hasrat menjunjung tinggi martabat manusia, serta sejalan dengan norma-norma agama dan social yang teah berkembang dalam masyarakat sebelum munculnya negara. Ia juga mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap budaya dan kebudayaan yang dikembangkan bangsa Indonesia yang beragam etnik dan golongan. Sila ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Walaupun kenyataan anthropologis bangsa Indonesia multi-etnik, multi-budaya, dan multi-agama, namun tidak menghalangi terciptanya persatuan selama masing-masing merasa saling bersaudara disebabkan ikatan keserumpunan, persamaan agama dan latar belakang sosial budaya.
mewujudkan dan mendasarkan kehidupan berdasarkan keadilan social. menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat; mengarahkan perbedaan ke arah koeksistensi dan solidaritas kemanusiaan; Mengakui adanya persaamaan yang melekat pada setiap manusia dan seterusnya; mengakui perbedaan pandangan dan kepercayaan dari setiap individu, kelompok, suku dan agama, karena perbedaan merupakan kodrat bawaan manusia; menjamin dan memperkokoh persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama; menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia; , adanya kebebasan yang disertai tanggung jawab moral terhadap masyarakat, kemanusiaan dan Tuhan; Sila keempat yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan didasari oleh sila Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta Persatuan Indonesia. Dalam sila ini terkandung nilai demokrasi:
keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga dengan warga lainnya secara timbal balik. Bentuk-bentuk keadilan ini juga diajarkan oleh agama termasuk Islam.yaitu keadilan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban warganegara terhadap negara, tercermin dalam bentuk ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam neara; keadilan legal keadilan distributive, yaitu menyangkut hubungan negara terhadap warganegara, berarti bahwa negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam membagi kemakmuran, kesejahteraaan penghasilan negara, yang terakhir ini dalam bentuk bantuan, subsidi dan kesempatan untuk hidup bersama yang didasarkan atas hak dan kewajiban yang setara dan seimbang; Sila kelima, yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan social yang dimaksud harus didasarkan pada empat sila sebelumnya. Keadilan di sini lantas mencakup tiga bentuk keadilan:
Keadilan sosial tercermin bukan dalam kehidupan social dan pelaksanaan hukum oleh negara, tetapi juga dalam kehidupan ekonomi dan politik, serta lapangan kebudayaan dan pelaksanaan ajaran agama.
Pancasila dan Etika Politik
). Sebagai cabang falsafah ia membahas sistem-sistem pemikiran yang mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Sebagai cabang ilmu ia membahas bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu. Etika sebagai ilmu dibagi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip umum yang berlaku bagi setiap tindakan manusia. Dalam falsafah Barat dan Timur, seperti di Cina dan India, seperti dalam Islam, aliran-aliran pemikiran etika beranekaragam. Tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta system nilai apa yang terkandung di dalamnya. Etika merupakan cabang falsafah dan sekaligus merupakan suatu cabang dari ilmu-ilmu kemanusiaan (
Etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial. Etika indvidual membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta panggilan nuraninya, kewajibannya dan tanggungjawabnya terhadap Tuhannya. Etika sosial di lain hal membahas kewajiban serta norma-norma social yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Etika sosial meliputi cabang-cabang etika yang lebih khusus lagi seperti etika keluarga, etika profesi, etika bisnis, etika lingkungan, etika pendidikan, etika kedokteran, etika jurnalistik, etika seksual dan etika politik. Etika politik sebagai cabanmg dari etika sosial dengan demikian membahas kewajiban dan norma-norma dalam kehidupan politik, yaitu bagaimana seseorang dalam suatu masyarakat kenegaraan ( yang menganut system politik tertentu) berhubungan secara politik dengan orang atau kelompok masyarakat lain. Dalam melaksanakan hubungan politik itu seseorang harus mengetahui dan memahami norma-norma dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi (Abdul Malek Al-Sayed 1982).
Seperti cabang-cabang etika lain, etika politik meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia, yaitu bahwa manusia pada hakikatnya itu merupakan individu dan anggota sosial sekaligus, merupakan pribadi merdeka dan makhluk Tuhan sekaligus. Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk yang beradab dan berbudaya, yang tidak bias hidup di luar adab dan budaya tertentu. Dalam etika politik, manusia dipandang sebagai subyek yang merdeka dalam dirinya sendiri dengan kepercayaan dan pandangan hidup yang dianutnya. Ukuran paling utama dalam etika politik ialah harkat dan martabat manusia.
ia memiliki arti khusus dan biasanya disamakan dengan aneka kegiatan dalam masyarakat berkenaan dengan sistem politik atau kebijakan tertentu yang dijalankan oleh suatu negara/pemerintah terhadap masyarakat, rakyat atau warga negara. Maka kegiatan politik selalu dihubungkan dengan kehidupan kenegaraan, pemerintahan, penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara tentang berbagai hal menyangkut kepentingan publik, serta kegiatan-kegiatan lain dari berbagai lembaga sosial, partai politik dan organisasi keagamaan yang berkaitan langsung dengan kehidupan kemasyarakatan dan negara. (siasat) yang artinya taktik dan strategi datau cara-cara yang jitu dalam melaksanakan sesuatu. Dalam ilmu politik atau dalam bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab disebut Dengan demikian pengertian ‘politik’ yang dilekatkan kepada etika politik mengandung makna yang luas, bukan pengertian yang sempit seperti dibahas dalam ilmu politik. Kata-kata politik , dari kata
). dan alokasi (), pembagian (kebijaksanaan (), pengambilan keputusan (), kekuasaan ( Di sini politik terutama dikaitkan dengan kegiatan yang menyangkut kepentingan publik dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan kehidupan publik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam ilmu politik, cakuan pengertian politik itu dibatasi pada konsep-konsep pokok yang berkaitann dengan negara (
(khewan berpolitik) ialah anthropologi falsafah atau anthropologi kefilsafatan. Tetapi dalam etika politik pengertiannya lebih diperluas, oleh karena pokok persoalannya bukan sekadar negara, tetapi manusia secara keseluruhan sebagai makhuk individu dan sosial sekaligus, dan sebagai pribadi merdeka dan hamba Tuhan sekaligus. Dasar dari etika politik dalam memandang manusia sebagai
Dalam anthropologi falsafah muncul dua aliran penting yang merupakan cikal-bakal lahirnya berbagai faham anthropologi falsafah dan kemasyarakatan. Dua paham atau aliran itu ialah invidualisme dan kolektivisme. Individualisme merupakan cikal bakal faham liberalisme dalam politik dan kapitalisme liberal dalam ekonomi. Sedangkan kolektivisme merupakan cikal bakal paham sosialisme dan komunisme.
Dalam negara yang menganut paham liberalisme, setiap kehidupan masyarakat, dalam konteks bangsa dan negara, hak-hak dan kebebasan individu dijadikan dasar moral bagi kebijakan negara dalam berbagai aspek kehidupan. Yang diutamakan ialah kodrat manusia selaku individu dan pribadi merdeka, bukan manusia sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk Tuhan. Sedangkan dalam dalam negara sosialis, kepentingan dan hak-hak masyarakat didahulukan. Kecuali dalam negara sosialis yang menganut paham komunis, hak-hak individu memang ditindas. Tetapi tidak demikian dengan negara yang menganut paham sosialisme non-komunis.
Karena menindas hak individu itulah paham komunisme harus dipandang bertentangan dengan ajaran agama, khususnya Islam. Dalam Islam, manusia selaku individu ditempatkan dalam konteks kebersamaan dan persaudaraan. Nilai-nilai bersama dan kebersamaan dijunjung tinggi justru untuk perkembangan individu. Pandangan Pancasila dengan demikian relatif sejalan dengan pandangan Islam. Tetapi dalam kehidupan yang menyangkut kepentingan bersama, khususnya di bidang sosial, politik dan kebudayaan, sudah selayaknya penekanan lebih ditumpukan pada kepentingan sosial di atas kepentingan individu-individu (Mohamad Hatta 1963).
atau hewan berpolitik, yaitu hewan yang punya keharusan berpolitik dalam rangka mengatur hubungannya dengan orang lain dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, perdagangan dan kemasyarakatan secara umum. Tetapi dalam kenyataan manusia tidak bisa mengaktualisasikan diri kecuali dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam rangka kehidupan bersama dalam suatu masyarakat. Dalam kaitan inilah dikatakan sebagai
Dimensi politik dalam kehidupan manusia selaku makhluk social dengan demikian melekat dalam sifat kodrat manusia. Keperluannya untuk mengembangkan diri bersama dengan orang lain mendorongnya untuk membuat aturan-aturan kehidupan, norma-norma tertentu atau hukum-hukum tertentu yang dapat melindungi hak-hak moral. Untuk itu ia pun harus memenuhi kewajiban-kewajibannya sebagai tindak balas bagi hak-hak yang mesti diperoleh dan diperjuangkan.
Terbentuknya negara dengan hukum dan perlembagaannya adalah perkembangan lanjut dari hasrat manusia untuk hidup bersama dalam kehidupan yang terorganisir sedemikian rupa. Karena itu apa yang disebut dimensi politik dalam kehidupan mansia selalu berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum. Melalui negara dan hukum manusia hidup bersama orang lain dalam tatanan yang secara normatif didasarkan atas aturan-aturan dan hukum-hukum tertentu yang mesti dpatuhi. Di situ manusia sebagai individu atau anggota suatu kelompok masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan hidupnya.
kehendak untuk melakukan tindakan dan kegiatan politik. Dua segi atau aspek dari dimensi politik ini senantiasa berhadapan dengan masalah moral. Manusia mengerti dan memahami tentang kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya dan mengerti pula akibat yang ditimbulkan oleh tindakan-tindakannya. Suatu akibat yang buruk dapat dihindari apabila ia memiliki kesadaran moral bahwa ia beertanggungjawab terhadap orang lain. Tetapi kesadaran saja tidak cukup. Ia harus memiliki kehendak yang kuat untuk mengaktualisasikan kesadaran moralnya (Barten 1980). segi pengertian tentang tindakan dan perilaku politik; Dimensi politik memiliki dua segi:
Tetapi tidak semua manusia dapat melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan moral dan akal pikiran. Banyak orang melakukan tindakan demi dorongan egonya semata-mata yang sering tidak masuk akal dan tidak bermoral. Untuk alasan itulah hukum diperlukan. Hukum di sini ikut berfungsi memberi pengertian lebih mendasar tentang tindakan yang baik dan buruk. Hukum berfungsi pula mengingatkan manusia akibat-akibat dari pelanggaran yang dilakukannya.
(Mahkota Raja-raja) karangan Bukhari al-Jauhari, seorang sastrawan dan ahli kenegaraan abad ke-16-17 M dari kesultanan Aceh Darussalam. Dengan merujuk kepada al-Qur’an dan hadis, Bukhari al-Jauhari memandang bahwa manusia mempunyai kodrat ganda yaitu cenderung kepada kebaikan dan sekaligus kepada kejahatan. Tetapi kecenderungan pada kejahatan sangat kuat. Negara didirikan agar kecenderungan manusia terhadap kejahatan dapat dikendalikan, yaitu dengan menanamkan etika dan pendidikan. Hanya masyarakat yang cerdas dan berakal budi, serta memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi, dapat dibawa berkembang ke arah ketertiban. Hukum memainkan peranan penting untuk menekan meluasnya kecenderungan masyarakat terhadap kejahatan. Mengapa hukum diperlukan? Alasannya sederhana. Tanpa dasar-dasar hukum yang jelas, maka suatu kebijakan akan dipandang sebagai tindakan individual kepala negara yang memerintah. Dengan landasan hukum yang jelas, sebuah kebijakan memiliki dasar yang kuat. Di sini berdirinya sebuah negara tidak semata-mata dipandang sebagai hasil sebuah rejim merebut kekuasaan, tetapi juga hasil dari sebuah kontrak sosial sebagaimana dikatakan Rosseau (Abdul Hadi W. M. 2003; Allan Bloom 1987). Pandangan sosiologi modern ini cukup sejalan dengan pandangan sosiologi klasik Islam seperti tercermin dalam kitab
--- BERSAMBUNG KE BAGIAN II.
WebRepOverall rating
Tidak ada komentar:
Posting Komentar