7 Juli 2011

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA(6): SASTRA MELAYU ABAD XIV-XIX M

KHAZANAH ISLAM (TERAKHIR):

DARI SYAMSUDIN HINGGA RAJA ALI HAJI

Abdul Hadi W. M.

Sufi, Fuqaha dan Mufassir Aceh

Pada abad ke-17 M Aceh mengalami puncak kejayaannya sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan di Asia Tenggara. Kerajaan Islam terbesar di Nusantara ini menjelma sebagai kerajaan maritim yang tangguh dan sekaligus menjadi pusat penyebaran dan kegiatan intelektual Islam yang sangat berpengaruh. Sejumlah ulama besar, sastrawan dan sufi terkemuka yang pemikirannya sangat berpengaruh pada generasi cendekiawan Muslim abad-abad sesudahnya, muncul secara berkelanjutan dari sini. Suburnya penulisan sastra dan kitab keagamaan di Aceh terutama terjadi pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1589-1604), Iskandar Muda (1607-1636) dan Iskandar Tsani (1637-1641). Selain Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari, yang menulis pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Ri`ayat Syah sebagaimana telah disebutkan, tokoh terkemuka lain yang masyhur dalam penulisan karya sastra dan keagamaan ialah Syamsudin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel.

Syamsudin al-Sumatrani. Dia juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai, adalah seorang ahli tasawuf dan penulis yang prolifik. Dia adalah penasehat utama Sultan Iskandar Muda di bidang keagamaan dan pemerintahan, bahkan pernah menjabat sebagai mufti istana dan perdana menteri. Ajaran Martabat Tujuh, suatu faham tasawuf wujudiyah yang diasaskan oleh Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri di India pada akhir abad ke-16, dirumuskan sebagai bentuk tasawuf Nusantara yang populer oleh Syamsudin. Sumbangan tokoh ini terutama dalam penulisan sastra kitab, yaitu karya-karya membahas ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi dan tasawuf secara sistematis.

Dalamm hubungannya dengan sastra, peranan Syamsudin terutama tampak dalam upayanya untuk mengembangkan kritik sastra berdasarkan hermeneutika sufi yang biasa disebut ta`wil. Metode ini telah berkembang dalam tradisi intelektual Islam sejak abad ke-11 M. Karya Syamsudin mengenai ta`wil tampak dalam risalahnya Syarah Ruba`i Hamzah Fansuri. Ta`wil adalah metode penafsiran sastra dengan melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna batin dan makna isyarah atau sugestif). Pemahaman mendalam hanya dapat timbul apabila seorang pembaca mampu menembus lubuk terdalam makna, yaitu gagasan dan pandangan dunia (Weltsanschauung) penulisnya. Konteks sejarah dan budaya penulis juga harus diketahui sebagai syarat pemahaman yang mendalam dan bermanfaat. Untuk puisi penyair sufi, simbolisme sufi juga perlu diketahui dan simbolisme tersebut berkaitan dengan kosmologi, ontologi, epistemologi dan psikologi sufi. Kata-kata dalam puisi adalah makna yang diturunkan dari makna-makna, sehingga banyak tafsir dibuat secara meluas oleh seorang yang berilmu.

Syamsudin al-Sumatrani tidak banyak menulis puisi. Karya-karyanya terutama berupa risalah tasawuf yang tergolong sastra kitab. Di antaranya Mir`at al-Mu`minin (Cermin Orang Beriman), Mir`at al-Iman (Cermin Keimanan), Zikarat al-Dairati Qaba Qawsaini aw `Adna(Lingkaran Dua Busur Kehampiran Dengan Tuhan), Mir`at al-Muhaqqiqin (Cermin Penuntut Hakikat), Jawahir al-Haqa`iq (Mutiara Hakikat), Nur al- Daqa`iq, Kitab al-Haraqah, dan lain-lain.

Nilai estetik karya-karyanya tampak dalam kutipan berikut, yang menerangkan tentang kedudukan ruh manusia menurut pandangan faham wujudiyah:

“Ada pun ruh al-qudus itu nyata pada hati sanubari, maka al-qudus itulah rupa sifat Allah (al-rahman dan al-rahim, pengasih dan penyayang, pen.), dan yaitulah cahaya yang indah-indah, tiada yang serupa dengan dia sesuatu jua pun. Dari karena itu ruh al-qudus itu menjadi khalifah Tuhan dalam tubuh insan, yang memerintahkan pada segala barang gerak dan dita dan barang sebagainya, tiada sesuatu daripadanya jua...” (T. Iskandar 1987).

Abdul Samad al-Falimbangi, sufi abad ke-18 dari Palembang, mengatakan dalam sebuah kitabnya bahwa karya Syamsudin Pasai mengupas tasawuf seni yang tinggi sekali peringkatnya.

Nuruddin al-Raniri. Dia adalah seorang ulama sufi, ahli fiqih (fuqaha) dan sastrawan terkemuka berasal dari Ranir, Gujarat, India. Dalam sejarah intelektual Islam Nusantara dia dikenal sebagai pendebat ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani. Setelah Sultan Iskandar Tsani naik tahta, dia berlayar ke Aceh dan diterima menjadi ulama istana. Sebelumnya dia pernah tinggal di Pahang, Malaysia dan menulois bukunya pertama dalam bahasa Melayu Sirat al-Mustaqim. Kitab ini merupakan kitab fiqih ibadah pertama dalam bahasa Melayu. Setelah Iskandar Tsani wafat, oleh penggantinya jabatan ulama istana diberikan kepada murid Syamsudin Sumatrani yaitu Syaif al-Rizal, yang merupakan lawan debat Nuruddin. Dia wafat pada tahun 1658 M. Karya Nuruddin al-Raniri lebih dari 40 buah. Di antaranya ialah Hill al-Zill, Tybian fi ma`rifah al-adyan, Syaif al-Qulub, Hujjat al-Siddiq, Jauhar `Ulum, Kabar Akhirat dan Perikeadaan Hari Kiaamat, `Umdat al-I`tiqad, Hikayat Iskandar Zulkarnain Asrar al-Insan fi Ma`rifat al-Ruh wa al-Rahman, dan lain-lain. Seperti Syamsudin, dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia mempelajari bahasa Melayu di Gujarat dan Mekkah ketika usianya masih muda.

Karya Nuruddin al-Raniri yang paling terkenal ialah Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja), yang ditulis dengan harapan dapat melengkapi kitab Taj al-Salatin yang dianggapnya belum lengkap. Kitab ini merupakan gabungan sastra kitab, kenegaraan, eskatologi dan sejarah. Corak penulisan sejarah dalam kitab ini realistis, tidak menggunakan unsur mitos dan legenda. Pengaruh tasawuf sangat besar dalam penulisan kitab ini. Dalam bab III misalnya tercantum kisah kejadian Nur Muhammad, yang secara simbolik digambarkan sebagai mutiara berkilauan yang bersujud di hadapan Tuhan selama ribuan tahun.

Bustan terdiri dari tujuh bab besar. Bab I menyatakan kejadian langit dan bumi, terdiri dari sepuluh fasal. Diuraikan di dalamnya bahwa sifat kejadian itu ada empat perkara ialah wadi, wahi, mani dan manikam. Keempatnya merupakan asal-usul air, angin, api dan tanah. Yang dinamakan tubuh jasmani ialah yang lengkap mengandung empat hal, yaitu kulit, daging, urat dan tulang. Setelah itu baru bergerak dan geraknya disebabkan adanya nafsu. Nafsu dibimbing oleh akal, budi, cita dan nyawa.

Bab II menyatakan kejadian Sifat Batin dan Nyawa Adam terdiri dari 13 fasal. Fasal 1 menceritakan nabi-nabi dari Adam hingga Muhammad s.a.w. N Nyawa Adam terbit dari Nur Muhammad. Karena hakikat dari Adam ialah Nur Muhammad. Fasal 2-10 menceritakan raja-raja Parsi, Byzantium, Mesir dan Arab. Fasal 11 menceritakan raja-raja Melaka dan Pahang. Fasal 13 menceritakan raja-raja Aceh dari Ali Mughayat Syah hingga Iskandar Tsani, ulama-ulama Aceh yang terkenal, Taman Ghairah dan Gegunungan yang terdapat dalam kompleks istana Aceh sebagai simbol kemegahan dari kesultanan Aceh, dan upacara pula batee (penanaman batu nisan Iskandar Tsani) oleh penggantinya, permaisuri almarhum Iskandar Tsani, yaitu Sultanah Taj al-Alam.

Bab III menceritakan raja-raja yang adil dan wazir-wazir yang cerdik cendekia,

terdiri dari 6 fasal. Bab IV menceritakan raja-raja yang gemar melakukan zuhud dan wali-wali sufi yang saleh. Bab ini terdiri dari 2 fasal. Fasal pertama antara lain menceritakan tokoh sufi yang masyhur, Sultan Ibrahim Adham. Bab V menceritakan raja-raja yang zalim dan wazir-wazir yang keji. Bab VI menceritakan orang-orang yang dermawan dan orang-orang besar pemberani dalam membela kebenaran. Juga diceritakan perjuangan tokoh-tokoh dalam melawan raja yang keji lagi durhaka. Bab VII menceritakan tentang akal, ilmu firasat, ilmu kedokteran dan segala sifat perempuan. Dalam bab-babnya Nuruddin kerap menyisipkan syair dan kisah-kisah ajaib. Nilai sastra Bustan al-Salatin tampak dalam uraian tentang Taman Gairah dan Gegunungan yang terletak di kompleks istana kesultanan Aceh, sebagai berikut:

“Pada zaman bagindalah (Sultan Iskandar Tsani, pen.) diperbuat suatu bustan yang terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka ditanaminya pelbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar baginda bustan itu Taman Ghairah... Sebermula di seberang sungai Dar al-`Isyqi itu dua buah kolam, suatu bergelar Jentera Rasa dan suatu bergelar Jantera Hati... Syahdan dari kanan Sungai Dar al-`Isyqi itu suatu taman terlalu amat luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Hairani. Dan pada sama tengah itu sebuah gunungan, di atasnya menara tempat semayam, bergelar Gegunungan Menara Pertama, tiangnya daripada tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, puncaknya suasa.”

Taman Gairah ini sebenarnya sudah ada sebelum Iskandar Tsani, namun sultan inilah yang memugarnya menjadi taman baru yang indah dan megah. Gegunungan yang disebutkan itu diperkirakan telah ada sejak abad ke-16 M. Dalam tradisi Islam, pembangunan taman dalam sebuah istana dikaitkan untuk menciptakan suasana seperti di dalam sorga. Taman-taman yang terdapat dalam istana kerajaan Parsi, Mughal, Arab, Andalusia dan lain-lain merupakan lambang kebesaran kerajaan-kerajaan bersangkutan. Ia harus ada sungai yang mengalir, pohon-pohon yang rindang dan lebat buahnya, aneka bunga-bungaan yang indah dan harum semerbak baunya, seperti gambaran yang diberikan al-Qur’an tentang sorga. Dalam tradisi Islam pula, istana sebagai pusat sebuah kerajaan harus merupakan dunia yang lengkap dan sempurna, yang diambangkan dengan adanya taman yang luas, indah dan lengkap isinya. Ada pun fungsinya bukan sekadar untuk tempat bersenang-senang, seperti bercengkrama dengan permaisuri atau putri-putri istana bermain-main. Taman dalam istana kerajaan Islam punya beberapa fungsi khusus seperti tempat sultan menerima pelajaran tasawuf dari guru keruhaniannya dan juga tempat sultan menjamu tam agung dari kerajaan lain.

Kesempurnaan dan keindahan taman dilukiskan oleh Nuruddin al-Raniri sebagai berikut: “Dan di tengah taman itu ada sebuah sungai disebut Dar al-`Isyqi, penuh dengan batu-batu permata; airnya jernih dan sejuk sekali, dan barang siapa meminum airnya akan menjadi segar tubuhnya dan sehat.” Air adalah lambang kehidupan dan penyucian diri, pembaruan dan pencerahan.

Abdul Rauf Singkel dan Yusuf Mengkasari. Abdul Rauf Singkel atau al-Singkili adalah ulama Aceh yang masyhur pada penghujung abad ke-17 M. Dia adalah seorang penulis yang prolifik. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab. Dia sering juga dikenal sebagai Abdul Rauf al-Fansuri dan mempunyai hubungan keluarga dengan Hamzah Fansuri. Setelah lama tinggal di Mekkah, sekitar tahun 1640 dia pulang ke Aceh menggantikan peranan Nuruddin al-Raniri yang telah tiga tahun meninggalkan Aceh. Dia seorang penulis yang prolifik. Mir`at al-Tullab merupakan kitab syariah pertama yang isinya lengkap dalam pustaka Islam Melayu. Dia juga merintis penulisan tafsir al-Qur’an. Karyanya di bidang iniyang terkenal ialah Tarjuman al-Mustafid.

Karya-karya lain yang penting dari Abdul Rauf Singkel ialah Idhah al-Bayan fi Tauhid Masail A`yani, `Umdat alMuhtajina fi Suluk Maslak al-Mufarradina, Ta`bir al-Bayan, Daqa`iq al-Huruf, Majmu` al-Mas`il, Sakrat a-Maut, dan lain-lain. Jika pamannya Hamzah Fansuri adalah pengikut Tariqat Qadiriyah, Abdul Rauf adalah pengikut Tariqat Syatariyah. Sebagai ahlu tasawuf, Abdul Rauf juga menulis beberapa syair tasawuf, namun syair-syairnya itu tidak begitu dikenal. Di antara syairnya yang dijumpai ialah Syair Ma`rifat. Karya-karyanya yang sebagian besar tergolong ke dalam sastra kitab dibicarakan dalam bab lain dalam buku ini

Syekh Abdul Rauf adalah ulama besar yang mempunyai banyak murid. Di antaranya yang terkenal ialah Syekh Jamaluddin al-Tursani dan Syekh Yusuf Mengkasari. Jamaluddin al-Tursani terkenal karena dalam bukunya Syafinat al-Hukkam memperbolehkan wanita menjadi pemimpin atau raja. Ada pun Yusuf Mengkasari (w. 1799) adalah seorang ulama yang pernah berjuang melawan kolonialisme Belanda bersama Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten. Dia dibuang ke Afrika Selatan, tetapi aktivitasnya sebagai ulama, pendakwah dan penulis kitab yang prolifik berlanjut hingga akhir hayatnya di tempat pengasingannya. Karyanya tidak kurang 30 buah dalam bahasa Arab dan Melayu, antara lain ialah al-Naftahu al-Sailaniya, Zubdatu al-Asrar, Qurrat al-`Ain, Syurut al-`Arifin al-Muhaqqiq dan Taj al-Asrar.

Seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin al-Raniri dan gurunya Abdul Rauf Singkel, Yusuf Mengkasari menganut faham wujudiyah. Hanya saja cara menguraikan fahamnya itu berbeda dari keempat tokoh yang telah disebutkan. Menurut Yusuf Mengkasari yang disebut Nur Muhammad atau Hakikat al-Muhammadiyah ialah wadah dari manifestasi sifat-sifat dan pekerjaan Tuhan. Nur Muhammad mempunyai dimensi ganda.Pertama, sebagai asas penciptaan alam semesta. Kedua, sebagai hakikat sejati dari Diri Manusia. Uraiannya yang menarik ialah tentang kiblat manusia, yang menurutnya ada tiga:Kiblat Amal, Kibal Ilmu dan Kiblat Rahasia. Kiblat amal ialah Ka`bah dan Masjid al-Haram di Mekkah. Ia merupakan tempat orang beriman menghadapkan wajah pada waktu salat. Kiblat ilmu ialah seperti disebutkan al-Qur’an, Kemana pun kau memandang akan tampak wajah Allah. Ia merupakan kiblat ahli makrifat. Kiblat rahasia ialah seluruh alam semesta yang di dalamnya terbentang ayat-ayat-Nya.

Palembang dan Banjarmasin

Setelah Aceh, muncul beberapa pusat kegiatan penulisan sastra Islam yang lain pada abad ke-18 M. Pusat-pusat baru ini seakan-akan berlomba melahirkan ulama besar. Pusat-pusat baru yang paling aktif pada zaman baru ini ialah Palembang, Banjarmasin dan Patani. Palembang tumbuh sebagai pusat kegiatan penulisan sastra Melayu Islam menjelang pertengahan abad ke-18. Karya-karya yang dihasilkan penulis Palembang berbeda dari karya-karya penulis Aceh, walaupun sama-sama bertolak dari ilmu tasawuf. Karya-karya Aceh terutama membawakan aliran wujudiyah Ibn `Arabi, yang sangat kental dengan persoalan metafisika dan estetika. Karya-karya Palembang lebih berorientasi pada pemikiran Imam al-Ghazali, yang menekankan pada masalah akhlaq dan berusaha mengaitkan fiqih dengan tasawuf seerat mungkin.

Di antara penulis-penulis sastra kitab terpenting dari Palembang beserta karyanya ialah Syihabuddin bin Abdullah Muhammad al-Falimbangi (Syarah yang Latif atas Kitab Mukhtasar Jawhaat al-Tawhid, Risalah dan Kitab `Aqidat al-Bayan; Kemas Fakhrudin al-Falimbangi (Fath al-Rahman, Futuh al-Sya,m, Tuhfat al-Zaman, Kitab Mukhtasar); Abdul Samad al-Falimbangi (Ulasan Ikhya `Ulum al-Din, Ratib Syekh Samman, Zuhrat al-Murid, Hidayat al-Salikin, Sair al-Salikin); Muhammad Muhyddin bin Syihabuddin (Hikayat Syekh Muhammad Samman); Kemas Muhammad bin Ahmad (Nafahat al-Rahman, Bahr al-Ajaib); Muhammad Makruf bin Abdullah Khatib (Uraian tentang Tariqat Qadiriyah dan Naqsabandiyah); Syekh Daud Sunur (Syair Mekkah dan Madinah, Syair Sunur. Selain juga muncul penulis karya-karya imaginatif Sultan Mahmud Badaruddin (Hikayat Martalaya, Hikayat Raja Budak, Syair Kumbang, Syair Burung Nuri, Pantun Badaruiddin); Pangeran Panembahan Senapati (Syair Air Mawar, Syair Patut Delapan); Ahmad bin Abdullah (Hikayat Andaken Penurat), Kiyai Rangga Setyanandita (Hikayat Mareskahek), Pangeran Tumenggung Karta Menggala dan Demang Muhiddin.

Selain Kemas Fakhrudin dan Abdul Samad al-Falimbangi, penulis yang menonjol dari Palembang ialah Sultan Mahmud Badaruddin (1766-1852). Ia memegang tampuk pemerintaham amtara tahum 1804-1821, merupakan seoranng sultan yang terpelajar, cerdik dan berbakat sastra. Dia mengangkat senjata melawan kolonial Belanda dan dibuang ke Ambon. Dalam pengasingannya itulah dia menulis karyanya yang terkenal Syair Burung Nuri, sebuah alegori bertemakan kerinduan dan percintaan. Keindahan bahasa syair ini dapat dirasakan melalui kutipan berikut:

Nuri berangkat masuk peraduan

Rebah berbaring memanggil kawan

Dayang nin datang menghadap tuan

Nuri berbisik kata merawan

Ayuhai dayang pergilah diri

Segera menghadap Simbangan bestari

Memohonklan seketika paksi Muri (Murai, pen.)

Kepala sakit tiada terperi

(Koster 1996)

Semakin kuatnya cengkraman kekuasaan Belanda pada akhir abad ke-18 mmbuat kegiatan penulisan kreatif di banyak tempat di Indonesia mengalami kemunduran, tidak terkecuali di Palembang. Namun demikian tidak berarti kegiatan tersebut terhenti sama sekali. Di Banten misalnya yang sejak lama berada di bawah kekuasaan kolonial, para ulamanya tetap melanjutkan kegiatan penulisan sastra kitab hingga akhir abad ke-19 M. Di antara ulama Banten yang gigih berjuang melawan penjajahan Belanda dan masih terus mengasah kalamnya pada abad ke-19 ialah Muhammad Nawawi Tanara, yang lebh dikenal sebagai Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1879). Karena menentang pemerintahan kolonial, seperti halnya Sultan Badaruddin al-Falimbangi, dia harus meninggalkan tanah airnya dan menetap di Mekkah untuk kedua kalinya hingga akhr hayatnya. Di sana dia menulis karya-karyanya dalam bahasa Melayu dan Arab. Di antara karyanya yang masyhur ialah dua kitab tafsir al-Qur’an yang ditulis menggunakan metode ta’wil atau hermeneutika keruhanian sufi. Satu di antaranya ialah Tafsir al-Munir dan yang lain ialah Murah Lubaid li kasyfi Ma`na al-Qur’an al-Majid atau Kitab besar berisi ungkapan-ungkapan makna yang dalam dari al-Qur’an (Rifa’i Hasan 1989:39-48).

Kota lain yang memainkan peranan penting sebagai pusat penulisan sastra kitab pada abad ke-18 ialah Banjarmasin. Di sini lahir sejumlah ulama yang prolifik melahirkan karya-karya Islam dalam bahasa Melayu. Tiga orang yang menonjol dari mereka ialah Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis bin Idris al-Banjari dan Usman al-Fantayani bin Syahabuddin al-Banjari. Karya Syekh Arsyad al-Banjari antara lain ialah Sabil al-Muhtadin, Tuhfat al-Raghibin dan Risalah Turunnya Imam Mahdi. Karya Muhammad Nafis ialah al-Dur al-Nafis, sedangkan Usman al-Fantayani menulis kitab Taj al-Arus (Streenbrink 1984:66).

Di Semanjung Melayu pusat-pusat kegiatan penulisan berada di Patani, sebuah wilayah negeri Melayu yang diduduki tentara Siam pada abad ke-19 M. Seorang ulama terkenal yang berjuang menentang pendudukan Siam ialah Daud Abdullah al-Fatani. Dia seorang ulama yang brilian dan sangat banyak melahirkan karya dalam bahasa Melayu dan Arab. Karya-karyanya meliputi bidang yang luas seperti tasawuf, fiqih, usuluddin dan syair-syair keagamaan. Seperti ulama Palembang, aliran pemikiran tasawuf yang mempengaruhi ulama Patani ialah pemikiran Imam al-Ghazali. Karya Syekh Daud al-Fatani yang awal adalah terjemahan Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali dan saduran Ihya’ `Ulum al-Din. Karyanya yang lain dan mengandung kupasan mendalam tentang tasawuf ialah Kasyf al-Ghimmah.Karyanya yang lain ialah Dhiya al-Murid, Muniyat al-Masalli, Hidayah al-Muta’alim, Wardu al-Zawahir, Fath al-Manan, Jawahir al-Saniyyah dan Sulam al-Mubtadi (Hawash Abdullah, tanpa tahun:123-45). Selain Syekh Daud, penulis Patani lain yang terkenal ialah Muhammad Salleh bin Zainal Abidin al-Fatani, Umar bin Zain al-Abidin dan Haji Wan Ngah

Selain Patani, Kelantan juga memainkan peranan penting pada abad ke-19 M/ Di sini lahir beberapa penulis sastra kitab. Seorang di antaranya yang masyhur ialah Abdul Samad bin Muhammad Salih al-Kelantani alias Tuan Tabal. Karyanya antara lain Jala`al-Qulub, Munyat Ahl Awhah fi Bayan al-Tawbah, Munabbih al-Ghafilin dan Minhat al-Qarib. Kitabnya ini membicarakan tasawuf, fiqih dan usuluddin sekaligus (`Uthman el-Muhammady 1976:246-248).

Riau dan Betawi

Ada anggapan umum di kalangan orientalis bahwa kegiatan penulisan sastra Melayu mengalami kemunduran memasuki abad ke-19 M. Anggapan demikian tidak beralasan karena di berbagai tempat seperti Palembang, Johor, Riau, Langkat, Singapura, Siak, Bengkulu, Jambi, Pontianak, Banjarmasin dan Betawi penulisan sastra kitab dan sastra imaginatif masih semarak. Begitu pula di wilayah Nusantara lain yang menggunakan bahasa Jawa, Sunda, Madura, Sasak, Bugis, Sumbawa dan lain-lain. Dari tempat-tempat ini muncul banyak sekali penulis kreatif, hanya saja belum sempat dicatat secara teliti oleh sarjana-sarjana sastra Nusantara. Walau demikian mesti diakui bahwa Riau dan Johor merupakan pusat yang paling memainkan peranan penting bagi eksistensi sastra Melayu. Dua kerajaan ini pada mulanya merupakan sebuah kerajaan, namun akibat intervensi Inggris dan Belanda kemudian terpecah menjadi dua kerajaan.

Pada masa ini pulau Penyengat menjadi tempat persemaian penulis yang paling hidup pada abad ke-19 M. Semaraknya kegiatan penulisan d Riau Penyengat ini tidak terlepas dari tradisi yang dipegang kuat oleh bangsawan-bangsawan Melayu keturunan Bugis. Mereka mencintai ilmu agama dan sejarah. Di samping itu sejak lama mereka gemar mencatat segala sesuatu yang dijumpai dalam hidupnya seperti soal kematian, kelahiran, benda pusaka yang mereka miliki, kekayaan dan benda-benda yang diperoleh, termasuk peristiwa-peristiwa sejarah yang mereka alami sendiri. Mereka gemar mencatat itu semua dengan harapan agar keturunan mereka selalu ingat kepada asal-usulnya dan tahu pula harta pusaka dan warisan yang mereka miliki, yang berasal dari nenek moyangnya. Pada akhir pertengahan abad ke-19 bangsawan-bangsawan keturunan Bugis pencinta sastra ini mendirikan klub penulis bernama Perkumpulan Rusydiah. Lembaga ini didirikan denga tujuan memelihara dan mengembangkan bahasa dan kesusastraan Melayu Islam. Pendirinya ialah Tengku Abdul Kadir, Raja Khalid alp-Hiutami dan Sayyid Syekh al-Hadi. Untuk mencapai tujuannya itu selain mengadakan perbincangan sastra, juga menerbitkan buku-buku karya para anggotanya. Ada kalanya menerbitkan antologi bersama. Salah satu antologi bersama yang dihasilkan klub ini ialah Risalat al-Fawaid al-wafiat fi syarah ma`ana al tahiyyat. Abu Hassan Sham 1993:64).

Tariqat Naksabandiyah yang diperkenalkan pada abad ke-19 oleh Syekh Ismail memainkan peranan penting dalam kegiatan intelektual di Riau. Di antara penulis yang menjadi anggotanya tercatat Raja Riau ke-8 Ali, Raja Riau ke-9 Haji Abdullah dan Raja Ali Haji. Raja Riau ke-8 melahirkan karya keagamaan seperti Syair Nasihat dan Raja Haji Abdullah menulis beberapa syair seperti Syair Qahar Masyhur, Syair Syarkan, Syair Encik Dusaman, dan Syair Madhi. Lagi penulis Riau lain sebelum mereka ialah Raja Ahmad bin Raja Haji (ayah Raja Ali Haji), yang mengarang Syair Perang Johor dan Syair Ungku Putri, serta bersama putranya menyusun karya agung Tuhfat al-Nafis (Ibid)..

Pada masa ini pengaruh Eropa sudah meluas di kalangan masyarakat Melayu. Interaksi kebudayaan Melayu dan Eropa melahirkan suasana pemikiran baru, sebagaimana tampak pada karangan-karangan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi di Semenanjung. Berbeda dengan Abdullah Munsyi yang melihat kebudayaan Eropa dengan apresiasi yang tinggi, penulis-penulis Riau Penyengat mengkuatirkan kemerosotan kebudayaan Melayu dan Islam. Oleh karena Raja Ali Haji dan karib kerabatnya mendirikan klub Rusydiah sebagai tempat mendidik penulis-penulis berbakat. Dengan cara demikian bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu bisa dipelihara dan dikembangkan, tidak tenggelam oleh Eropanisasi yang sedang dijalankan pemerintah kolonial Inggris dan Belanda, khususnya melalui lembaga pendidikan modern yang mereka dirikan.

Usaha Perkumpulan Rusydiah membuahkan hasil yang menakjubkan. Dari klub ini lahir banyak penulis kreatif hingga akhir abad ke-19 M. Selain Raja Ali Haji sendiri, dari perkumpulan ini Raja Ali Tengku Kelana, Raja Hitam, Raja Aisyah, Raja Abdullah, Tuan Bilik, Raja Zaleha, Haji Ibrahim dan lain-lain. Raja Tengku Kelana memperoleh pendidikan di Mesir, darimana pemikiran pembaharuan yang diperkenalkan Muhammad Abduh dibawa ke Riau dan mempengaruhi pemikiran keagamaan di situ. Namun melabihi yang lain, pengarang yang paling menonjol dan all-round ialah Raja Ali Haji (1807-1870).

Raja Ali Haji. Tokoh terkemuka ini bukan saja seorang penyair dan ahli sastra, tetapi juga ahli bahasa dan sejarah yang menguasai bidang-bidang ilmu agama dan hukum secara luas. Sebagai tokoh spiritual ia adalah pemimpin Tariqat Naqsabandiyah. Berkat bacaannya yang luas, pada masa tuanya ia sempat menerima gagasan pembaharuan Islam yang berkembang di Mesir pada permulaan abad ke-19, khususnya dari Muhammad Abduh. Kendati demikian ia masih melihat relevansi pemikiran Imam al-Ghazali. Bertolak dari semangat pemikiran Imam al-Ghazali, kecintaan yang besar terhadap kebudayaan Melayu dan semangat anti-kolonial yang diwarisi dari kakeknya, Raja Ali Haji melahirkan karya-karyanya.

Karya-karya Raja Ali Haji antara lain ialah Hikayat Abdul Muluk (1846), Gurindam 12 (1847),Bustan al-Katibin (1850), Pengetahuan Bahasa (1856-1859), Salasilah Melayu dan Bugis(1860), Tuhfat al-Nafis (dikarang bersama ayahnya Raja Ahmad, 1865), Syair Siti Siyanah, Suluh Pegawai, Taman Permata, Sinar Gemala Mestika Alam, Tsamrat al-Muhimmah, Al-Ustha dan Al-Qubra. Selain Gurindam 12, karya Raja Ali Haji yang terkenal ialah Tuhfat al-Nafis. Di situ dia memperlihatkan kepakarannya dalam bidang sejarah. Dilihat dari corak penulisan dan maksud penyampaiannya, Tuhfat merupakan gabungan sastra adab dan historiografi. Realitas sejarah dilihat oleh pengarangnya dari perspektif tasawuf. Sedangkan sumber ilham penulisannya ialah peristiwa-peristiwa sejarah abad ke-18 dan 19 yang terjadi di lingkungan kerajaaan Riau dan Johor.

Buku ini dimulai dengan puji-pujian kepada Allah s.w.t. dan salawat kepada Nabi Muhammad s.a.w. Sesudah itu dia menyampaikan maksud penulisan karyanya. Yaitu menguraikan peristiwa-peristiwa penting yang dialami raja-raja Melayu dan Bugis selama dua abad sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Peristiwa-peristiwa sejarah yang dipaparkan dijadikan sarana untuk menyampaikan gagasan sufistik pengarang, khususnya tentang pentingnya akhlaq, cinta agama, tradisi dan pengetahuan. Semua itu penting untuk memelihara negara dan masyarakat. Kemerosotan negeri-negeri Melayu dan krisis politikyang dialami pada abad ke-18 dan 19 bersumber dari krisis moral dan lunturnya keimanan serta kecintaan raja-raja Melayu terhadap agama dan kebudayaan Islam. Krisis itu akhirnya mengundang campur tangan kolonial Inggris dan Belanda, sehingga kerajaan Riau dan Johor akhirnya terpecah belah.

Dalam buku ini pengarang mengingatkan raja-raja yang gemar mengumbar nafsu dan mementingkan diri seperti Sultan Mahmud dari Johor yang mengakibatkan bencana bagi negara dan rakyat. Raja Ali Haji juga menggambarkan dengan cermat betapa dahsyatnya proses demoralisasi melanda kehidupan raja-raja dan bangsawan Melayu selama hampir satu abad hingga Tuhfat ditulis. Akibat dari demoralisasi itu ialah perpecahan antara etnik-eknik Muslim, khususnya Melayu, Bugis dan Minangkabau. Perpecahan dibuat parah karena kelobaan para pemimpin masing-masing kaum yang saling mendengki satu dengan yang lain. Sebagai karya yang tergolong sastra adab, Tuhfat juga membicarakan persoalan raja yang baik dan buruk. Hubungan dengan pemikiran Imam al-Ghazali tampak di sini.

Raja buruk biasanya congkak, serakah, jahat, iri hati, pendengki dan sok benar sendiri, serta gemar menghamburkan uang, tidak acuh pada masalah administrasi, tidak suka humor dan menghambat kemajuan berpikir. Kaum ulama, cendekiawan dan budayawan dipinggirkan dalam pemerintahannya. Pendidikan diabaikan. Perbedaan Tuhfat dengan karya sejarah yang lebih awal, terletak pada penghapusan unsur legenda dan mitos. Tarikh peristiwa-peristiwa yang diceritakan dikemukakan secara rinci dan cermat. Kedaulatan seorang raja, menurut penulis buku ini, tidak dapat diukur hanya berdasarkan garis keturunan. Seorang raja memiliki kedaulatan apabila ia memliki kemampuan memimpin dan pengetahuan yang luas dalam bidang yang dperlukan seperti hukum, politik, agama, sejarah, bahasa dan kebudayaan.

Pengarang Betawi. Batavia atau Betawi muncul sebagai salah satu tempat penting kegiatan penulisan sastra Melayu pada awal abad ke-19 M. Walaupun tidak semarak sebagaimana di Riau Penyengat, namun karya yang dihasilkan penulis Betawi memiliki kedudukan khusus dalam perkembangan sastra Indonesia. Karena itu ia tidak semestinya diabaikan dalam penulisan sejarah sastra. Kegiatan di Betawi ini bermula dengan didirikannya Algemeene Secretarie pada tahun 1819 oleh Pemerintah Hindia Belanda. Lembaga ini menghimpun jurutulis untuk menyalin naskah-naskah Melayu Lama untuk kepentingan politik pemerintah kolonial. Namun dalam perkembangannya ternyata berbelok arah, ketika keturunan para jurutulis itu kemudian tumbuh menjadi pengarang yang mandiri dalam melahirkan karyanya.

Di antara penulis generasi awal yang lahir melalui lembaga ini ialah Cing Saidullah, Muhammad Sulaeman, Muhammad Hasan dan Abdul Hadi. Pada mulanya mereka menyalin naskah-naskah Melayu abad 17 dan 18, tetapi kemudian ternyata dilanjutkan dengan menggubah sendiri cerita-cerita lama menjadi karya baru. Pada pertengahan abad ke-19 kegiatan penulisan bertambah semarak. Penulis-penulis Betawi terkenal yang muncul sejak masa itu antara lain ialah Sapirin, Sapian, Muhammad Bakir bin Sapian, Ahmad Insab, Ahmad Mujarrab dan Ahmad Beramka (Chamber-Loir 1984; Mu’jizah 1995). Karya mereka berbeda dengan karya penulis Melayu dari daerah lain dalam hal bahasa dan corak pengungkapan cerita. Unsur-unsur dialek Betawi yang kaya dengan humor memenuhi karya mereka. Pola penceritaannya pun sudah dipengaruhi gaya realis sastra Eropa.

Karya-karya gubahan baru yang dilahirkan penulis Betawi antara lain Hikayat Nakhoda Asyik, Hikayat Sultan Taburat, Hikayat Syekh Abdul Kadior Jailani, Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syair Buah-buahan, Syair Kupu-kupu, Syair Siti Zawiyah, Hikayat Mashudulhaq, Hikayat Siti Hasana, Syair Abdul Muluk, Syair Ibadat, Syair Zain al-Khayr Bertanda Islam, Syair Kembang Merambat, Hikayat Raja Budak, Nyai Dasima, Syair Himop dan lain-lain. Pengarang Betawi paling terkemuka ialah Muhammad Bakir dan Ahmad Beramka. Karya Muhammad Bakir yang terkenal ialah Hikayat Nakhoda Asyik dan karya Ahmad Beramka ialah Nyai Dasima, Hikayat Hasan Mukmin dan lain-lain.

Tentu saja perkembangan sastra Melayu tidak ditutup dengan kegiatan yang tumbuh di Riau dan Betawi. Di beberapa daerah lain pun sampai awal abad ke-20, sebelum munculnya sastra Indonesia modern, karya-karya Melayu lama masih terus disadur, digubah dan diterbitkan baik dalam Jawi maupun dalam tulisan Latin. Bersamaan dengan itu ditulis pula karya-karya tradisional baru yang telah mencerminkan pengaruh kebudayaan modern dan pemikiran pembaharuan Islam.

Akhir Kalam

Melalui pemaparan yang telah dituturkan tampaklah keluasan jagat dan kekayaan khazanah tradisi intelektual Islam di Nusantara, sebagaimana tercermin dalam khazanah kesusastraan Melayu klasik. Apa yang telah dipaparkan sesungguhnya hanya sebagian saja dari keseluruhan khazanah. Masih begitu banyak manuskrip lama karya penulis Muslim pada abad-abad ke-14-19 M belum ditemukan, dan darip apa yang sudah dijumpai hanya sedikit pula yang telah ditransliterasi dan diteliti oleh para sarjana. Kecuali di daerah-daerah yang telah disebutkan sebagai pusat kegiatan intelektual Islam dan penulisan kitab, terdapat sekian banyak kantong-kantong kebudayaan Islam lain di Nusantara yang belum disebutkan. Misalnya Minangkabau, Jambi, Bengkulu, Siak, Deli, Mandailing, Pontianak, Banten, Gorontalo, Bima, Ternate, dan lain sebagainya.

Kecuali itu perlu dicatat bahwa karya-karya keislaman yang muncul dalam sastra Melayu, baik yang disebut sastra kitab maupun sastra imaginatif (fiksi, puisi, atau hikayat) tidaklah sedikit yang disadur ke dalam berbagai bahasa Nusantara lain seperti Jawa, Sunda, Aceh, Madura, Sasak, Minangkabau, Palembang, Banjar, Bima, Bugis, Makassar, dan lain-lain untuk menyebutkan beberapa saja. Karya-karya Melayu Islam itu tersebar luas oleh karena orang Islam memiliki jaringan intelektual yang luas di Nusantara mengikuti keluasan jaringan politik, perdagangan, penyebaran agama dan pendidikan. Sebagian dari jaringan-jaringan itu dibina oleh tarekat-tarekat sufi dan gilda-gilda mereka yang menjangkau wilayah luas di Asia Tenggara, bahkan sampai ke India, Asia Barat (Persia, Turki, Samarkand), Mesir dan negeri-negeri Arab yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar