Oleh Lik Kopir
Melalui Koran Stanplat ini aku ingin bercerita kepadamu, tentang kehidupan Kang Marto, -seorang suami dari Sutinem, beranak delapan di umurnya yang ke 40 tahun. Keluarga Marto menjalani kehidupannya di sebuah dusun terpencil di Kecamatan Tretep. Suatu ketika Marto bertutur kepadaku tentang kehidupannya. Aku tuangkan cerita Marto dalam tulisan berikut ini:
Ia tak paham benar dengan kehidupan ini. Segalanya tiba-tiba ada. Bagi Marto, pengertian hidup adalah menjalani rutinitas. Makan-minum, tidur, kawin, silaturahmi, kerja bakti dan kerja mencari nafkah,-sebagai kewajiban panggilan hidup manusia. Marto hanya tahu ruang lingkup dunia yang sangat terbatas. Tretep, Parakan, Jumo, Ngadirejo, Temanggung. Sepanjang hidupnya ia tak pernah merantau. Paling jauh Marto pergi ke Magelang, Kendal dan Wonosobo. Tapi imanjinasi tentang kehidupan bak cakrawala, luas menghampar tak bertepi; penuh teka-teki dan misteri.
Kesadaran hidupnya dibangun oleh etos dan moralitas Jawa, lebih tepatnya tradisi Temanggungan. Marto percaya Tuhan, percaya kebenaran agama dan sedikit banyak percaya mitos dan klenik. Selera dan cita rasa seninya tertata oleh imajinasi rakyat jelata. Karena itu Marto lebih menyukai kuda lumping ketimbang tarian kraton,-keseniannya para priyayi feodal yang penuh aturan dan basa-basi. Baginya, kuda lumping adalah cermin kehidupan rakyat, liberalisme (kebebasan) gaya ndeso; makan beling, goyang liar sampai njengking. Kebebasan ekspresi tubuh adalah ciri khas tarian ini.
Bagi Marto, kuda lumping juga berarti desah nafas kehidupannya; kehidupan orang jelata yang rindu akan kesetaraan dan kebebasan. Kalau pentas kesenian lain butuh panggung, pentas kuda lumping hanya butuh tanah lapang. Penunggang kuda, pemusik maupun penonton duduk berdiri di alam bebas tanpa hirarki. Di sinilah kesetaraan sesama umat manusia menyatu dalam suasana suka cita.
Kesurupan adalah ekstase yang paling menganggumkan. Zaenal, seorang pemain kuda lumping asal Kandangan mengatakan; “rasane durung njaran nek durung nyurubi.” Seorang budayawan pernah berkata; “kesurupan adalah manifestasi paling liar sekaligus paling khusuk dari perjalanan liar kehidupan manusia.”
Asal tahu saja, kalau sudah kesurupan yang tak mungkin terjadi bisa terjadi. Mau bukti? Tiada mungkin dalam kondisi normal orang sanggup nguntal beling tanpa rasa sakit. Saat normal, tiada mungkin seseorang manjat pohon kelapa gaya munyuk berlari. Hanya melalui kesurupanlah semua itu terjadi.
Kesurupan sejenis ekstase, atau jazb (baca;jadzab)nya kaum sufi. Sebuah istilah dalam mistisisme untuk “ketertarikan terhadap Tuhan” yang dialami jiwa-jiwa tertentu. Secara khusus menunjukkan keadaan jiwa yang tidak normal bagi sang Majzub, pelakunya. Kalaujadzabnya para sufi bertujuan mencari kesejatian hubungan manusia dengan Tuhannya, maka ekstase para sufi “mahzab jaran kepang” tujuannya mencari kesejatian dalam hubungan sosial. Beda arahnya, tapi keduanya tetap memiliki bobot spritualitas.
Namanya Marto. Cukuplah kau panggil dia Marto! Jangan panggil dia Totok, Togog, apalagi Togel! Sebab Marto akan marah dan mengancam; “Nek de’e nyeluk aku nggo jeneng iku, tak pathak watu ndasmu!” Marto juga berpesan kepadaku; “hargailah diriku dengan nama pemberian orantuaku itu. Karena sebuah nama adalah sebuah identitas kehidupan pribadi seseorang. Gusti Allah pun senang dihargai dengan nama indah. Buktinya, Tuhan menyuruh hamba-Nya selalu berseru “dengan menyebut namaMU.”
Marto percaya bahwa Tuhan ada. Tapi kadang ia merasa aneh. Konon Tuhan maha baik dan bijak, tapi kenapa orang fakir miskin selalu tersia-siakan hidupnya? Kenapa banyak orang beramal saleh hidupnya tetap susah? Kenapa para pejabat-pejabat korup, gemar nyolong duit rakyat, nipu kanan, ngibul kiri selalu hidup makmur nan mulia?
Orang miskin seperti Marto untuk sekedar makan pun susahnya bukan kepalang. Akibatnya, anak-anak Marto kurang gizi, baju kotor tak pernah ganti. Pun demikian, Marto tak pernah mencuri. Ia nafkahi istri anaknya dari hasil jerih paya nguli bangunan, angkut kayu atau buruh macul.”Yang penting halal,”katanya.
Suatu malam ia khusuk berdoa, diiringi rengek tangis anak-anaknya yang tidurnya tak pernah nyenyak karena gigitan nyamuk;
“Tuhan, salah apa aku? kenapa rejeki berlimpah hanya Kau bagikan kepada orang-orang yang berada di lingkar kekuasaan? Selalu saja orang-orang itu bilang; kemiskinan adalah takdir. Benarkah Tuhanku? Kenapa Kau tidak takdirkan diriku sebagai orang kaya? Ah, Tuhanku. Aku tak percaya itu takdirmu, sebab Engkau telah memberikan amanat kepada para khalifahMu, para wakilMu yang duduk di kursi-kursi kekuasaan itu. Aku heran ya Tuhanku, para ulama sudah tak lagi menyerukan amar ma’ruf nahy munkar. Mereka tak berani melawan kekuasaan yang korup dan menindas rakyat. Mereka malah bangga menjadi corong kekuasaan.
Duh Gusti Allah. Empatpuluh tahun aku bekerja dan berdoa, tapi kehidupanku tak kunjung membaik. Sedangkan mereka para politisi itu, hanya modal bacot saat musim Pemilu kini hidup bergelimang harta! Saat kampanye mereka bilang akan membela kami. Sebulan kemudian campakkan kami. Saat pemilu mereka rajin ke desa-desa, kini mereka lebih suka ke kota-kota berbelanja dan berpesta. Aku mohon ya Tuhanku, berilah kutukan kepada para pejabat laknat itu. Oh, Tuhanku….”
Malam semakin larut. Doa-doa berhamburan menyebar ke seluruh penjuru mata angin. Kentong subuh membuka mata Marto. Cerah pagi benar-benar menggairahkan Marto untuk bersiul dan menyanyi. Dan Marto pun pandai memilih lagu yang cocok dipersembahkan untuk para pejabat di negeri ini;
Menthok..menthok/tak kandani/mung rupamu, angisin-isi/mbok yo ojo ngetok/ono kandang wae/enak-enak ngorok, ora nyambut gawe/menthok…menthok.
(naskah ini pernah di muat di rubrik Asal Usil; media cetak Stanplat, edisi II Juli 2006)