RUMI DAN RELEVANSI SASTRA SUFI
(2 -- TAMBAHAN)
Abdul Hadi W. M.
Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam keruhanian yang merupakan asal-usul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus perbedaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan bahwa hakikat manusia ialah kediriannya yang bersifat spiritual atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal dari tanah atau api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Jika aku tak kenal diriku?
Aku bukan Kristen, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
...
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu saja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.
Begitulah cinta itu dapat menembus bentuk-bentuk lahir. Baris terakhir sajak tersebut diambil dari ayat al-Qur’an, bahwa ”Dia adalah yang lahir dan sekaligus yang batin.” Artinya Yang Maha Gaib dan sekaligus Maha Nyata. Orang yang ingin mengenal hakikat dan kenyataan Tuhan harus membaca tanda-tanda kebesaran-Nya, berupa penciptaan ruh. Tanda kebesaran Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan pikiran. Karena memiliki akal dan cinta manusia dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam kerohanian.
Menurut Rumi, dengan mengikuti al-Ghazali, semua bentuk peribadatan merupakan penyucian diri (thadkiya al-nafs). Termasuk puasa di bulan Ramadhan. Melalui puasa seseorang memberi peluang kepada jiwanya untuk menyantap hidangan ruhani dari langit. Rumi menulis,
Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu
dari makanan, hidangan rohani telah disediakan.
Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek;
Hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai.
Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api
jiwa tiba seraya meratap;
...
Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa;
Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka.
Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, “Yusuf dari
Kana`an telah tiba!”
Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah;
Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba;
Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap-cakap; carilah kata
dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam!
Rumi, adalah pencinta musik. Baginya musik adalah tangga naik ke alam transendental. Alat musik kegemarannya ialah suling, pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, dia menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya dengan kerinduan suling yang ingin bersatu kembali dengan asalnya yaitu pohon bambu yang rimbun. Rumi di sini ingin menjelaskan, seperti dikatakan Iqbal, bahwa semua bentuk seni yang indah dari cinta dan kerinduan bersatu dengan alam keruhanian. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keruhanian dapat memberi ketenangan dan kekuatan bagi jiwa, yang dengannya iman seseorang semakin teguh dan cintanya semakin membara.
Gerbang Masjid Emam Isfahan, Iran.RUMI DAN RELEVANSI SASTRA SUFI
(2 -- TAMBAHAN)
Abdul Hadi W. M.
Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam keruhanian yang merupakan asal-usul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus perbedaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan bahwa hakikat manusia ialah kediriannya yang bersifat spiritual atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal dari tanah atau api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Jika aku tak kenal diriku?
Aku bukan Kristen, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
...
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu saja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.
Begitulah cinta itu dapat menembus bentuk-bentuk lahir. Baris terakhir sajak tersebut diambil dari ayat al-Qur’an, bahwa ”Dia adalah yang lahir dan sekaligus yang batin.” Artinya Yang Maha Gaib dan sekaligus Maha Nyata. Orang yang ingin mengenal hakikat dan kenyataan Tuhan harus membaca tanda-tanda kebesaran-Nya, berupa penciptaan ruh. Tanda kebesaran Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan pikiran. Karena memiliki akal dan cinta manusia dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam kerohanian.
Menurut Rumi, dengan mengikuti al-Ghazali, semua bentuk peribadatan merupakan penyucian diri (thadkiya al-nafs). Termasuk puasa di bulan Ramadhan. Melalui puasa seseorang memberi peluang kepada jiwanya untuk menyantap hidangan ruhani dari langit. Rumi menulis,
Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu
dari makanan, hidangan rohani telah disediakan.
Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek;
Hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai.
Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api
jiwa tiba seraya meratap;
...
Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa;
Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka.
Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, “Yusuf dari
Kana`an telah tiba!”
Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah;
Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba;
Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap-cakap; carilah kata
dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam!
Rumi, adalah pencinta musik. Baginya musik adalah tangga naik ke alam transendental. Alat musik kegemarannya ialah suling, pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, dia menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya dengan kerinduan suling yang ingin bersatu kembali dengan asalnya yaitu pohon bambu yang rimbun. Rumi di sini ingin menjelaskan, seperti dikatakan Iqbal, bahwa semua bentuk seni yang indah dari cinta dan kerinduan bersatu dengan alam keruhanian. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keruhanian dapat memberi ketenangan dan kekuatan bagi jiwa, yang dengannya iman seseorang semakin teguh dan cintanya semakin membara.
RUMI DAN RELEVANSI SASTRA SUFI
(2 -- TAMBAHAN)
Abdul Hadi W. M.
Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam keruhanian yang merupakan asal-usul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus perbedaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan bahwa hakikat manusia ialah kediriannya yang bersifat spiritual atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal dari tanah atau api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Jika aku tak kenal diriku?
Aku bukan Kristen, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
...
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu saja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.
Begitulah cinta itu dapat menembus bentuk-bentuk lahir. Baris terakhir sajak tersebut diambil dari ayat al-Qur’an, bahwa ”Dia adalah yang lahir dan sekaligus yang batin.” Artinya Yang Maha Gaib dan sekaligus Maha Nyata. Orang yang ingin mengenal hakikat dan kenyataan Tuhan harus membaca tanda-tanda kebesaran-Nya, berupa penciptaan ruh. Tanda kebesaran Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan pikiran. Karena memiliki akal dan cinta manusia dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam kerohanian.
Menurut Rumi, dengan mengikuti al-Ghazali, semua bentuk peribadatan merupakan penyucian diri (thadkiya al-nafs). Termasuk puasa di bulan Ramadhan. Melalui puasa seseorang memberi peluang kepada jiwanya untuk menyantap hidangan ruhani dari langit. Rumi menulis,
Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu
dari makanan, hidangan rohani telah disediakan.
Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek;
Hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai.
Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api
jiwa tiba seraya meratap;
...
Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa;
Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka.
Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, “Yusuf dari
Kana`an telah tiba!”
Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah;
Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba;
Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap-cakap; carilah kata
dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam!
Rumi, adalah pencinta musik. Baginya musik adalah tangga naik ke alam transendental. Alat musik kegemarannya ialah suling, pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, dia menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya dengan kerinduan suling yang ingin bersatu kembali dengan asalnya yaitu pohon bambu yang rimbun. Rumi di sini ingin menjelaskan, seperti dikatakan Iqbal, bahwa semua bentuk seni yang indah dari cinta dan kerinduan bersatu dengan alam keruhanian. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keruhanian dapat memberi ketenangan dan kekuatan bagi jiwa, yang dengannya iman seseorang semakin teguh dan cintanya semakin membara.
RUMI DAN RELEVANSI SASTRA SUFI
(2 -- TAMBAHAN)
Abdul Hadi W. M.
Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam keruhanian yang merupakan asal-usul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus perbedaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan bahwa hakikat manusia ialah kediriannya yang bersifat spiritual atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal dari tanah atau api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Jika aku tak kenal diriku?
Aku bukan Kristen, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
...
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu saja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.
Begitulah cinta itu dapat menembus bentuk-bentuk lahir. Baris terakhir sajak tersebut diambil dari ayat al-Qur’an, bahwa ”Dia adalah yang lahir dan sekaligus yang batin.” Artinya Yang Maha Gaib dan sekaligus Maha Nyata. Orang yang ingin mengenal hakikat dan kenyataan Tuhan harus membaca tanda-tanda kebesaran-Nya, berupa penciptaan ruh. Tanda kebesaran Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan pikiran. Karena memiliki akal dan cinta manusia dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam kerohanian.
Menurut Rumi, dengan mengikuti al-Ghazali, semua bentuk peribadatan merupakan penyucian diri (thadkiya al-nafs). Termasuk puasa di bulan Ramadhan. Melalui puasa seseorang memberi peluang kepada jiwanya untuk menyantap hidangan ruhani dari langit. Rumi menulis,
Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu
dari makanan, hidangan rohani telah disediakan.
Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek;
Hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai.
Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api
jiwa tiba seraya meratap;
...
Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa;
Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka.
Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, “Yusuf dari
Kana`an telah tiba!”
Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah;
Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba;
Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap-cakap; carilah kata
dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam!
Rumi, adalah pencinta musik. Baginya musik adalah tangga naik ke alam transendental. Alat musik kegemarannya ialah suling, pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, dia menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya dengan kerinduan suling yang ingin bersatu kembali dengan asalnya yaitu pohon bambu yang rimbun. Rumi di sini ingin menjelaskan, seperti dikatakan Iqbal, bahwa semua bentuk seni yang indah dari cinta dan kerinduan bersatu dengan alam keruhanian. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keruhanian dapat memberi ketenangan dan kekuatan bagi jiwa, yang dengannya iman seseorang semakin teguh dan cintanya semakin membara.
RUMI DAN RELEVANSI SASTRA SUFI
(2 -- TAMBAHAN)
Abdul Hadi W. M.
Semua agama, menurut Rumi, mengajarkan pentingnya cinta, iaitu cinta kepada alam keruhanian yang merupakan asal-usul kehidupan manusia. Cinta kerohanian semacam itu dapat menembus perbedaan ras, bangsa dan agama. Dalam sebuah sajaknya Rumi mengatakan bahwa hakikat manusia ialah kediriannya yang bersifat spiritual atau rohani. Diri spiritual manusia tidak berasal dari tanah atau api, tetapi daripada Sang Maha Pencipta.
Apa yang mesti kulakukan o Muslim? Jika aku tak kenal diriku?
Aku bukan Kristen, Yahudi, Majusi dan bukan pula Muslim.
Aku tak berasal dari Timur atau Barat, tidak dari darat atau lautan.
Aku tidak dari alam, atau angkasa biru yang berputar-putar.
Aku tidak dari tanah, air, udara atau api.
...
Tempatku tidak bertempat, jejakku tidak berjejak
Aku bukan milik tubuh dan jiwa, aku milik jiwa Kekasih.
Kubuang dualitas, kupandang dua alam satu semata;
Satu saja yang kucari, Satu yang kukenal, kulihat dan kuseru
Dialah Yang awal dan yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.
Begitulah cinta itu dapat menembus bentuk-bentuk lahir. Baris terakhir sajak tersebut diambil dari ayat al-Qur’an, bahwa ”Dia adalah yang lahir dan sekaligus yang batin.” Artinya Yang Maha Gaib dan sekaligus Maha Nyata. Orang yang ingin mengenal hakikat dan kenyataan Tuhan harus membaca tanda-tanda kebesaran-Nya, berupa penciptaan ruh. Tanda kebesaran Tuhan yang lain dalam diri manusia ialah adanya akal dan pikiran. Karena memiliki akal dan cinta manusia dapat menyerap berbagai pengetahuan tentang alam nyata mahupun alam kerohanian.
Menurut Rumi, dengan mengikuti al-Ghazali, semua bentuk peribadatan merupakan penyucian diri (thadkiya al-nafs). Termasuk puasa di bulan Ramadhan. Melalui puasa seseorang memberi peluang kepada jiwanya untuk menyantap hidangan ruhani dari langit. Rumi menulis,
Bulan puasa telah tiba. larangan raja mulai berlaku: jauhkan tanganmu
dari makanan, hidangan rohani telah disediakan.
Roh telah bebas dari pengasingan dirinya dan menundukkan tangan tabiat jelek;
Hati yang sesat telah dikalahkan dan perajurit iman telah sampai.
Bala tentera penidur telah menyerah dan segera ditawan, dari bara penyulut api
jiwa tiba seraya meratap;
...
Hati telah menukar tabir gelapnya dan menggerakkan sayapnya ke angkasa;
Hati, yang menyerupai malaikat, sekali lagi tiba di tengah mereka.
Tangkaplah tali pengikat tubuhnya, di atas perigi berteriaklah, “Yusuf dari
Kana`an telah tiba!”
Pada waktu `Isa Almasih terjatuh dari keledainya maka doanya diterima Allah;
Cucilah tanganmu, kerana Hidangan langit telah tiba;
Cucilah tangan dan mulutmu, jangan makan atau bercakap-cakap; carilah kata
dan suapan nasi yang diturunkan untuk dia Si Diam!
Rumi, adalah pencinta musik. Baginya musik adalah tangga naik ke alam transendental. Alat musik kegemarannya ialah suling, pandura, rebab, biola, rebana, tabla dan pandura. Menurut Rumi kerinduan segala sesuatu kepada asal-usulnya atau permulaan kejadian dirinya bersifat kudrati. Dalam Mathnawi III:4436-7, dia menulis:
Hasrat tubuh akan padang hijau dan air memancur
Terbit karena ia (Adam) berasal dari tempat itu (Taman Eden)
Kerinduan jiwa kepada Kehidupan dan Yang Maha Hidup
Terbit karena ia berasal dari Jiwa Abadi
Dalam sajak “Kisah Lagu Seruling” Rumi mengumpamakan kerinduan seorang sufi untuk bersatu dengan Tuhannya dengan kerinduan suling yang ingin bersatu kembali dengan asalnya yaitu pohon bambu yang rimbun. Rumi di sini ingin menjelaskan, seperti dikatakan Iqbal, bahwa semua bentuk seni yang indah dari cinta dan kerinduan bersatu dengan alam keruhanian. Melalui lagu atau nyanyian yang disampaikannya itu seseorang berikhtiar mengekpresikan dan merealisasikan dirinya. Dalam bahagian awal “Kisah Lagu Seruling” Rumi menyatakan, bermaksud:
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini
Dan mencampur rohnya dengan rohku
Api cintalah yang membakar diriku
Anggur cintalah yang memberiku cita mengawan
Inginkah kau tahu bagaimana pencinta luka?
Dengar, dengar alunan lagu seruling bambu
Selain dapat membawa pendengarnya ke alam transendental, musik keruhanian dapat memberi ketenangan dan kekuatan bagi jiwa, yang dengannya iman seseorang semakin teguh dan cintanya semakin membara.
Gerbang Masjid Emam Isfahan, Iran.
Gerbang Masjid Emam Isfahan, Iran.
Gerbang Masjid Emam Isfahan, Iran.
Gerbang Masjid Emam Isfahan, Iran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar