Abdul Hadi W. M.
Saya diminta menyampaikan pandangan ringkas tentang nasionalism Indonesia dilihat dari perspektif sejarah kebudayaan. Ini tidak mungkin karena memaparkan perkembangan suatu bangsa dari sudut pandang sejarah memerlukan uraian panjang lebar. Tetapi baiklah, saya hanya akan menyampaikan pokok-pokoknya saja. Nasionalisme adalah sebuah pengertian, begitu pula kebudayaan. Keduanya sebagai pengertian muncul dan berkembang dalam sejarah.
Secara umum nasionalisme sering diartikan sebagai tuntutan politik yang menghendaki agar sebuah negara dibangun di wilayah tertentu. Di dalam wilayah tersebut telah diam komunitas yang secara turun temurun menjadi penduduk tetap negeri tersebut. Komunitas itu berbentuk etnik-etnik dan golongan-golongan politik, keagamaan dan sosial tertentu yang anekaragam, namun telah lama dipertalikan oleh hubungan-hubungan sejarah dan kebudayaan.
Di dalam sebuah negara yang sedang dibangun pasti ada penduduk yang secara turun temurun telah lama membangun suatu kebudayaan. Di sana secara tuturn temurun mereka mengembangkan aliran-aliran pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan tertentu;agama dan aliran-aliran keagamaan; pola hidup dan adat istiadar; berbagai kearifan yg dijelmakan dalam sistem ilmu pengetahuan, seni, filsafat dan kesusastraan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagai tuntutan politik, nasionalisme tidak bisa dipahami tanpa melihat sejarah bangsa kita. Bukan saja dari sudut pandang sejarah kekuasaan politik, melainkan juga dari sejarah kebudayaan dan sosial. Krisis yang kita alami dewasa di bidang sosial, politik dan ekonomi pada dasarnya bersumber dari krisis kebudayaan. Salah satu faktor penyebabnya ialah kecenderungan negara kita menjadi negara birokrat (beamstate) selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Karena negara dikuasai birokat maka kepemimpinan non-formal dan lokal menjadi hancur, begitu pula kepemimpinan dalam civil society di bidang sosial, politik, kebudayaan dan keagamaan.
Hantaman dahsyat globalisasi lebih memperburuk keadaan. Apalagi globalisasi dianggap sebagai suatu keniscayaan yang tidak boleh disikapi secara kritis sebagaimana sistem ekonomi pasar bebas (neoliberalisme). Padahal Dirk dalam bukunya Colonialism and Culture (1992) berkeyakinan bahwa globalisasi merupakan proyek neokolonialisme yang bertujuan meredakan ketegangan dunia atau peradaban Barat dengan dunia atau peradaban non-Barat. Rasa kepemilikan manusia atas negerinya, yaitu nasionalisme, dihancurkan, begitu pula ikatan alamiah manusia dengan tanah air, agama dan kebudayaan. Dengan globalisasi terciptalah pola dan gaya hidup yang homogen dengan nilai-nilai kosmopolitan yang dangkal seperti hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan pragmatisme.
Kebudayaan
Apa yang disebut kebudayaan sering diberi batasan dan pengertian yang anekaragam. Bidang keilmuan yang satu sering memberi arti berbeda dengan bidang keilmuan yang lain. Begitu pula aliran yang satu dengan aliran yang lain dalam bidang keilmuan yang sama tidak jarang memberi arti dan melihatnya dari perspektif yang berbeda. Sebetulnya sebagai konsep dan institusi dalam kehidupan manusia, kebudayaan tidak mudah diberi batasan formal. Cakupannya yang luas selalu menuntut batasan atau defnisi luas. Agar taat asas dan sesuai dengan maksud pembicaraan ini saya ingin menelusuri melalui makna etimologisnya terlebih dulum baru kemudian mengemukan aspek-aspek pokok yang terkandung dalam pengertian kebudayaan.
Kata-kata kebudayaan dalam bahasa Indonesia diambil dari kata-kata Jawa ‘kabudayan’. Menurut Fizee (1981) kata-kata ‘kabudayan’ diperkenalkan oleh Mangkunagara ke-8 dan dibentuk dari kata Sanskerta yang telah dijawakan ‘budi’ dan ‘daya’. Kata-kata budidaya sendiri sering dikaitkan cara-cara bertani termasuk mengolah sawah untuk menanam padi melalui metode dan dengan pengetahuan tertentu yang telah ditanamkan dalam masyarakat petani secara turun temurun.
Kalau kita kembalikan kepada makna etimologisnya, kebudayaan dapat diartikan sebagai cara, kebiasaan, atau segala hasil daya upaya manusia mengolah akal budinya. Upaya itu dilakukan tidak secara individual, melainkan dalam sebuah rangka komunitas besar sebab tanpa komunitas ia, kebudayaan, tidak bisa dipelajari dan dimunculkan kehadirannya. Agar lebih dapat dipertanggungjawabkan bolehlah saya katakan begini. Kata buddhi (budi) dan daya dalam filsafat India dipercaya merupakan perwujudan dari mahat (jiwa agung) dalam diri manusia dan mahat itu sendiri merupakan perwujudan dari purusha (Ruh Tertinggi) setelah ruh manusia disatukan dengan jasad atau tubuhnya (prakrti). Yang terakhir ini mewakili unsur bendawi dalam kehidupan. Kata-katamahat darimana budi muncul, dapat disetarakan dengan kata Geist dalam bahasa Jerma, yang diambil dari kata Persia gheisd, dari akar kata ghei yang artinya bergerak penuh tenaga, dorongan kuat, kekuatan vital dan semacamnya yang ada dalam jiwa manusia. Ia mengandung dalam dirinya potensi-potensi kecerdasan (adrsta), aktivitas, gerak keluar dari dirinya serta kemampuan untuk mengembangkan diri rohani.
Hamzah Fansuri adalah salah seorang penulis Melayu awal yang mnerjemahkan kata ‘budi’ menjadi akal pikiran, sebab baginya kaa-kata tersebut dipadankan dengan kata `aql (akal) dalam bahasa Arab. Dasarnya adalah karena akal pikiran yang merupakan kekuatan asas dari diri manusia yang membuatnya mampu menggerakkan kemampuan rohani dan jiwanya. Dengan akal atau budinya manusia dapat membedakan baik dan buruk, salah dan benar. Dengan akal budinya pula manusia menyadari keakuan atau kediriannya, sebagaimna juga kedudukan dan keberadaannya di alam semesta, hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan alam sekitarnya.
Begitulah dengan cara apa pun kebudayaan itu didefinisikan pastilah ia dapat dkaitkan dengan kegiatan dalam suatu komunitas atau sebuah komunitas, byang disebut etnik maupun kaum dan bangsa. Juga dengan cara apa pun diberi batasan pasti ia dikaitkan dengan upaya masyarakat atau individu untuk mengembangkan diri dan kepribadiannya. Akal atau budi hanya ada dalam diri manusia dan merupakan sarana yang memungkinkan manusia mengembangkan diri, dan untuk menunjukkan keunggulan dibanding obyek-obyek di luar dirinya. Sehingga adalah janggal apabila akal digunakan bukan untuk mengembangkan dan membangun diri. Ia tidak hanya didayagunakan untuk mengolah lingkungan hidup atau alam demi manusia, tetapi juga untuk mengolah pribadi dan kepribadian demi martabat manusia itu sendiri bersama komunitasnya.
Dilihat dari sudut pandang filsafat, kebudayaan memiliki lima aspek yang saling terkait: (1)Aspek atau asas batin, yang sering disebut juga sebagai asas metafisik. Asas ini sering diartikan sebagai gambaran dunia (worldview), pandangan/cara hidup (way of life) membimbing tindakan lahiriyah dan formal manusia dalam hidupnya sebagai anggota masyarakat; (2) Aspek epistemologis atau metodologis, yang juga dapat disebut aaspek pengetahuan. Karena itu aliran anthropologi tertentu sering menyebut kebudayaan sebagai sistem penngetahuan. Setiap kebudayaan mengajarkan cara-cara, kaedah-kaedah atau metode-metode tertentu untuk memperoleh pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu. Bila kebudayaan modern Barat lebih meniscayakan metode empiris, rasional positivistik dan histories (kesejarahan), kebudayaan Timur meyakini juga metode intuitif dan metode reliius, yaitu pembuktian kebenaran dengan bersandar pada kitab suci seperti Veda, Dhammapada, al-Qur’an, dan lain sebagainya; (3) Aspek nilai atau aksiologis. Karena itu sering dikatakan bahwa suatu kebudayaan pasti didasarkan atas sistem nilai tertentu. Sistem ini ditransformasikan dalam norma-norma sosial, etika, ethos atau prinsp-prinsip moral. Dengan kata lain aspek aksiologis dapat disebut sebagai aspek yang berkenaan dengan etika dan estetika. Ingat pepatah Melayu: Yang kurik kundi, yang merah saga/Yang baik budi, yang indah bahasa. Yang terakhir ini merujuk kepada seni secara khusus; (4) aspek sosiologis dan historis. Suatu kebudayaan berkembang dinamis atau statis tergantung pada masyarakat, begitu pula maju mundurnya kebudayaan tergantung pada kemampuan suatu komunitas dalam menjawab tantangan yang dhadapkan padanya. Apabila tiga aspek terdahulu megalami kemerosotan dan suatu komunitas mengalami disintegrasi, disebabkan rapuhnya solidaritas, runtuhnya organisasi sosial dan rusaknya pemerintahan disebabkan tak berfungsinya kekuasaan, maka kebudayaan akan mengalami kemerosotan dan kehancuran; (5) Aspek formal teknis. Yaitu ketrampilan yang dibiasakan untuk mengolah sarana-sarana produksi atau peralatan tertentu misalnya dalam mengembangkan budaya baca tulis, pertanian, seni rupa, dan lain sebagainya.
Berdasarkan aspek-aspeknya ini kita dapat melihat bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem jaringan simbol-simbol yang saling terkait, dan setiap simbol mengandung makna yang terkait dengan makna yang dikandung simbol lain. Bertolak dari hal yang lebih kurang sama `Effat al-Syarqawi (1986) mengartikan kebudayaan sebagai khazanah sejarah suatu bangsa/kaum yang tercermin pada bentuk pengakuan bangsa tersebut akan keyakinan dan nilai-nilai tertentu, yaitu kesaksian dan nilai-nilai yang menggariskan tujuan ideal dan makna rohaniah bagi kehidupan kaum tersebut.
Dengan berpegang pada itu semua, lantas bagaimana kita mengartikam kebudayaan Indonesia? Atau adakah kebudayaan nasional Indonesia? Semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika” sebenarnya telah menjawab pertanyaan itu, setidak-tidaknya ketika negara ini mulai memproklamasikan kemerdekaannya. Kita memang belum memiliki kebudayaan Indonesia dalam arti seutuhnya dan selengkapnya, tetapi proses ke arah itu bisa saja sedang berjalan. Yang kita miliki ialah kebudayaan-kebudayaan daerah mulai mengalami proses pembusukan dan pendangkaan di satu, dan kebudayaan masyarakat kota yang belum jelas sosoknya.
Nasionalisme
Nasionalisme sebagai dasar dan tujuan berdirinya negara republik Indonesia tercantum dalam Pancasila, yang selama ini dipandang sebagai dasar ideologi negara kita dan sekaligus sumber hukum. Pada mulanya kelima sila atau asas yang tercantum di dalamnya itu merupakan usulan Bung Karno pada Sidang Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKI) pada bulan Juni 1945. Lima asas itu ialah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Dari segi politik Pancasila sering dipandang sebagai bentuk rekonsiliasi dan sintesa dari tiga arus politik utama di Indonesia, yaitu nasionalisme, Islam dan sosialisme (Ruslan Abdulgani 1976)
Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’. Alasannya, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik. Walaupun semangat persatuan telah bertunas sebelum datangnya kolonialisme, akan tetapi konsep nasionalisme yang dikenal pada abad ke-20 di negeri kita berakar dalam konsep nasionalisme Eropa.
Sebagai ideologi modern, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan mulai dominant di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.
Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel.
Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’.
Renan juga mengemukakan beberapa faktor penting terbentuknya jiwa atau semangat suatu bangsa: (1) Kejayaan dan kemuliaan di masa lampau; (2) Suatu keinginan hidup bersama baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang; (3) Penderitaan bersama atau rasa senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan solidaritas besar untuk bangkit; (4) Penderitaan besar yang dialami bersama dalam sejarah melahirkan pula apa yang disebut ‘Le capital social’ (modal sosial) . Ini berguna bagi pembentukan dan pembinaan faham kebangsaan. Tetapi apa yang terjadi di masa lalu tidaklah sepenting apa yang diharapkan di masa depan; (5) Karena yang penting ialah apa yang dihasratkan di masa depan maka terbentuknya suatu bangsa yang kuat memerlukan “persetujuan bersama pada waktu sekarang”, beru[a musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama; (6) Adanya keinginan untuk hidup bersama; (7) Jika demikian halnya, maka harus bersedia pula untuk memberikan pengorbanan. Kesediaan berkorban ini penting dikembangkan agar semangat kebangsaan tetap kuat; (8) Pemilihan umum merupakan syarat mutlak yang menentukan kehidupan suatu bangsa. Apa yang dikemukakan Renan ini terkait dengan tuntutan akan demokrasi dan keadilain.
Di antara teori-teori yang telah disebutkan itu, yang sangat berpengaruh pada pemikiran tokoh-tokoh gerakan kebangsaan Indonesia termasuk Sukarno dan Hatta ialah teori Ernest Renan. (BERSAMBUNG KE BAGIAN II “NASIONALISME INDONESIA”).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar