7 Juli 2011

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM NUSANTARA: SASTRA MELAYU ABAD XIV-XIX

KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM DI NUSANTARA (I)

SASTRA MELAYU ABAD KE-14 – 19 M

Abdul Hadi W. M.

Hubungan negeri Arab dan kepulauan Nusantara telah berlangsung lama, jauh sebelum lahirnya agama Islam. Kegiatan perdagangan internasional antara Timur Tengah dan Cina telah menjadikan kepulauan Nusantara memiliki posisi strategis sebagai jalur utama lalu lintas pelayaran kapal-kapal dari Barat ke Timur dan sebaliknya dari Timur ke Barat. Kota-kota pelabuhan segera tumbuh di pesisir Sumatra dan Jawa sebagai tempat singgah kapal-kapal asing itu. Pada abad ke-7 dan 8 M setelah agama Islam berkembang di negeri Arab, kegiatan perdagangan internasional ini semakin marak. Kepulauan Nusantara bukan sekadar laluan pelayaran kapal dagang asing, tetapi juga tempat mengambil barang dagangan utama seperti rempah-rempah, emas dan kamfer. Para pedagang Arab yang datang ke Nusantara telah pula memeluk agama Islam dan turut pula berperan menyebarkan agama baru ini di kalangan penduduk tempatan (Arnold 1968:367).

Tetapi sampai abad ke-13 M agama ini hanya dipeluk sebagian kecil masyarakat Nusantara. Islam baru tersebar luas setelah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan memainkan peranan utama dalam kegiatan politik serta perdagangan internasional di Asia Tenggara. Kerajaan-kerajaan Islam awal yang kuat itu ialah Samudra Pasai (1272-1450), Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Di kerajaan-kerajaan yang terletak di Selat Malaka, jalur utama lalu lintas perdagangan internasional antara Cina dan Timur Tengah, inilah peradaban dan kebudayaan Islam untuk pertama kalinya berkembang di kepulauan Nusantara (Azyumardi Azra 1995:22-55). Sebagai negeri yang makmur pada zamannya, ketiga negeri ini tidak hanya menarik tumpuan para pedagang untuk datang berniaga dan mengambil barang niagaan, tetapi juga mengundang utusan-utusan resmi dari kerajaan-kerajaaan Islam di Timur Tengah dan Asia Barat untuk datang, sebagaimana para ulama dan cerdik cendikia dari pusat-pusat peradaban Islam. Mereka senang tinggal di situ karena mendapat sambutan hangat raja-raja Muslim Nusantara dan diberi peluang mengembangkan dakwah Islam di tempat baru itu.

Ibn Batutah, seorang musafir Arab yang mengunjungi Samudra Pasai pada tahun 1336, menulis dalam kitabnya Rihlah (Paris 1893: 230) bahwa sultan Pasai sering mengundang para ulama dan cerdik pandai datang ke istananya untuk membincangkan masalah agama dan penyebarannya. Cerdik cendikia dari Parsi sangat dihormati di Pasai. Karena sambutan hangat itulah banyak di antara mereka yang senang tinggal di Pasai, kawin mawin dengan wanita setempat dan diberi fasilitas membangun berbagai lembaga keislaman, terutama pendidikan. Hal yang sama berlaku di Malaka dan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya.

Dari naskah-naskah Melayu lama yang telah diteliti, dapat diketahui bahwa cabang-cabang-ilmu agama yang dipelajari di Nusantara luas. Di antara cabang-cabang ilmu agama yang dikaji itu ialah (1) Dasar-dasar Ajaran Islam; (2) Hukum Islam; (3) Ilmu Kalam atau teologi; (4) Ilmu Tasawuf; (5) Ilmu Tafsir dan Hadis; (6) Aneka ilmu pengetahuan lain yang penting bagi penyebaran agama Islam seperti ilmu hisab, mantiq (logika), nahu (tatabahasa Arab), astronomi, ilmu ketabiban, tarikh dan lain-lain. Kesusastraan Arab dan Parsi juga merupakan bahan pelajaran yang utama. (Ismail Hamid 1983:2). Tidak mengherankan apabila pada abad ke-14 dan 15 M apresiasi dan minat kaum terpelajar Muslim Melayu terhadap kesusastraan Arab dan Parsi sudah tinggi. Dari minat dan apresiasi yang besar inilah tumbuh minat untuk melahirkan karya sastra dalam bahasa Melayu yang ketika itu telah menjadi bahasa pergaulan utama di bidang perdagangan dan intelektual.

Karya sastra Melayu Islam terawal yang muncul di Pasai antara lain ialah Hikayat Raja-raja Pasai. Kitab ini ditulis setelah kerajaan ini ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1365 (Ibrahim Alfian 1999:52). Bahasa yang digunakan dalam hikayat ini ialah bahasa Melayu baru yang berbeda dari bahasa zaman Sriwijaya sebelumnya, karena telah mengalami proses islamisasi yang deras. Aksara yang digunakan ialah aksara Jawi atau aksara Arab yang dimelayukan. Ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu Pasai dan aksara Jawi telah mantap perkembangannya pada masa itu dan luas pemakaiannya, khususnya sebagai bahasa pergaulan di bidang keagamaan dan intelektual (Collin 1992). Dalam perkembangangan selanjutnya bahasa Melayu Pasai inilah yang dijadikan bahasa penulisan kitab-kitab keagamaan dan sastra Melayu.

Selain menulis karya-karya orisinal seperti Hikayat Raja-raja Pasai, penulis-penulis Muslim Melayu juga mulai giat menerjemahkan dan menyadur beberapa hikayat Arab dan Parsi yang digemari masyarakat pembaca. Misalnya Hikayat Muhammad Ali Hanafiya, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Dalam Sejarah Melayu (1607 M) disebutkan bahwa dua hikayat ini sangat digemari di Malaka pada akhir abad ke-15 M. Selain itu juga disebutkan bahwa orang Islam dan sultan sangat menyukai tasawuf. Sebuah kitab tasawuf Durr al-Manzum karangan Maulana Abu Ishaq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Abdullah Patakan, seorang ulama terkenal dari Pasai, memenuhi permintaan Mansur Syah, Sultan Malaka pertengahan abad ke-15 M (Ibrahim Alfian 1999:53).

Tidak kalah populer ialah Qasidah al-Burdah, untaian puisi-puisi pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. karya Syekh al-Busiri, penyair sufi Mesir abad ke-13 M. Kasidah ini biasa dinyanyikan pada perayaan Maulid Nabi. Dalam Tuhfat al-Mujahidin, kitab sejarah karangan Zainuddin al-Ma`bari abad ke15 dikatakan bahwa dakwah Islam berjalan efektif melalui penuturan kisah Nabi dan sajak-sajak pujian yang dinyanyikan dalam perayaan Maulid (Ismail Hamid 1983:27). Tetapi disayangkan naskah-naskah yang ditulis pada masa awal hampir tidak ditemukan lagi. Yang dijumpai, sebagian besar adalah salinan abad ke-16 dan 17 M, khususnya yang ditulis di Aceh Yang jelas pada zaman Islam memainkan peranan penting bukan hanya sebagai media penyebaran gagasan keagamaan, tetapi juga penyebaran gagasan intelektual dan keilmuan.

Zaman Peralihan

Taufik Abdullah (2002) membagi sejarah pemikiran Islam di Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga gelombang. Gelombang Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam, yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad ke-14 M.

Dalam Gelombang Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700). Dalam Gelombang Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini ‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada abad ke-18 – 19 M.

Gelombang Pertama yang disebut Taufik Abdullah dapat disebut sebagai Zaman Awal dan Peralihan dalam sejarah kesusastraan Islam di Nusantara, khususnya Melayu. Pada masa inilah penerjemahan sajajk-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (al-mada`ih al-nabawiyah) dimulai, disusul dengan penyaduran kisah-kisah dan hikayat Islam Arab Persia ke dalam bahasa Melayu seperti Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Bayan Budiman dan lain-lain. Zaman ini disusul dengan zaman peralihan, yang ditandai dengan penyalinan dan penggubahan kembali karya-karya zaman Hindu-Buddha dengan diberi suasana dan nafas Islam.

Ciri-ciri karya zaman peralihan ini sangat menarik, karena unsur-unsur Islam yang dimunculkan pada mulanya tidaklah begitu ketara. Allah Ta`ala misalnya pada mulanya disebut Dewata Mulia Raya, kemudian diganti Raja Syah Alam dan baru kemudian disebut Allah Subhana wa Ta`ala. Sebutan Yang Mulia Raya, Raja Syah Alam dan lain-lain tampak misalnya pada syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri dan murid-muridnya pada abad ke-16 dan 17 M. Demikian pula tokoh-tokoh cerita mulai diberi nama-nama Islam. Peranan dewa-dewa diganti dengan jin, mambang, peri dan makhluq halus lain. Tidak jarang pula tempat terjadinya cerita dipindah ke negeri yang rajanya telah memeluk agama Islam. Dan raja tersebut dikisahkan memperoleh kemenangan karena percaya terhadap kekuasaan Yang Satu.

Cerita-cerita zaman Hindu yang disadur atau dgubah kembali pada umumnya adalah cerita-cerita yang termasuk jenis pelipur lara, terutama jenis kisah cinta dan petualangan yang dibumbui peperangan antara tokoh yang berpihak pada kebanaran menentang raja kafir yang zalim. Lambat laun kisah-kisah ini ditransformasi menjadi alegori atau kisah-kisah perumpamaan sufi. Contoh yang masyhur ialah Hikayat Syah Mardan,sebuah alegori sufi yang ditulis berdasarkan sebuah cerita dari India yang mirip dengan cerita Anglingdarma yang populer di Jawa. Pengembaraan tokohnya Syah Mardan dan peperangan yang dilakukan melawan musuh-musuhnya, dirubah fungsinya, yaitu untuk menerangkan tahapan-tahapan keruhanian (maqam) yang harus ditempuh seorang pencari Tuhan dalam tasawuf atau ilmu suluk. Jika diringkas maqam-maqam tersebut mencakup: (1) Mujahadah, perjuangan menundukkan diri atau nafsu rendah yang menguasai diri; (2) Musyahadah, penyaksian keesaan Yang Satu secara intuitif atau kalbiah; (3) Mukasyafah, tersingkapnya hijab yang menutupi penglihatan batin.

Berbeda dengan Hikayat Syah Mardan, yang digubah berdasarkan cerita Hindu, adalah Cerita Dewa Ruci, yang digubah berdasarkan cerita Islam Parsi Hikayat Iskandar Zulkarnain. Tokoh Iskandar diganti Bima, dan Nabi Khaidir diganti dengan Dewa Ruci. Motif pencarian air hayat (ma`al-hayat) dalam kisah itu pula, adalah perlambang bagi pencarian makrifat atau pengetahuan ketuhanan yang menyebabkan seseorang kekal (baqa’) di dalam Yang Abadi, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Memang pada masa ini pengaruh tasawuf dan sastra Parsi sangat dominan dalam semua aspek kebudayaan Islam. Susunan bab-bab dalam hikayat dan kitab-kitab tasawuf juga ditiru dari model yang terdapat dalam sastra Parsi. Contoh terbaik dari karya-karya yang demikian ialah Hikayat Si Miskin, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat Ahmad Muhamad, Hikyat Berma Syahdan, Hikayat Indraputra danHikayat Syah Mardan. Begitu pula Kitab Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) yang ditulis oleh Bukhari al-Jauhari di Aceh pada awal abad ke-17, penyusunan bab-babnya ditiru dari kitab-kitab Parsi yang membicarakan masalah etika dan pemerintahan.

Sayang sekali, sebagaimana telah dikemukakan, naskah asli dari karya-karya yang ditulis pada abad ke-14 dan 15 M tu sudah tidak dijumpai lagi. Naskah salinannya pada umumnya dikerjakan pada abd ke-17 M. Sudah tentu baik isi maupun susunan bahasa dan gaya sastranya sudah mengalami perubahan. Untuk mengetahui ciri-ciri utama dari karya-karya zaman peralihan itu kita mesti berpaling ke Jawa, khususnya suluk-suluk dan risalah tasawuf Sunan Bonang yang ditulis antara akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M. Sunan Bonang alias Makhdum Ibrahim adalah seorang wali sufi di pulau Jawa yang sangat prolifik dalam dunia penulisan. Dia hidup antara pertengahan abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M, bersamaan dengan mundurnya kerajaan Hindu besar terakhir Majapahit dan bangunya kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dia pernah belajar di Malaka dan Pasai. Karya-karyanya benar-benar mencerminkan zaman peralihan dari Hindu ke Islam yang berlaku di Nusantara.

Karya-karya Sunan Bonang pada umumnya berupa suluk, yaitu puisi-puisi dalam bentuk tembang Jawa yang memaparkan jalan keruhanian dalam ilmu tasawuf, dengan menggunakan perlambang-perlambang atau tamsil. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wujil, Suluk Wasiyat, Gita Suluk Latri dan lain-lain. Dia juga menulis risalah tasawuf dalam bentuk dialog antara seorang guru sufi dan muridnya. Salah satu versi dari risalah tasawufnya itu telah ditransliterasi dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Drewes (1969) di bawah judul The Admonitions of Seh Bari (“Pitutur Syekh Bari”). Di antara ciri-ciri karya zaman peralihan ialah:

  1. Seperti halnya wacana keagamaan dan intelektual yang lain, karya sastradianggap sebagai suluk, yaitu jalan keruhanian menuju Kebenaran Tertinggi.

  2. Estetika penciptaan karya sastra didasarkan atas metafisika atau kosmologi Islam yang dikembangkan para sufi Arab dan Parsi abad ke-12 dan 14 M seperti Ibn `Arabi, Imam al-Ghazali, Jalaluddin al-Rumi dan Avbul Karim al-Jili. Dalam metafisika sufi, alam kewujudan dibagi empat. Mengikuti hal ini realitas dan tatanan keindahan yang ditampilkan karya terdiri dari empat lapis, yaitu Keindahan Ilahi mewakili Alam Ketuhanan (alam lahut); keindahan batin mewakili Alam Keruhanian (alam jabarut); keindahan rasional dan imaginatif mewakili Alam Kejiwaan (alam malakut,disebut jugaalam mitsal, artinya alam perumpamaan); dan keindahan lahir mewakili Alam Jasmani (alam nasut).

  3. Unsur budaya lokal dipertahankan dan diintegrasikan ke dalam sistem nilaI Islam. Misalnya seorang ahli makrifat disebut mahayogi, sedangkan di dalam kitab Melayu disebut pendeta. Baru kata-kata Syekh dan faqir digunakan. Untuk menerangkan hubungan Yang Satu dengan ‘yang banyak’, digunakan hubungan antara dalang, wayang dan kelir wayang.

    (4) Tamsil-tamsil erotis (percintaan) mulai sering digunakan untuk menggambarkan pengalaman cinta transendental

    (ishq) yang dialami seorang salik (penempuh jalan ruhani) dalam perjalanan menuju Kekasihnya, Yang Satu.

    Hikayat-hikayat Zaman Peralihan

    Tidak pelak bahwa, sebagaimana terjadi pada penyebaran agama Hindu di Jawa dan hindunisasi kebudayaan Jawa, astra memainkan peranan penting dalam proses islamisasi dan pribumisasi kebudayaan Islam. Sastra saja sekedar media ekspresi, tetapi berperan pula sebagai penyampai pesan-pesan keagamaan dan sekaligus berperan sebagai wacana intelektual. Tidak mengherankan, sebagaimana pada zaman Hindu dan kebudayaan Timur lain, apabila hampir semua risalah keagamaan dan intelektual ditulis dalam bentuk karya sastra, atau menyerupai karya sastra, baik prosa maupun puisi, atau campuran keduanya.

    Zaman Peralihan ini membentang dari abad ke-14 hingga abad ke-16 M, yaitu sejak berkembangnya kerajaan Pasai menjadi pusat kegiatan intelektual Islam pada abad ke-14 M hingga munculnya Malaka, Demak dan Aceh Darussalam pada abad ke-15 dan 16 M. Pada masa inilah proses islamisasi budaya lokal berlangsung dengan derasnya hingga mencapai bentuknya yang muktamad Sejalan dengan itu terjadi pula proses pribumisasi kebudayaan Islam. Sejumlah besar hikayat dan kitab-kitab Arab Parsi diterjemahkan, disadur dan digubah kembali dengan meletakkannya dalam konteks dan realitas Nusantara. Ini dilakukan agar kebudayaan Islam tidak asing bagi masyarakat Nusantara yang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian pula Islam dapat dijadikan cermin dan rujukan untuk memandang, memahami dan menafsirkan realitas kehidupan. Pribumisasi kebudayaan Islam dilakukan dengan menyadur dan menggubah kembali hikayat-hikayat Arab dan Parsi dalam jumlah besar, mula-mula dalam bahasa Melayu dan kemudian dalam bahasa Nusantara lain seperti Aeh, Bugis, Jawa, Sunda, Madura dan lain-lain.

    Hikayat-hikayat atau karya-karya Arab Parsi yang disadur dan digubah kembali dalam bahasa Melayu dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Hikayat Nabi-nabi; (2) Kisah-kisah berkenaan dengan kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. (3) Kisah-kisah Para Sahabat Nabi; (4) Kisah Wali-wali Islam yang masyhur, sufi terkemuka dan para pendiri tariqat-tariqat besar yang berkembang di Nusantara; (5) Hikayat Pahlawan-pahlwan Islam; (6) Hikayat tentang bangsawan Islam yang didasarkan pada fiksi Arab, Parsi dan Asia Tengah, umumnya berupa kisah petualangan bercampur percintaan; (7) Kisah-kisah Perumpamaan Sufi; (8) Cerita Berbingkai; (9) Kisah-kisah Jenaka. Karya-karya yang termasuk dalam kelompok karya-karya ini pada umumnya ditulis dalam bentuk prosa, walaupun sebagian di antaranya kemudian disadur ke dalam bentuk syair atau tembang. Karena merupakan saduran atau gubahan, kebanyakan nama pengarang tidak disebutkan. Yang disebutkan kebanyakan ialah nama penyalin naskah, yang kemungkinan besar merupakan penyadur atau penggubah kembali hikayat-hikayat tersebut.(BERSAMBUNG)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar