Ali Topan adalah sebuah karya sastra, novel, film, lagu dan drama musikal yang baru saja dipentaskan di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Siapa orang yang ada di belakang Ali Topan? Siapa orang yang mendisain Ali Topan sehingga jadi melegenda sampai hari ini? Ia adalah Teguh Esha, seorang penulis senior, mantan Ketua Presidium Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), mantan Wakil Sekjen Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Mahasiswa Lokal di Indonesia (Somal). Ia juga pendiri dan Wapemred Majalah ’Sonata’, Pendiri dan Pemred Majalah ‘Le Laki’.
Teguh Esha mengatakan, Ali Topan merupakan pengejawantahan anak muda Indonesia yang ideal. Ali Topan prinsipnya nilai bukan harga, value not price. Ia tidak bisa lihat penindasan. Ia sensitif pada rasa keadilan. Kalau ada orang diperlakukan tidak adil, pasti ia berontak. Mungkin rasa keadilan ini yang ada di setiap batin anak-anak muda. Relevan dengan anak muda Indonesia masa kini karena persoalannya masih sama, dari dulu sampai sekarang. Ketidakadilan, penindasan, pemerintah yang sewenang-wenang, sekolah yang brengsek. Menurut Teguh, anak muda Indonesia harus melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran dengan nilai keadilan dan kebenaran, seperti Ali Topan. Ali Topan bukan superman. Dia orang biasa, dia punya kesalahan, tapi ia berani menyatakan sesuatu. Berikut wawancara Didiet Budi Adiputro dengan Teguh Esha.
Pak Teguh Esha, pencipta tokoh dan penulis novel Ali Topan Anak Jalanan. Apa aktivitas Anda sekarang?
Saya masih menulis walau sempat berhenti. Saya dulu pernah menulis naskah Ali Topan yaitu Rock and Road dan Santri Jalanan yang sempat hilang. Baru ketemu lagi tulisan tangan saya, lalu saya lanjutkan. Saya menulis 2 skenario. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada para pembaca. Saya banyak menulis novel dan masyarakat mengapresiasi lebih pada cerita Ali Topan tersebut.
Banyak orang yang sering mendengar Ali Topan, melihat sinetronnya, membaca novelnya namun mereka tidak tahu apa sebenarnya yang melatarbelakangi Anda membuat sosok Ali Topan. Bisa Anda ceritakan?
Pertama, setiap karya adalah ekspresi dari si penciptanya. Saya berusia 63 tahun sekarang. Lulus tahun 1966, kemudian saya kuliah di Tehnik Sipil Universitas Trisakti, saya drop out. Dalam keadaan yang begitu, saya terjun ke dunia jurnalistik menjadi wartawan. Saya mulai menulis. Dari situ saya tahu ada persoalan di sistem pendidikan kita, bahwa sistemnya tidak memantau bakat siswa.
Ali Topan lahir tahun 1972 bulan Februari sebagai cerita bersambung di majalah STOP. Waktu itu redaktur Dedi Arman adalah kawan saya. Lalu saya kuliah di Publisistik Universitas Moestopo. Mulai saya menemukan suatu dunia, yaitu sebagai wartawan dan sebagai sastrawan. Ada senior saya yaitu Asbari Nurpatria Krisna mengatakan, “Teguh, kamu punya 2 kemampuan yaitu wartawan dan sastrawan. Saya dan Motinggo Busye mengamati kamu, gaya kamu lain. Kalau di sajak ada Chairil Anwar, kalau di prosa ada kamu. Kalau boleh saya sarankan kamu jadi wartawan dulu sampai top. Di situ kamu akan berkenalan dari mulai wanita nakal sampai presiden. Kamu akan kenal karakter.” Saya ikuti nasihat dia.
Maka saya telat menjadi sastrawannya. Setelah saya membuat majalah yaitu Sonata dan Le laki lalu saya kembali lagi ke sastra. Ternyata saran Asbari Nurpatria Krisna benar. Saya akan kenal banyak orang, semua, dan itu akan memperkaya. Karena cerita novel itu kan cerita kehidupan. Ada fakta kehidupan yang saya fiksikan. Maka novel saya adalah novel jurnalistik. Berita yang saya ceritakan.
Kembali ke cerita Ali Topan, itu setting Orde Baru yaitu tahun 1972. Ceritanya adalah dia anak orang kaya, bapaknya seorang yang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ibunya seorang wanita nakal, dan ada pengasuhnya mbok Yem. Ali Topan melihat realitas di jalanan, rakyat digusur, ditindas, lalu dia berontak. Dia menjadi pemberontak dengan alasan. Dia tinggalkan kekayaan yang tidak benar itu. Pada saat itu orang dengan segala cara ingin merampok uang rakyat dengan cara KKN. Sama dengan kondisi sekarang. Maka ia menjadi idola, menjadi legenda. Saya juga tidak tahu mengapa itu.
Awalnya bagaimana cerita Ali Topan itu terbit?
Itu berawal dari cerita bersambung di majalah STOP, sketsa jalanan, potret jalanan. Mengapa jalanan? Sewaktu saya menganggur, saya ”gentayangan” di jalanan. Sebetulnya itu ekspresi dari perjalanan saya sewaktu muda. Saya memang marjinal. Ali Topan adalah orang kaya, kelas menengah. Dia tidak bisa lihat penindasan. Ia sensitif pada rasa keadilan. Kalau ada orang diperlakukan tidak adil, pasti ia berontak. Mungkin rasa keadilan ini yang ada di setiap batin anak-anak muda.
Makanya ketika itu ceritanya meledak ya?
Pasti ada sesuatu, kan? Dalam 6 bulan, novelnya 4 kali terbit. Penerbitnya adalah Sipress “meledak” itu. Saya mendapat rumah di Mutiara, sebelum menikah itu. Lalu saya punya mobil Mercedes bekas. Ini penerbitnya fair. Kemudian difilmkan 2 kali. Ali Topan Anak Jalanan dengan sutradara Ishak Iskandar, dan Ali Topan Turun ke Jalan. Itu di layar lebar.
Lalu saya melihat Frankie and Jane menyanyi dengan bagus, lalu saya tawarkan lagu-lagu saya yaitu Balada Ali Topan. Itu pun meledak juga. Lalu ada bentuk puisi, drama musikal dan dalam waktu dekat ini akan saya siapkan 2 novel lagi.
Masyarakat menyambut itu?
Ya. Kalau dalam dunia marketing ada quality control, ide Ali Topan yang awal ketika Anda cetuskan, kemudian diadopsi oleh banyak orang.
Ini menyedihkan. Pemerintah dan para pengusaha, mereka tidak mengerti. Anda ingin memfilmkan Ali Topan, tentu ada sesuatu yang menguntungkan secara bisnis. Kalau orang bisnis pasti menghitung bisnis. Dan secara nilai, itu membuat kita ada prestige.
Seperti Francis Ford Coppola pada waktu membuat film “Godfather”, ia minta didampingi oleh penulisnya. Dia bilang, “Itu di otak dia pasti sudah ada film.” Saya dan kebanyakan para penulis tidak dioptimalkan. Padahal saya sudah menawarkan. Bukan soal duit supaya pas dengan jalan ceritanya. Maka dua film, satu sinetron, dan lain-lain yang saya tidak disertakan, sutradara hanya dapat 50 persen. Si penulis pasti tahu tentang karakter si tokoh, jalan ceritanya. Mau dibentuk apa produk turunannya, pasti ada satu queen essency dari si tokoh cerita ini, hanya penciptanya yang tahu.
Kalau boleh tahu, apa yang kurang?
Ali Topan sebagai barang dagangan pasti laris. Namun ada misi di cerita ini. Kenapa? Novel saya banyak, memang ceritanya tentang pemberontakan semua. Tapi Ali Topan ini anugerah dari Tuhan. Ini yang kecewa adalah para penggemar. Suratnya banyak sekali. Karena mereka punya satu novel yang original, “Harusnya mereka berpatokan ke sini dong [ke novel tersebut].” Maka produk turunannya, orang kenal Ali Topan lewat novel. Saya bukan orang yang memaksakan. Kalau mereka tidak mau pakai pikiran saya, hanya karya saya, saya ijinkan tidak apa-apa. Saya ingin membuat sesuatu.
Ke depannya apa?
Kalau perlu saya sutradarai langsung. Maira Panigoro pernah bilang, ”Pak, mari kita bikin film.” Saya bilang ”Oke”. Ini bukan persoalan duit. Ini persoalan nilai, Ali Topan menurut saya strategis, apalagi sekarang.
Nilai-nilai apa yang bisa ditangkap?
Ini ada satu mantan Dirut Pertamina Martiono Hadianto, kawan diskusi saya, ia bilang, “Terbitkan lagi novel Ali Topan, saya akan sponsori. Karena menurut saya masih relevan”. Saya berpikir, Direktur Utama Pertamina punya pikiran ke Ali Topan, begitu pula anak dari konglomerat Arifin Panigoro yaitu Maira Panigoro berpikir itu juga.
Kalau Anda jalan-jalan ke Blok M, pengamen masih sering menyanyikan lagu Ali Topan. Saya berfikir strategis, dalam persoalan moral, persoalan masa depan dari anak muda, Ali Topan menurut saya pengejawantahan anak muda Indonesia yang ideal.
Relevansi Ali Topan yang ditulis di tahun 70-an dengan kondisi anak muda Indonesia perkotaan di tahun 2011, menurut Anda apa?
Relevansinya karena persoalannya sama, dari dulu sampai sekarang. Ketidakadilan, penindasan, pemerintah yang sewenang-wenang, sekolah yang brengsek. Ali Topan prinsipnya nilai bukan harga, value not price. Dia berontak. Sekarang persoalan di anak muda Indonesia sama, sebagian besar di kota-kota, materialistis, hedon. Maka muncul Ali Topan.
Ada penggemar di seluruh Indonesia menghubungi saya, saya bilang, ”Kalau kamu ingin jadi Ali Topan, kamu harus mengubah sesuatu yang jelek menjadi bagus”. Itu value-nya. Kalau hanya bicara saja tidak ada perbuatannya, bukan Ali Topan. Jadi ada spirit, pembangunan. Anak muda harus merebut kembali kebebasan itu, bukan untuk yang liar. Kita kan merdeka dari belenggu, pembungkaman kreatifitas, itu terjadi, yang sekarang diwakili oleh korporasi- korporasi global. Jadi kita harus munculkan. Maka anak muda dengan Ali Topan harus menyumbang. Pertama di lingkungan terkecil yaitu keluarga, Rukun Tetangga, Rukun Warga, tidak usah seluruh Indonesia, terlalu luas.
Orang lain bicara Indonesia, kalau saya, keluarga, RT/RW dahulu. Karena tidak terlatih begitu, semua presiden, kecuali Soekarno jadi gagal. Dia tidak tahu, tiba-tiba menjadi presiden. Jadi presiden Indonesia ini sama, artinya semua presiden di dunia, di lingkungan Uni Eropa disatukan, itu kualitas presiden Indonesia seharusnya di atas mereka. Dengan beragam persoalan di Indonesia. Anak muda, berontaklah nilai-nilai orangtua yang tidak beres itu.
Kalau sekarang ada atau tidak sosok itu?
Saya bisa melihat kamu salah satunya. Dari pertanyaan-pertanyaan kamu kelihatan cerdas. Jadi kebanyakan orang basa-basi munafik. Kalau saya bilang kamu punya kualifikasi yang cocok untuk memimpin masa depan. Kebanyakan orang tidak, selalu munafik.
Kalau tokoh nasional yang beredar sekarang, pengamat sosial, aktifis LSM?
Saya lihat Yudi Latief bagus, yang lainnya mulai muncul. Bangsa ini kebanyakan ributnya. Ini bangsa wacana, harusnya action. Problemnya sih sederhana, kita semua punya, kekayaan, dan lain-lain, tapi sok sakti semua. Kita tidak bersatu. Keruntuhan kita, keruntuhan pemikiran. Jadi harus ada dan dibangun lagi satu thesis besar Indonesia. Kita harus bangkit lewat satu pemikiran-pemikiran. Maka kampus dengan para intelektual di depan. Strategis. Dan juga seniman, seniman itu pastilah dia pemikir.
Selama ini memang nilai kampus itu luntur ya?
Ya, luntur karena sebetulnya ini the death of university. Sistem dan konten pendidikan sudah perlu dibuang. Ini banyak teori ekonomi, ekonomi hancur dunia. Banyak pakar politik dengan buku-buku politik, hancur tuh politik di dunia. Buat saya kita koreksi lagi konten dari pendidikan.
Itu secara sistem ya, secara pendidikan keanakmudaan itu bukan hanya sistem pendidikan formal. Saya tahu Anda sebagai aktifis mahasiswa pernah ikut organisasi.
Ya betul, saya pernah menjabat ketua Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA) dan Ali Topan lahir saat saya aktif di sana.
Seberapa penting organisasi informal seperti itu untuk turut menyeimbangkan?
Penting, pertama kita berinteraksi sosial, organisasi mahasiswa apapun. Kita dilatih berorganisasi, kepemimpinan, punya idealisme, tapi tetap, kualitas orang itu menentukan. Bukan hanya jabatan. Kita memerlukan standar moral dan kecerdasan. Dan kecerdasan itu sudah tidak ada.
Apakah kurikulum kita tidak bisa mencetak moral dan kecerdasan?
Buktinya yang korupsi di gedung DPR itu lulusan S1, S2 dan S3. Ada moral, pendidikan. Kalau intelektual pasti untuk memberi arah, membangun pemikiran bangsanya ke depan. Ini tidak, hancur semua. Moralnya sudah rusak.
Sebagai senior, apa pesan Anda untuk anak muda Indonesia supaya anak muda ini bisa mengubah nasib Indonesia ke depannya, paling tidak nasib mereka sendiri.
Pertama yang dilupakan, kita punya Pancasila. Sila pertama ”KeTuhanan Yang Maha Esa”. Jadi pertama itu orang harus beriman, ada satu kekuatan. Dia harus percaya. Perjalanan Ali Topan ke sana. Dan semua nilai baik itu harus diimplementasikan. Kemudian, tidak ada orang yang sakti. Ali Topan bukan superman. Dia orang biasa, dia punya kesalahan, tapi ia berani menyatakan sesuatu. Misalnya dia salah, dia terima dan dia koreksi.
Fair saja. Ini kata tidak ada dalam bahasa Indonesia. Jadi bangsa ini tidak fair sebetulnya. Kepada Ali Topan di seluruh nusantara, “Jadilah kamu diri sendiri, maka akan diberi bakat oleh Tuhan. Apapun. Kebangkitan bangsa ini adalah kebangkitan setiap anak muda di semua pelosok tanah air. Kita harus melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran dengan nilai keadilan dan kebenaran. Tidak bisa kita melawan koruptor dengan kita berjiwa maling. Sederhana. Menyambung kata dengan perbuatan. Anak muda dari Papua sampai Aceh, kalian bergerak, janganlah percaya pada politik yang tidak beres.” (***)
[ Red/Redaksi_ILS ]
super! :)
BalasHapusSalah satu karya sastra pop yang penting di era-nya. Salam hormatku buat Mas Teguh Esha. Dan terima kasih pada Ruang Sastra telah mempostingnya. Salam sastra!
BalasHapusmemuisi.blogspot.com