PANCASILA, ETIKA POLITIK DAN ISLAM
Abdul Hadi W. M.
Universitas Paramadina, Jakarta
Bagian II
Seperti di mana pun, hukum terdiri dari norma-norma bagi tindakan yang dapat dibenarkan dan tidak dapat dibenarkan. Tetapi hukum hanya bersifat normatif, dan tidak dengan sendirinya menjamin masyarakat mentaatinya. Oleh karena itu yang secara efektif menentukan perilaku dan tindakan masyarakat ialah lembaga yag mempunyai kekuasaan untuk memaksakan kehendaknya, dan lembaga itu adalah negara. Hukum tanpa kekuasaan negara adalah sesuatu yang tidak bermakna, sebab hukum hanya bisa dilaksanakan dalam konteks kekuasaan negara atau lembaga hukum yang diberi wewenang oleh negara. Sebaliknya negara tidak bisa berbuat apa-apa tanpa landasan hukum yang jelas dan disepakati bersama. Negara seperti halnya hukum memerlukan legitimasi. Legitimasi itu ada di tangan rakyat.
Etika politik membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan obyek formal etika, yaitu tinjauan kehidupan politik berdasarkan prinsip-prinsip dasar etika. Obyek materialnya meliputi legitimasi negara, hukum, kekuasaan dan penilaian kritis terhadap legitimasi-legitimasi tersebut. Pancasila sebagai etika politik didasarkan atas sila-sila yang terkandung di dalamnya, yang nilai-nilainya telah dijelaskan (Abdul Malek Al-Sayed 1982).
seperti telah disebutkan. seperti telah disebutkan. Rumusan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, serta sila kelima yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia juga mendapatkan ilham dari kitab-kitab adab (etika politik) Melayu Islam seperti Pandangan Hatta ini tidak hanya merujuk pada etika politik yang berkembang dalam sejarah filsafat Barat, tetapi juga pada etika Islam, khususnya kitab dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengan moral. Muhammad Hatta mengatakan bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus menjadi “negara kekuasaan” (disahkan dan dijalankan secara demokkratis; asas legalitas atau legitimasi hukum, yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara RI yang berdasarkan Pancasila; Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, Pancasila sebagai etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan:
dikarang oleh Bukhari al-Jauhari di ceh pada tahun 1602-3 M. Buku ini dibagi ke dalam 24 bab. Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar.maka saya merasa perlu membicarakan khusus kitab ini. Kitab Oleh karena adanya kesesuaoan antara rumusan sila kedua dan kelima dari Pancasila dan dasar-dasar etika politik yang dikemukakan dalam kitab
Menurut Bukhari, walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, tetapi dunia memiliki nilai dan makna tersendiri yang tidak boleh diabaikan. Dunia merupakan tempat ujian di mana amal perbuatan manusia sangat menentukan bagi kehidupannya di akhirat. Hukuman terberat akan diterima oleh raja-raja yang dhalim dan tidak adil, karena mereka memiliki kekuasaan yang lebih dibanding orang lain, sehingga leluasa mengatur dan memerintah manusia lain. Raja yang baik dan adil merupakan bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah, bersifat al-rahman dan al-rahim sebagaimana Khaliqnya (Abdul Hadi W. M. 2003).
Dalam membicarakan keadilan, Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral, melainkan juga memberinya makna ontologis atau metafisis. Di sini raja yang baik, sebagai Ulil albab. Secara etis seorang ulil albab diartikan sebagai orang yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Akal, dalam bahasa Arab, dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai. Kemuliaan akal dinyatakan dalam Hadis, `Awwal ma khalaqa`lLahu’l- `aql. Adapun tanda orang yang menggunakan akal dan pikiran yang baik ialah: (1) Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat; (2) Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi; (3)Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji; (4) Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya; (5)Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur; (6) Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu; (7) Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.
Dalam bab ini Bukhari al-Jauhari mengutip kisah raja Nusyirwan dari Bani Sassan yang ketika ditanya seorang hakim tentang kedudukan akal, mengatakan bahwa akal budi merupakan perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-raja Persia. Orang berakal budi dan adil diumpamakan sebagai pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya. Raja yang dhalim dan tidak berakal budi adalah sebaliknya, bagaikan pohon yang buruk dan tidak ada buah, karena itu dijauhi dan tidak disukai orang.
Penulis Taj al-Salatin juga mengutip Imam al-Ghazali, yang menyatakan bahwa akal dalam tubuh manusia itu seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri akan baik jika raja yang memegang tampuk pemerintahan menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang adil dan arif, yaitu menggunakan akal budi dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.
Kemudian juga dikutip pandangan seorang ulama dalam buku Sifat al-`Aql wa `l-`aql. Negeri adalah seperti manusia: raja adalah akal pikiran sebuah negeri, menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan yang dibuat berdasarkan pikiran dan hati nurani (musyawarah) ; pesuruhnya ialah lidah; suratnya ialah kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah. Seorang raja yang baik dikehendaki sehat baik rohani maupun jasmaninya.
Marilah kini kita perhatikan fasal ke-6 yang membicarakan khusus masalah keadilan. Fasal ini dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perrbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan.
Pengarang juga mengutip Hadis yang menyatakan bahwa adil itu tanda kemuliaan agama, sumber kekuatan seorang raja dan pangkal kebajikan insan. Menurut Kitab al-Khairat al-Mulk: Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah. Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik (Khalid Hussain 1967).
Konsep pemerintahan atau negara yang dikemukakan oleh Bukhari al-Jauhari ialah nomokrasi, negara berdasarkan hukum. Menurut Bukhari al-Jauhari, keadilan tidak ada artinya apa-apa dan akan bersifat sementara apabila tidak didasarkan pada hukum yang dijunjung tinggi oleh segenap lapisan rakyat. Hukum dan aturan yang jelas tentang adab atau tatakrama bernegara, bermasyarakat dan berbangsa sangat penting mengingat:
Pertama, kebanyakan manusia itu cenderung pada kejahatan dibanding pada kebaikan. Orang yang baik dan cenderung pada kebaikan itu tidak banyak, apalagi dalam sebuah negeri yang baru tumbuh dan masyarakatnya majemuk. Orang yang baik tidak ada gunanya dan malah mudah terbawa pada kejahatan apabila tidak ada jaminan hukum yang pasti. Tanpa supremasi hukum kejahatan akan semakin bertambah-tambah dan negara akan mudah mengalami disintegrasi.
Kedua, seorang raja atau pemimpin negara serta menteri-menteri dan para pegawainya tidak dapat menjalankan tugas dan pekerjaan dengan baik tanpa landasan hukum yang jelas. Apabila raja berbuat tanpa dasar hukum yang jelas, maka rakyat akan cenderung melihat perbuatan itu berdasarkan pertimbangan pribadinya semata-mata, dan dengan demikian mudah untuk tidak mematuhinya.
Ketiga, hukum diperlukan sebagai tolok ukur untuk menilai adil tidaknya seorang raja dan pemimpin, serta dapat menghindari kecenderungan perbuatan yang sewenang-wenang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan akan cenderung berbuat sesuka hati untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Bukhari kurang lebih mengatakan, segala orang jahat itu tidak akan berbuat sekehendak hati apabila hukum benar-benar ditegakkan. Dan tidaklah berguna pula segala orang yang baik di negeri itu apabila di sekelilingnya kejahatan merajalela. Pelaksanaan hukum secara ketat dan keras memungkinkan orang jahat mengendalikan niatnya untuk berbuat jahat. Dengan demikian orang-orang baik dan rakyat akan dapat melakukan tugas, pekerjaan dan pengabdian dengan baik dan ikhlas (Abdul Hadi W. M. 2003).
Apa yang dikemukakan dalam kitab Tajus Salatin ini juga disarankan dalam Pancasila sebagai rumusan ringkas dari sebuah etika politik yang ideal. Namun ada masalah lain yang diperdebatkan sehubungan dengan kaitan Pancasila dengan Islam, yaitu rumusan sila yang pertama. Seperti kita ketahui sila pertama dalam Piagam Jakarta berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dirubah dalam Mukadimah UUD 45 menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” Menurut Nijwenhuijze, seorang sarjana Belanda, sila tersebut berasal dari golongan nasionalis Islam. Begitu pula Hazairin dalam bukunya Demokrasi Pancasila (Jakarta 1970:58) menyatakan bahwa istilah tersebut hanya mungkin berasal dari kebijaksanaan dan iman orang Indonesia yang beragama Islam. Khususnya sebutan Yang Maha Esa, yang dapat dikaitkan dengan seburtan Allahu al-wahidu al-Ahad (Allah Yang Satu dan Esa).
Pernyataan kedua sarjana tersebut dapat dihubungkan dengan pernyataan Profesor Supomo S. H. Dalam pidatonya 31 Mei 1945 dalam sidang BPUPK Prof. Supomo membedakan bahwa ada dua gagasan tentang negara yang dikemukakan dalam BPUPK, yaitu gagasan “Negara Islam” dan gagasan “Negara berdasarkan cita-cita luhur dari agama Islam”. Menurut Supomo: “Dalam negara yang tersusun sebagai “Negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama ialah satu., bersatu padu... dan hukum syariat itu dianggap sebagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar untuk dipakai oleh negara.” (Endang Syaifuddin Anshari 1982).
Supomo menganjurkan agar negara Indonesia tidak menjadi negara Islam, tetapi menjadi “negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam”. Alasan Supomo diterima oleh banyak nasionalis Islam, karena itu untuk sementara waktu perubahan rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta tidak lagi mencantumkan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dan diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan demikian Pancasila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kepercayaan Islam.
Visi Masyarakat Madani
Dalam sejarah Indonesia pemikiran tentang masyarakat madani dapat dilihat dalam tulisan Muhamad Hatta tentang “Collectivisme” (1933) Dalam tulisan tersebut Hatta menggagaskan bahwa suatu bangsa tidak mungkin dibangun tanpa prinsip-prinsip solidaritas dan subsidiaritas. Prinsip solidaritas mengisyaratkan perlunya kerja sama (koperasi) yang aktif secara kolektif dari komponen-komponen yang ada dalam masyarakat. Prinsip subsidiaritas ialah yang mampu membantu yang tidak mampu, yang kuat membantu yang lemah, khususnya dibidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan.
Tetapi rujukan konstitusional masyarakat madani secara resmi terdapat dalam Mukadimah/Pembukaan UUD 45 dan batang tubuhnya, yaitu pasal-pasal dan ayat-ayat dalam UUD 45. Secara keseluruhan Mukadimah UUD 45 memberikan jaminan hukum tertulis bagi terbentuknya sebuah masyarakat berperadaban yang tunduk pada undang-undang dan hukum yang berlaku, yang kita sebut masyarakat madani. Dalam konteks Indonesia, masyarakat madani yang dibentuk mestilah berakar dalam sejarah perjuangan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Cita-cita luhur tersebut tercermin dalam sistem kepercayaan dan agama yang dianut bangsa Indonesia, serta kebudayaannya.
Mukadimah UUD 45 secara historis dapat disebut sebagai Deklarasi Kemerdekaan Indonesia. Ada empat hal pokok di dalamnya:
(1) Statement of belief (pernyataan keyakinan, yaitu bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan keberhasilan perjuangan mencapai kemerdekaan adalah berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya Ketuhanan YME dijadikan sila pertama, karena bangsa Indonesia yakin bahwa tanpa rahmat Tuhan YME tak mungkin bangsa Indonesia berhasil dalam perjuangannya itu. Sedangkan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab berhubungan dengan hasrat menegakkan martabat manusia, yang di dalamnya tercakup hak suatu bangsa untuk menegakkan kemerdekaan.
(2) A vision of history atau keinsyafan sejarah, yaitu bahwa terbentuknya negara Indonesia diinsyafi sebagai hasil perjuangan seluruh bangsa Indonesia, yaitu merebut kemerdekaan dari penjajahan kolonial Belanda dan Jepang baik melalui perjuangan bersenjata maupun melalui perjuangan politik dan kebudayaan. Ini bermakna bahwa negara RI yang diproklamasikan pada tahun 1945 bukan warisan dari nenek moyang, tetapi lebih merupakan hasil perjuangan panjang bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarahnya, khususnya setelah dijajah Belanda dan Jepang. Perjuangan itu terus berlanjut karena cita-cita kemerdekaan tidak dapat dicapai dengan seketika, dan masih terus mendapat gangguan hingga sekarang ini.
(3) Landasan falsafah atau fundamental kenegaraan yang disebut Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan, dan Keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
(4) Alasan didirikannya negara Republik Indonesia, yaitu: pertama,mempertahankan bangsa dan tanah air; kedua meningkatkan kesejahteraan rakyat;ketiga, m encerdaskan kehidupan bangsa; keempat, ikut serta dalam mempertahankan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan.
Dari keempat alasan ideologis berdirinya negara tersebut, yang paling langsung berkaitan dengan pembinaan Masyarakat Madani atau Civil Society ialah ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sebab hanya dengan kecerdasan itulah bangsa Indonesia dapat dibangun. Jika dirujuk pada Pancasila yang merupakan dasar negara, yang ingin dikembangkan ialah sebuah negara bangsa yang ”religius, humanis (manusiawi), bersatu (walaupun aneka ragam), demokratis dan berkeadilan sosial”. Tiga alasan ideologis negara (Mempertahankan bangsa dan tanah air; meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan ikut serta dalam mempertahankan ketertiban dan perdamaian dunia yang abadi dan berkeadilan) berhubungan langsung dengan tugas dan kewajiban Negara/Pemerintah (lihat Buku Transformasi Bangsa Menuju Masyarakat Madani, Tim Nasional Reformasi 1998).
Dengan membedakan antara wilayah urusan negara dan wilayah utama urusan masyarakat madani, maka kita dapat menentukan peranan masyarakat madani. Walaupun tidak berkaitan langsung dengan tiga wilayah urusan negara, namun masyarakat madani yang kuat dapat membantu negara dalam menyelenggarakan pemerintahan yang menjamin tercapainya tujuan seperti ”meningkatkan kesejahteraan rakyat”, begitu pula kesadaran ”mempertahankan bangsa dan tanah air”. Tenaga-tenaga profesional dalam bidang birokrasi, administrasi dan penyelenggaraan pemerintahan pada akhirnya direkrut dari masyarakat madani, baik melalui partai politik maupun organisasi sosial dan keagamaan, serta lembaga pendidikan tinggi.
”Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang peranannya terletak di tangan masyarakat madani, dapat dikaitkan dengan visi kesejarahan diproklamasikannya negara RI. Menurut Mukadimah UUD 45 negara Indonesia berhasil diproklamasikan melalui perjuangan panjang bangsa Indonesia, baik dalam bentuk perjuangan politik, ekonomi dan militer, maupun dalam bentuk perjuangan intelektual dan kebudayaan. Hanya bangsa yang cerdas dapat memelihara dan mempertahankan kedaulatan negara dan martabatnya sebagai bangsa yang merdeka. Ini juga disarankan oleh kitab Tajus Salatin sebagaimana telah dibicarakan.
Sosialisme dan Ekonomi Terpimpin
Istilah ‘ekonomi terpimpin’ dikemukakan oleh Bung Hatta. Ia merupakan konsekwensi dari nasionalisme Indonesia yang timbul sebagai perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme. Dalam menancapkan kekuasaannya pemerintah kolonial Belanda menggunakan sistem kapitalisme perdagangan yang eksploitatif dan menjadikan Indonesia sebagai perkebunan raksasa. Dengan itu rakyat Indonesia dieksplotasi sebagai buruh perkebunan dengan gaji rendah, sedangkan pemerintah Belanda memperoleh keuntungan yang besar.
Menurut Bung Hatta ekonomi terpimpin adalah lawan dari ekonomi liberal yang melahirkan sistem kapitalisme. Semboyannya ialah ‘laissez faire’ (‘Biarkan saja’), artinya biarkan pasar bertindak bebas dalam membangun kehidupan ekonomi dan perdagangan. Ekonomi liberal menghendaki pemerintah tidak campur tanganm dalam perekonomian rakyat dengan membuat peraturan-peraturan ketat (regulasi) yang membatasi gerak bebas pasar.
Ekonomi terpimpin adalah sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan memberlakukan peraturan terhadap perkembanan ekonomi dalam masyarakat agar rakyat tidak dieksploitasi, harga tidak dipermainkan dan dengan demikian tercapai keadilan sosial. Alasan mengapa ekonomi terpimpin dipandang sesuai dengan cita-cita nasionalisme Indonesia ialah: Karena membiarkan perekonomian berjalan menmurut permainan bebas dari tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan yang kuat.
Ekonomi liberal bercita-cita memberikan kemakmuran dan kemerdekaan bagi semua orang, tetapi hasilnya menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan. Yang kaya bertambah kaya, yang miskin bertambah melarat. Sebab kebebasan atau liberalisme yang disandang oleh sistem itu dalam kenyataan hanya dimiliki ioleh segolongan kecil orang (yaitu pemilik modal atau kapital) dan kepada mereka yang segelintir itu sajalah keuntungan dan kemakmuran berpihak, bukan kepada rakyat banyak.
Tetapi dalam sistem ekonomi terpimpin itu tedapat banyak aliran. Antara lain: (1) Ekonomi terpimpin menurut ideologi komunisme; (2) Ekonomi terpimpin menurut pandangan sosialisme demokrasi; (3) Ekonomi terpimpin menurut solidaroisme; (4) Ekonomi Terpimpin menurut paham Kristen Sosialis; (5) Ekonomi Terpimpin berdasar ajaran Islam; (6) Ekonomi Terpimpin berdasarkan pandangan demokrasi sosial (Mohamad Hatta 1960). Semua aliran ekonomi terpimpin ini menentang dasar-dasar individualisme, yang meletakkan buruk baik nasib masyarakat di tangan orang-orang yang mengemudikan kehidupan dan tindakan ekonomi. Ekonomi liberal berdasarkan pada individualisme. Individu (baca kepentingan individu) didahulukan dari masyarakat. Tetapi ekonomi terpimpin mendahulukan masyarakat dari individu. Sekalipun demikian di antara paham-paham ekonomi terpimpin itu ada yang menolak kolektivisnme, karena bagi mereka kolektivisme sebenarnya hanya berlaku dalam ideologi komunisme dan sosialisme.
dalam hal pemberian tempat yang istimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin perekonomian negara. Perbedaan antara sistem-sistem itu berkenaan dengan seberapa besar campur tangan kekuasaan publik dan bagaimana coraknya campur tangan itu dalam perekonomian individu dan masyarakat. Ideologi komunisme menghendaki campur tangan besar dan menyeluruh dari pemerintah atau negara, sehingga individu ditindas. Sistem ekonomi kpmunis bersifat totaliter, dikuasai oleh negara. dalam hal menentang individualisme; Tetapi terdapat persamaan pula dari sistem ekonomi terpimpin yang berbeda-beda itu, yaitu:
(1919), sistem eknomi terpimpin yang bercorak sosialis menggabungkan ke dalamnya unsure-unsur ekonomi kapitalis dan ekonomi kolektif. Liberalisme dan sosialisme, menurutnya, dapat didamaikan menjadi “Welfare economics” atau ekonomi kemakmuran. Masalah utamanya ialah bagaimana cara menguasai perekonomian untuk kemakmuran penduduknya secara luas. Ini dipraktekkan di AS dan beberapa negara Eropa, termasuk Skandinavia setelah Perang Dunia I (1918) bersamaan dengan runtuhnya kapitalisme liberal sebagai akibat dari peperangan.yang kejam dan bengis. Menurut Lerner dalam bukunya
menghapuskan monopoli dan oligapoli dalam perekonomian, sebab keduanya melahirkan eksploitasi yang melampaui batas dan pemborosan ekonomi yang besar pula.melaksanakan pembagian pendapatan yang adil, agar perbedaan atau jurang besar dalam pendapatan dan kekayaan antara yang kaya dan yang miskin dikurangi; segala sumber perekonomian yang ada harus dikerjakan supaya semua orang memperoleh pekerjaan; Dalam sistem ekonomi seperti itu ada tiga hal yang harus dilaksanakan:
terciptanya keadilan sosial.semakin berkurangnya ketidaksamaan ekonomi dengan memperrata kemakmuran; adanya standar hidup yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan; terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat secara keseluruhan sehingga pengangguran dikurangi; Tujuan ekonomi terpimpin dalam bidang demokrasi, menurut Hatta (1963), ialah mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya, dengan tiada menghilangkan kepribadian manusia. Masyarakat didahulukan, bukan individu. Tetapi manusia sebagai individu tidaklenyap sama sekali dalam kolektivitas. Secara umum cita-cita ekonomi terpimpin ialah:
, begitu pula tokoh partai Islam Masyumi seperti Muhammad Natsir dan Syafrudin Prawiranegara pernah menulis karangan tentang pokok yang sama. Karena itu bukannya tidak beralasan apabila Kahin menyebut Masyumi sebagai Islam Kiri atau Islam Sosialis. Bung Karno sendiri berilang kali menegaskan bahwa masyarakat Indonesia yang dicita-citakan ialah masyarakat sosialisme religius.(1987) Nurcholis Madjid mengakui kesesuaian dasar-dasar tersebut dengan ajaran Islam. Karena itu tidak mengherankan jika pemimpin Islam seperti Coktroaminoto, Agus Salim, Mohamad Natsir dan Syafrudin Prawiranegara, dan juga ulama Mesir Muhammad Haikal, berpikiran sama. Cokroaminoto pernah menulis buku berjudul Dasar-dasar ekonomi sosialis seperti dikemukakan Hatta itu sebenarnya cukup berakar dalam budaya masyarakat pedesaan di Indonesia, akan tetapi dengan munculnya kapitalisme yang begitu berkuasa lama kelamaan dasar-dasar ini menjadi hilang. Dalam bukunya
Menurut Nurcholis Madjid prinsip-prinsip tersebut ditegaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dan pasti pula ditemui ajaran agama lain seperti Kristen.
Akhir Kata
Melalui uraian yang telah dikemukakan tampaklah bahwa tidaklah terdapat hal-hal mendasar yang bertentangan antara Pancasila dan prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan tampak ksesuaiannya. Tetapi masalahnya selama ini Pancasila lebih dijadikan sebagai agama politik dengan melupakan perannya yang lain sebagai rujukan etika politik dan paradigma budaya. Sebagai agama politik ia diberi penafsiran tertutup yang hegemonic oleh rezim yang berkuasaa, yaitu rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
Peranan masyarakat madani atau civil society dengan demikian dimatisurikan. Dan Pancasila menjadi sebuah ideologi yang tertutup. Padahal Pancasila merupakan sebuah ideologi yang terbuka. Pertama, terhadap pandangan hidup, dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Indonesia yang secara anthropologis multi-etnik, multi-budaya dan multi-agama. Sejauh pandangan dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang bhineka itu selaras dengan pandangan dan nilai-nilai yang ditawarkan Pancasila, tidak ada salahnya hal tersebut dijadikan rujukan dalam menafsirkan sila-sila dalam Pancasila. Kedua, terbuka terhadap paham-paham kemanusiaan dan kemasyarakatan dari luar, sejauh paham-paham tersebut sesuai dan dapat memperkuat Pancasila sebagai dasar ideologi negara, etika politik dan paradigma budaya. Ketiga, terbuka terhadap perubahan yang niscaya terjadi dalam sejarah masyarakat, dalam arti tanggap terhadap perkembangan dunia, masyarakat, dan kondisi kemanusiaan.
Dengan kata lain ia harus terbuka terhadap kemajemukan penafsiran yang tidak terelakkan sebagaimana ideologi dan paham kemanusiaan yang lain dalam sejarah umat manusia. Sejalan dengan itu pula tidaklah patut hanya satu dua kelompok dalam masyarakat yang boleh mengklaim bahwa hanya kelompoknya yang paling otoritatif dalam menafsirkan Pancasila. Begitu pula sebagai sumber hukum yang rinciannya dijumpai dalam batang tubuhnya UUD 45, ia tidak bisa hanya ditafsirkan dalam konteks masyarakat liberal yang justru berlawanan dengan semangatnya.
Jakarta Awal 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar