10 Agustus 2011

(ziarah rini garini darsodo) kepulangan ketiga

Pembahasan oleh: Hudan Hidayat

*Bunda, aku pulang……….

menapaki kembali jejak yang dulu kusinggahi

serumpun ilalang tebal meratapi sisa kenangan

tawa dan tangis terukir di sini,

dua batu nisan termenung dalam kesunyian

menikam ke ulu hatiku

Ayah, aku pulang………

Engkau tenang terdiam disiram do’a dan kembang

Seperti aku dulu terdiam saat kau sirami wejangan

Aku meresapi mutiara kehidupan

Engkau meresapi aroma keabadian..

By Riga

Bandung, 9 Agustus 2011

**Aku pulang, Bunda

menapak kembali jejak yang dulu kusinggahi

meratapi serumpun ilalang tebal sisa kenangan

di sini ada tawa dan air mata, di sana

dua batu termenung dalam nisan sunyi

menikam ke ulu hati

Aku pulang, o Ayah, aku pulang

Engkau tenang terdiam, disiram do’a dan kembang

Seperti aku dulu terdiam saat kau sirami wejangan

Aku meresapi mutiara kehidupan

Engkau meresapi aroma keabadian.

By Riga

Bandung, 9 Agustus 2011

***menarik membentukkan puisi rini dalam format prosa..

****tak ada lambaian kematian di usia belia – begitukah? bahwa tarikan mati melampaui hari hari dari hidup kita ini. puluhan tahun silam keponakan lelaki saya, tak hendak berkata atau, kalau berkata, adalah laku khas anak yang bergerak ke remaja masa kini: mereka (seakan) lebih penuh perhatian kepada teman temannya ketimbang, kepada keluarganya sendiri. ada apa? boleh kita menghitung masa remaja kita sendiri: ada gerak jiwa apa, di sturuktur yang seolah pengap dalam badan. apakah yang hendak diledakkan dari sana? apakah bentuk yang paling cocok untuk bom jiwa itu? motor cb 100? naik lagi ke usia dewasa adalah laku laku lost generation?

bisa apa saja. guru boleh tak datang mengajari kita cara membentuk puisi. tapi alur nasib yang menarik kita ke arah dunia syair, tak kuasa menahan apa yang hendak ditahan orang. tapi apa saja yang telah ditahannya, tak suatu kuasa pula yang mampu merenggutkannya dari kita. inilah daerah paling musykil itu. daerah absurd karena kuasa demikian melimpah ruah di sana. tak tertahankan lagi, pun tak kuasa tembok berlin mencegah badai kuasa seperti itu, kalau memang tembok itu, pada akhirnya akan runtuh dan orang orang di sana, pada akhirnya saling memainkan kedipan mata kiri dan mata kanan. tapi kita lagi bicara kematian bukan rekonsiliasi politik dua negara satu bangsa.

saya melihat puisi itu di masa usia remaja keponakan saya itu. saya yakin itulah puisi, gaib dari kujur tubuhnya. gaib dari sebentuk senyumnya yang, aduh, kurasakan seakan hendak tenggelam. ada apa? mengapa sorot matamu begitu tak biasanya, wahai lelaki yang tak pernah bahagia dalam hidupmu ini – ayahnya ke mana?

gelombang puisi datang dari lautan ombak, menggulung gulung anak anak dan mencemplungkan tubuh ringkih manusia masuk dalam palung. begitulah puisi gaib kalau sudah bekerja: pertandanya bisa apa saja – gelombang itu, palung itu, dan jam yang telah sampai tanpa suatu kuasa lagi mampu menahan laju detiknya. menggulung pula seisi jiwa jiwa dari rumah panggung. dia lelaki yang tak pernah meneteskan air mata, seumur hidup baru kali itu seakan hendak terjungkal dari tempatnya berdiri. titiklah air mata puisi itu. hanya setitik saja. setitik dari riwayat manusia yang punya rahang hati sekeras batu. masih kudengar ujar ujaran yang sampai kepadaku dulu itu.

anakku

pergilah jauh

jangan kembali

walau harus makan batu

hanya itu cara menegakkan leher keluarga ini

mengapa relasi relasional keluarga kerap membuat kita hampa? karena di sekujur manusia ada puisi? karena masing masing hati bergerak seolah puisi yang tak teraba dalam jiwa pun dari jiwa di badan kita sendiri? kita tak pernah tahu. relasi kerap menjadi cinta yang melambai dari jauh. seolah kita telah didatangi cinta kematian yang melambai dari balik kubur kita sendiri. seakan tanah tanah di seputar lubang itu bangkit, berjalan menjemput tiap langkah kita.

inilah aku

injaklah masuk

ke kuburmu sendiri

siapa yang berkata? kata chairil. kawanku hanya rangka.

di karet, o, di karet

daerahku yang akan datang

sampai juga deru angin

rini tak membawa nama pada dunia makam di sana.

apa yang dibawa oleh rini? puisi bisa dibaca melampaui waktu penyairnya saat menulis puisi. apa yang ada di saat yang kita rambati dengan tenaga aneh imajinasi itu?

ada rini di sana, dengan sebuah puisinya pula: tubuhnya sendiri, yang kini membalik dari gerak puisinya: bukan kedua ayah ibu yang kini kita tatapi, tapi justru para penziarah yang ramai ramai berdiri terjuntai juntai di tepi makam kita.

kepada siapa kita berkata saat itu? bunda, aku pulang; ayah, oh ayah untuk siapakah suaraku ini lagi sebenarnya? – ayah di mana? tergeletak jauh dari anak anaknya di sebuah daerah entah di luar negeri sana. ibu di mana? kita berdua termenung menung melihat tubuh ibu yang pelan pelan, diturunkan, yang pelan pelan, tangan kita juga menggesernya ke arah tepi, sebuah liang lahat yang tak terlihat dari atas itu.

maka bergeraklah dua metapor rini kini, bukan ke bunda dan ayahnya lagi, dalam keadaan demikian itu, tapi ke ucapan: tuhan lihat kami datang, tuhan. kami datang seperti janjimu dengan kami kami ini. mati oleh peluru, mati oleh gigi dicungkil peniti lalu titanus, tak lagi penting, saat diri di liang lahat itu, menghadap wajah tuhan yang, oh, tuhan, kami telah kehabisan kata untuk menyebutkan nama dirimu itu. kukenang kata kata kawanku penyair rini: engkau terdiam disiram doa dan kembang, itulah wajah kami kini tuhan. dan kau bagaimana saat kami telah terbaring secara demikian? cambuk apimu dari malaikat malaikatmu, oh tuhan, dapatkah diganti oleh puisi kawanku itu saja: Engkau tenang terdiam disiram do’a dan kembang. marilah tuhan kami, hanya beda tipis, di antara dua kata: tenang terdiam, dan terdiam tanpa tenangnya lagi.

9 Agustus 2011

*) Sebagai tanda terimakasihku kepada Bang Hudan Hidayat, maka catatannya kutag kepada para sahabat yang lain ..

*) in memoriam 10 Agustus adalah hari kelahiran ayahku D. Darsodo

*) turut berduka cita atas meninggalnya ibu dari sahabat Prasojo Chusnato Sukiman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar