19 Oktober 2011

TAJ AL-SALATIN : ADAB PEMERINTAHAN MELAYU

Oleh Abdu Hadi W. M.

Taj al-Salatin (baca Tajussalatin), artinya Mahkota Para Sultan atau Raja-raja. Ia adalah kitab adab dalam bahasa Melayu yang membahas masalah politik dan pemerintahan. Karya yang selesai ditulis pada tahun 1603 di Aceh Darussalam ini adalah karangan Bukhari al-Jauhari, seorang cendekiawan Melayu yang nenek moyangnya berasal dari Bukhara, Uzbekistan sekarang. Sejak lama kota kelahiran nenekmoyangnya itu merupakan salah satu pusat utama kebudayaan dan peradaban Persia dan Islam. Pada abad ke-12 Bukhara menjadi ibukota kerajaan Khwarizmi yang meliputi Uzbekistan, Iran, Rurkmenistan dan Afghanistan sekarang. Setelah lebih satu abad dikuasai bangsa Mongol, wilayah itu kemudian beralih ke tangan Timur Leng dan keturunannya yang memeriantah sampai akhir abad ke-15 Mdengan menjadikan Samarqand, kembaran kota Bukhara, sebagai ibukota pemerintahannya. Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M, disebabkan krisis poltik di seantero Persia, banyak ulama dan cendekiawan dari Bukhara dan Samarqand pindah ke India dan Nusantara.

Bukhari al-Jauhari adalah nama takhallus dan gelar yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang dari keturunan saudagar permata dari Bukhari. Kata al-Jauhari merujuk kepada kepandaian leluhurnya sebagai pedagng dan sekaligus ahli batu permata. Ketika dia menulis kitabnya kesultanan Aceh Darussalam sedang membubung naik menjadi kerajaan Islam terkemuka di Timur. Aceh menjadi pusat kegiatan perdagangan internasional dan sekaligus pusat penyebaran agama Islam serta kebudayaan Melayu. Kala ia menulis Taj al-Salatin, tamuk pemerintahan berada di tangan Sultan Sayyid al-Mukammil (1590-1604 M), kakek Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Sebagai karya sastra kitab Taj al-Salatin digolongkan ke dalam buku adab, yaitu buku yang membicarakan masalah etika, politik dan pemerintahan. Uraian tentang masalah-masalah tersebut dijelaskan melalui kisah-kisah yang menarik, diambil dari berbagai sumber dan kemudian digubah kembali oleh pengarangnya,

Di antara kitab-kitab yang dijadikan bahan rujukan ialah (1) Syiar al-Mulk atau Siyasat-namah(Kitab Politik) karangan Nizam al-Mulk yang ditulis antara tahun 1092-1106 M; (2) Asrar-namah (Kitab Rahasia Kehidupan) karya Fariduddin `Attar (1188); (3) Akhlaq al-Muhsini karya Husain Wa`iz Kasyifi (1494); (4) Kisah-kisah Arab dan Persia seperti Layla dan Majenun, Khusraw dan Sirin, Yusuf dan Zulaikha, Mahmud dan Ayaz, dan banyak lagi; (5) Kitab Jami’ al-Thawarikh (Kitab Sejarah Dunia) yang ditulis untuk Sultan Mughal di Delhi yaitu Humayun (1535-1556); dan lain-lain.

Persoalan yang dikemukakan adalah persoalan-persoalan yang hangat pada waktu itu. Walaupun kesultanan Aceh sedang mengalami krisis internal, yang menyebabkan Sultan Sayyid al-Mukammil dipaksa turun tahta oleh dua orang anaknya dan kemudian dimasukkan ke dalam penjara; pada waktu itu Aceh sedang giat meluaskan wilayah kekuasaannya. Beberapa negeri yang penduduknya belum beragama Islam, seperti Tanah Batak dan Karo, juga ditaklukkan. Dalam bukunya Bukhari al-Jauhari berusaha menjelaskan bagaimana seharusnya raja-raja Melayu yang beragama Islam memerintah sebuah negeri yang penduduknya multi-etnik, multi-agama, multi-ras dan multi-budaya.

Gagasan dan kisah-kisah yang dikandung dalam buku ini memberi pengaruh besar terhadap pemikiran politik dan tradisi intelektual Melayu. Bab-bab yang ada di dalamnya, yaitu gagasan dan pokok pembahasannya selalu ditopang oleh ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang relevan. Begitu pula kisah-kisah yang digunakan sebagian berasal dari buku-buku sejarah, di samping dari cerita rakyat yang terdapat dalam buku seperti Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) dan lain-lain. Makna yang tersirat dalam kisah-kisah itu dapat dirujuk pada ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis yang dikutip.

Kadang-kadang cerita berperan sebagai pangkal penafsiran teks suci dan memberi pengertian/ makna terhadap pokok yang dibicarakan. Kadang-kadang pada akhir pembicaraan diselipkan puisi, yang merupakan ungkapan ringkas atau kesimpulan mengenai pokok yang dibicarakan. Misalnya sebagaimana terlihat pada akhir pembahasan mengenai budi atau akal pikiran:

Dengar olehmu hai budiman

Budi itulah sesungguhnya pohon ihsan

Karena ihsan itu peri budinyalah

Jika lain, maka lain jadilah.

Orang yang berbudi itu kayalah

Yang tidak berbudi itu papalah

Jika kaudapat arti alam ini

Dan budi kurang padamu di sini,

Sia-sialah jua adamu

Dan sekali pula sia-sia namamu

Jika kamu hendak menjadi kaya

Mintalah budi padamu cahaya

Hai Tuanku, Bukhari faqir yang hina

Pada budi minta selamat senantiasa

Ada dua asas pokok mendasari kitab ini: (1) Asas usul atau asal-usul pembahasan dan furu’, yaitu cabang-cabang pembahasan; (2) Asas estetik, yaitu penggunaan sarana estetik seperti kisah-kisah dan sajak yang digunakan dalam menjelaskan pokok pembicaraan. Asas estetik ini dibangun dari sebuah titik sentral pembahasan, yaitu masalah keadilan. Dan keadilan dipandang sebagai pintu menuju kebenaran. Untuk menegakkan keadilan diperlukan kearifan dan kematangan dalam berpikir atau menggunakan akal.

Titik Tolak Pembahasan

Buku ini dibagi ke dalam 24 bab.Bab pertama yang merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan membicarakan pentingnya pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Khaliq dan hakekat hidup di dunia serta masalah kematian. Diri yang harus dikenal oleh setiap Muslim ialah diri manusia sebagai khalifah Tuhan di atas bumi dan hamba-Nya. Melalui ajaran tasawuf, Bukhari al-Jauhari mengemukakan sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar.

Menurut Bukhari, walaupun dunia ini merupakan tempat sementara bagi manusia, tetapi dunia memiliki nilai dan makna tersendiri yang tidak boleh diabaikan. Dunia merupakan tempat ujian di mana amal perbuatan manusia sangat menentukan bagi kehidupannya di akhirat. Hukuman terberat akan diterima oleh raja-raja yang dhalim dan tidak adil, karena mereka memiliki kekuasaan yang lebih dibanding orang lain, sehingga leluasa mengatur dan memerintah manusia lain. Raja yang baik dan adil merupakan bayang-bayang Tuhan, menjalankan sesuatu berdasarkan sunnah dan hukum Allah, bersifat al-rahman dan al-rahim sebagaimana Khaliqnya.

Dalam membicarakan keadilan, Bukhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral, melainkan juga memberinya makna ontologis atau metafisis. Di sini raja yang baik, sebagai Ulil albab. Secara etis seorang ulil albab diartikan sebagai orang yang menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Akal, dalam bahasa Arab, dikiaskan sebagai gua yang terletak di atas bukit yang tinggi dan sukar dicapai. Kemuliaan akal dinyatakan dalam Hadis, `Awwal ma khalaqa`lLahu’l- `aql. Adapun tanda orang yang menggunakan akal dan pikiran yang baik ialah:

  1. Bersikap baik terhadap orang yang berbuat jahat, menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila telah meminta maaf dan bertobat.

  2. Bersikap rendah hati terhadap orang yang berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang martabat, kepandaian dan ilmunya lebih tinggi.

  3. Mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan pekerjaan yang baikdan perbuatan yang terpuji.

  4. Membenci pekerjaan yang keji, perbuatan jahat, segala bentuk fitnah dan berita yang belum tentu kebenarannya.

  5. Menyebut nama Allah senantiasa dan meminta ampun serta petunjuk kepada-Nya, ingat akan kematian dan siksa kubur.

  6. Mengatakan hanya apa yang benar-benar diketahui dan dimengerti, dan sesuai tempat dan waktu, yaitu arif menyampaikan sesuatu.

  7. Dalam kesukaran selalu bergantung kepada Allah swt dan yakin bahwa Allah dapat memudahkan segala yang sukar, asal berikhtiar dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai pergantungan sekalian mahluq, Allah adalah Maha Pengasih dan Penyayang.

        Dalam bab ini Bukhari al-Jauhari mengutip kisah raja Nusyirwan dari Bani Sassan, yang ketika ditanya seorang hakim tentang kedudukan akal, mengatakan bahwa akal budi merupakan perhiasan kerajaan dan tanda kesempurnaan raja-raja Persia. Orang berakal budi dan adil diumpamakan sebagai pohon yang elok dan lebat buahnya. Buah-buahnya bukan saja enak dan berguna, tetapi menimbulkan keinginan orang untuk mencintainya. Raja yang dhalim dan tidak berakal budi adalah sebaliknya, bagaikan pohon yang buruk dan tidak ada buah, karena itu dijauhi dan tidak disukai orang.

        Penulis Taj al-Salatin juga mengutip Imam al-Ghazali, yang menyatakan bahwa akal dalam tubuh manusia itu seperti raja dalam sebuah negeri. Sebuah negeri akan baik jika raja yang memegang tampuk pemerintahan menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang adil dan arif, yaitu menggunakan akal budi dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin harus memenuhi syarat: (1) Hifz, yaitu memiliki ingatan yang baik; (2) Fahm, itu memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara; (3) Fikr, tajam pikiran dan luas wawasannya; (4) Iradat, menghendaki kesejahteraan, kemakmuran dan kemajuan untuk seluruh golongan masyarakat; (5) Nur, menerangi negeri dengan Cinta atau kasihsayang.

        Kemudian juga dikutip pandangan seorang ulama dalam buku Sifat al-`Aql wa `l-`aql. Negeri adalah seperti manusia: raja adalah akal pikiran sebuah negeri, menteri-menteri ialah keseluruhan pertimbangan yang dibuat berdasarkan pikiran dan hati nurani (musyawarah) ; pesuruhnya ialah lidah; suratnya ialah kata-katanya yang tidak sembarangan dan tidak menimbulkan fitnah. Seorang raja yang baik dikehendaki sehat baik rohani maupun jasmaninya.

        Sedangkan dalam fasal ke-5 Bukhari al-Jauhari mengutip Kitab Adab al-Mulk, dan menyatakan bahwa ada beberapa syarat lagi yang mesti dipenuhi oleh seorang calon pemimpin atau raja agar dapat memerintah negeri dengan adil dan benar:

        1. Seorang raja harus dewasa dan matang sehingga dapat membedakan yang baik dan yang buruk bagi dirinya, masyarakat banyak dan kemanusiaan.

        2. Seorang raja hendaknya memiliki ilmu pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik dan agama. Dia hendaklah bersahabat dengan orang-orang berilmu dan cendekiawan, dan bersedia mendengarkan dari mereka berbagai perkara yang tidak diketahuinya. Penasehat raja seharusnya juga orang yang berilmu pengetahuan, di samping jujur dan mencintai rakyat.

        3. Menteri-menteri yang diangkat juga dewasa dan berilmu, serta menguasai bidang pekerjaannya.

        4. Mempunyai wajah yang baik dan menarik, sehingga orang mencintainya. Tidak cacat mental dan fisik.

        5. Dermawan dan pemurah, tidak kikir dan bakhil. Sifat kikir dan bakhil adalah tanda orang yang syirik dan murtad.

        6. Raja yang baik harus senantiasa ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran, membalas kebajikan dengan kebajikan.

        7. Raja yang baik mesti tegas dan berani. Jika rajanya penakut maka pegawai dan tentara juga akan menjadi penakut. Terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang mengancam kedaulatan negara.

        8. Tidak suka makan dan tidur banyak, dan tidak gemar bersenang-senang dan berfoya-foya, karena semua itu akan membuat dia alpa dan lalai pada tugasnya sebagai kepala negara.

        9. Tidak senang bermain perempuan.

        10. Sebaiknya seorang raja dipilih dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara. Kalau tidak karena keadaan genting, seorang perempuan sebaiknya tidak dipilih menjadi raja, sebab seorang perempuan sering dikuasai oleh emosi dan perasaan dibanding akal pikiran.

            Marilah kini kita perhatikan fasal ke-6 yang membicarakan khusus masalah keadilan. Fasal ini dimulai dengan kutipan Surah al-Nahl ayat 90, “Inna`l-Lahu ya`muru bi`l-`adl wa’l-ihsan” – Sesungguhnya Allah ta`ala memerintahkan berbuat adil dan ihsan. Sikap adil ada dalam perrbuatan, perkataan dan niat yang benar; sedangkan ihsan mengandung makna adanya kebajikan dan kearifan dalam perbuatan, perkataan dan pekerjaan.

            Pengarang juga mengutip Hadis yang menyatakan bahwa adil itu tanda kemuliaan agama, sumber kekuatan seorang raja dan pangkal kebajikan insan. Menurut Kitab al-Khairat al-Mulk: Raja yang adil merupakan rahmat Tuhan yang diberikan kepada masyarakat yang beriman, sedangkan raja yang dhalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada masyarakat yang aniaya dan bodoh. Hadis lain yang juga dikutip ialah: Raja yang tidak mencintai rakyatnya akan terhalang memasuki pintu syurga dan mengalami kesukaran meraih rahmat Allah.

            Merujuk pada buku Adab al-Mulk, Bukhari menyatakan ada tiga perkara utama yang membuat sebuah kerajaan runtuh: (1) Raja tidak memperoleh informasi yang benar dan rinci tentang keadaan negeri yang sebenar-benarnya, dan hanya menerima pendapat satu pihak atau golongan; (2) Raja melindungi orang jahat, keji, bebal, tamak dan pengisap rakyat; (3) Pegawai-pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebar fitnah, membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik.

            Negara Hukum

            Konsep pemerintahan atau negara yang dikemukakan oleh Bukhari al-Jauhari ialah nomokrasi, negara berdasarkan hukum. Menurut Bukhari al-Jauhari, keadilan tidak ada artinya apa-apa dan akan bersifat sementara apabila tidak didasarkan pada hukum yang dijunjung tinggi oleh segenap lapisan rakyat. Hukum dan aturan yang jelas tentang adab atau tatakrama bernegara, bermasyarakat dan berbangsa sangat penting mengingat:

            Pertama, kebanyakan manusia itu cenderung pada kejahatan dibanding pada kebaikan. Orang yang baik dan cenderung pada kebaikan itu tidak banyak, apalagi dalam sebuah negeri yang baru tumbuh dan masyarakatnya majemuk. Orang yang baik tidak ada gunanya dan malah mudah terbawa pada kejahatan apabila tidak ada jaminan hukum yang pasti. Tanpa supremasi hukum kejahatan akan semakin bertambah-tambah dan negara akan mudah mengalami disintegrasi.

            Kedua, seorang raja atau pemimpin negara serta menteri-menteri dan para pegawainya tidak dapat menjalankan tugas dan pekerjaan dengan baik tanpa landasan hukum yang jelas. Apabila raja berbuat tanpa dasar hukum yang jelas, maka rakyat akan cenderung melihat perbuatan itu berdasarkan pertimbangan pribadinya semata-mata, dan dengan demikian mudah untuk tidak mematuhinya.

            Ketiga, hukum diperlukan sebagai tolok ukur untuk menilai adil tidaknya seorang raja dan pemimpin, serta dapat menghindari kecenderungan perbuatan yang sewenang-wenang. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan akan cenderung berbuat sesuka hati untuk kepentingan pribadi dan golongannya.

            Bukhari kurang lebih mengatakan, segala orang jahat itu tidak akan berbuat sekehendak hati apabila hukum benar-benar ditegakkan. Dan tidaklah berguna pula segala orang yang baik di negeri itu apabila di sekelilingnya kejahatan merajalela. Pelaksanaan hukum secara ketat dan keras memungkinkan orang jahat mengendalikan niatnya untuk berbuat jahat. Dengan demikian orang-orang baik dan rakyat akan dapat melakukan tugas, pekerjaan dan pengabdian dengan baik dan ikhlas.

            Kebinasaan sebuah negeri yang berpenduduknya beragama Islam juga dibicarakan. Di antara penyebabnya ialah: Banyaknya menteri berbuat jahat kepada kaum Muslimin dan adanya niat jahat negara lain dan pemimpin yang diperalat oleh negara lain untuk merusak agama Islam, merampas harta orang Islam (menjadikan mereka miskin atau paria di negerinya sendiri) dan melihat anak-anak dan kaum wanita Muslim dengan penuh khianat.

            Dalam memahami dan mengenal manusia ada empat perkara yang harus diperhatikan: (1) Mengenal manusia dengan ilmu nubuwah, yaitu berdasarkan petunjuk al-Qur`an dan Hadis; (2) Mengenal manusia dengan ilmu wilayah, yaitu berdasarkan hikmah yang disusun oleh para hukama, ulama, wali, cerdik cendekia dan orang arif pada umumnya; (3) Mengenal manusia dengan berdasarkan hikmah, yaitu berdasarkan syariah, fiqih, falsafah dan ilmu pengetahuan yang benar; (4) Mengenal manusia berdasar ilmu qiafah dan firasat, yaitu berdasarkan perangai, tabiat dan sifat-sifat yang ada manusia dan tanda-tanda zahirnya.

            Kewajiban dan Hak Raja

            Dalam fasal ke-20 dikemukakan kewajiban dan hak seorang raja di antaranya ialah:

            1. Tidak menyombongkan diri dan memudah-mudahkan persoalan atau kesukaran yang dihadapi rakyat.

            2. Tidak sepatutnya mendengar hanya dari satu dua golongan, sedangkan dalam masyarakat Muslim terdapat banyak golongan dan mazhab.

            3. Tidak mudah memurkai orang Islam hanya berdasarkan berita yang tidak benar atau kecurigaa

            4. Seorang raja berkewajiban melindungi orang Islam dari bahaya/ancaman pengkafiran atau penyesatan.

            5. Tidak boleh menginginkan istri bawahan dan rakyat.

            6. Banyak berdialog dengan ulama, cendekiawan, orang arif dan pemimpin non-formal; mengurangi bertemu dengan orang bebal, tamak dan jahat.

            7. Menghormati orang tua dan menyayangi fakir miskin.

            8. Memenuhi janji kepada kaum Muslimin apabila memang pernah berjanji.

            9. Tidak merendahkan hukum Islam, bahkan harus berusaha menegakkann hukum yang relevan.

            10. Tidak menyebarluaskan berita atau pendapat yang menimbulkan fitnah dan kejahatan.

            11. Memberi perhatian kepada fakir miskin.

            12. Ingat akan mati,

            13. Membuat banyak jalan raya dan sarana publik.

            14. Meningkatkan transportasi, perdagangan dan kegiatan ekonomi rakyat.

            15. Menyalurkan dana dari pungutan pajak dan beacukai untuk keperluan yang tepat.

            16. Tidak boleh menyelewengkan wakaf.

            17. Membanyak rumah sakit, sarana pengajaran dan pendidikan, serta rumah ibadah.

            Inilah ringkasan kitab Taj al-Salatin. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Perancis dan Jawa sejak abad ke-19 M. Uraiannya berpengaruh besar terhadap tradisi kepemimpinan Melayu.

                      Abdul Hadi W. M.

                      Tidak ada komentar:

                      Posting Komentar