20 Agustus 2012

SUBLIM

SEBUAH karya yang indah bisa mengundang kekaguman, kesenangan, atau kepuasan. Sebuah karya yang sublim bisa membangkitkan kedahsyatan, keharuan, bahkan kegelisahan. Adapun yang sesungguhnya terjadi, tentu, bisa tak sesederhana itu.

Sublim. Kata ini lazim disebut untuk menyatakan sifat agung, tinggi, atau halus, pada suatu karya seni. Mungkin orang menghubungkannya dengan proses fisika ”menyublim”, yakni mengubah zat padat menjadi uap dan memadatkannya lagi demi mencapai kadar kemurnian yang lebih tinggi. Atau orang menautkannya dengan istilah ”sublimasi” dalam psikologi, yang berarti mengubah dorongan naluri yang dianggap primitif menjadi tindakan yang dapat diterima atau dihargai oleh masyarakat yang beradab. Malahan, ada kalanya kata ”sublim” dipertukarkan dengan ”subtil” yang memang berarti halus, lembut, atau cerdik, bijaksana. Barangkali kemiripan sejumlah besar unsur kedua kata itu telah mengecoh sejumlah orang.

Namun, kata (dan terutama pengertian) ”sublim” ternyata punya riwayat yang memang jauh dari sederhana. Inilah juga gagasan yang diam-diam hampir tak pernah melepaskan cekamannya atas dunia penciptaan. Berbeda dengan ”yang indah” yang pernah digugat lantaran dianggap banal dan mengelabui serta memalingkan orang dari pemandangan dunia yang timpang ”yang sublim” tampaknya tak pernah kehilangan daya pesonanya.

Traktat kuno berjudul Peri Hypsous (On the Sublime, Tentang yang Sublim) konon ditulis seorang sarjana bernama Longinus dari abad ketiga Masehi, namun belakangan dinyatakan berasal dari dua abad sebelumnya dan entah siapa penulisnya adalah pembuka pembicaraan tentang ”yang sublim”. Dalam risalah itu, ”sublim” (berasal dari terjemahan Latin atas kata Yunani hypsos, ”ketinggian, keluhuran”, yang kemudian diteruskan pemakaiannya dalam pelbagai bahasa lain) mengacu pada pencapaian literer lewat metafora yang melampaui batas-batas bahasa umum. Kepiawaian itu terbangun dari sejumlah anasir: keagungan pikiran, kekuatan imajinasi, gaya bahasa yang tepat, pemilihan dan penyusunan kata secara efektif, dan akhirnya penataan keseluruhan karya secara organik.

Hingga berabad-abad, terutama sejak Renaissance, risalah itu menjadi salah satu panduan utama penciptaan dan penilaian karya sastra di Eropa. Pada tahun 1711 penyair Inggris Alexander Pope, dalam sajaknya An Essay on Criticism, angkat tabik kepada tokoh yang di masa itu masih dianggap sebagai penulis naskah klasik tersebut: ”Thee, bold Longinus!” Hampir setengah abad kemudian, pada tahun 1757, terbitlah A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful karya Edmund Burke.

Dalam traktat itu, Burke membedakan antara yang sublim dan yang indah. ”Yang indah” tentu saja enak dan mudah dinikmati, menimbulkan rasa suka, memperlihatkan kehalusan, kelembutan, keluwesan, kegemilangan, bahkan kemungilan. Sedangkan ”yang sublim”, sebaliknya, berhubungan dengan kepedihan, kekelaman, kesunyian, bahaya, kedalaman, kekosongan, tetapi juga kemegahan, kemahaluasan, ketakterhinggaan. Dibanding ”yang indah”, bagi Burke ”yang sublim” jauh lebih mampu membangkitkan emosi terkuat yang ada dalam diri seseorang. Pandangan ini kemudian berpengaruh besar terhadap estetika romantisisme dan kelak terus mengalami metamorfosisnya melalui ekspresionisme, simbolisme, Dada, surealisme, dan pelbagai aliran avant-garde.

Tak lama setelah Burke, pada tahun 1764 Immanuel Kant menerbitkan risalahnya tentang ”yang indah dan yang sublim”. Ia menelaah kedua gejala itu secara terperinci, meski kadang agak berlebihan, seperti ketika ia memilah watak bangsa-bangsa ke dalam dua kelompok besar: sebagian cenderung kepada ”yang indah”, sebagian lain condong kepada ”yang sublim”. Yang jelas, bahkan lama setelah Kant, ihwal ”yang sublim” rupanya tak kunjung sirna. Dekonstruksi, misalnya, dengan ”gerak bebas penanda” yang menggulirkan kemungkinan tafsir yang tiada habisnya, juga mengilaskan ”yang sublim” di setiap momennya momen yang tak tertentu dan sekaligus menawarkan yang tak terhingga itu.

Sumber: Minggu, 05 Februari 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar