22 Juli 2011

Sedikit Mengenai Kelisanan dan Literasi versi Walter J Ong

Walter J Ong membahas soal kelisaan dalam bukunya “Orality and Literacy: Technologizing of the Word” (2005). Namun ia tidak hanya membedakan kelisanan dan penulisan (keberaksaraan) secara sederhana; bahwa yang kelisanan semata tidak tertulis sementara penulisan adalah segala bentuk yang tertulis. Pembedaan ini sering dilakukan para sarjana yang focus pada ideologi. Mereka yang sangat memperhatikan ‘teks’, berasumsi bahwa verbalisasi dalam bentuk oral pada esensinya sama dengan verbalisasi dalam bentuk tertulis, bedanya yang oral adalah tidak tertulis. Pembedaan seperti itu pada akhirnya membuat kelisanan dimaknai sebagai ‘unskillful’ dan tidak terlalu berharga untuk dipelajari (Ong. 2005 (2002); 10).

Untuk memahami konsep orality versi Ong, orang harus keluar dari kategori sederhana tersebut, -dan bahkan membalik keyakinannya dan turut pada gagasan utama Ong yakni; bahasa adalah sebuah fenomena lisan dan bukan tulisan:
“It would seem inescapably obvious that language is an oral phenomenon. Human beings communicate in countless ways, making use of all their senses, touch, taste, smell, and especially sight, as well as hearing (Ong 1967b, pp. 1–9). Some non-oral communication is exceedingly rich —gesture, for example. Yet in a deep sense language, articulated sound, is paramount. Not only communication, but thought itself relates in an altogether special way to sound…”. (ibid)

Lalu apa arti penulisan (writing) bagi bahasa? Menurutnya, penulisan tidak dapat menggantikan kelisanan (orality). Dan mengikuti gagasan Jurij Lotman, ia menyebut penulisan sebagai “a secondary modeling system, dependent on a prior primary system, spoken language” ((Ong. 2005 (2002);8). Jika penulisan mengubah kata-kata menjadi tulisan, maka penulisan selalu meninggalkan jejak sementara kelisanan seakan-akan tidak meninggalkan jejak.

Jika kelisanan tak bisa diganti dengan bentuk apapun dari penulisan (written/print) dan keduanya adalah dua system yang saling dependent maka, menurut Ong, kelisanan dari sebuah budaya tidak akan pernah disentuh, dirusak atau dirubah oleh penulisan (writing/print). (Ong. 2005 (2002); 10).

Karakteristik pertama dari orality adalah Sound (suara). Berbeda dengan tulisan yang dapat meninggalkan jejak. Suara, meski dapat diingat tetapi tidak dapat dicari kemanapun. Suara tidak mempunyai focus dan tidak punya jejak. Atau dalam bahasa Ong; “They have no focus and no trace (a visual metaphor, showing dependency on writing), not even a trajectory. They are occurrences, events (Ong. 2005 (2002); 31)”.

Tidak ada cara untuk menghentikan suara dan memiliki suara. Kita dapat memberhentikan gerakan gambar dan kemudian memilih satu gambar dalam sebuah layar. Tetapi jika kita menghentikan gerakan suara, kita tidak memiliki sesuatu –hanya kebisuan, atau tidak ada suara sama sekali.
Karena berbasis pada suara, dan tanpa teks. Suara adalah tanpa jejak, dan karakteristik kedua orality muncul dari masalah bagaimana kemudian me-recall “rekaman suara” atau bagaimana suara menjadi sesuatu yang “organized material”?

Ong yang meminjam Havelock menjawab : “The only answer is: Think memorable thoughts. In a primary oral culture, to solve effectively the problem of retaining and retrieving carefully articulated thought, you have to do your thinking in mnemonic patterns, shaped for ready oral recurrence” (Ong. 2005 (2002); 33).

Ketika tidak ada jejak, sebab tidak ada teks, kelisanan mengembangkan pikiran dengan pola mnemonic; segala teknik yang bermaksud mengembalikan memori.. Biasanya teknik mnemonic mempunyai formula ekspresi tertentu misalnya ritmis (ada irama), polanya seimbang, banyak repetisi dan sebagainya. Dongeng/cerita adalah salah satu bentuk mnemonic, tetapi dongeng itu pada akhirnya menempatkan kita pada cerita yang lain lagi, dan cerita lebih besar dan akhirnya pada keseluruhan network budaya(Lihat http://www.jpwalter.com/machina/?p=5).

Tetapi yang harus digarisbawahi bahwa masalah mnemonic dan formula ekspresi ini pada akhirnya tidak hanya berhubungan dengan ingatan, tetapi juga pemikian (thought) dalam budaya kelisanan. Jadi patut dicatat disini, bahwa Ong sedang memikirkan masalah peradaban. Kesadaran terhadap mnemonic mempengaruhi pemikiran dan cara berekspresi masyarakat kelisanan. Misalnya adanya dongeng, mitos (keagungan peristiwa) dan yang sering dijumpai di sastra Indonesia adalah; rima, sebab rima adalah nada. Dalam kelisanan bukan logika yang dominan tetapi rasa. Bukan kebenaran interpretasi tetapi keindahan (misalnya praktik penguasaan kitab suci muslim di Indonesia, dalam beberapa hal bukanlah pada kemampuan interpretasinya melainkan kemampuan membacanya).

Contoh penting dalam tubrukannya kelisanan dan tulisan di Indonesa adalah upaya peradaban jawa mengenalkan huruf/tulisan jawa modern (hasil metamorphosis huruf pallawa). Huruf mereka selalu punya vocal (suara); (honocoroko, dotosowolo, podhojoyono, mogobothongo) tidak ada l, k, m seperti alphabet latin. Basis aksaranya selalu meminta vocal/suara. Bahkan untuk mengiringi pelajaran soal huruf (literacy) aksara jawa itu, mereka mengiringinya dengan cerita lisan tentang Ajisaka (orality). Barangkali, orang jawa malah lebih mengingat ceritanya ketimbang hurufnya. Barangkali…

*) sekadar share materi seorang teman pada sebuah seminar di Universitas Mercu Buana, Meruya Jakarta. juga dipublish di blog ini. Semoga bermanfaat.

18 Juli 2011

BAIT TERAKHIR SYAIR JAYABAYA

JAYABAYA adalah salah seorang raja Kediri (1130-57), penerus Airlangga yang paling banyak dikenang, walaupun tentang masa pemerintahannya sendiri tidak banyak diketahui oleh sejarah. Ketika itulah Empu Sedhah dan Empu Panuluh diperintahnya menyadur Mahabharata Sanskerta ke dalam kakawin Jawa Kuno Bhratayuddha. Empu Panuluh juga menggubah kakawin Gatotkacasraya dan Hariwamsa, sebagai puja-puji persembahannya pada junjungannya Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmeswara Madhusuddhama Wartamindita itu.

Jaman Kediri, khususnya semasa Kameswara (1115-30) dan Jayabaya (1130-57), memang merupakan jaman mas bagi perkembangan sastra Jawa Kuno. Karena itulah tradisi Jawa mengatakan, bahwa Raja Jayabaya telah meramalkan tentang masa keruntuhan kerajaannya sendiri, dan sekaligus tentang kebangkitan dan kejayaannya kembali di kelak kemudian hari. Ramalan tentang jatuh-bangunnya “Negeri Jawa” atau Nusantara.*

kitab Jayabaya..

BAIT TERAKHIR RAMALAN JAYA BAYA

140.
polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
endi sing bener endi sing sejati
para tapa padha ora wani
padha wedi ngajarake piwulang adi
salah-salah anemani pati


tingkah laku orang Jawa seperti gabah ditampi
mana yang benar mana yang asli
para pertapa semua tak berani
takut menyampaikan ajaran benar
salah-salah dapat menemui ajal

141.
banjir bandang ana ngendi-endi
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti


banjir bandang dimana-mana
gunung meletus tidak dinyana-nyana, tidak ada isyarat dahulu
sangat benci terhadap pendeta yang bertapa, tanpa makan dan tidur
karena takut bakal terbongkar rahasianya siapa anda sebenarnya

142.
pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha


sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

143.
ratu ora netepi janji
musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan
dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu


raja tidak menepati janji
kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya
banyak rumah di atas kuda
orang makan sesamanya
kayu gelondongan dan besi juga dimakan
katanya enak serasa kue bolu
malam hari semua tak bisa tidur

144.
sing edan padha bisa dandan
sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong


yang gila dapat berdandan
yang membangkang semua dapat
membangun rumah, gedung-gedung megah

145.
wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes
akeh wong mati kaliren gisining panganan
akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara

orang berdagang barang makin laris tapi hartanya makin habis
banyak orang mati kelaparan di samping makanan
banyak orang berharta namun hidupnya sengsara


146.
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi
sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe


orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil
yang tidak dapat mencuri dibenci
yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik
orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya
banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab

147.
bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret
sakilan bumi dipajeki
wong wadon nganggo panganggo lanang
iku pertandhane yen bakal nemoni
wolak-walike zaman


bumi semakin lama semakin sempit
sejengkal tanah kena pajak
wanita memakai pakaian laki-laki
itu pertanda bakal terjadinya
zaman gonjang-ganjing

148.
akeh wong janji ora ditepati
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe
manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat-angkat
barang suci dibenci


banyak orang berjanji diingkari
banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu
tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja
barang suci dibenci

149.
akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale


banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya

150.
ukuman ratu ora adil
akeh pangkat jahat jahil
kelakuan padha ganjil
sing apik padha kepencil
akarya apik manungsa isin
luwih utama ngapusi


hukuman raja tidak adil
banyak yang berpangkat, jahat dan jahil
tingkah lakunya semua ganjil
yang baik terkucil
berbuat baik manusia malah malu
lebih mengutamakan menipu

151.
wanita nglamar pria
isih bayi padha mbayi
sing pria padha ngasorake drajate dhewe


wanita melamar pria
masih muda sudah beranak
kaum pria merendahkan derajatnya sendiri


-----------
Bait 152 sampai dengan 156 TIDAK ADA (hilang dan rusak???)
---------------


157.
wong golek pangan pindha gabah den interi
sing kebat kliwat, sing kasep kepleset
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati
nanging sing ngawur padha makmur
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati


tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi
yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset
yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit
yang angkuh menengadah, yang takut malah mati
namun yang ngawur malah makmur
yang berhati-hati mengeluh setengah mati

158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring
melu Jawa sing padha eling
sing tan eling miling-miling
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding
eling mulih padha manjing
akeh wong injir, akeh centhil
sing eman ora keduman
sing keduman ora eman


cina berlindung karena dilempari lari terbirit-birit
ikut orang Jawa yang sadar
yang tidak sadar was-was
berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh
yang tetap tinggal dibenci
banyak orang malas, banyak yang genit
yang sayang tidak kebagian
yang dapat bagian tidak sayang

159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
jinejer wolak-waliking zaman
wong nyilih mbalekake,
wong utang mbayar
utang nyawa bayar nyawa
utang wirang nyaur wirang


selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
(sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu)
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Batara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
tanda datangnya perubahan zaman
orang pinjam mengembalikan,
orang berhutang membayar
hutang nyawa bayar nyawa
hutang malu dibayar malu

160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener
lawase pitung bengi,
parak esuk bener ilange
bethara surya njumedhul
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur
iku tandane putra Bethara Indra wus katon
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa


sebelumnya ada pertanda bintang pari
panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur
lamanya tujuh malam
hilangnya menjelang pagi sekali
bersama munculnya Batara Surya
bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut
itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak
datang di bumi untuk membantu orang Jawa

161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan
wetane bengawan banyu
andhedukuh pindha Raden Gatotkaca
arupa pagupon dara tundha tiga
kaya manungsa angleledha


asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur
sebelah timurnya bengawan
berumah seperti Raden Gatotkaca
berupa rumah merpati susun tiga
seperti manusia yang menggoda

162.
akeh wong dicakot lemut mati
akeh wong dicakot semut sirna
akeh swara aneh tanpa rupa
bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis
tan kasat mata, tan arupa
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji


banyak orang digigit nyamuk,
mati banyak orang digigit semut, mati
banyak suara aneh tanpa rupa
pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar
tak kelihatan, tak berbentuk
yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat

163.
apeparap pangeraning prang
tan pokro anggoning nyandhang
ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang
sing padha nyembah reca ndhaplang,
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang


bergelar pangeran perang
kelihatan berpakaian kurang pantas
namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak
yang menyembah arca terlentang
cina ingat suhu-suhunya dan memperoleh perintah, lalu melompat ketakutan

164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho
ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong


putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu
yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
memotong tanah Jawa kedua kali
mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong

165.
pendhak Sura nguntapa kumara
kang wus katon nembus dosane
kadhepake ngarsaning sang kuasa
isih timur kaceluk wong tuwa
paringane Gatotkaca sayuta


tiap bulan Sura sambutlah kumara
yang sudah tampak menebus dosa
dihadapan sang Maha Kuasa
masih muda sudah dipanggil orang tua
warisannya Gatotkaca sejuta

166.
idune idu geni
sabdane malati
sing mbregendhul mesti mati
ora tuwo, enom padha dene bayi
wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada
garis sabda ora gentalan dina,
beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira
tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa
nanging inung pilih-pilih sapa


ludahnya ludah api
sabdanya sakti (terbukti)
yang membantah pasti mati
orang tua, muda maupun bayi
orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi
garis sabdanya tidak akan lama
beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya
tidak mau dihormati orang se tanah Jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja

167.
waskita pindha dewa
bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira
pindha lahir bareng sadina
ora bisa diapusi marga bisa maca ati
wasis, wegig, waskita,
ngerti sakdurunge winarah
bisa pirsa mbah-mbahira
angawuningani jantraning zaman Jawa
ngerti garise siji-sijining umat
Tan kewran sasuruping zaman


pandai meramal seperti dewa
dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda
seolah-olah lahir di waktu yang sama
tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati
bijak, cermat dan sakti
mengerti sebelum sesuatu terjadi
mengetahui leluhur anda
memahami putaran roda zaman Jawa
mengerti garis hidup setiap umat
tidak khawatir tertelan zaman

168.
mula den upadinen sinatriya iku
wus tan abapa, tan bibi, lola
awus aputus weda Jawa
mung angandelake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda


oleh sebab itu carilah satria itu
yatim piatu, tak bersanak saudara
sudah lulus weda Jawa
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan

169.
sirik den wenehi
ati malati bisa kesiku
senenge anggodha anjejaluk cara nistha
ngertiyo yen iku coba
aja kaino
ana beja-bejane sing den pundhuti
ateges jantrane kaemong sira sebrayat


pantang bila diberi
hati mati dapat terkena kutukan
senang menggoda dan minta secara nista
ketahuilah bahwa itu hanya ujian
jangan dihina
ada keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda sekeluarga

170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang


di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang

171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu


jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan masih kuasa mengusir setan
turunnya air brajamusti pecah memercik
hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk
tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati,
jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha
iku hiya pinaringaning dewa


inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha
itulah pemberian dewa

173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti


menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur
segalanya tampak terang benderang
tak ada yang mengeluh kekurangan
itulah tanda zaman kalabendu telah usai
berganti zaman penuh kemuliaan
memperkokoh tatanan jagad raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi
JAYABAYA adalah salah seorang raja Kediri (1130-57), penerus Airlangga yang paling banyak dikenang, walaupun tentang masa pemerintahannya sendiri tidak banyak diketahui oleh sejarah. Ketika itulah Empu Sedhah dan Empu Panuluh diperintahnya menyadur Mahabharata Sanskerta ke dalam kakawin Jawa Kuno Bhratayuddha. Empu Panuluh juga menggubah kakawin Gatotkacasraya dan Hariwamsa, sebagai puja-puji persembahannya pada junjungannya Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmeswara Madhusuddhama Wartamindita itu.

Jaman Kediri, khususnya semasa Kameswara (1115-30) dan Jayabaya (1130-57), memang merupakan jaman mas bagi perkembangan sastra Jawa Kuno. Karena itulah tradisi Jawa mengatakan, bahwa Raja Jayabaya telah meramalkan tentang masa keruntuhan kerajaannya sendiri, dan sekaligus tentang kebangkitan dan kejayaannya kembali di kelak kemudian hari. Ramalan tentang jatuh-bangunnya “Negeri Jawa” atau Nusantara.*

kitab Jayabaya..

BAIT TERAKHIR RAMALAN JAYA BAYA

140.
polahe wong Jawa kaya gabah diinteri
endi sing bener endi sing sejati
para tapa padha ora wani
padha wedi ngajarake piwulang adi
salah-salah anemani pati


tingkah laku orang Jawa seperti gabah ditampi
mana yang benar mana yang asli
para pertapa semua tak berani
takut menyampaikan ajaran benar
salah-salah dapat menemui ajal

141.
banjir bandang ana ngendi-endi
gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni
gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni
marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti


banjir bandang dimana-mana
gunung meletus tidak dinyana-nyana, tidak ada isyarat dahulu
sangat benci terhadap pendeta yang bertapa, tanpa makan dan tidur
karena takut bakal terbongkar rahasianya siapa anda sebenarnya

142.
pancen wolak-waliking jaman
amenangi jaman edan
ora edan ora kumanan
sing waras padha nggagas
wong tani padha ditaleni
wong dora padha ura-ura
beja-bejane sing lali,
isih beja kang eling lan waspadha


sungguh zaman gonjang-ganjing
menyaksikan zaman gila
tidak ikut gila tidak dapat bagian
yang sehat pada olah pikir
para petani dibelenggu
para pembohong bersuka ria
beruntunglah bagi yang lupa,
masih beruntung yang ingat dan waspada

143.
ratu ora netepi janji
musna kuwasa lan prabawane
akeh omah ndhuwur kuda
wong padha mangan wong
kayu gligan lan wesi hiya padha doyan
dirasa enak kaya roti bolu
yen wengi padha ora bisa turu


raja tidak menepati janji
kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya
banyak rumah di atas kuda
orang makan sesamanya
kayu gelondongan dan besi juga dimakan
katanya enak serasa kue bolu
malam hari semua tak bisa tidur

144.
sing edan padha bisa dandan
sing ambangkang padha bisa
nggalang omah gedong magrong-magrong


yang gila dapat berdandan
yang membangkang semua dapat
membangun rumah, gedung-gedung megah

145.
wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes
akeh wong mati kaliren gisining panganan
akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara

orang berdagang barang makin laris tapi hartanya makin habis
banyak orang mati kelaparan di samping makanan
banyak orang berharta namun hidupnya sengsara


146.
wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil
sing ora abisa maling digethingi
sing pinter duraka dadi kanca
wong bener sangsaya thenger-thenger
wong salah sangsaya bungah
akeh bandha musna tan karuan larine
akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe


orang waras dan adil hidupnya memprihatinkan dan terkucil
yang tidak dapat mencuri dibenci
yang pintar curang jadi teman
orang jujur semakin tak berkutik
orang salah makin pongah
banyak harta musnah tak jelas larinya
banyak pangkat dan kedudukan lepas tanpa sebab

147.
bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret
sakilan bumi dipajeki
wong wadon nganggo panganggo lanang
iku pertandhane yen bakal nemoni
wolak-walike zaman


bumi semakin lama semakin sempit
sejengkal tanah kena pajak
wanita memakai pakaian laki-laki
itu pertanda bakal terjadinya
zaman gonjang-ganjing

148.
akeh wong janji ora ditepati
akeh wong nglanggar sumpahe dhewe
manungsa padha seneng ngalap,
tan anindakake hukuming Allah
barang jahat diangkat-angkat
barang suci dibenci


banyak orang berjanji diingkari
banyak orang melanggar sumpahnya sendiri
manusia senang menipu
tidak melaksanakan hukum Allah
barang jahat dipuja-puja
barang suci dibenci

149.
akeh wong ngutamakake royal
lali kamanungsane, lali kebecikane
lali sanak lali kadang
akeh bapa lali anak
akeh anak mundhung biyung
sedulur padha cidra
keluarga padha curiga
kanca dadi mungsuh
manungsa lali asale


banyak orang hamburkan uang
lupa kemanusiaan, lupa kebaikan
lupa sanak saudara
banyak ayah lupa anaknya
banyak anak mengusir ibunya
antar saudara saling berbohong
antar keluarga saling mencurigai
kawan menjadi musuh
manusia lupa akan asal-usulnya

150.
ukuman ratu ora adil
akeh pangkat jahat jahil
kelakuan padha ganjil
sing apik padha kepencil
akarya apik manungsa isin
luwih utama ngapusi


hukuman raja tidak adil
banyak yang berpangkat, jahat dan jahil
tingkah lakunya semua ganjil
yang baik terkucil
berbuat baik manusia malah malu
lebih mengutamakan menipu

151.
wanita nglamar pria
isih bayi padha mbayi
sing pria padha ngasorake drajate dhewe


wanita melamar pria
masih muda sudah beranak
kaum pria merendahkan derajatnya sendiri


-----------
Bait 152 sampai dengan 156 TIDAK ADA (hilang dan rusak???)
---------------


157.
wong golek pangan pindha gabah den interi
sing kebat kliwat, sing kasep kepleset
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik
sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati
nanging sing ngawur padha makmur
sing ngati-ati padha sambat kepati-pati


tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi
yang cepat mendapatkan, yang lambat terpeleset
yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit
yang angkuh menengadah, yang takut malah mati
namun yang ngawur malah makmur
yang berhati-hati mengeluh setengah mati

158.
cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring
melu Jawa sing padha eling
sing tan eling miling-miling
mlayu-mlayu kaya maling kena tuding
eling mulih padha manjing
akeh wong injir, akeh centhil
sing eman ora keduman
sing keduman ora eman


cina berlindung karena dilempari lari terbirit-birit
ikut orang Jawa yang sadar
yang tidak sadar was-was
berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh
yang tetap tinggal dibenci
banyak orang malas, banyak yang genit
yang sayang tidak kebagian
yang dapat bagian tidak sayang

159.
selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun
sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah
apengawak manungsa
apasurya padha bethara Kresna
awatak Baladewa
agegaman trisula wedha
jinejer wolak-waliking zaman
wong nyilih mbalekake,
wong utang mbayar
utang nyawa bayar nyawa
utang wirang nyaur wirang


selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun
(sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu)
akan ada dewa tampil
berbadan manusia
berparas seperti Batara Kresna
berwatak seperti Baladewa
bersenjata trisula wedha
tanda datangnya perubahan zaman
orang pinjam mengembalikan,
orang berhutang membayar
hutang nyawa bayar nyawa
hutang malu dibayar malu

160.
sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa
ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener
lawase pitung bengi,
parak esuk bener ilange
bethara surya njumedhul
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur
iku tandane putra Bethara Indra wus katon
tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa


sebelumnya ada pertanda bintang pari
panjang sekali tepat di arah Selatan menuju Timur
lamanya tujuh malam
hilangnya menjelang pagi sekali
bersama munculnya Batara Surya
bebarengan dengan hilangnya kesengsaraan manusia yang berlarut-larut
itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak
datang di bumi untuk membantu orang Jawa

161.
dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan
wetane bengawan banyu
andhedukuh pindha Raden Gatotkaca
arupa pagupon dara tundha tiga
kaya manungsa angleledha


asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur
sebelah timurnya bengawan
berumah seperti Raden Gatotkaca
berupa rumah merpati susun tiga
seperti manusia yang menggoda

162.
akeh wong dicakot lemut mati
akeh wong dicakot semut sirna
akeh swara aneh tanpa rupa
bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis
tan kasat mata, tan arupa
sing madhegani putrane Bethara Indra
agegaman trisula wedha
momongane padha dadi nayaka perang
perange tanpa bala
sakti mandraguna tanpa aji-aji


banyak orang digigit nyamuk,
mati banyak orang digigit semut, mati
banyak suara aneh tanpa rupa
pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar
tak kelihatan, tak berbentuk
yang memimpin adalah putra Batara Indra,
bersenjatakan trisula wedha
para asuhannya menjadi perwira perang
jika berperang tanpa pasukan
sakti mandraguna tanpa azimat

163.
apeparap pangeraning prang
tan pokro anggoning nyandhang
ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang
sing padha nyembah reca ndhaplang,
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang


bergelar pangeran perang
kelihatan berpakaian kurang pantas
namun dapat mengatasi keruwetan orang banyak
yang menyembah arca terlentang
cina ingat suhu-suhunya dan memperoleh perintah, lalu melompat ketakutan

164.
putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu
hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti
mumpuni sakabehing laku
nugel tanah Jawa kaping pindho
ngerahake jin setan
kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo
kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda
landhepe triniji suci
bener, jejeg, jujur
kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong


putra kesayangan almarhum yang bermukim di Gunung Lawu
yaitu Kyai Batara Mukti, ya Krisna, ya Herumukti
menguasai seluruh ajaran (ngelmu)
memotong tanah Jawa kedua kali
mengerahkan jin dan setan
seluruh makhluk halus berada dibawah perintahnya bersatu padu
membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda
tajamnya tritunggal nan suci
benar, lurus, jujur
didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong

165.
pendhak Sura nguntapa kumara
kang wus katon nembus dosane
kadhepake ngarsaning sang kuasa
isih timur kaceluk wong tuwa
paringane Gatotkaca sayuta


tiap bulan Sura sambutlah kumara
yang sudah tampak menebus dosa
dihadapan sang Maha Kuasa
masih muda sudah dipanggil orang tua
warisannya Gatotkaca sejuta

166.
idune idu geni
sabdane malati
sing mbregendhul mesti mati
ora tuwo, enom padha dene bayi
wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada
garis sabda ora gentalan dina,
beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira
tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa
nanging inung pilih-pilih sapa


ludahnya ludah api
sabdanya sakti (terbukti)
yang membantah pasti mati
orang tua, muda maupun bayi
orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi
garis sabdanya tidak akan lama
beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta menaati sabdanya
tidak mau dihormati orang se tanah Jawa
tetapi hanya memilih beberapa saja

167.
waskita pindha dewa
bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira
pindha lahir bareng sadina
ora bisa diapusi marga bisa maca ati
wasis, wegig, waskita,
ngerti sakdurunge winarah
bisa pirsa mbah-mbahira
angawuningani jantraning zaman Jawa
ngerti garise siji-sijining umat
Tan kewran sasuruping zaman


pandai meramal seperti dewa
dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda
seolah-olah lahir di waktu yang sama
tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati
bijak, cermat dan sakti
mengerti sebelum sesuatu terjadi
mengetahui leluhur anda
memahami putaran roda zaman Jawa
mengerti garis hidup setiap umat
tidak khawatir tertelan zaman

168.
mula den upadinen sinatriya iku
wus tan abapa, tan bibi, lola
awus aputus weda Jawa
mung angandelake trisula
landheping trisula pucuk
gegawe pati utawa utang nyawa
sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan
sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda


oleh sebab itu carilah satria itu
yatim piatu, tak bersanak saudara
sudah lulus weda Jawa
hanya berpedoman trisula
ujung trisulanya sangat tajam
membawa maut atau utang nyawa
yang tengah pantang berbuat merugikan orang lain
yang di kiri dan kanan menolak pencurian dan kejahatan

169.
sirik den wenehi
ati malati bisa kesiku
senenge anggodha anjejaluk cara nistha
ngertiyo yen iku coba
aja kaino
ana beja-bejane sing den pundhuti
ateges jantrane kaemong sira sebrayat


pantang bila diberi
hati mati dapat terkena kutukan
senang menggoda dan minta secara nista
ketahuilah bahwa itu hanya ujian
jangan dihina
ada keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda sekeluarga

170.
ing ngarsa Begawan
dudu pandhita sinebut pandhita
dudu dewa sinebut dewa
kaya dene manungsa
dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh
gawang-gawang terang ndrandhang


di hadapan Begawan
bukan pendeta disebut pendeta
bukan dewa disebut dewa
namun manusia biasa
bukan kekuatan lain diterangkan jelas
bayang-bayang menjadi terang benderang

171.
aja gumun, aja ngungun
hiya iku putrane Bethara Indra
kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan
tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh
hiya siji iki kang bisa paring pituduh
marang jarwane jangka kalaningsun
tan kena den apusi
marga bisa manjing jroning ati
ana manungso kaiden ketemu
uga ana jalma sing durung mangsane
aja sirik aja gela
iku dudu wektunira
nganggo simbol ratu tanpa makutha
mula sing menangi enggala den leluri
aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu
beja-bejane anak putu


jangan heran, jangan bingung
itulah putranya Batara Indra
yang sulung dan masih kuasa mengusir setan
turunnya air brajamusti pecah memercik
hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk
tentang arti dan makna ramalan saya
tidak bisa ditipu
karena dapat masuk ke dalam hati
ada manusia yang bisa bertemu
tapi ada manusia yang belum saatnya
jangan iri dan kecewa
itu bukan waktu anda
memakai lambang ratu tanpa mahkota
sebab itu yang menjumpai segeralah menghormati,
jangan sampai terputus, menghadaplah dengan patuh
keberuntungan ada di anak cucu

172.
iki dalan kanggo sing eling lan waspada
ing zaman kalabendu Jawa
aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa
cures ludhes saka braja jelma kumara
aja-aja kleru pandhita samusana
larinen pandhita asenjata trisula wedha
iku hiya pinaringaning dewa


inilah jalan bagi yang ingat dan waspada
pada zaman kalabendu Jawa
jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa
yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga
jangan keliru mencari dewa
carilah dewa bersenjata trisula wedha
itulah pemberian dewa

173.
nglurug tanpa bala
yen menang tan ngasorake liyan
para kawula padha suka-suka
marga adiling pangeran wus teka
ratune nyembah kawula
angagem trisula wedha
para pandhita hiya padha muja
hiya iku momongane kaki Sabdopalon
sing wis adu wirang nanging kondhang
genaha kacetha kanthi njingglang
nora ana wong ngresula kurang
hiya iku tandane kalabendu wis minger
centi wektu jejering kalamukti
andayani indering jagad raya
padha asung bhekti


menyerang tanpa pasukan
bila menang tak menghina yang lain
rakyat bersuka ria
karena keadilan Yang Kuasa telah tiba
raja menyembah rakyat
bersenjatakan trisula wedha
para pendeta juga pada memuja
itulah asuhannya Sabdopalon
yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur
segalanya tampak terang benderang
tak ada yang mengeluh kekurangan
itulah tanda zaman kalabendu telah usai
berganti zaman penuh kemuliaan
memperkokoh tatanan jagad raya
semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi

15 Juli 2011

Musa dan penggembala


Musa melihat seorang penggembala di jalan,
Katanya: "Duhai yang memilih orang
yang Dikau kehendaki:
Di mana Dikau, supaya aku jadi hamba-Mu,
Supaya aku memperbaiki baju jubah-Mu
dan menyisir rambut-Mu,
Supaya aku cuci pakaian-Mu, dan membunuh kutu-Mu,
Membawakan untuk-Mu susu, Duhai yang Mahatinggi!

Mencium tangan indah-Mu, memijit kaki-Mu,
Supaya aku bersihkan ruang kecil-Mu
pada saat akan tidur!
Kukurbankan semua kambingku untuk-Mu
Yang kurindukan dan memenuhi pikiranku,
dengan penuh cinta!,, (M Il l70ff .)

Karena bingung, Musa bertanya kepada si penggembala mengenai siapa yang disapanya. Dan ketika laki-laki miskin itu menjawab bahwa yang diajak bicara itu Tuhan, Musa menyuruhnya menyumpal mulutnya dengan kapas lalu pergi.

Namun kemudian Tuhan menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya yang keras itu bahwa Dia mengutusnya bukan untuk memecah-belah orang, tetapi untuk
mempersatukan mereka.
Nabi harus menghormati cara beribadah setiap orang, sebab Dia, Tuhan, mengerti (perkataan) anak yang gagap sebagaimana seorang ibu memahaminya. Dan sesungguhnya kata-kata sederhana ini yang keluar dari hati lebih disukai dibanding
formula-formula rumit yang digunakan nabi atau ulama. Akhirnya, semua orang berhak menyapa Tuhannya dengan bahasanya sendiri, sebab

Orang Sindhis suka ungkapan Sind,
Orang Hindi suka ungkapan Hind,

(Maulana Jalaluddin Rumi)

12 Juli 2011

RAJA ALI HAJI, ULIL ALBAB DI PERSIMPANGAN ZAMAN

RAJA ALI HAJI, ULIL ALBAB

DI PERSIMPANGAN ZAMAN

Oleh Abdul Hadi W. M.

Raja Ali Haji sebenarnya bukan nama asing dalam sejarah kesusastraan Melayu Nusantara. Karyanya Gurindam 12 dahulu begitu dikenal oleh pelajar-pelajar sekolah menengah di Indonesia dan Malaysia. Baru dua tiga dekade terakhir namanya mulai menghilang dari buku pelajaran sastra. Sudah sepatutnya kepengarangan tokoh Ini diapresiasikan kembali kepada generasi muda bangsa Indonesia, mengingat jasanya yang sangat besar bukan saja bagi perkembangan sastra dan bahasa Indonesia, tetapi juga terhadap pemikiran keagamaan dan tradisi intelektual Melayu. Seperti banyak cendekiawan Melayu sebelumnya, misalnya Hamzah Fansuri, Abdul Rauf al-Singkili, Arsyad al-Banjari dan Abdul Samad al-Falimbangi; Raja Ali Haji adalah seorang cendekiawan yg sekaligus juga sastrawan, ulama dan ahli tasawuf terkemuka pada zamannya. Kecuali itu Raja Ali Haji juga seorang pakar bahasa, sejarawan dan ahli dalam bidang politik dan pemerintahan. Dalam tradisi Islam tokoh sepertinya dapat disebut sebagai Ulil Albab, yaitu seorang ilmuwan dan cendekiawan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang diperlukan pada zamannya dan memiliki wawasan luas di bidang keagamaan, intelektual, seni, dan kebudayaan.

Ciri seorang ulil albab ialah corak pemikirannya yang kosmopolitan. Sekalipun demikian apa yang disampaikan dalam karya-karyanya berpijak pada kenyataan yang ada dalam masyarakat dan sejarah budaya masyarakatnya. Di Dunia Melayu Nusantara, ciri kosmopolitan dari pemikiran seorang ulil albab itu, ikut dibentuk oleh sejarah perkembangan agama Islam. Pusat-pusat kebudayaan dan peradaban Islam di dunia Melayu sejak abad ke-13 M tumbuh dari kota-kota dagang yang pelabuhannya ramai dikunjungi kapal-kapal asing karena letak kota-kota itu sangat strategis, yaitu di Selat Melaka, yang merupakan tempat persinggahan dan laluan utama pelayaran internasonal yang menghubungkan Timur Tengah, Afrika, Eropa, Persia dan India denganAsia Tenggara dan Timur Jauh, khususnya Indocina dan Cina. Samudra Pasai, Malaka, Aceh Darussalam dan Palembang, yang merupakan pendahulu Johor dan Riau, adalah pusat-pusat kebudayaan dan peradaban Islam awal yang semuanya terletak di Selat Malaka.

Penduduk kota-kota di pesisir Sumatra dan Semenanjung Malaya ini tidak hanya berinteraksi dengan para pedagang dan pelaut asing, tetapi juga dengan cendikiawan, ulama, tabib, sastrawan, penyebar agama, guru tariqat dan musafir dari mancanegara yang datang dengan bermacam tujuan mengikuti pelayaran kapal-kapal dagang itu. Semua itu memungkinkan tumbuhnya tradisi pemikiran yang bercorak kosmopolitan. Ini tampak sekali dalam pemikiran dan karya-karya Raja Ali Haji. Apa relevansi dan arti sumbangan Raja Ali Haji melalui pemikiran dan karya-karyanya bagi kita sekarang? Apa hikmah dan pelajaran yang dapat kita teladani dari kecendikiawannya?

Pengarang dan Zamannya

Raja Ali Haji (1808-1873 M) bukan sekadar produk dari zamannya. Sebagai seorang ulil albab ia adalah hati nurani dari dan suri tauladan dalam zamannya. Karya-karyanya ditulis sebagai tanggapan dan jawaban yang kreaif dari seorang cendikiawan yang sangat prihatin terhadap kehidupan bangsanya dan krisis yang mulai melanda kebudayaannya.

Sejak permulaan abad ke-19 M masyarakat Melayu di Riau menyaksikan berbagai perubahan sosial politik dan ekonomi yang menggerogoti kebudayaannya. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang memberi pertanda mengenai hal ini. Pertama, cengkraman dan campur tangan kolonial Eropa (Belanda dan Inggris) semakin kuat dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi bangsa-bangsa Nusantara, demikian juga dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Hal ini diikuti dengan kian intensifnya interaksi kebudayaan tradisional Melayu dengan kebudayaan Barat. Kedua, peristiwa ini diikuti dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam yang mulai menampakkan pengaruhnya pada pertengahan abad ke-19 M.di Indonesia, merupakan tanah jajahan Belanda, bahasa Melayu mulai digunakan lagi secara intensif sebagai lingua franca untuk keperluan perdagangan. Pemerintah kolonial juga menggunakan bahasa ini sebagai bahasa resmi pemerintahan.

Tanda-tanda kemorosotan mutu bahasa Melayu mulai nampak dan ini sudah barang tentu sangat

memprihatinkan masyarakat asli pendukung bahasa Melayu. Usaha yang dilakukan oleh pemimpin Melayu Riau, khususnya keturunan Bugis, untuk memulihkan martabat bahasa Melayu dan menggalakkan kegiatan penulisan sastra Melayu, harus dilihat dalam lingkupkait (konteks) ini. Bukankah “Bahasa itu menunjukkan bangsa”, kaa Raja Ali Aji?

Kuatnya cengkraman kolonial atas kedaulatan bangsa Melayu sebenarnya telah ditunjukkan pada abad ke-18, tetapi pertikaian internal antara pemimpin Melayu yang bermula pada awal abad ke-18 berhasil dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memenangkan politik divide et empire-nya. Pada tahun 1816, Inggris yang baru memperoleh kedaulatan atas Singapura setelah menukar wilayah Bengkulu di Sumatra yang dikuasainya, m,embangun kota pulau itu menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus pusat perdagangan internasional. Kota itu cepat maju dan berkembang. Di kota inilah pola hidup kebarat-baratan dan kebudayaan Eropa menancapkan akar dalam arti sebenarnya untuk kelak mempengaruhi kehidupan orang-orang Melayu.

Cengkraman kolonial semakin dimantapkan dengan ditandatanganinya Perjanjian London 1824 oleh Inggris dan Belanda. Di bawah perjanjian itu kedaulatan bangsa Melayu atas kerajaan Johor dan Riau runtuh seketika. Pada mulanya Johor dan Riau merupakan sebuah kerajaan yang berdaulata dan melalui perjanjian itu kini dipecah dua. Kesultanan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris dan Riau didaulat oleh Belanda. Pecahnya Johor dan Riau berakar lama. Ia bermula dari pertikaian internal antara pemimpin Melayu pada awal abad ke-18. Dalam pertikaian itu Sultan terbunuh dan dinasti baru memerintah kerajaan Johor-Riau. Serbuan Minangkabau yang memporak-porandakan kesultanan ini, mendorong Sultan minta bantuan pada pelaut-pelaut Bugis yang tangguh dalam peperangan di laut maupun di darat. Setelah itu orang-orang Bugis memperoleh jabatan Yang Dipertuan Muda (pembantu sultan), yang untuk selanjutnya dijabat secara turun temurun. Baik Sultan maupun Yang Dipertuan Muda didukung oleh pegawai-pegawai pemerintahan tersendiri yang diangkat oleh masing-masing. Ini menyebabkan pemerintahan dijalankan secara dualistis. Bangsawan-bangsawan Melayu tidak puas, karena merasa bahwa orang-orang keturunan Bugis semakin berkuasa. Sejak itu pertikaian tidak henti-hentinya terjadi. Akibatnya kehidupan kerajaan ini di lingkungan kesultanan Johor Riau selalu goncang. Orang-orang Melayu selalu berusaha menjatuhkan kekuasaan raja-raja Melayu keturunan Bugis di Riau. Pertikaian meruncing pada tahun 1812 ketika kelompok Bugis dan kelompok Melayu bersengketa tentang raja yang harus dinaikkan tahta di kesultanan Linggi. Puncak pertikaian terjadi ketika pada tahunm 1819 ketika Raffles menempatkan seorang sultan dari Singapura di kerajaan Lingga. Belanda bereaksi dengan menempatkan orang lain sebagai sultan. Itulah awal mula pecah belahnya kerajaan Melayu terpenting di Selat Malaka pada abad ke-19 itu.

Semua itu merupakan mimpi buruk yang semestinya telah dibayangkan oleh paa pemimpin Melayu. Ketika itu Raja Ali Haji baru berusia 15 tahun. Kehidupan sosial ekonomi orang-orang Melayu di Riau ketika itu semakin buruk dan tiada pemulihan sedikit pun setelah berada di bawah payung kekuasaan Belanda. Sementara itu di seberangnya, Singapura tumbuh menjadi kota metropolitan yang dari ke hari semakin berjaya dengan kemakmuran ekonomi dan lembaga-lembaga pendidikannya yang mentereng. Dengan bangganya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menulis, “Dunia lama telah hancur, dunia baru tercipta dan sekeliling kita segalanya telah berubah” (Virginia Matheson 1984).

Kendati demikian para pemimpin dan cendikiawan Melayu keturunan Bugis di Riau patut mendapat pujian. Mereka seakan tidak terpengaruh oleh kesibukan yang berlangsung di Singapura. Mereka juga tidak merasa perlu terkecoh dengan pola hidup dan silaunya budaya Eropa yang mulai merasuki kehidupan orang-orang Melayu di Singapura dan Semenanjung. Istiadat Melayu Islam dengan gigihnya dipertahankan, dipelihara dan tetak dikembangkan di lingkungan kerajaan Riau. Negeri itu seakan-akan menjelma menjadi benteng terakhir kebudayaan Melayu Islam, yang walaupun terpuruk pada pertengahan abad ke-20, tetapi menjanjikan kebangkitannya kembali menjelang Alaf ke-3 tarikh Masehi.

Pada pertengahan abad ke-19 M, pemikiran cendikiawan Melayu Riau mendapatkan suntikan baru dengan tersebarnya pengaruh pemikiran pembaruan Islam yang diperkenalkan oleh Jamaluddin al-Afghani, serta Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Mesir. Pengaruh dari gerakan pembaruan Islam itu semakin terasa pada akhir abad ke-19, membuat kebudayaan Melayu kembali berkilauan. Semangat rasional Islam yang menjadi jantung perkembangan kebudayaan Melayu lama, kini hidup kembali dalam pemikiran orang-orang Melayu. Jasa dan peranan Raja Ali Haji sebagai ulil albab atau cendikiawan terkmuka pada zamannya dapat dilihat dalam kaitannya dengan hal-hal yang telah dikemukakan. Seperti telah saya kemukakan dalam tulisan saya “Iqbal dan Renaisan Asia” (2001), gerakan kebangsaan pada awal ke-20 yang bermunculan di berbagai dunia Islam tidak hanya diilhami oleh peristiwa seperti kalahnya Rusia dalam perangnya melawan Jepang pada tahun 1905. Tetapi juga ikut diresapi oleh pemikiran yang dicetuskan oleh para pembaru Islam abad ke-19 M. Gerakan pembaru Islam muncul di Mesir, India dan sejumlah negeri Arab, sebagai penyangga bagi gerakan-gerakan anti-kolonial. Pada abad ke-19 agama Islam yang diamalkan oleh orang Islam mulai tercemar oleh berbagai khurafat dan bentuk ketakhyulan. Taklid berkembang dan muncul pengertian yang sempit terhadap agama. Di antaranya yang menganggap bahwa Islam adalah agama ritual formal, yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kehidupan sosial, ekonomi dan politik.

Snouck Hurgronje, orientalis yang pikiran-pikirannya sangat berpengaruh bagi kebi jakan pemerintah Belanda dalam menangani masalah-masalah berkenaan dengan perlawanan anti-kolonial di kalangan orang Islam, memandang bahwa Islam ritual dan Islam Pribadi (yang memandang agama sebagai urusan pribadi) merupakan Islam sejati. Sedangkan Islam politik bukan Islam sejati. Islam ritual dan Islam Pribadi inilah yang dipelihara oleh pemerintah kolonial untuk melunturkan élan Islam yang sebenarnya. Iqbal mengatakan bahwa Islam yang demikian percaya bahwa penjajahan telah merupakan takdir yang tidak bisa diubah lagi.

Gerakan pembaruan Islam muncul untuk mengatakan bahwa Islam yang dipiara oleh kolonial sebagai kuda tunggang penjajahannya itulah Islam yang keliru. Islam yang benar ialah yang meniscayakan bukan saja keimanan kepada Allah s.w.t., tetapi juga meniscayakan ikhtiar dan pemikiran untuk mengatasi persoalan-persoalan zaman. Penjajahan adalah bentuk perbudakan yang bertentangan dengan ajaran dan arena itu harus dilawan. Untuk itu orang Islam harus ambil bagian dalam kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan, tidak berpangku tangan dan menyerahkan kepada orang lain. Di antara manifestasi utama gerakan pembaruan Islam ialah dalam bentuk gerakan budaya, seperti terlihat dalam kebangkitan kembali sastra Arab, Parsi, Urdu, Turki dan Melayu.

Di Nusantara pada abad ke-19 M kebangkitan seperti itu, yang di dalamnya bertunas benih-benih nasionalisme, bisa terjadi hanya di beberapa kantong kebudayaan Melayu yang masih hidup. Tempat itu tidak lain adalah Riau Lingga, khususnya Pulau Penyengat, tempat Raja Ahmad dan putranya Raja Ali Haji mengerahkan tenaga untuk memelihara dan mengembangkan kembali bahasa, sastra dan kebudayaan Melayu. Tetapi berbeda dengan kecenderungan umum dari gerakan pembaruan abad ke-20 yang cenderung anti tariqat dan tasawuf, gerakan pembaruan yang dihidupkan Raja Ali Haji di Riau tidak mengenyampingkan peranan tasawuf dan tariqat, khususnya Tariqat Naqsabandiyah yang telah lama berkembang di Nusantara dan mengalami pembaruan pada akhir abad ke-18, misalnya seperti tampak pada Tariqat Naqsabandiyah yang dikembangkan oleh Burhanudin Ulakan di Minangkabau. Di Riau sendiri guru Tariqat Naqsabandiyah yang mencetuskan pembaruan ialah Syekh Abdul Gafur al-Madura (Tuhfath. 316).

Dengan cara demikian gerakan pembaruan yang dimunculkan Raja Ali Haji dan rekan-rekannya di Riau tidak terputus dari akar budaya bangsanya. Ini dapat dipahami karena dalam sejarahnya istiadat kecendikiawanan Melayu justru berkembang dan mekar, serta memperoleh dinamikanya karena diresapi pemikiran para sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani dan Bukhari al-Jauhari.Tidak mengherankan apabila Raja Ali Haji menggali kembali pemikiran Imam al-Ghazali, khususnya melalui kitabnya Ihya Ulumuddin(“Membangkitkan Kembali Ilmu-ilmu Islam). Berbeda dengan pemahaman sejumlah pembaru yang mengira Imam al-Ghazali anti-falsafah dan pemikiran rasional dalam memecahkan masalah kemanusiaan dan keagamaan, Raja Ali Haji justru melihat tidak demikian. Imam al-Ghazali tidak anti pemikiran rasional dan falsafah, bahkan karya-karyanya dengan jelasnya menggunakan logika dan pemikiran yang mendalam. Yang dikecam ialah kecendrungan sekular dalam falsafah Aristotelian yang dianut sejumlah pemikir Muslim pada zamannya. Misalnya anggapan bahwa sebelum Tuhan mencipta alam semesta dan makhluq-makhluq, materi sudah ada.

Relevansi ajaran Imam al-Ghazali ialah sang Hujatul Islam menekankan pentingnya moral untuk menopang keimanan dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya. Peristiwa-peristiwa kemanusiaan dan keruntuhan suatu masyarakat, menurut Imam al-Ghazali, tidak semata-mata disebabkan oleh mundurnya pemikiran, tetapi juga oleh keruntuhan moral yang melanda para pemimpinnya. Ini terbukti dalam sejarah bangsa Melayu dan Raja Ali Haji melukiskan itu semua khususnya dalam Tuhfat al-Nafis, yang merupakan karya magnum opus-nya.

Jika tasawuf dibersihkan dari unsur-unsur yang melemahkan daya hidupnya dan mengikis aspek intelektualnya, pasti ia merupakan ajaran yang relevan. Tasawuf sebagai ilmu kerohanian mengajarkan bahwa jalan mencapai kebenaran atau Tauhid ialah dengan memperbaiki aqidah dan akhlaq melalui penyucian diri dan kalbu. Hanya melalui jalan itu seorang yang beriman mendapat pencerahan dan tidak mudah tergoda oleh kesenangan dunia yang dapat menyesatkan.

Jansen dalam bukunya Islam Militan (1983:41) dengan baiknya menggambarkan sebagai berikut: “Tetapi sesudah kemenangan militer dicapai (pada Perang Salib tahun 1187), kepercayaan kaum Sunni ortodoks dikembalikan dan kaum Syiah memperoleh kedudukan minoritas di beberapa daerah di luar negeri Arab…Keberhasilan ini cenderung menjadikan Islam Sunni menjadi kaku, dogmatis dan terpisah dari rakyat. Oleh karena itu perlu dimasukkan ke dalam agama ini unsur-unsur kesalehan, doa dan wirid untuk penyelamatan diri, bahkan sejenis mistisisme, agar penganut Islam dapat melakukan hubungan langsung dengan Tuhan secara khusyuk. Adalah suatu keuntungan besar bagi Islam bahwa sebuah sintesa, sebagai kesepakatan untuk memulihkan kekuatannya, telah disusun oleh pemikir besar sekaligus ahli ilmu-lmu agama Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111). Dasar-dasar dari Islam Sunni yang telah dihidupkan kembali diletakkan pada tempatnya yang tepat oleh Imam al-Ghazali.”

Penempatan yang tepat dari dasar-dasar Islam Sunni ini, yang merupakan fundasi utama kebudayaan Melayu, tampak dalam tiga hal. Pertama, dengan memasukkan tasawuf sebagai inti peradaban dan kebudayaan, maka Islam menjadi lebih merakyat karena para sufi menolak doktrin yang kaku dan bersedia menggunakan tradisi lokal sebagai unsur pengembangan kebudayaan dengan cara mengislamkannya. Kedua,penekanan ajaran tasawuf pada kesalehan dan perbaikan moral, serta pentingnya penyelamatan diri, membuat umat Islam tangguh dalam menghadapi berbagai perubahan dan pergolakan yang timbul serta berkemungkinan merusak perkembangannya. Ketiga,sampai abad ke-19 M, hanya ulama sufi yang mampu memelihara istiadat kecendikiawanan Islam meliputi bidang-bidang seperti metafisika, seni, sejarah, epistemologi, adab dan estetika (BERSAMBUNG KE BAGIAN II)

RAJA ALI HAJI, SALASILAH BUGIS DAN TUHFAT AL-NAFIS

RAJA ALI HAJI, SALASILAH BUGIS DAN TUHFAT AL-NAFIS

(Bagian II atau terakhir dari sebuah tulisan)

Abdul Hadi W. M.

Keterkaitan Raja Ali Haji dengan tasawuf, khususnya ajaran Imam al-Ghazali, bukan hanya nampak dalam Tuhfat al-Nafis. Tetapi juga dalam Gurindam 12, Bustan al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa. Bustan al-Katibin (Taman Para Pengarang) adalah kitab tatabahasa Melayu baru yang disusun oleh Raja Ali Haji berdasarkan nahu Arab aliran Sibawaih dan diterbitkan pada tahun 1875. Tatabahasa yang dirumuskan Raja Ali Haji adalah upaya untuk menjaga kemurnian bahasa Melayu, keindahan dan kesantunannya dalam penuturan, yang dengan demikian terbentengi dari proses perusakan dan vulgarisasi yang mulai terjadi sebagai akibat pemakaiannya yang semau gue. Buku ini digunakan sebagai buku pelajaran di sekolah Johor dan Singapura, serta di berbagai madrasah dan pesantren di Sumatra. Bahasa Indonesia yang digunakan penulis seperti Marah Rusli, Abdul Muis dan Hamka dapat dinisbahkan pada bahasa Melayu Riau yang tatabahasa dan balaghahnya dibangun oleh Raja Ali Haji.

Kitab Pengetahuan Bahasa, walaupun tidak selesai, merupakan semacam kamus bahasa Melayu yang isinya mencakup pengetahuan bahasa dan makna kosa kata (semantik) dan istilah-istilah Melayu yang penting khususnya berkenaan dengan agama, kebudayaan dan adab. Melalui bukunya itu jelas Raja Ali Haji ingin membantu masyarakat Melayu yang menginginkan kehidupan yag saleh danm berperilaku baik sesuai istiadat Melayu Islam (Matheson 1984). Ajaran tasawuf lebih jelas lagi tampak dalam karyanya yang bercorak undang-undang dan politik seperti Tsamrat al-Muhimmah (Aturan Tentang Tugas Kewajiban Keagamaan) dan Intizam Wasa`il al-Malik.

Dua buku tersebut mengingatkan kita pada dua karya Melayu masyhur abad ke-17 yang ditulis di Aceh, yaitu Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja, 1602) karya Bukhari al-Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja, 1647) karya Nuruddin al-Raniri. Setelah munculnya dua buku ini, tidak banyak karya sejenis dalam bobot yang memadai ditulis dalam bahasa Melayu. Baru pada abad ke-19 M dengan munculnya Raja Ali Haji kitab serupa ditulis dalam bahasa yang indah dan kandungan yang mendalam.

Demikian melalui karya-karyanya itu Raja Ali Haji melakukan perlawanan intelektual dan budaya menghadapi kehadiran yang direncanakan dari kebudayaan sekular Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggris bersama kaum orientalis dan misionaris yang menjadi tulang punggung mereka. Sementara di tempat lain di Nusantara para pemimpin tariqat, gerakan pemurnian agama (Padri) dan tokoh-tokoh adat sibuk mengangkat senjata menentang kolonialisme, Raja Ali Haji dan pemimpin Riau tidak merasakan itu hal seperti itu cukup. Raja Ali Haji dan kawan-kawannya di Riau melengkapi diri dengan melalukan perlawanan melalui saluran intelektual dan kebudayaan. Seperti dikatakan Virginia Matheson (ibid), Raja Ali Haji termasuk orang yang tidak berpangku tangan menghadapi kehadiran budaya Barat yang membawa banyak aspek negatif di samping unsur positif. Dia juga memikirkan masalah modernisasi, tetapi tanggapannya berbeda dari Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi. Dia merasakan sekali betapa hadirnya kebudayaan Barat dan interaksinya yang intensif dengan budaya Melayu menimbulkan cabaran yang pelik. Dia percaya bahwa setiap perubahan pasti menimbulkan banyak akibat yang tidak diinginkan, karena kebudayaan Barat dalam banyak hal bertentangan dengan kebudayaan Melayu Islam. Nilai-nilai luhur dan agung dari kebudayaan Melayu bisa terkikis disebabkan fitnah yang bertubi-tubi dilancarkan Barat, khususnya melalui propaganda kaum oirientalisnya yang memburuk-burukkan hamper semua aspek kebudayaan Asia, khususnya Melayu Islam.

Kerusakan kebudayaan Melayu akibat perjumpaannya dengan kebudayaan Barat sangat jelas nampak melalui rusaknya bahasa Melayu, yang dilakukan demi pembaruan atau modernisasi. Kata Virginia Matheson, “Raja Ali Haji menganggap bahwa perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tatabahasa adalah penting untuk memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus. Imam al-Ghazali untuk menulis bukunyaKitab Ilmu merasa perlu mendalami keahlian dalam bidang ilmu bahasa, sebagai disiplin pelengkap, sebagai cara untuk menambah ilmu pengetahuan dan mendekatkan diri kepada Tuhan…”. Pandangan Imam al-Ghazali inilah yang mengilhami Raja Ali Haji dalam menulis buku-bukunya, sebab kerusakan dalam bidang bahasanya merupakan pertanda kemerosotan tata nilai dalam kehidupan dan kemunduran pemikiran suatu bangsa.

Karya Agung Tuhfat al-Nafis.

Tidak disangsikan karya terbesar Raja Ali Haji ialah Tuhfat al-Nafis (Anugerah Berharga). Walaupun yang memulai penulisan kitab ini ialah ayahandanya Raja Ahmad, namun yang merombak, menyelesaikan dan bertanggungjawab atas seluruh penulisannya sudah pasti Raja Ali Haji. Kitab ini dapat digolongkan sebagai karya sejarah bercorak adab, yaitu walaupun yang dipaparkan adalah fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa sejarah, namun yang jauh lebih penting lagi yang ingin ditekankan penulisnya ialah persoalan adab. Fakta dan peristiwa sejarah, yang melibatkan manusia sebagai pelaku utama – khususnya raja, pemimpin politik, tokoh sosial keagamaan dan pejabat pemerintahan – dilihat oleh pengarangnya dari sudut pandang tasawuf. Kemudian dipaparkan seolah-olah sebagai cermin agar pembaca melihat betapa keimanan, moral, ikhtiar dan akal budi memainkan peranan penting dalam menentukan nasib dan martabat sebuah kaum, bangsa atau masyarakat manusia.

Raja Ali Haji yakin bahwa Islam dan prinsip keislaman yang selama ini dijadikan pedoman bangsa Melayu merupakan pegangan yang benar, tetapi sayang dalam pelaksanaannya sering dialahkan oleh sikap egosentris dan lalai disebabkan kecintaan berlebihan dari para pemimpin Melayu sendiri terhadap kesenangan dan kekuasaan duniawi. Melalui karyanya ini Raja Ali Haji mengingatkan kepada pembacanya dua ancaman yang langgeng dalam sejarah bangsa Melayu dan Nusantara. Yang satu ancaman dari dalam berupa pertikaian antar kaum atau etnik, serta kelalaian menjalankan perintah agama dan memelihara kebudayaan yang sudah mantap sebagai sumber identitas dan ilham pembaruan. Ancaman dari dalam ini disaksikan kembali oleh bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang menyebabkan bangsa ini kian terpuruk. Pemimpin masyarakat kita sering lupa bahwa walaupun bangsa ini terdiri dari aneka etnik dan ragam budaya lokal, namun sebenarnya saling tergantung secara ekonomi dan politik, serta dipertalikan ikatan tradisi besar, yaitu budaya Islam Nusantara. Yang kedua, ancaman dari luar, derasnya budaya asing yang masuk ke dalam hampir semua aspek kehidupan. Sayangnya budaya asing yang masuk itu, khususnya budaya Barat, yang diambil hanya aspek-aspek dan unsur-unsurnya yang negatif.

Buku ini dimulai dengan puji-pujian kepada Allah swt dan salawat kepada Nabi Muhammad saw. Sesudah itu memaparkan maksud penulisan karyanya. Yaitu menguraikan peristiwa-peristiwa penting yang dialami raja-raja Melayu dan Bugis selama lebih dua kurun sejak pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-19. Peristiwa-peristiwa yang dipaparkan dijadikan cermin untuk menyampaikan gagasan dan falsafah hidup pengarang, khususnya mengenai pentingnya akhlaq, keimanan, budaya kreatif, adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Semua itu adalah penting untuk memelihara negara dan masyarakat . Kemerosotan negeri-negeri Melayu dan krisis politik yang dialami pada abad ke-18 dan 19 M bersumber dari kriris moral dan lunturnya keimanan raja-raja Melayu dan kelalaian memelihara serta menegakkan kebudayaan bangsanya secara mandiri. Krisis ini pada akhirnya mengandung campur tangan kolonial Inggris dan Belanda yang berhasil memecah kerajaan Melayu besar terakhir Johor-Riau menjadi kerajaan Johor dan kerajaan Riau Lingga.

Dalam buku ini pengarang mengingatkan raja-raja yang gemar mengumbar hawa nafsu dan mementingkan diri seperti Sultan Mahmud dari Johor, yang mengakibatnya timbulnya bencana yang merugikan negara dan rakyat. Sebagai seorang sultan dia lebih suka menghabiskan waktunya untuk bermain-main dan berfoya-foya, khususnya ke Singapura dan tidak menghiraukan keadaan negeri dan rakyat yang diperintahnya. Dia membangun istana megah bergaya Eropa sementara rakyat hidup sengsara dilanda kemiskinan. Pembangunan istana megah gaya Eropa juga mencerminkan betapa sultan ini tidak mempedulikan kebudayaan bangsanya.

Sultan Mahmud juga digambarkan orang yang lemah dalam menggunakan ikhtiar dan akal budi. Hal ini digambarkan misalnya oleh Raja Ali Haji melalui peristiwa ketika Residen Riau meminta pendapat Sultan Mahmud tentang pengganti Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman yang sudah wafat. Sultan Mahmud baru dapat memberi jawaban beberapa hari kemudian. Tiadanya jawaban yang jelas dari Sultan Mahmud menumbuhkan krisis yang merugikan jalannya pemerintahan di lingkungan kerajaan Riau Lingga. Dengan bahasa yang elok Raja Ali Haji melukiskan sebagai berikut:

“Syahdan adapun Sultan Mahmud itu apabila sudah mangkatlah Yang Dpertuan Muda itu maka datanglah pintanya wakil gubermen, yaitu Residen Riau siapa-siapa akan gantinya almarhum itu. Maka Sultan Mahmud pun bertangguhlah hendak berfikir serta hendak musyawarah dengan segala anak raja-raja yang di Pulau Penyengat. Maka tiadalah dapat berbetulan ijtihad Sultan Mahmud itu dengan fikiran segala anak raja-raja dan orang besar-besar di Pulau Penyengat itu. Maka di dalam itu maka Residen Riau pun selalu juga minta tentukan siapa-siapa akan gantinya. Kemudian daripada itu maka Sultan Mahmud pun memberi wakil tiga orang menantikan ketentuan yang akan jadi Yang Dipertuan Muda. Pertama saudara Yang Dipertuan al-Marhum yang bernama Raja Ali, kedua saudaranya yang bernama Raja Haji Abdullah, ketiga anak marhum yang bernama Raja Idris. Maka apabila selesai ia meletakkan wakil itu, maka Sultan Mahmud pun berlayarlah ke Singapura.”

(Matheson 1982:337-338)

Raja Melayu lain yang perangainya buruk dan membawa bencana bagi negeri dan rakyat, dicontohkan oleh Raja Ali Haji ialah Raja Keciik Siak dan Raja Kecik Trengganu. Raja Kecik Siak digambarkan sebagai tokoh yang gemar memperlihatkan kekuasaan dengan segala tipu muslihat tanpa mampu mengukur kekuatan dirinya. Dia ingin merebut kekuasaan dari tangan Raja Abdul Jalil karena merasa bahwa dialah satu-satunya anak almarhum Sultan Mahmud. Siasat yang dilakukan ialah menakut-nakuti dan memecah belah rakyat. Karena rakyat takut akan tulah almarhum Sultan Mahmud, maka maka banyaklah orang membelot kepadanya dan dengan mudah Sultan Abdul Jalil mudah dikalahkan. Raja Kecik juga dilukiskan sebagai orang bengis dan kasar, serta tega mencemarkan nama baik keluarga.

Adapun Raja Kecik Trengganu adalah Yang Dipertuan Besar Negeri Trengganu, putra Sultan Zainal Abidin Syah dari Trengganu. Dia adalah ketua dari suku-suku Melayu yang anti keturunan Bugis di Riau. Banyak fitnah disebarkan dan upaya dilakukan untuk melenyapkan Melayu keturunan Bugis di Riau. Dia juga menghasut Belanda untuk membantu Melayu Riau menghalau orang Bugis dengan alasan bahwa itulah yang dikehendaki Sultan Sulaiman, ayah mertuanya. Sultan Sulaiman menanggung malu karena hasutan itu menyebabkan Raja Haji dari Riau harus berperang melawan Belanda dan harus menanggung pula hutang kepada Gubernur Melaka. Yang melunasi pembayaran hutang itu ialah orang-orang Melayu keturunan Bugis. Secara umum Raja Ali Haji melukiskan dalam Tuhfat al-Nafis keunggulan orang Melayu (keturunan Bugis) yang memiliki ethos kerja yang terpuji dan lebih mengutamakan ikhtiar serta akal budi dalam mengatasi berbagai persoalan. Kedaya-upayaan mereka dalam bidang ekonomi berkaitan dengan ketangguhan mereka berpegang pada identitas budaya dan memelihara istiadat kecendikiawanan.

Lebih dari itu Raja Ali Haji menggambarkan dengan cermat dalam bukunya itu betapa dahsyatnya proses demoralisasi yang melanda kehidupan raja-raja dan bangsawan Melayu selama Inggris dan Belanda menancapkan taring kekuasaannya di kepulauan Melayu. Hanya melalui proses demoralisasi itu mereka menguasai Nusantara. Hal itu ditambah lagi dengan pertikaian dan perpecahan yang sering terjadi di kalangan pemimpin Melayu sendiri. Perpecahan semakin parah karena kelobaan dan saling mendengki antara para pemimpin dari masing-masing kaum dalam masyarakat Melayu.

Sebagai karya adab, Tuhfat al-Nafis juga mempebicarakan masalah raja yang baik dan yang buruk, yang adil dan yang zalim. Raja yang buruk biasanya congkak, serakah, jahat, iri hati, pendengki dan sok benar sendiri, serta gemar menghambur-hamburkan uang, tidak acuh pada masalah administrasi, tidak suka humor dan menghambat kemajuan berpikir. Kaum ulama, cendikiawan dan budayawan dipinggirkan dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara dan berbangsa. Perbedaan Tuhfat dengan karya sejarah yang lebih awal, ialah dalam Tuhfat unsure legenda dan mitos dihilangkan. Tarikh peristiwa-peristiwa juga dinyatakan dengan jelas. Kedaulatan seorang raja, menurut penulis buku ini, tidak dapat diukur hanya berdasarkan garis keturunan. Seorang raja memiliki kedaulatan apabila ia memiliki kemampuan memimpin dan pengetahuan yang luas dalam bidang yang diperlukan seperti hukum, politik, agama, sejarah, bahasa dan kebudayaan.

Raja Ali Haji memang percaya bahwa takdir menentukan kehidupan manusia, khususnya manusianya, namun yang lebih menentukan lagi runtuhnya suatu kaum ialah kelalaian kaum itu sendiri dan pembangkangannya terhadap hukum Tuhan. Pembangkangan terhadap ajaran agama dan moral merupakan sebab utama dari berbagai konflik dan malapetaka yang menimpa masyarakat. Dia memberi contoh betapa stabilitas Riau dan kesejahteraan masyarakatnya menjadi rusak akibat kegagalan kaum Melayu Riau menaati ajaran agama dan menguasai dirnya sendiri. Daya-daya tersembunyi yang merusak kehidupan masyarakat bukan takdir, tetapi hasrat manusia yang gemar mengikuti hawa nafsunya. Orang yang gemar mengikuti hawa nafsunya cenderung sombong, keras kepala dan egois, serta gemar kasak-kusuk dan menyebar fitnah.

Keistimewaan karya ini telah banyak dikemukakan para peneliti seperti Tengku Iskandar (1996), Barbara Watson (1982), Ali Ahmad (1987), Virginia Matheson (1999) dan lain-lain. Baik Ali Ahmad maupun Virginia Matheson memandang bahwa Tuhfat al-Nafismerupakan karya bercorak sejarah dalam bahasa Melayu yang gaya bahasanya paling elok setelah Sejarah Melayu (abad ke-17M). Sebagai karya besar kitab ini juga mudah dibaca karena keluwesan bahasanya. Bahkan Virginia Matheson memandang bahwa Tuhfatmerupakan karya sejarah Melayu paling canggih dan kompleks yang ditulis pengarang Melayu hingga akhir abad ke-19.

Kecanggihan iu tampak pertama-tama dalam konsepsi sejarah atau landasan historiografi yang digunakan dalam penulisan kitab ini. Konsep sejarah yang digunakan Raja Ali Haji sangat mendalam dan luas. Rentang waktu di mana peristiwa-peristiwa yang digambarkan begitu luasnya, meliputi peristiwa-peristiwa abad ke-17 dan 19, disertai gambaran ringkas latar belakang sejarah sebelumnya hingga zaman Sriwiyaja pada abad ke-7 dan 8 M. Wilayah yang diceritakan juga sangat luas, belum pernah ada karya sejarah seperti itu dalam sastra Melayu sebelumnya. Wilayah yang diceritakan mencakup Semenanjung Malaya, Riau-Lingga, Siak, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (asal-usul bangsawan Melayu keturunan Bugis) dan beberapa peristiwa di Betawi. Dilihat dari sudut pandang ini Raja Ali Haji telah merintis penulisan sejarah Melayu yang bersifat nasional dan regional dalam arti yang sebenarnya.

Akhir Kalam

Melalui apa yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa setidak-tidaknya ada tiga hal yang relevan untuk dijadikan pelajaran bagi kita. Pertama, Raja Ali Haji menegaskan bahwa kerusakan bahasa merupakan pertanda rusaknya kebudayaan. Menghadapi kerusakan ini adalah tugas dan kewajiban para sastrawan dan cendikiawan untuk mencegahnya. Para umara dan pemimpin masyarakat juga harus merasa terpanggil dengan memperbaiki mutu pengajaran bahasa dan pelajaran karang mengarang. Kesusastraan Melayu dan kesusastraan Nusantara lain yang utama perlu diajarkan dengan baik di sekolah menengah. Apabila Raja Ali Haji masih hidup sekarang tentu dia lebih sedih lagi melihat perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia mengalami kerancuan disebabkan banyaknya kata-kata dan istilah-istilah dari bahasa Inggris yang diambil begitu tanpa diindonesiakan dengan sepatutnya. Begitu pula dengan penggunaan banyak akronim. Bahasa Indonesia yang dipakai sekarang ini tidak mencerminkan bahwa pemakainya memiliki kepribadian, tingkat budi pekerti dan intelektual yang memadai.

Kedua, Raja Ali Haji juga mengingatkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan suatu kaum atau bangsa hancur ialah pertikaian antar-etnik, perpecahan kalangan pemimpin, pembangkangan terhadap agama dan kebudayaan, serta proses demoralisasi yang dirancang oleh bangsa lain untuk menguasai ekonomi, politik dan alam pikiran bangsa kita.

Ketiga, merosotnya suatu kaum juga bermula dari ketakpedulian para umara terhadap kesejahteraan rakyat, keamanan negara dan mutu pendidikan. Raja Ali Haji dan karib kerabatnya di Pulau Penyengat Riau pada abad ke-19 M telah memberikan suri tauladan yang terpuji, bukan hanya bagi masyarakat Melayu di Riau, tetapi juga kepada bangsa Indonesia secara seseluruhan. Bangsa Indonesia berhutang budi terutama karena jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Melayu sebagai bahasa intelektual dan budaya, yang melaluinya Bahasa Indonesia yang baik bisa dijelmakan dan dikembangkan di dunia modern.

Jakarta 5 April 2004