30 September 2011

WICARA SANG PENCINTA

WEDNESDAY, FEBRUARY 23, 2011

RIWAYAT HIDUP JALALLUDDIN RUMI

Oleh Jamal D. Rahman ( jamaldrahman.wordpress.com )
Dia penyair sufi terbesar Persia. Dia salah seorang penyair terkemuka dunia. Dikenal dan berpengaruh di Barat dan Timur hingga kini, namanya terpahat kuat di hati dunia yang mencintai dunia tasawuf, spiritualitas, ketuhanan, cinta, dan puisi. Dia menarik perhatian dunia terutama karena wawasan tasawufnya yang begitu dalam, universal, dan tetap relevan, sebagaimana tercermin dalam perjalanan hidup dan karya-karyanya. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Barat dan Timur, termasuk Indonesia. Dia mengilhami kebudayaan dunia. Dia duta cinta sepanjang masa.

Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah –jalan sang Maulana Rumi.
Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6 Rabi’ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu’min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.
Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi, Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.
Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh, Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!

Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu, sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa silam yang hancur. Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.
Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya. Setahun setelah Bahauddin Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di Balkh. Tahu gurunya sudah meninggal, kepada Jalaluddin Rumi yang adalah anak sang guru, Burhanuddin mengajarkan ajaran-ajaran sufistik sang guru dan beberapa sufi lain. Burhanuddin juga membimbing Rumi melakukan latihan-latihan spiritual sebagaimana dipraktekkan oleh para sufi –mereka yang mengabdikan diri bagi kehendak untuk menyatu dengan Tuhan.Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi memangku jabatan sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi. Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat Maulawiyah.Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa. Di samping itu, bentuk ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.
Sudah 800 tahun kini (2007) riwayat Jalaluddin Rumi membentang dari Persia, Arabia, Turki, hingga Eropa dan benua-benua lain. Para pengikutnya mengamalkan ajaran-ajarannya; para sarjana meneliti pandangan dan karya-karyanya; para seniman menimba inspirasi dari kedalaman rohani dan keluasan wawasannya; dan dunia modern memetik hikmah dari kearifannya.
Rumi wafat di Konya pada 16 Desember 1273 (5 Jumatil Akhir 672 H). Kepergiannya ditangisi oleh banyak pengikut dan pengagumnya yang berlatar belakang agama berbeda-beda. Bukan saja karena dia sufi besar dan, seperti dikatakan A.J. Arberry, “puncak gunung yang paling tinggi dalam bentangan luas perpuisian sufi”, melainkan juga karena “dia benar-benar mampu membuktikan diri sebagai sumber inspirasi dan kebahagiaan yang tidak terlampaui oleh banyak penyair lainnya dalam kesusastraan dunia.”
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw, Jalaluddin Rumi adalah pecinta kucing. Dia pun memelihara seekor kucing yang cantik. Ketika Rumi wafat, kucing kesayangannya mengeong sedih menatap sang tuan tergolek di ranjang kematian. Tapi bagi Rumi, suara meongnya pastilah bukan tangis kehilangan karena kepergian tuannya. Tangis kucing itu adalah raung pedih kerinduan seekor kucing akan dunia asalnya.Kucing itu tidak mau makan sejak sang tuan mangkat, seakan tidak rela tak diajak sang tuan pergi ke dunia asal. Dan ia pun turut mati seminggu kemudian. Malika Khatun, anak-perempuan Rumi dari Kira Khatun, istri kedua yang dinikahi Rumi setelah istri pertamanya meninggal, menguburkannya di sisi kuburan sang ayah, sebagai lambang kedekatan sang penyair dengan binatang dan semua makhluk, sebab dia adalah sahabat Sang Pencipta.Gerbang Taman Rohani.Puisi-puisi Jalaluddin Rumi tidak lahir dari proses intuisi kepenyairan biasa.Puisi yang diilhami dalam dirinya dan dinukilkan dalam karyanya bukan hasil dari penceritaan dan pengalaman orang lain...ianya adalah rasa dan pengalamanyang dialaminya sendiri.. Bagaimanapun, pertama-tama dia adalah seorang sufi, seorang yang diharu-biru oleh kehendak untuk bersatu dengan Tuhan. Maka dorongan menulis puisi bukan pertama-tama karena bakat kepenyairannya, melainkan karena dorongan dahsyat pengalaman rohaninya yang meluap-luap dan tak terbendung untuk menyatakan diri. Rumi adalah gunung berapi, dimana magma spiritualnya sedemikian aktif dan bergolak terus-menerus hingga memuntahkan lahar puisi yang bisa menyuburkan tanah-tanah spiritual yang disentuhnya.Pengalaman rohani pastilah merupakan sesuatu yang tak terbatas, tak terumuskan, tak terlukiskan. Kini ia harus mengekspresikan diri lewat bahasa puisi, medium yang amat terbatas itu. Dalam konteks ini Jalaluddin Rumi adalah sebuah paradoks: ketakberhinggaan pengalaman rohaninya dilukiskan dalam keberhinggaan bahasa puisinya. Namun puisi-puisinya yang berhingga justru memperlihatkan ketakberhinggaan pengalaman rohaninya.Inilah yang terjadi: puisi Rumi adalah puisi ekstatis saat sang sufi berada di dunia spiritual yang sedemikian mengharu-biru, yang sekali keluar dari mulut sang sufi akan mengalir deras seakan tak bisa dihentikan. Puisi-puisi itu dirangsang oleh musik dan tarian-berputar yang menghanyutkan batin sang sufi, dan menariknya ke pusat Cinta Ilahi yang menyediakan seluruh tenaga dan keindahan rohaninya. Puisi-puisi itu direkam murid-muridnya dengan baik.
Musik, tarian-berputar, dan puisi. Itulah medium melalui mana Rumi merangsang dan mengekspresikan pengalaman rohaninya.
Sebenarnya, bagi Rumi sendiri, puisi dan penyair sedikit-banyak merupakan sesuatu yang ganjil. Sebab, Al-Quran dalam beberapa ayatnya secara eksplisit memperlihatkan ketidaksukaannya pada profesi penyair dan puisi. Tapi Rumi pasti tahu, ketidaksukaan Al-Quran kepada puisi dan penyair berakar pada fakta bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam puisi selalu dihubungkan dengan ilmu sihir dan perbuatan amoral yang tidak dikehendaki oleh Islam, seperti minum minuman memabukkan dan percintaan birahi yang bebas. Maka itu, Rumi tahu bagaimana bisa menyelamatkan diri dari kecaman Al-Quran terhadap puisi-puisinya yang melimpah dan dirinya sendiri sebagai penyair sufi.Apa yang mengaktifkan magma spiritual Rumi hingga sedemikian menggelegak, hingga pula dari sana lahir sekitar 40.000 puisi liris dan lebih dari 20.000 puisi didaktis?Pertemuan Rumi dengan pada sufi, baik langsung maupun tidak, pastilah memberikan pengaruh besar pada kehidupan rohaninya. Terutama ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, dan Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi, murid ayahnya yang kemudian menjadi pembimbing intelektual dan spiritualnya selama sekitar 10 tahun. Mereka menyiapkan sekaligus memuluskan jalan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya.
Momen yang paling menentukan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya adalah ketika di tahun 1244 seorang sufi pengembara tiba di Konya. Namanya Syamsuddin at-Tabrizi, yang berarti Matahari Agama dari Tabriz. Dalam diri sufi inilah Rumi menemukan bayangan sempurna Kekasih Tuhan yang telah lama dicarinya. Bagi Rumi, dia adalah matahari yang membakar jiwanya, menyalakan hatinya, menariknya ke dalam pusat kesempurnaan Cinta Ilahi, dan mengubah hidupnya. Dia adalah pribadi penuh pesona rohani, kepada siapa Rumi mengidentifikasikan diri berulangkali.
Mereka tinggal bersama selama satu atau dua tahun, bersama-sama mengarungi samudera rohani dan melaju kencang di lautan Cinta Ilahi. Rumi berdendang: … jiwaku menaiki kereta Syamsi Tabriz yang lari kencang bagaikan perahu melaju di lautan yang tenang. Sejak itu, Rumi tak bisa dipisahkan dari mataharinya. Dia tenggelam dalam pesona rohaninya yang begitu bercahaya: … Tabriz! Jika Syamsuddin muncul dari zodiakmu, mendung pun akan menyerupai bulan, dan bulan akan lebih bersinar-sinar. Sedemikian terpesona Rumi pada mataharinya, hingga dia menghentikan kegiatan mengajar dan diskusi bersama murid-muridnya. Dia benar-benar menaiki kereta Syamsi Tabris —sebagaimana dikatakannya sendiri— nyaris secara harfiah.
Tentu saja murid-muridnya kehilangan kesempatan belajar dan berdialog dengan Rumi, sebagaimana berlangsung selama beberapa tahun sebelum kedatangan tamu asing tak diundang itu. Mereka pun cemburu, dan beredar suara-suara miring tentang sang sufi. Tahu bahwa mereka cemburu, mungkin juga tidak tahan mendengar suara-suara miring tentang dirinya, pada tahun 1247 Syamsi Tabris menghilang dari Konya, Turki sekarang, kota dimana Rumi tinggal.Ketika kemudian terdengar kabar Syamsi berada di Damaskus, Rumi segera mengutus anaknya, Sultan Walad, menjemput sufi itu dan membawanya kembali ke Konya. Tak terlukis kebahagiaan Rumi ketika dia lihat Syamsi benar-benar kembali. Dia tak ingin lagi berpisah dengan mataharinya. Maka Rumi mengawinkan gurunya itu dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarganya. Tapi api kecemburuan keluarga dan murid-murid Rumi belum padam benar. Desas-desus negatif tentang Syamsi kini terdengar lebih santer lagi. Dan, kali ini dia benar-benar hilang. Tak pernah kembali lagi.
Rumi menangis. Bagi dia, apalah arti hidup tanpa sang matahari. Siapa lagikah yang mampu menyalakan rohani dan membakar Cintanya? Diwan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syamsi Tabriz) adalah puisi Rumi yang merupakan persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah pergi tanpa jejak itu. Nada kesedihan dalam puisi-puisi Rumi berjalin-berkelindan dengan nada riang. Sebab, sebagaimana kehilangan mengandaikan sebuah pertemuan, kesementaraan mengandaikan keabadian. Begitulah maka perasaan berpisah dengan sang matahari secara rohani tak lain merupakan pertemuan-tak-terpisahkan; kebersamaan yang singkat adalah kebersamaan abadi.Apalagi, Rumi sebenarnya kini sudah benar-benar matang secara rohani. Rasa sesal dan kerinduannya pada sang matahari tersublimasi sedemikian rupa, menjadi jalan bagi dunia batin Rumi sendiri dalam proses penghayatan tentang, dan penyatuan esensial dengan Tuhan. Puisi dan risalah Rumi segera memancarkan cahaya rohani, wawasan tasawuf, dan renungan sufistiknya yang amat dalam dan luas. Syamsi Tabriz tak lain hanyalah kunci pintu gerbang kerohanian Rumi sendiri yang sesungguhnya sudah siap dibuka.
Setelah pintu gerbang itu terbuka, kunci boleh hilang. Pastilah ada rasa sesal dengan kunci yang hilang, tapi bagaimanapun Rumi bisa berjalan-jalan sendiri tanpa tersesat mengitari taman rohaninya yang luas, lapang, dan rimbun. Di taman itu, Rumi mendendangkan puisinya (puisi-puisi Rumi dalam tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.):
Ada taman indah, penuh pepohonan lebat
Anggur dan rerumputan menghijau
Seorang sufi duduk sambil memejamkan mata
Kepalanya tunduk, karam dalam tafakur.
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tidak kau lihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekelilihgmu
Yang dititahkan oleh-Nya untuk direnungkan?”
Sufi itu menjawab, “Tanda-tanda-Nya terbentang
Pula dalam diriku, yang ada di luar
Hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”
Kehidupan rohani Rumi yang dipupuk terus-menerus telah melahirkan puisi sufistik yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun mutu. Tapi perlu diingat bahwa sebelumnya Rumi bagaimanapun telah mempelajari dengan baik sastra tradisional Persia dan Arab. Wawasan dan kemampuan teknis sastra tampaknya telah mendarah-daging dalam tubuh Rumi. Yang diperlukan selanjutnya adalah persyaratan paling penting seorang penyair: kedalamanan penghayatan dan renungan tentang makna hidup dan kearifan-kearifan universal. Dan Rumi telah mencapainya dengan gemilang.
Cinta Sejati Jalauddin RumiMembaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah membaca Cinta —Cinta dengan C besar. Penyair sufi asal Persia yang kemudian menetap di Turki hingga akhir hayatnya ini tampak begitu menghayati arti Cinta, menemukan maknanya yang begitu dalam, sekaligus meyakininya sebagai dasar utama kehidupan. Baginya, tak ada kehidupan tanpa Cinta. Karena itu, dia mengembangkan arti Cinta dan mengarahkannya sebagai prinsip metafisis sekaligus sebagai dasar konkret kehidupan-sementara menuju kehidupan-abadi.
Sebagai sufi, sudah tentu Rumi menulis banyak tema dalam puisi dan risalah tasawufnya, yaitu tema-tema utama —termasuk spekulasi filosofis— dalam dunia tasawuf dan filsafat. Misalnya, dia berbicara tentang esensi wujud tunggal yang menyatakan diri dalam wujud jamak, transendensi dan imanensi Tuhan, manifestasi-abadi Tuhan melalui penciptaan, dan lain-lain. Tetapi semua itu lebih merupakan keterlibatan Rumi secara intelektual dalam polemik yang mengasyikkan di kalangan ilmuwan Muslim hingga abad ke-13. Pada akhirnya, Rumi memiliki sistem berpikirnya sendiri yang dibangun melalui pengalaman spiritual dan intelektualnya.
Sudah tentu juga gagasan utama Rumi adalah hasrat spiritual untuk bersatu dengan Tuhan, dilandasi asumsi-asumsi metafisis dan spekulatif sebagaimana berkembang dalam tasawuf dan filsafat, dan diperkuat oleh imajinasi kreatifnya sendiri. Pandangan Rumi tentang Cinta untuk sebagian menjelaskan hasrat tersebut.Dalam menjelaskan pandangannya tentang Cinta, Rumi menggunakan banyak sekali metafor. Yang sangat terkenal di antaranya adalah seruling. Menurutnya, suara seruling adalah lagu pedih keterpisahan seruling itu sendiri dari tempat asalnya, yaitu rumpun bambu yang rimbun. Di samping itu, suara seruling adalah nyanyi rindu dendam sang seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu tempatnya berasal. Begitulah Rumi melukiskan derita dan rindu dendam roh manusia pada Penciptanya.
Dalam puisinya yang lain tentang seruling, Rumi melukiskan lebih jauh hubungan manusia dan Tuhan. Katanya, kami adalah suling dan musik dalam diri kami berasal darimu; kami seumpama gunung, dan gaung dalam diri kami berasal darimu. Jadi, di sini bukan saja seruling yang berasal dari Tuhan. Musik yang dialunkan seruling itu sendiri juga berasal dari Tuhan. Sejalan dengan itu, gunung dan gaung di dalamnya adalah juga berasal dari Tuhan. Itu berarti, apa pun alunan musik seruling, lagu pedih ataukah lagu riang, berasal dari Tuhan juga. Apa pun gaung dalam gunung, apakah pertanda rahmat atau laknat, tak lain berasal dari Tuhan jua.Seruling dan musik merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan Rumi. Keduanya bukan saja metafor dalam puisi, melainkan juga medium pengembaraan rohani. Rumi tidak saja memandang musik sebagai sesuatu yang bersifat temporal dan profan. Lebih jauh, mendengarkan musik temporal dia membayangkan suara alam semesta dan terutama musik yang mengalun abadi di sorga. Itulah sebabnya, musik dapat menghubungkan roh manusia dengan alam ketuhanan. Musik dapat melambungkan jiwa manusia mencapai tingkat kesucian dan ketinggian yang kekal. Musik dapat membakar hati manusia dan membangkitkan Cinta yang menggelora untuk mencapai sorga.
Tapi alam semesta tak cuma mengalunkan musik. Alam semesta adalah juga komposisi gerak yang sangat kompleks sebagai tarian sakral yang menakjubkan. Tarian itu berupa putaran-putaran ritmis dengan titik sumbu yang tertata rapi secara ajaib. Tidaklah mengherankan kalau Rumi juga menjadikan tarian-berputar sebagai medium pengembaraan rohani. Rumi menulis dengan indah:
Baling-baling langit, dengan segenap keindahan dan keajaibannya, berputar mengitari Tuhan seperti jentera.
Rohku demikian pula, tawaf di Ka’bah; begitulah pengemis ini mengitari pemberian dan karunia.
Perjalanan bola mengelilingi lapangan permainan-Nya; itulah yang membuatmu bahagia dan tidak berdaya.
….
Demikianlah hubungan manusia dan Tuhan. Musik mengekspresikan hubungan penciptaan melalui mana jiwa manusia dibakar api rindu dan Cinta terhadap sumbernya, sekaligus menghubungkan dunia manusia yang terbelenggu dengan dunia sorga yang suci lagi merdeka. Sementara itu, tarian-berputar mengekspresikan kenikmatan, ketakberdayaan, dan kepasrahan pada Tuhan sebagai pusat perputaran baling-baling langit jiwa manusia bersama alam semesta.
Dalam pola hubungan itu, di manakah Cinta? Bagi Rumi, Cinta adalah dasar yang memungkinkan hubungan-hubungan tersebut berlangsung. Tanpa Cinta, pola hubungan menakjubkan dan indah namun menyakitkan itu adalah mustahil. Manusia akan merindukan Tuhan dan menari mengitari-Nya manakala api Cinta menggelora di dalam jiwanya. Tetapi api Cinta tak akan menggelora dalam jiwa manusia tanpa Tuhan memberikan percikan api Cinta-Nya kepada manusia itu sendiri. Begitulah maka, kata Rumi, “Bila cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu.” Dalam sebuah tamsil, Rumi mengibaratkan hubungan percintaan ini sebagai tepukan, dimana tepukan tak akan terjadi hanya dengan sebelah tangan. Dengan demikian, pola hubungan itu adalah hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai.
Dari sini Rumi menurunkan pola berpasangan sebagai derivasi primordial dari hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai. Rumi menyebut pola berpasangan itu sebagai hikmah Tuhan. Langit dan bumi adalah pasangan laki-perempuan yang dikemukakan Rumi:
Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
….
Dan, dengan Tuhan memberikan nafsu birahi pada laki dan perempuan, mereka akan saling mencinta dan menyatu. Dengan cara itu, kata Rumi, dunia terselamatkan.Rumi menyadari adanya paradoks atau kontradiksi dalam Cinta, yaitu keindahan dan kesengsaran, kemesraan dan kepedihan. Seperti suara seruling yang memperdengarkan suara pedih di balik kemerduannya. Atau sebaliknya, menyuarakan nyanyian merdu namun dengan nada perih. Seorang pencinta harus siap menerima keduanya. Bagi Rumi, kesengsaraan dan kepedihan adalah proses dialekstis untuk mencapai kebahagiaan. Maka bagi pencinta sejati, kesengsaraan, kepedihan, dan rindu-dendam justru merupakan kenikmatan. Kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Rumi mencontohkan buncis yang direbus. Ketika air mendidih, buncis melompat-lompat ke permukaan air, merintih kesakitan. Kepada juru rebus dia bertanya, “Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
“Aku tidak menyiksamu. Aku merebusmu sebab aku mencintaimu. Dengan cara ini engkau akan terasa lezat dan bergizi.”
Rumi sendiri merasa dikuasai oleh Cinta yang amat dahsyat. Cinta sedemikian rupa bagai magnet yang menarik jiwanya bukan saja untuk mendekat, melainkan untuk menyatu sepadu-padunya. Dalam pada itu, api Cinta berkobar-kobar dalam hatinya siang-malam, membakar jiwanya dengan api rindu yang tak tertahankan. Dan dia percaya kematian adalah jalan menuju Cinta hakini dan abadi: … jika kaulihat iring-iringan pembawa jenazahku lewat, jangan berkata, “Dia telah pergi! Dia telah pergi selamanya!” Saat itu bagiku adalah saat bersatu dan berhadapan muka/ Ketika jenazahku kaubaringkan dalam kubur, jangan berkata, “Selamat jalan! Selamat jalan!” Kuburan hanyalah tirai pembatas sebelum bersatu lagi dengan sorga….
Tetapi, sejauh itu Rumi sesungguhnya tidak yakin dengan pandangannya sendiri tentang Cinta. Dia meragukan kemampuan akal dan pikiran dalam memahami Cinta, bahkan meragukan pula pemahamannya melalui imajinasi kreatifnya yang amat kaya. Yang dia yakini hanya bahwa Cinta pada akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya. Menurut Rumi, Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta./ Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri/ dapat menjelaskan apa itu matahari. Dengan kata lain, apa pun rumusan tentang Cinta-sejati bagaimanapun bersifat relatif belaka. Yang memahami dengan akurat Cinta hanyalah Cinta itu sendiri.
Di sini kita diingatkan pada salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Wadûd (Maha Pencinta). Sebagai Maha Pencinta, Tuhan pastilah memercikkan sebagian api cinta-Nya kepada manusia. Karena api Cinta yang tumbuh dalam jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka ia senantiasa mengarahkan dirinya ke tempat asalnya. Dalam arti itu maka Tuhan sekaligus adalah Yang Dicintai. Pada puncaknya, Tuhan sesungguhnya tak lain tak bukan adalah Cinta Abadi, Cinta Sejati, yang senantiasa memancarkan diri-Nya kepada seluruh makhluk-Nya.***

WICARA SANG PENCINTA

WEDNESDAY, FEBRUARY 23, 2011

RIWAYAT HIDUP JALALLUDDIN RUMI

Oleh Jamal D. Rahman ( jamaldrahman.wordpress.com )
Dia penyair sufi terbesar Persia. Dia salah seorang penyair terkemuka dunia. Dikenal dan berpengaruh di Barat dan Timur hingga kini, namanya terpahat kuat di hati dunia yang mencintai dunia tasawuf, spiritualitas, ketuhanan, cinta, dan puisi. Dia menarik perhatian dunia terutama karena wawasan tasawufnya yang begitu dalam, universal, dan tetap relevan, sebagaimana tercermin dalam perjalanan hidup dan karya-karyanya. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Barat dan Timur, termasuk Indonesia. Dia mengilhami kebudayaan dunia. Dia duta cinta sepanjang masa.

Jalaluddin Rumi adalah sosok pencari jalan spiritual yang tak pernah berhenti. Nama Rumi dinisbahkan kepada sufi agung ini karena dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Anatolia, Turki, yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Romawi Timur. Di sinilah dia mengukuhkan dirinya sebagai guru spiritual yang sangat berpengaruh. Dia dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi, Yang Mulia atau Tuan Guru Jalaluddin Rumi. Di sini pula dia meletakkan dasar-dasar baru jalan spiritual, yaitu melalui tari dan musik, yang kemudian dikenal dengan jalan Maulawiyah –jalan sang Maulana Rumi.
Lahir di Balkh, Khurasan, Afghanistan sekarang, 30 September 1207 (6 Rabi’ul Awwal 604 H), Jalaluddin Rumi tumbuh dari keluarga terpandang. Ayahnya, Muhammad ibnu Hussain al-Khatibi alias Bahauddin Walad, adalah seorang ulama terkemuka di Balkh, sedangkan ibunya, Mu’min Khatun, berasal dari keluarga Dinasti Khawarizmi, dinasti yang berkuasa dengan ibukota Bukhara saat itu. Adapun Balkh, adalah salah satu kota penting, pusat intelektual dan kebudayaan Persia pada Dinasti Khawarizmi.
Keluarga Rumi adalah pengembara. Ketika Rumi baru 7 tahun, keluarganya hijrah ke Khurasan, dan tak lama kemudian hijrah ke Nisyapur. Ketika Rumi 12 tahun, mereka hijrah ke Baghdad. Setelah beberapa lama tinggal di kota Seribu Satu Malam itu, mereka hijrah lagi ke Makkah, kemudian Damaskus, sebelum akhirnya menetap di Konya, Turki sekarang, yang ketika itu merupakan ibukota Kesultanan Saljuk.Menjelang keluarga Rumi hijrah ke Baghdad, Balkh dan kota-kota Persia lainnya bukanlah kota yang tenang. Di seberang Dinasti Khawarizmi, Dinasti Mongol sedang giat-giatnya melancarkan serangan ke mana-mana secara membabibuta guna meluaskan wilayah kekuasaanya. Setelah sebelumnya menaklukkan Cina, kini Dinasti Mongol yang begitu perkasa mengincar Dinasti Khawarizmi. Tersiar luas kabar bahwa Persia akan segera dicaplok dengan cara bengis sebagaimana dilakukan pasukan Mongol terhadap Cina dan daerah-daerah lain. Dan benar. Tak lama kemudian pasukan Mongol menyerang dan membumihanguskan Balkh. Juga kota-kota Persia terkenal lainnya, seperti Bukhara dan Samarkand.
Tetapi Rumi dilahirkan memang tidak untuk merebut kembali kota kelahirannya dan membangunnya kembali dari kehancuran. Dia meninggalkan kota kelahirannya dengan membawa biru apinya yang terus menyala-nyala dalam hatinya. Biru api khazanah kebudayaan Persia yang kelak akan menyalakan dunia batinnya ketika disulut api Cinta Ilahi, hingga demikian bercahaya di tempat lain, Konya, tempat yang jauh dari Balkh, Samarkand, Bukhara, bahkan dari Persia itu sendiri. Dalam sebuah puisinya, Rumi berdendang dengan haru-biru:
Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!

Puisi ini pastilah merefleksikan kecintaan sekaligus kerinduan Rumi akan kampung halamannya, yang telah lama ditinggalkan. Ia tahu kampung halamannya sudah luluh-lantak dan jadi bumi-hangus di tangan-bengis gerombolan orang-orang Mongol. Dan sejarah tak mungkin lagi ditarik mundur. Maka dia memanggil orang-orang berkumpul di rumahnya, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis, dan dari sana bersama-sama memancarkan cahaya cinta ke kampung halaman yang telah luluh-lantak itu, sebentar saja. Tapi dalam konteks puisi-puisi Rumi, yang dia ajak untuk bersama-sama memancarkan cinta ke Samarkand dan Bukhara adalah Tuhan. Dengan demikian, puisi tersebut merupakan ungkapan cinta dan rindu yang sangat dalam terhadap kampung halamannya nun jauh di masa silam yang hancur. Sebagai pengembara, Rumi mereguk berbagai disiplin ilmu dari beberapa guru terkemuka di kota-kota tempatnya pernah tinggal. Tinggal beberapa lama di kawan Arab, terutama Makkah dan Damaskus, dia belajar sastra Arab hingga mahir menulis puisi dalam bahasa itu. Sudah tentu dia juga belajar ilmu-ilmu Islam. Apalagi ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, adalah juga seorang ulama terpandang. Tak pelak lagi, ketika tiba di Konya, Sultan Konya yang cinta ilmu dan seni menyambut kedatangan keluarga Rumi dengan baik. Bahauddin Walad dipercaya sebagai ahli fiqih, mubalig, dan mengajar di madrasah kesultanan, hingga dia wafat di tahun 1230.
Jalaluddin Rumi segera menggantikan posisi ayahnya. Ketika itu, dia telah menikah dan dikaruniai 2 anak. Anak pertamanya diberi nama Sultan Walad, yang kelak juga menjadi seorang sufi dan memperkenalkan beberapa segi kehidupan Jalaluddin Rumi yang unik. Anak keduanya bernama Alauddin, yang merupakan nama saudara laki-laki Jalaluddin Rumi yang meninggal di Konya. Hingga saat itu, tampaknya Rumi tidak begitu berminat pada segi-segi sufistik dari kehidupan dan pemikiran ayahnya. Setahun setelah Bahauddin Walad wafat, Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi tiba di Konya. Burhanuddin adalah murid Bahauddin Walad di Balkh. Tahu gurunya sudah meninggal, kepada Jalaluddin Rumi yang adalah anak sang guru, Burhanuddin mengajarkan ajaran-ajaran sufistik sang guru dan beberapa sufi lain. Burhanuddin juga membimbing Rumi melakukan latihan-latihan spiritual sebagaimana dipraktekkan oleh para sufi –mereka yang mengabdikan diri bagi kehendak untuk menyatu dengan Tuhan.Sekitar 10 tahun di bawah bimbingan Burhanuddin, minat Rumi pada tasawuf dan cinta Ilahi sedemikian bergairah. Dia mencurahkan seluruh hidupnya untuk mengalami setiap maqam (tingkatan spiritual) kehidupan tasawuf. Maka, setelah Burhanuddin wafat di tahun 1240, Jalaluddin Rumi memangku jabatan sebagai guru spiritual (syaikh) persaudaraan sufi. Mulailah dia membangun persaudaraan spiritual dimana para pengikutnya terus bertambah dan lingkup pengaruh penyair sufi ini semakin luas. Persaudaraan sufi inilah yang kemudian dikenal dengan Tarekat Maulawiyah.Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa. Di samping itu, bentuk ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.
Sudah 800 tahun kini (2007) riwayat Jalaluddin Rumi membentang dari Persia, Arabia, Turki, hingga Eropa dan benua-benua lain. Para pengikutnya mengamalkan ajaran-ajarannya; para sarjana meneliti pandangan dan karya-karyanya; para seniman menimba inspirasi dari kedalaman rohani dan keluasan wawasannya; dan dunia modern memetik hikmah dari kearifannya.
Rumi wafat di Konya pada 16 Desember 1273 (5 Jumatil Akhir 672 H). Kepergiannya ditangisi oleh banyak pengikut dan pengagumnya yang berlatar belakang agama berbeda-beda. Bukan saja karena dia sufi besar dan, seperti dikatakan A.J. Arberry, “puncak gunung yang paling tinggi dalam bentangan luas perpuisian sufi”, melainkan juga karena “dia benar-benar mampu membuktikan diri sebagai sumber inspirasi dan kebahagiaan yang tidak terlampaui oleh banyak penyair lainnya dalam kesusastraan dunia.”
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw, Jalaluddin Rumi adalah pecinta kucing. Dia pun memelihara seekor kucing yang cantik. Ketika Rumi wafat, kucing kesayangannya mengeong sedih menatap sang tuan tergolek di ranjang kematian. Tapi bagi Rumi, suara meongnya pastilah bukan tangis kehilangan karena kepergian tuannya. Tangis kucing itu adalah raung pedih kerinduan seekor kucing akan dunia asalnya.Kucing itu tidak mau makan sejak sang tuan mangkat, seakan tidak rela tak diajak sang tuan pergi ke dunia asal. Dan ia pun turut mati seminggu kemudian. Malika Khatun, anak-perempuan Rumi dari Kira Khatun, istri kedua yang dinikahi Rumi setelah istri pertamanya meninggal, menguburkannya di sisi kuburan sang ayah, sebagai lambang kedekatan sang penyair dengan binatang dan semua makhluk, sebab dia adalah sahabat Sang Pencipta.Gerbang Taman Rohani.Puisi-puisi Jalaluddin Rumi tidak lahir dari proses intuisi kepenyairan biasa.Puisi yang diilhami dalam dirinya dan dinukilkan dalam karyanya bukan hasil dari penceritaan dan pengalaman orang lain...ianya adalah rasa dan pengalamanyang dialaminya sendiri.. Bagaimanapun, pertama-tama dia adalah seorang sufi, seorang yang diharu-biru oleh kehendak untuk bersatu dengan Tuhan. Maka dorongan menulis puisi bukan pertama-tama karena bakat kepenyairannya, melainkan karena dorongan dahsyat pengalaman rohaninya yang meluap-luap dan tak terbendung untuk menyatakan diri. Rumi adalah gunung berapi, dimana magma spiritualnya sedemikian aktif dan bergolak terus-menerus hingga memuntahkan lahar puisi yang bisa menyuburkan tanah-tanah spiritual yang disentuhnya.Pengalaman rohani pastilah merupakan sesuatu yang tak terbatas, tak terumuskan, tak terlukiskan. Kini ia harus mengekspresikan diri lewat bahasa puisi, medium yang amat terbatas itu. Dalam konteks ini Jalaluddin Rumi adalah sebuah paradoks: ketakberhinggaan pengalaman rohaninya dilukiskan dalam keberhinggaan bahasa puisinya. Namun puisi-puisinya yang berhingga justru memperlihatkan ketakberhinggaan pengalaman rohaninya.Inilah yang terjadi: puisi Rumi adalah puisi ekstatis saat sang sufi berada di dunia spiritual yang sedemikian mengharu-biru, yang sekali keluar dari mulut sang sufi akan mengalir deras seakan tak bisa dihentikan. Puisi-puisi itu dirangsang oleh musik dan tarian-berputar yang menghanyutkan batin sang sufi, dan menariknya ke pusat Cinta Ilahi yang menyediakan seluruh tenaga dan keindahan rohaninya. Puisi-puisi itu direkam murid-muridnya dengan baik.
Musik, tarian-berputar, dan puisi. Itulah medium melalui mana Rumi merangsang dan mengekspresikan pengalaman rohaninya.
Sebenarnya, bagi Rumi sendiri, puisi dan penyair sedikit-banyak merupakan sesuatu yang ganjil. Sebab, Al-Quran dalam beberapa ayatnya secara eksplisit memperlihatkan ketidaksukaannya pada profesi penyair dan puisi. Tapi Rumi pasti tahu, ketidaksukaan Al-Quran kepada puisi dan penyair berakar pada fakta bahwa dalam masyarakat Arab pra-Islam puisi selalu dihubungkan dengan ilmu sihir dan perbuatan amoral yang tidak dikehendaki oleh Islam, seperti minum minuman memabukkan dan percintaan birahi yang bebas. Maka itu, Rumi tahu bagaimana bisa menyelamatkan diri dari kecaman Al-Quran terhadap puisi-puisinya yang melimpah dan dirinya sendiri sebagai penyair sufi.Apa yang mengaktifkan magma spiritual Rumi hingga sedemikian menggelegak, hingga pula dari sana lahir sekitar 40.000 puisi liris dan lebih dari 20.000 puisi didaktis?Pertemuan Rumi dengan pada sufi, baik langsung maupun tidak, pastilah memberikan pengaruh besar pada kehidupan rohaninya. Terutama ayahnya sendiri, Bahauddin Walad, dan Burhanuddin Muhaqqiq Al-Tirmidzi, murid ayahnya yang kemudian menjadi pembimbing intelektual dan spiritualnya selama sekitar 10 tahun. Mereka menyiapkan sekaligus memuluskan jalan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya.
Momen yang paling menentukan bagi perkembangan rohani Rumi selanjutnya adalah ketika di tahun 1244 seorang sufi pengembara tiba di Konya. Namanya Syamsuddin at-Tabrizi, yang berarti Matahari Agama dari Tabriz. Dalam diri sufi inilah Rumi menemukan bayangan sempurna Kekasih Tuhan yang telah lama dicarinya. Bagi Rumi, dia adalah matahari yang membakar jiwanya, menyalakan hatinya, menariknya ke dalam pusat kesempurnaan Cinta Ilahi, dan mengubah hidupnya. Dia adalah pribadi penuh pesona rohani, kepada siapa Rumi mengidentifikasikan diri berulangkali.
Mereka tinggal bersama selama satu atau dua tahun, bersama-sama mengarungi samudera rohani dan melaju kencang di lautan Cinta Ilahi. Rumi berdendang: … jiwaku menaiki kereta Syamsi Tabriz yang lari kencang bagaikan perahu melaju di lautan yang tenang. Sejak itu, Rumi tak bisa dipisahkan dari mataharinya. Dia tenggelam dalam pesona rohaninya yang begitu bercahaya: … Tabriz! Jika Syamsuddin muncul dari zodiakmu, mendung pun akan menyerupai bulan, dan bulan akan lebih bersinar-sinar. Sedemikian terpesona Rumi pada mataharinya, hingga dia menghentikan kegiatan mengajar dan diskusi bersama murid-muridnya. Dia benar-benar menaiki kereta Syamsi Tabris —sebagaimana dikatakannya sendiri— nyaris secara harfiah.
Tentu saja murid-muridnya kehilangan kesempatan belajar dan berdialog dengan Rumi, sebagaimana berlangsung selama beberapa tahun sebelum kedatangan tamu asing tak diundang itu. Mereka pun cemburu, dan beredar suara-suara miring tentang sang sufi. Tahu bahwa mereka cemburu, mungkin juga tidak tahan mendengar suara-suara miring tentang dirinya, pada tahun 1247 Syamsi Tabris menghilang dari Konya, Turki sekarang, kota dimana Rumi tinggal.Ketika kemudian terdengar kabar Syamsi berada di Damaskus, Rumi segera mengutus anaknya, Sultan Walad, menjemput sufi itu dan membawanya kembali ke Konya. Tak terlukis kebahagiaan Rumi ketika dia lihat Syamsi benar-benar kembali. Dia tak ingin lagi berpisah dengan mataharinya. Maka Rumi mengawinkan gurunya itu dengan seorang gadis yang dibesarkan dalam keluarganya. Tapi api kecemburuan keluarga dan murid-murid Rumi belum padam benar. Desas-desus negatif tentang Syamsi kini terdengar lebih santer lagi. Dan, kali ini dia benar-benar hilang. Tak pernah kembali lagi.
Rumi menangis. Bagi dia, apalah arti hidup tanpa sang matahari. Siapa lagikah yang mampu menyalakan rohani dan membakar Cintanya? Diwan-i Syams-i Tabriz (Lirik-lirik Syamsi Tabriz) adalah puisi Rumi yang merupakan persembahan rohani bagi sahabat sekaligus guru spiritualnya yang telah pergi tanpa jejak itu. Nada kesedihan dalam puisi-puisi Rumi berjalin-berkelindan dengan nada riang. Sebab, sebagaimana kehilangan mengandaikan sebuah pertemuan, kesementaraan mengandaikan keabadian. Begitulah maka perasaan berpisah dengan sang matahari secara rohani tak lain merupakan pertemuan-tak-terpisahkan; kebersamaan yang singkat adalah kebersamaan abadi.Apalagi, Rumi sebenarnya kini sudah benar-benar matang secara rohani. Rasa sesal dan kerinduannya pada sang matahari tersublimasi sedemikian rupa, menjadi jalan bagi dunia batin Rumi sendiri dalam proses penghayatan tentang, dan penyatuan esensial dengan Tuhan. Puisi dan risalah Rumi segera memancarkan cahaya rohani, wawasan tasawuf, dan renungan sufistiknya yang amat dalam dan luas. Syamsi Tabriz tak lain hanyalah kunci pintu gerbang kerohanian Rumi sendiri yang sesungguhnya sudah siap dibuka.
Setelah pintu gerbang itu terbuka, kunci boleh hilang. Pastilah ada rasa sesal dengan kunci yang hilang, tapi bagaimanapun Rumi bisa berjalan-jalan sendiri tanpa tersesat mengitari taman rohaninya yang luas, lapang, dan rimbun. Di taman itu, Rumi mendendangkan puisinya (puisi-puisi Rumi dalam tulisan ini diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M.):
Ada taman indah, penuh pepohonan lebat
Anggur dan rerumputan menghijau
Seorang sufi duduk sambil memejamkan mata
Kepalanya tunduk, karam dalam tafakur.
Seseorang bertanya, “Hai, mengapa tidak kau lihat
Tanda-tanda Yang Maha Pengasih di sekelilihgmu
Yang dititahkan oleh-Nya untuk direnungkan?”
Sufi itu menjawab, “Tanda-tanda-Nya terbentang
Pula dalam diriku, yang ada di luar
Hanyalah lambang dari Tanda-tanda.”
Kehidupan rohani Rumi yang dipupuk terus-menerus telah melahirkan puisi sufistik yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun mutu. Tapi perlu diingat bahwa sebelumnya Rumi bagaimanapun telah mempelajari dengan baik sastra tradisional Persia dan Arab. Wawasan dan kemampuan teknis sastra tampaknya telah mendarah-daging dalam tubuh Rumi. Yang diperlukan selanjutnya adalah persyaratan paling penting seorang penyair: kedalamanan penghayatan dan renungan tentang makna hidup dan kearifan-kearifan universal. Dan Rumi telah mencapainya dengan gemilang.
Cinta Sejati Jalauddin RumiMembaca puisi-puisi Jalaluddin Rumi adalah membaca Cinta —Cinta dengan C besar. Penyair sufi asal Persia yang kemudian menetap di Turki hingga akhir hayatnya ini tampak begitu menghayati arti Cinta, menemukan maknanya yang begitu dalam, sekaligus meyakininya sebagai dasar utama kehidupan. Baginya, tak ada kehidupan tanpa Cinta. Karena itu, dia mengembangkan arti Cinta dan mengarahkannya sebagai prinsip metafisis sekaligus sebagai dasar konkret kehidupan-sementara menuju kehidupan-abadi.
Sebagai sufi, sudah tentu Rumi menulis banyak tema dalam puisi dan risalah tasawufnya, yaitu tema-tema utama —termasuk spekulasi filosofis— dalam dunia tasawuf dan filsafat. Misalnya, dia berbicara tentang esensi wujud tunggal yang menyatakan diri dalam wujud jamak, transendensi dan imanensi Tuhan, manifestasi-abadi Tuhan melalui penciptaan, dan lain-lain. Tetapi semua itu lebih merupakan keterlibatan Rumi secara intelektual dalam polemik yang mengasyikkan di kalangan ilmuwan Muslim hingga abad ke-13. Pada akhirnya, Rumi memiliki sistem berpikirnya sendiri yang dibangun melalui pengalaman spiritual dan intelektualnya.
Sudah tentu juga gagasan utama Rumi adalah hasrat spiritual untuk bersatu dengan Tuhan, dilandasi asumsi-asumsi metafisis dan spekulatif sebagaimana berkembang dalam tasawuf dan filsafat, dan diperkuat oleh imajinasi kreatifnya sendiri. Pandangan Rumi tentang Cinta untuk sebagian menjelaskan hasrat tersebut.Dalam menjelaskan pandangannya tentang Cinta, Rumi menggunakan banyak sekali metafor. Yang sangat terkenal di antaranya adalah seruling. Menurutnya, suara seruling adalah lagu pedih keterpisahan seruling itu sendiri dari tempat asalnya, yaitu rumpun bambu yang rimbun. Di samping itu, suara seruling adalah nyanyi rindu dendam sang seruling untuk bersatu kembali dengan rumpun bambu tempatnya berasal. Begitulah Rumi melukiskan derita dan rindu dendam roh manusia pada Penciptanya.
Dalam puisinya yang lain tentang seruling, Rumi melukiskan lebih jauh hubungan manusia dan Tuhan. Katanya, kami adalah suling dan musik dalam diri kami berasal darimu; kami seumpama gunung, dan gaung dalam diri kami berasal darimu. Jadi, di sini bukan saja seruling yang berasal dari Tuhan. Musik yang dialunkan seruling itu sendiri juga berasal dari Tuhan. Sejalan dengan itu, gunung dan gaung di dalamnya adalah juga berasal dari Tuhan. Itu berarti, apa pun alunan musik seruling, lagu pedih ataukah lagu riang, berasal dari Tuhan juga. Apa pun gaung dalam gunung, apakah pertanda rahmat atau laknat, tak lain berasal dari Tuhan jua.Seruling dan musik merupakan unsur sangat penting dalam kehidupan Rumi. Keduanya bukan saja metafor dalam puisi, melainkan juga medium pengembaraan rohani. Rumi tidak saja memandang musik sebagai sesuatu yang bersifat temporal dan profan. Lebih jauh, mendengarkan musik temporal dia membayangkan suara alam semesta dan terutama musik yang mengalun abadi di sorga. Itulah sebabnya, musik dapat menghubungkan roh manusia dengan alam ketuhanan. Musik dapat melambungkan jiwa manusia mencapai tingkat kesucian dan ketinggian yang kekal. Musik dapat membakar hati manusia dan membangkitkan Cinta yang menggelora untuk mencapai sorga.
Tapi alam semesta tak cuma mengalunkan musik. Alam semesta adalah juga komposisi gerak yang sangat kompleks sebagai tarian sakral yang menakjubkan. Tarian itu berupa putaran-putaran ritmis dengan titik sumbu yang tertata rapi secara ajaib. Tidaklah mengherankan kalau Rumi juga menjadikan tarian-berputar sebagai medium pengembaraan rohani. Rumi menulis dengan indah:
Baling-baling langit, dengan segenap keindahan dan keajaibannya, berputar mengitari Tuhan seperti jentera.
Rohku demikian pula, tawaf di Ka’bah; begitulah pengemis ini mengitari pemberian dan karunia.
Perjalanan bola mengelilingi lapangan permainan-Nya; itulah yang membuatmu bahagia dan tidak berdaya.
….
Demikianlah hubungan manusia dan Tuhan. Musik mengekspresikan hubungan penciptaan melalui mana jiwa manusia dibakar api rindu dan Cinta terhadap sumbernya, sekaligus menghubungkan dunia manusia yang terbelenggu dengan dunia sorga yang suci lagi merdeka. Sementara itu, tarian-berputar mengekspresikan kenikmatan, ketakberdayaan, dan kepasrahan pada Tuhan sebagai pusat perputaran baling-baling langit jiwa manusia bersama alam semesta.
Dalam pola hubungan itu, di manakah Cinta? Bagi Rumi, Cinta adalah dasar yang memungkinkan hubungan-hubungan tersebut berlangsung. Tanpa Cinta, pola hubungan menakjubkan dan indah namun menyakitkan itu adalah mustahil. Manusia akan merindukan Tuhan dan menari mengitari-Nya manakala api Cinta menggelora di dalam jiwanya. Tetapi api Cinta tak akan menggelora dalam jiwa manusia tanpa Tuhan memberikan percikan api Cinta-Nya kepada manusia itu sendiri. Begitulah maka, kata Rumi, “Bila cinta Tuhan menyala dalam hatimu, tentu Tuhan telah mencintaimu.” Dalam sebuah tamsil, Rumi mengibaratkan hubungan percintaan ini sebagai tepukan, dimana tepukan tak akan terjadi hanya dengan sebelah tangan. Dengan demikian, pola hubungan itu adalah hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai.
Dari sini Rumi menurunkan pola berpasangan sebagai derivasi primordial dari hubungan timbal-balik antara pencinta dan yang-dicintai. Rumi menyebut pola berpasangan itu sebagai hikmah Tuhan. Langit dan bumi adalah pasangan laki-perempuan yang dikemukakan Rumi:
Di mata orang arif, Langit adalah lelaki dan Bumi adalah perempuan
Bumi menerima saja apa yang diturunkan Langit ke haribaan dan rahimnya
Jika bumi kurang panas, Langit mengirimkan panas
Jika bumi kurang segar, Langit menyegarkan bumi yang lembab
Langit berputar menurut sumbunya, bagaikan suami mencari nafkah bagi istrinya
Dan Bumi sibuk mengurus rumah: ia menunggui dan menyusui bayi yang dilahirkan
Tanpa Bumi apakah Langit bisa menghasilkan air dan panas?
….
Dan, dengan Tuhan memberikan nafsu birahi pada laki dan perempuan, mereka akan saling mencinta dan menyatu. Dengan cara itu, kata Rumi, dunia terselamatkan.Rumi menyadari adanya paradoks atau kontradiksi dalam Cinta, yaitu keindahan dan kesengsaran, kemesraan dan kepedihan. Seperti suara seruling yang memperdengarkan suara pedih di balik kemerduannya. Atau sebaliknya, menyuarakan nyanyian merdu namun dengan nada perih. Seorang pencinta harus siap menerima keduanya. Bagi Rumi, kesengsaraan dan kepedihan adalah proses dialekstis untuk mencapai kebahagiaan. Maka bagi pencinta sejati, kesengsaraan, kepedihan, dan rindu-dendam justru merupakan kenikmatan. Kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Rumi mencontohkan buncis yang direbus. Ketika air mendidih, buncis melompat-lompat ke permukaan air, merintih kesakitan. Kepada juru rebus dia bertanya, “Kenapa kau menyiksaku seperti ini?”
“Aku tidak menyiksamu. Aku merebusmu sebab aku mencintaimu. Dengan cara ini engkau akan terasa lezat dan bergizi.”
Rumi sendiri merasa dikuasai oleh Cinta yang amat dahsyat. Cinta sedemikian rupa bagai magnet yang menarik jiwanya bukan saja untuk mendekat, melainkan untuk menyatu sepadu-padunya. Dalam pada itu, api Cinta berkobar-kobar dalam hatinya siang-malam, membakar jiwanya dengan api rindu yang tak tertahankan. Dan dia percaya kematian adalah jalan menuju Cinta hakini dan abadi: … jika kaulihat iring-iringan pembawa jenazahku lewat, jangan berkata, “Dia telah pergi! Dia telah pergi selamanya!” Saat itu bagiku adalah saat bersatu dan berhadapan muka/ Ketika jenazahku kaubaringkan dalam kubur, jangan berkata, “Selamat jalan! Selamat jalan!” Kuburan hanyalah tirai pembatas sebelum bersatu lagi dengan sorga….
Tetapi, sejauh itu Rumi sesungguhnya tidak yakin dengan pandangannya sendiri tentang Cinta. Dia meragukan kemampuan akal dan pikiran dalam memahami Cinta, bahkan meragukan pula pemahamannya melalui imajinasi kreatifnya yang amat kaya. Yang dia yakini hanya bahwa Cinta pada akhirnya akan membimbing kita ke hadirat-Nya. Menurut Rumi, Cinta sendirilah yang dapat menerangkan apa itu cinta./ Bukankah seperti matahari, hanya matahari itu sendiri/ dapat menjelaskan apa itu matahari. Dengan kata lain, apa pun rumusan tentang Cinta-sejati bagaimanapun bersifat relatif belaka. Yang memahami dengan akurat Cinta hanyalah Cinta itu sendiri.
Di sini kita diingatkan pada salah satu nama Tuhan dalam Asmaul Husna, yaitu Al-Wadûd (Maha Pencinta). Sebagai Maha Pencinta, Tuhan pastilah memercikkan sebagian api cinta-Nya kepada manusia. Karena api Cinta yang tumbuh dalam jiwa manusia berasal dari Tuhan, maka ia senantiasa mengarahkan dirinya ke tempat asalnya. Dalam arti itu maka Tuhan sekaligus adalah Yang Dicintai. Pada puncaknya, Tuhan sesungguhnya tak lain tak bukan adalah Cinta Abadi, Cinta Sejati, yang senantiasa memancarkan diri-Nya kepada seluruh makhluk-Nya.***

Whirling Dervishes


Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang berputar

Diriwayatkan oleh Sulthan Awliya Quthubul Ghawts Mawlana Syaikh Muhammad Nazim Adil Al Qubrusi An Naqshabandi Al Haqqani yang diwakili oleh Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani An Naqshbandi Al Haqqani Ar Rabbani. Pada suatu hari saat Sayyidina Rasulullah SAW khobah Jum'at, datanglah seorang Baduy Arab seraya bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah SAW, kapankah kiamat itu datang?”. Sayyidina Rasulullah SAW tidak menjawab, Beliau hanya diam. Baduy Arab itu terus bertanya sampai 3 kali hingga Sayyidina Jibril a.s datang menghadap Sayyidina Rasulullah SAW dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Sayyidina Rasulullah SAW menyampaikannya dan orang Baduy Arab itu menjawab, “Bukankah aku memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah SAW.” Dan Sayyidina Rasulullah berkata, “Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang kau cintai seperti dua jari yang berdekatan.” Dan seketika itu juga orang Baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti sholat jum'at.


Shaykh Hisham Kabbani memperlihatkan bagaimana Sayyidina Abu Bakar Shiddiq Whirling

Saat mendengar percakapan itu, Sayyidina Abu Bakar Shiddiq RA(1) yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Sayyidina Rasulullah SAW, apakah cukup hanya dengan Cinta?”. Kemudian Sayyidina Rasulullah SAW menjawab, “Syarat yang utama adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu, hati Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya. Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi menjadi Whirling Dervishes.

Lalu tarian ini kembali muncul beberapa abad setelahnya, yang dilakukan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang juga merasakan cinta yang hampir sama kepada gurunya Mawlana Syamsuddin At-tibrizi, atau Syams-i-Tabriz. kemudian tarian ini terus dikembangkan oleh Thariqat Mawlawiyah atau Mevlevi, yang kemudian menjadi seni yang dipetontonkan keseluruh dunia.

Walaupun tarian ini mempunyai makna yang dalam dan esensi spiritual yang tinggi, namun dewasa ini, tarian ini pun sudah kehilangan maknanya, hanya menjadi penghias mata belaka. Tetapi karena sejarah dari tarian ini tidak sembarangan, maka akan selalu indah untuk dilihat. Oleh karena itu kami ingin mencoba menyingkap rahasia dan hakikat yang sebenarnya dari tarian ini.

Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian. Dibuktikan dengan dari sekian banyaknya tradisi dan ajaran-ajaran –yang saat ini sudah mulai dilupakan dan ditinggalkan– salah satunya adalah tarian whirling dervish, tarian yang dilakukan Atas nama Cinta, Dengan Cinta dan Untuk membawa Cinta.

Tarian Whirling Dervish dapat menarik siapa saja baik yang beragama islam atau yang tidak beragama islam. Karena Tarian ini memiliki keindahan putarannya yang dapat menyentuh kalbu lewat sentuhan spiritual yang tersirat di dalamnya. Di zaman sekarang, dimana islam sudah dianggap agama teroris, dan tidak lagi dipercaya sebagai agama pembawa kedamaian yang dibawa oleh Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW. Penyelewengan ini memicu kami untuk menyingkap Hakekat dari agama yang penuh dengan Cinta Kasih ini, lewat berbagai jalan yang mampu membawa kedamaian dalam hati setiap manusia. Seperti islam yang tidak menyebar lewat satu jalan, namun banyak jalan, demikian pula dengan seni yang mengatasnamakan Cinta Illahi.

Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema(dalam bahasa Arab berarti “mendengar”, atau jika diterapkan dalam definisi lebih luas adalah bergerak dalam suka cita sambil mendengarkan nada-nada musik sembari berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam semesta). Di Barat, tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishes” atau para Darwis yang berputar, dan digolongkan sebagai divine dance .

Mevlevi Sema Ceremony juga telah dikukuhkan oleh UNESCO sebagai salah satu karya agung dalam tradisi lisan yang tak ternilai harganya. Rumi danWhirling Dervishes: Adalah satu tarikan nafas , seperti halnya Rumi dan puisi-puisinya. Goethe menyebut Rumi sebagai The greatest mystic poet of the world.


Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes

Tentang ketokohan Rumi , rasanya tak perlu dibahas lagi. Jika pengaruhnya masih demikian luas setelah 800 tahun kepergiannya, manusia ini tentu luar biasa. William Dalrymple menulis bahwa pada saat masyarakat AS dicekam horror Bin Laden, ternyata buku puisi terlaris sepanjang 90-an bukanlah karya-karya penulis besar AS semacam Robert Frost, Robert Lowell, tidak juga karya-karya klasik raksasa Eropa seperti Shakespeare, Homer, Dante; tetapi justru karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi . Sedangkan Rumi sendiri “hanya” menyebut dirinya sebagai :

I am dust on the path of Muhammad, the chosen one..

Saat ini nama Rumi dikenal cukup baik di Barat. Bahkan beberapa komunitas disana telah membentuk semacam perkumpulan Sema, yang bertemu setiap minggu untuk berdiskusi dan menarikan Whirling Dervishes . Komunitas ini terdapat di beberapa Negara Eropa seperti Swiss, Jerman, Belanda, dan AS.

Apakah mereka muslim? Tentu saja ya, karena sebagian besar penari Whirling beragama islam. Komunitas ini menangkap ajaran Rumi atas nama kemanusiaan yang berketuhanan dan beragamakan cinta. Sufisme yang mereka anut menjadi semacam liberal Sufism, bukan dalam konteks ortodoksi & ortopraksi sufisme Islam. Bagi mereka, Rumi adalah sosok yang telah membuka mata hati mereka, bahwa manusia dengan seluruh peradabannya hanyalah setitik debu di hadapan Tuhan.

Senada dengan itu, kalangan Islam liberal juga kerap “mendewakan” Rumisebagai sosok pluralis. Mereka mengikuti petuah para pendekar pluralisme, misalnya John Hick--seorang tokoh pluralisme agama--yang kerap mengutip kata-kata Rumi : “ Lampu-lampu itu berbeda, tapi cahayanya sama, datang dari sumber yang sama…”

Terkadang kata-kata dan argumen Rumi dipakai oleh kalangan Islam liberal untuk menambah hujjah(2) mereka bahwa pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu saja hujjah ini dimaksudkan untuk melemahkan posisi argumen dari mereka yang berseberangan dengan para liberalis.

Sebaliknya, bagi mereka yang agak konservatif (selain pengikut salaf), kerap menuding cara pandang liberalis telah membajak karya Rumi untuk kepentingan ideologis mereka. Rumi dengan semua karyanya, hanya bisa dipahami di atas kerangka Al-Qur'an dan Hadist. Rumi yang telah dilucuti ke-Islam-annya adalah tak lebih dari Kahlil Gibran.

Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh. Lewat samâ' , para dervishes atau darwis melakukan perjalanan mistis spiritual(3) menuju kesempurnaan, untuk meleburkan jiwanya dengan Tuhan(4). Dengan membuang segala ego, menghampiri kebenaran hingga tiba di gerbang kesempurnaan.

Setelahnya, mereka kembali lagi sebagai seorang dengan tingkat kesempurnaan yang meningkat, sehingga mampu menebar cinta kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan tanpa membedakan keyakinan atau ras.

Dalam bukunya yang berjudul Sufism: A Short Introduction , William C. Chittick mengatakan bahwa tujuan samâ' adalah memperkuat dzikir(5) kepada Allah seraya mengobarkan api yang membakar habis segala sesuatu kecuali Dia. Bagi penari samâ' , musik adalah bahasa rahasia, tanda-tanda Tuhan yang bersinar dan dapat didengar. Ketika mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).

Setidaknya ada tiga unsur penting yang menjadi karakteristik samâ': pikiran, hati (lewat ekspresi perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakan kehidupan lewat putaran).

Terdapat rahasia tersembunyi dalam samâ'. Musik dan tari, masing-masing menyimpan muatan spiritual. Musik yang mengiringi merupakan media untuk membangkitkan gairah kalbu untuk mengingat Tuhan, yang bisa mengantarkan manusia ke dalam keadaan dzauk (keadaan dimana manusia merasakan cinta kepada Allah sedemikian besarnya, sehingga mereka ingin segera bertemu dengan Allah), kepada asal mereka sendiri dalam ‘ketiadaan'.

Dari sudut pandang sains, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dibangun dari kumpulan partikel atom. Di dalam atom terdapat elektron yang berputar mengitari intinya. Jika kita kaitkan, sesungguhnya seluruh benda di alam semesta ini dalam keadaan berputar. Hakikatnya manusia berputar karena ada atom di tubuhnya yang berputar menggerakkan sel sehingga darah dapat beredar. Kehidupan manusia pun berputar melewati beberapa fase. Dari tanah berputar melewati berbagai fase hidup, akhirnya kembali lagi menuju tanah. Demikian juga planet-planet berputar mengitari matahari.

Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.

Asal Tarian

1. Kota Turki

Turki atau Konya adalah kota dimana Mawlana Jalaludin Rumi memulai ajaran ajarannya. Dan disinilah Thariqat Mawlaw iyah berkembang. Jalaludin Rumi mendapatkan nama “Rumi” dari kota ini, yang dulunya bernama “Rum” atau “ Rome ”.

Sampai saat ini pun, tarian whirling masih sangat berkembang di Turki. Dan menjadi salah satu nilai sejarah budaya bangsa mereka.

2. Mawlana Jalaludin Rumi

Samâ', tarian sakral yang pertama kali diajarkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), sang penyair-sufi agung asal Persia. Samâ’ adalah upacara atau ritual yang diadakan sebagai pengantar para penari kepada sublimasi antara makhluk dengan Penciptanya. Upacara ini berisi adab-adab yang masing-masing mengandung makna.

Tarian mistis yang penuh simbolisme ini pertama kali menginspirasi Rumi setelah kehilangan guru spiritual yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi. Ia adalah seorang darwis misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh perhatian Rumi, hingga orientasi spiritual Rumi berubah secara dramatis, dari seorang teolog dialektis menjadi seorang penyair-sufi. Kemisteriusan Syams membuat putera Rumi menyepadankannya denganKhidr(6).


Lukisan Rumi & Shalahuddin Faridun Zarkub oleh Omar Faruk Atabek

Dikisahkan di suatu pagi, seorang pandai besi yang juga darwis bernama Shalahuddin Faridun Zarkub menempa besinya. Pukulan itu kontan membuatRumi menari hingga mencapai keadaan ekstase. Lalu secara spontan dari mulut Rumi mengalir ujaran-ujaran mistis dalam bentuk puisi.

Selanjutnya, Shalahuddin dijadikan Rumi sebagai khalifah (wakil) untuk menggantikan posisi Syams, tempat ia mencurahkan gagasan dan perasaannya. Setelah melembaga, tarian ini sering dilakukan Rumi selepas shalat Isya di jalanan kota Konya, diikuti para darwis lainnya. Acara terakhir biasanya ditutup dengan pembacaan ayat suci Al-Quran.

Bagi Rumi menari adalah Cinta. Dan Rumi tak berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai Tuhan. Hingga tiba saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia dipanggil Sang Maha Kuasa dalam keadaan diliputi Cinta Ilahi.

Setelah wafatnya Rumi , tarekat Maulawiyah (beserta ritual samâ'-nya) berlanjut terus di bawah pimpinan Syaikh Husamuddin Hasan bin Muhammad, salah seorang sahabat karibnya, yang juga dijadikan Rumi sebagai khalifah setelah kepergian Shalahuddin. Husamuddin adalah orang yang memberinya dorongan dan inspirasi sehingga lahirlah sebuah karya yang menjadi magnum opus Rumi , yakni Matsnâwî . Kitab ini terdiri dari enam jilid dan berisi 25.000 untaian bait bersajak.

“Jika kau menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana'i atau Mantiq at-Thayr milik Fariduddin Attar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi keliling. Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan digubah untuk mengiringinya”, demikian saran Husamuddin kepada Rumidi sebuah kebun anggur Meram di luar Konya . Bersama Husamuddin lah Matsnâwî tercipta. Sehingga karya monumental ini dikenal pula dengan sebutan Kitab-i Husam (Bukunya Husam).

Terpesona dengan kandungan dari karya tersebut, seorang orientalis Inggris bernama R.A Nicholson –yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji karya Rumi– mengatakan, Matsnâwî adalah sungai besar yang tenang dan dalam, mengalir melalui banyak dataran yang kaya dan beragam menuju samudera tak bertepi. Matsnâwî di mata para pengikut Rumi dianggap sebagai uraian makna batin Al-Quran. Sementara Abdurahman Jami –penyair asal Persia– menyebutnya “Al-Quran dalam bahasa Persia.”


Lukisan Tekke di Istambul pada abad 18

Dan bab ke tiga Matsnâwî berisi tentang kefanaan dalam samâ' . “Tatkala gendang ditabuh, serta merta sebuah rasa ekstase merasuk laksana buih yang meleleh dari debur sang ombak.”, begitu senandung Rumi.

Setelah Husamuddin wafat, tarekat Maulawiyah berlanjut di bawah kepemimpinan putera tertua Rumi, Sultan Walad. Di tangan puteranyalah tarekat ini terorganisir dengan baik, hingga ajaran ayahnya tersebut menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Tarekat Maulawiyah di Barat lebih dikenal dengan sebutan ‘The Whirling Dervishes' (darwis-darwis yang berputar), mengambil nama dari ciri utama tarekat ini. Selain di Eropa, kini tarekat Maulawiyah sudah merambat ke dataran Amerika hingga ke benua Asia.

Sekian abad lamanya pertunjukan samâ' menarik perhatian para pengembara spiritual, hingga lahir catatan-catatan penting tentangnya. Dalam bukunya yang berjudul Islamic Art and Spirituality , Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa samâ' diawali dengan nostalgia tentang Tuhan, berlanjut dengan keterbukaan sedikit demi sedikit terhadap limpahan karunia dari surga, setelah itu mengalami keadaan ekstase ( fana' ), lebur bersama Al-Haqq(7).

Rumi menyebut samâ' sebagai simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang menari. Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang berputar. Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.

Teknik Tarian


Setiap atom menari di darat atau di udara
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan

Rumi


Satu-satunya lukisan Mawlana Jalaludin Rumi

Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup. Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas menghormat.

Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju. Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.

Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat. Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.


Lukisan whirling dervishes di tekke di Konstantinopel pada abad 18

Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.

Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8) masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti, mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.

Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.

Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.

Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh.

Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.

Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.

Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .

Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru tercinta wafat.

Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya, menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru dunia.

Seperti gelombang di atas putaran kepalaku,
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya


Rumi

Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta.

Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama, budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam diri manusia.


Lukisan abad 17 yang menunjukan upacara dervish di India

Dan Rumi telah menterjemahkan itu semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan membagikan cinta itu kepada makhluknya.

Perlu disampaikan, bahwa penjelasan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di Timur, tapi juga di Barat.

Terlepas dari keberatan sebagian ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.



Catatan Kaki:

  1. Sayyidina Abu Bakar RA, adalah salah satu sahabat Rasulallah SAW. Yang merupakan salah satu pemegang rahasia terbesar tentang cintanya Rasulallah SAW.
  2. Hujjah adalah persamaan arti dari acuan.
  3. Misitis Spiritual disini yang dimaksud adalah perjalan untuk mencitai Tuhan dengan benar.
  4. Meleburkan cinta manusia kepada kecintaan terhadap Tuhannya.
  5. Dzikir adalah mengingat Allah, bukan hanya mengucapkan.
  6. Sebagian ulama menyebut Khidr adalah seorang Nabi dan juga ada yang menyebut Awliya Allah yang mempunyai karakteristik yang aneh.
  7. Al-Haqq ialah salah satu nama ALLAH SAW yang artinya Maha Benar.
  8. Ney adalah seruling yang terbuat dari kayu yang berbeda dengan seruling kayu lainnya. Neyy juga adalah seruling khas asal Turki.