30 Mei 2011

MEMBAYANGKAN PARA NABI

Para nabi bekeliaran dipasar pasar
diterminal bis antar kota
dan di kerumunan orang orang

Mereka bercengkram
lalu berpencar menuju beberapa arah
Ada yg pergi ke lorong lorong sempit jalanan kota
ada yg menemui para pekerja
Ada yg bercengkrama mesrah dgn para pelacur
eit .. jgn buruk sangka dulu
mereka tak sempat tergoda
karna mereka menyadari betapa mengerikannya akibat dari persetubuan dusta

Juga ada diantara mereka yg pandai bernyanyi
ada yg pujangga

Tanpa senjata merek berjalan
Tanpa perbekalan mereka bergerak menyusuri malam kelam
menemui mereka yg luka di tertikam kesangsian
Tanpa mantel penghangat,menggigil dlm senyuman

Di kesunyian mereka melnyendiri
Di keramaian mereka telanjang
Sementara orang orang berpakaian kepalsuan

Ada pula yg pandai bersiasat dgn para raja
Ada yg berdagang
Ada yg penggembala

Mereka hanya mengambil secukupnya dari dunia
Cinta tlah memalingkan mereka dari kehendak selera diri rendah

Kita hanya wayang
DIA lah dalang maha segala .



Juned Topan 2 sept 2009

LUPA WAJAH SENDIRI

Aku sering lupa wajah sendiri
Berapa lipatan kerut didahi
Seberapa cekung sekeling mataku
Entah,
aku tak pernah memikirkan
tak sempat membuka kembali album kenangan

Aku sering lupa wajah sendiri
Apakah telah begitu layu,
atau maish seberingas dahulu
Aku hanya melihat seorang lelaki di hatiku
Berjalan sendiri
terasing dari masyarkatnya
terasing dari jamannya

Tak ada undangan
Tak ada sambutan
Tak ada salam
Juga tak ada ucapan selamat jalan

Mengembarai sepi
Mendulang makna dlm sunyi
Dalam puisi,
tumpahlah sembah suci hamba yg tertatih tatih letih
Hina,
namun enggan berhenti
Sebab ia yakin
Tak ada cinta tanpa di uji


Juned Topan21 sept 2009

29 Mei 2011

SALAM PARA PUJANGGA

Simpan saja puisi gelapmu
air bah sebentar lagi datang
Bangunkan orang orang yg lelap tertidur
ingatkan orang orang yg salah jalan
Jangan sibuk bersolek kata
Jangan bangga karna telah membuat orang bingung menebak makna
Estetika tergantung cuaca jiwa
rekayasa imaji hanyalah sia sia

Juned Topan 28mei2011

24 Mei 2011

NYANYIAN LANGIT BUAT ANAK ANAKKU

Hari sdh malam,tidurlah anakku
Jangan terlampau larut dlm gairah mimpimu
Esok sebelum fajar kita sudah harus terjaga
Bersama burung burung bertasbih dan berdo'a
Untuk kemudian kita kembali bergerak,belajar dan bekerja
Mengolah daya hidup,
menabur benih kasih
disemesta jiwa
.....
jgn pula terlampau larut dalam perbincangan dgn dunia
pada tiap tiap yg di panggil
tariklah dirimu kesudut mighrab sejenak
bersimpuh
bersujud
memohon ampunannya
dan mensyukuri sekecil apapun nikmatnya
memohonlah keselamatan pada DIA pemilik selamat
memohonlah rizqi kepada DIA pemilik seluruh perbendaharaan dilangit dan di bumi
memohonlah kekuatan pada DIA sang pencipta
penggerak
sekaligus pengendali
jangan terlalu gembira terhadap apa yg sudah kamu raih
jangan pula sesalkan yg lepas dari genggaman
do'a ayah menyertai kalian
amin
tengah malam 19 juni 2009

RUMAH SINGGAH

Sebuah gedung sekolah di tengah kota
dengan dua orang satpam di malam hari
Di bawah tangga aku lewati malam
Bersholawat dan berdzikir
melepas rinduku pada rosul dan robb maha suci

Seusai subuh aku bergegas pergi
Karna sebentar lagi petugas sekolah datang
Di susul murid - murid sekolah itu

Di seberangnya
teman - temanku berbaring di bangku - bangku kosong pasar malam yg tutup sementara waktu
aku bergabung kesana
menyelesaikan puisi - puisiku yg kutulis semalam
hingga terlelap
di tengah hiruk pikuk jalanan kota

JT
2 mei 2009

UNTUK TEMAN

Kadang kita bertengkar,kemudian berdamai
lalu bertengkar lagi
tapi tak saling melukai
Sering lama kita berpisah
ada perasaan kehilangan
ada kerinduan
ada dorongan ingin bertemu
tapi tertolak keangkuhan

Pernah kita ada dalam satu lingkaran
lalu masing masing merasa saling tersaingi
bagai burung burung liar di rimba lepas
memamerkan keindahan nyanyian
semangatnya masih sebagai bintang
walau tak sebesar debu kenyataannya

Bergentayangan di jalanan
menakhlukkan kesangsian
di sembunyikan oleh zaman yg binal
peradaban sombong

JT
120KTOBER2009

SUARA BAWAH TANAH

Sungguh benar adanya kawan
penguasa lbh berpihak kpd org2 kaya
Aturan hukum di buat untk memuluskan kemitraan mrk
Dgn dalih ketertiban & mengembalikan ruang publik pada fungsinya
lapak2 kaki lima di gusur
menambah pnjng barisan para penganggur
Raung buldozer menggerung gerung
menggilas mimpi orang 2 usiran kota
Swalayan mal mal dan apartemen mewah tumbuh semakin subur
surga instan kaum hidonik pemuja dunia
Snggh bnr adanya kawan
apa yg kusaksikan hari ini mrpkn pengulangan peristiwa serupa di bnyk wilayah negri ini
penggusuran pembongkaran paksa intimidasi adu domba
cara2 untk mensterilkan kota 2 dari wajah kemiskinan
agar terkesan megah jk para mister dari ngr 2 donor menyinggahi kota2 ngr kita
kamuflase murahan

Brp bnyk politisi berteriak lantang
mahasiswa seniman & kaum urban pun tak kalah keberanian
Brp kali kekuasaan tumbang berganti
mantan birokrat jadi oposisi
para oposan berkuasa lalu ingkar janji
lalu keadaan ttp saja sprt ini
Snggh menyakitkan hati kawan
di jalanan
mobil 2 mewah genit berseliweran
jerit kelaparan hny wacana di koran tv dan majalah
kejahatan birokrasi mengurat nadi
membuat frustasi berlapis generasi
apa yg salah dgn negri ini
apa yg salah dgn negri ini


JT 03DES2010

MIMPI DI DALAM MIMPI

Waktu mengalir tiada tercegah
Angan memuai,memanjang,kaupun terpana
Iblis menari di sela selanya

Hati hati dengan mimpi
Peradaban di bangun atas mimpi
Mimpi di dalam mimpi
Begitulah situasi kehidupan dunia ini

Ketika kematian datang
Engkau akan menatap nyata
Segala apa yg selama ini telah di sangkal oleh logika

Beruntunglah kalian yg sanggup menahkodai diri
Dalam mengarungi prahara demi prahara .

Juned Topan 25jan 2011

23 Mei 2011

MEMBATU DI RIAK RINDU

Sudahlah,
tak usah memandangku seperti itu
Sungguh,
aku tdk kecewa dgn keadaan ini

Memulung rizki paruh waktu
sisanya untuk menulis puisi
sudah cukup bahagia aku menjalani

Pergilah
Jalani saja hidupmu
Sia sia mengenang masa lalu
Dunia kita sdh berbeda
Kau berlarian di kejar waktu
Sementara aku membatu di riak rindu

JT Jakarta13022010

10 Mei 2011

Tembang Lir ilir ( Sunan Kali jogo)

“Lir-ilir, lir ilir, . . . .
tandure wing angilir,
sing ijo royo-royo,
tak sengguh kemanten anyar.
cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi,
lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dodotiro.
dodotiro-dodotiro, kumitir bedah ing pinggir,
dondomana jrumatana, kanggo sebo mengko sore,
mumpung gede rembulane,
mumpung jembar kalangane,
ndak sorak hore. . . . . ”.

kutipan tembang lir-ilir diatas entu merupakan salah satu tembang jawa yg dikarang oleh Sunan Kalijaga n ternyata memiliki makna yg dalam mengenai Agama Islam . . .

Adapun maksudnya adalah demikian :

sang bayi yang baru lahir di dalam dunia ini masih suci bersih, murni, sehingga ibarat seperti penganten baru, siapa saja ingin memandangnya,

“bocah angon” (pengembala) itu diumpamakan santri, mualim, artinya orang yang menjalankan syariat agama.

Sedangkan “blimbing” diibaratkan blimbing itu mempunyai/teridiri dari lima belahannya, maksudnya untuk menjalankan sembahyang 5 waktu.

Meskipun “lunyu-lunyu” (licin). tolong panjatkan juga, kendatipun sembahyang itu susah, namun Dirikanlah !

buat membasuh “dodotira-dodotira, kumitir bedah ing pinggir” maksudnya kendatipun sholat itu susah, tetapi Dirikanlah guna membasuh hati dan jiwa kita yang kotor ini

“Dondomono, jrumatana, kanggo sebo mengko sore, dan surak-surak hore”. Maksudnya ” bahwa orang hidup di dalam dunia ini senantiasa condong kearah berbuat dosa segan mengerjakan yang baik dan benar serta utama,

sehingga dengan menjalankan sholat itu diharapkan besok dikelak kemudian dapat kita buat sebagai bekal kita dalam menghadap kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bekal itu adalah beramal saleh

Mengenal Rabi'a al Adawiyah

Mengenal Allah dengan Cinta

Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).

Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kemuliaan akhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama dan ajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi. Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyak diungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi. Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lain yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi, sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun 672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbah melalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-I Tabriz.

Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yang terdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi, Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yang harus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allah dalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagi maqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikuti darinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati (ridla)”.

Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah. Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agak sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahi lebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik. Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubb al-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.

Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain juga mencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengan cinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkan mengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semua Cinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaan mencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah dan berada di jalan Allah.

Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmu Kekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaran seluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkau cemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihi Cintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil. Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathil pula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya juga terkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya

Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah, yang artinya “empat”, tak lain karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan untuk memperoleh anak laki-laki ini disebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya saat itu masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan kehadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’I asy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yang menyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunya Rabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press, London, 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.

Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, di rumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji untuk tidak meminta bantuan pada sesama manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putri keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh 7.000 umatku.” Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”

Ayah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan janggutku.”

Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.

Suatu hari, ketika sedang berejalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”

Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.

Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.

Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.

Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga mereka meneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkan kepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukan dengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yang memanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkau mengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padang pasir ini.”

Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semula mati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisa meneruskan perjalannya ke Mekkah.

Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengah padang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasa bingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumi ini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlah wajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga muncul suara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “Wahai Rabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkan Gunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah berada di situ dengan Nama-Ku.”

Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tiba di tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah lalu berkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku? Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yang mendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat urat nadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa pun terhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yang indah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ah dari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrah dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah seraya melakukan perbuatan-perbuatan mulia.

Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah, wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah.

Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah. Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-laki sensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakah engkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”

Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalah Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah (w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya, laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribu dinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memiliki pendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab oleh Rabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadi budakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkau akan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”

Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkan para sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikah dengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan, “Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar di antara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.” Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab.”

“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”

“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”

“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu.

Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan bahwa Rabi’ah memiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabat dengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukup dekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yang memperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun 856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengah abad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nun al-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.

Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusi dan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salah seorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Aku lewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusi tentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakku bahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernah ada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya aku menengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memiliki apa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yang sesungguhnya sejati.

Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewati lorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela dan menangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Ia menengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketika ia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabat yang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air itu hanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihat ke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungai yang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telah bersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kata Rabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.

Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberi manfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikan kehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada para sahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut: Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakan untuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasa rendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah dan berdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkau memohonnya.”

Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah

Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapi sebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya. Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah.

Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz, seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnya mengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salah seorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yang akan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh, aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini, bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?” Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:

“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua dan Aku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Aku tak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. Wahai Rabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidak mungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”

Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu, kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawiku selama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dari-Mu.”

Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.

Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar pada suatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tua dan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihat pemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan meminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salah besar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malik menjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akan lupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankah Dia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malik menyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Dia mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yang diinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”

Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar ia hanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena itu, hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah dan lebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”

Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.

Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”

Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).

Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.

Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, 1928).

Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya

Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.

Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranya pada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim duduk mengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dan keluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’ Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutup pintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat, setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersama golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89: 27-30).

Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat mereka kembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telah meninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalu menyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan, dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.

Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orang sudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpa dengan Tuhannya.

Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernah memimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimana keadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar dan Nakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya, “Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepada Tuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akan lupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harus bertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”

Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.

SA'DI ASY-SYIRAZI

Sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan pencapaian Sa’di, penulis klasik abad ketigabelas. Para kritikus Barat kagum bahwa Sa’di dapat menulis dua karya klasik yang luar biasa, The Orchard (Bustan) dan The Rose Garden (Gulistan) dalam jangka waktu dua atau tiga tahun. Dua karya utama ini, sangat dikenal oleh setiap orang Persia dan dihargai sebagai prestasi tertinggi, karena kekayaan materi dan keindahan syair yang nyaris sulit dicari tandingnya. Sa’di seorang yang tiada memiliki apa pun, hampir sepanjang hidupnya mengembara. Ia dididik oleh guru Sufi, Gilani (al-Jilani) dan Suhrawardi.

Dalam buku The Rose Garden, Sa’di menyempurnakan tulisannya (tetap tidak dapat diterjemahkan dalam berbagai bahasa Barat) dengan bahasa dan struktur sederhana yang digunakan sebagai buku pegangan utama murid-murid Persia, dan seolah hanya mengandung cerita-cerita dan aforisme moral. Sementara itu, pada saat yang sama hal itu diakui oleh sebagian besar kaum Sufi masyhur, sebagai pengetahuan Sufistik paling dalam yang dapat ditulis.

Keheranan atas pencapaian ini, ketika seseorang melihat tingkat-tingkat yang berbeda dari materi tersebut tersambung satu sama lain, tidak dapat diungkapkan.

Dua buku ini tidak hanya mengandung kutipan-kutipan, peribahasa, praktek kebijakan, dan pernyataan pemikiran; tetapi ditulis dengan cara yang dapat diterima oleh mereka yang dibutakan oleh kefanatikan agama. Dengan cara ini Sa’di menerima, membentuk dan meneruskan pemahaman Sufi. Pilihannya terhadap bentuk literatur klasik, memastikan pemeliharaan dan pengkomunikasian pesan-pesannya sepanjang masa; karena tidak seorang pun dapat memisahkan Sa’di dari literatur Persia, dan karena itu Sufisme terlindungi dengan cara ini.

Karya-karya berikut adalah tulisan terjemahan, untuk menunjukkan bagaimana mudahnya bagi pembaca awam.

Mencabut bulu ketidakpedulian dari telinga orang yang sadar, Agar kearifan orang mati dapat menjangkau telingamu.

PINTU
Orang yang tidak beruntung adalah orang
yang memalingkan kepalanya dari. pintu ini.
Karena ia tidak akan menemukan pintu lainnya.
PERMATA DAN DEBU
Mutiara yang jatuh ke lumpur tetap berharga.
Debu yang naik ke firdaus, tetap tidak berharga.
HARI PEPERANGAN
Di hari peperangan, kuda gesit
– bukan lembu jantan yang lamban —
itulah yang akan digunakan.
AHLI KIMIA DAN SI BODOH

Ahli kimia meninggal dalam keadaan menderita dan frustrasi — sementara si bodoh menemukan harta benda dalam reruntuhan.

MUTIARA
Rintik hujan, menetes dari awan,
Merasa malu bila bertemu lautan.
“Siapa diriku jika berada di lautan?” katanya.
Ketika ia melihat dirinya dengan kerendahan,
Tempurung melindunginya dalam pelukan.
KEKUASAAN
Kekuasaan di dunia dari ujung ke ujung
Lebih tidak berharga daripada tetesan darah di atas bumi.
PENCURI DAN SELIMUT

Seorang pencuri memasuki rumah seorang Sufi, dan tidak menemukan apa pun di sana. Ketika ia pergi, si darwis merasakan kekecewaannya dan melempar si pencuri dengan selimut alas tidurnya, agar pencuri itu tidak pergi dengan tangan hampa.

BELAJAR
Tidak seorang pun belajar seni memanah dariku.
Siapa yang tidak memaksaku, pada akhirnya, menjadi sasaran.
ORANG YANG TIDAK BERBENTUK
Bagi seseorang yang tidak terbentuk dalam sebuah komunitas
Hati dari para Bijak akan menderita sakit —
Bagai kolam dipenuhi mawar air, dan seekor anjing jatuh di dalamnya, mengotorinya.
PELAJAR DAN PERTAPA

Beri uang kepada pelajar, supaya mereka dapat terus belajar. Jangan beri apa pun kepada pertapa, agar mereka tetap menjadi pertapa.

KALAJENGKING
Seekor kalajengking ditanya, “Mengapa kau tidak keluar di musim dingin?”
Dijawabnya, “Perlakuan apa yang kuterima di musim panas, sehingga aku harus keluar di musim dingin?”
Kayu hijau dapat dibengkokkan;
Ketika kering, hanya api yang meluruskannya.
PERAHU

Kalau Nuh yang jadi kapten, apa yang mesti ditakutkan?

TAKDIR SI ANAK SERIGALA

Takdir bagi anak serigala adalah menjadi serigala, sekalipun ia dibesarkan diantara anak manusia.

POHON YANG GUNDUL

Tidak seorang pun melempar batu ke pepohonan yang gundul.

KESOMBONGAN
Seseorang yang memiliki kesombongan di kepalanya —
Jangan bayangkan ia akan pernah mendengar kebenaran.
JALAN YANG LURUS

Aku tidak pernah melihat manusia tersesat kalau ia berada di jalan yang lurus.

SANGKAR

Ketika burung beo dikunci bersama burung gagak, ia berpikir bahwa merupakan keberuntungan dapat keluar dari sangkar.

RELATIF
Sebuah lampu sama sekali tidak tampak bercahaya di hadapan matahari;
Dan sebuah menara yang tinggi tampak rendah di bawah kaki gunung.
Apabila engkau membakar hutan, jika dirimu bijak,
Engkau akan menghindari harimau.
INFORMASI DAN PENGETAHUAN
Sebanyak apa pun engkau belajar, tidak akan mengerti jika tidak bertindak.
Seekor keledai yang membawa buku, tidaklah menjadi seorang cendekiawan maupun bijak.
Kehampaan akan esensi, apa yang ia pelajari —
Apakah kayu bakar atau buku?
PAWANG GAJAH
Jangan berteman dengan pawang gajah,
Jika engkau tidak memiliki ruang yang cukup untuk menjamu gajah.
SEORANG DARWIS YANG BERSUMPAH UNTUK MENYENDIRI

Seorang darwis yang bersumpah untuk menyendiri duduk di padang pasir, ketika seorang raja berlalu beserta rombongannya.

Karena sedang dalam keadaan konsentrasi, ia tidak memperhatikan. Bahkan tidak mengangkat kepalanya saat arak-arakan melintasinya.

‘Sang raja, yang ingin dihormati sebagaimana layaknya, merasa marah dan berkata, “Orang-orang berjubah compang-camping ini tidak berperasaan, seperti binatang, tidak tahu kesopanan maupun kerendahan hati.”

Wazir sang Sultan mendekatinya dan berkata, “Wahai kaum darwis! Sultan dari seluruh dunia baru saja melintasimu, mengapa engkau tidak menghormatinya?”

Si darwis menjawab, “Biarkan Sultan mencari penghormatan dari mereka yang mencari keuntungan atas niat baiknya. Katakan kepadanya juga, bahwa para raja diciptakan untuk melindungi rakyat. Rakyat tidak diciptakan untuk melayani raja.”

KESELAMATAN DAN KEKAYAAN
Di dalam laut, kekayaan terlalu sulit dibandingkan.
Tetapi jika engkau mencari keselamatan, ada di tepi laut.
RUMAH DAN UNTA

Seekor rubah berlari-lari ketakutan. Seseorang bertanya apa masalahnya. Jawab rubah, “Mereka menggunakan unta untuk dipekerjakan.”

“Bodoh! ” jawab orang tersebut, “Takdir unta tidak ada hubungannya dengan dirimu, bahkan tampang saja tidak sama.”

“Diam!” jawab si rubah, “Seandainya pengintrik sepertiku ditetapkan menjadi unta, siapa yang akan berusaha untuk pembebasanku?”

KOIN EMAS DIANGGAP MULIA

Seseorang yang memiliki sekantung penuh emas ditempatkan seperti cahaya mata manusia. Sementara menurut anak tukang emas, “Mulia adalah seseorang yang memiliki emas mulia.”

BICARA
Orang terpelajar adalah orang yang tidak banyak bicara
Menembus ke hati paling dalam.
MURID DAN GURU
Kekuatan murid tidak lebih dari anak-anak;
Sedang guru seperti dinding yang kokoh.
Si bodoh dianugerahi beberapa keistimewaan
Sehingga ratusan sarjana akan terpesona olehnya.
KUDA DAN UNTA

Kuda Arab sangatlah cepat. Unta berjalan pelan, tetapi berjalan terus siang malam.

DI MANA MACAN TUTUL BERSEMBUNYI?

Rerimbunan semak yang ada di depanmu, bisa jadi tempat di mana macan tutul bersembunyi.

DASAR KELALIMAN

Dasar kelaliman di dunia ini adalah menyia-nyiakan waktu. Setiap orang terus menambahnya sampai seperti sekarang. Jika Sultan menganggap benar, mengambil separo telur secara paksa, maka pasukannya akan mengambil ribuan unggas dari panggangannya.

PENAMPILAN PRIBADI

Milikilah kualitas esensial kaum darwis, maka engkau dapat mengenakan shako Tartar!

JIKA KAU TIDAK TAHAN SENGATAN

Jika engkau tidak tahan sengatan, jangan letakkan jarimu di sarang kalajengking.

AMBISI

Sepuluh kaum darwis dapat tidur di bawah satu selimut; tetapi dua raja tidak dapat memerintah di satu wilayah. Orang yang setia akan memakan separo roti, dan memberikan separo lainnya kepada kaum darwis. Penguasa mungkin memiliki sebuah kerajaan, tetapi direncanakan untuk menguasai dunia.

BAHAYA KEGEMBIRAAN

Jika seorang darwis tetap dalam keadaan gembira, ia akan terpisah dari kedua dunia.

KAUM DARWIS DAN PENUNGGANG UNTA
Ketika kita menuju ke selatan Arab, kaum darwis bertelanjang kaki dan tanpa penutup kepala akan bergabung dengan kafilah kita di Kufah (sebelah utara).
Kulihat bahwa ia tidak memiliki uang sepeser pun, tetapi ia terus melangkah dengan pasti, sambil bersyair:
Aku membebani unta
ataukah aku membawa beban unta?
Aku menguasai, ataukah aku dikuasai?
Apakah aku memiliki kegelisahan tentang Masa Lalu,
Kini atau Masa Datang?
Sepenuhnya aku bernafas,
sepenuhnya aku menjalani kehidupan.
Seorang pedagang yang menunggang unta, menganjurkannya untuk kembali. Jika tidak, katanya, si darwis akan meninggal karena menderita dan kekurangan makanan.
Mengabaikan saran tersebut, si darwis terus melangkah.
Ketika kami sampai di oase Bani Hamud, si pedagang meninggal.
Si darwis menyediakan tandu sambil berseru:
Aku tidak mati karena penderitaanku;
Tetapi kau, di atas untamu telah meninggal dunia.
Si bodoh menyalakan lampu di siang hari. Malamnya mereka bertanya-tanya mengapa tidak ada cahaya.
ORANG YANG SAKIT
Sepanjang malam seorang laki-laki menangis
Di samping orang sakit.
Menjelang subuh pengunjung itu meninggal —
Dan si pasien tetap hidup.
KAUM DARWIS DI NERAKA

Suatu malam seorang raja bermimpi, bahwa ia melihat seorang raja berada di surga sedang seorang darwis berada di neraka.

Orang yang bermimpi itu bertanya, “Apa maksudnya? Menurutku kedudukan tersebut terbalik.”

Sebuah suara menjawab, “Si raja berada di surga karena ia menghormati kaum darwis. Si darwis di neraka karena ia berkompromi dengan raja.”

ORANG YANG TIDAK PEDULI

Siapa pun yang memberi saran kepada orang yang tidak peduli, maka dirinya sendiri butuh saran.

YOGHURT SI MISKIN

Jika si miskin memberimu hadiah yoghurt, ia pasti akan membelinya dengan harga tertentu yang terdiri dari dua bagian air dan satu bagian yoghurt asli.

MANGSA HARIMAU

Apa yang dapat ditangkap harimau dalam kegelapan malam di sarangnya?

SI BODOH DAN KELEDAI

Suatu ketika si bodoh marah pada keledai. Tetapi tidak diperhatikan. Orang bijak yang memperhatikannya berkata, “Bodoh! Keledai itu tidak akan pernah belajar bahasamu, lebih baik bahwa engkau memperhatikan ketenangan dan menguasai lidah si keledai.”

JALAN
Aku khawatir kalau engkau tidak sampai di Mekkah, wahai Nomad!
Karena jalan yang engkau tempuh menuju ke Turkistan!

SYEKH SA'DI ASY- SYIRAZI

Barangsiapa mengikuti jalan itu (pencarian kebenaran), ia akan kehilangan topi (kebanggaan) dan kepalanya (rasionalitas).
(Nizhami, Treasury of Mysteries)

Gulistan (Kebun Mawar) dan Bustan (Kebun Buah) karya Sa’di asy-Syirazi merupakan dua karya klasik Sufisme yang mengandung ajaran moral dan etika serta banyak dibaca orang di India, Persia, Pakistan, Afghanistan dan Asia Tengah. Pada masa hidupnya, Sa’di adalah seorang Darwis yang senantiasa berkelana. Ia pernah ditangkap bala tentara Perang Salib dan disuruh menggali parit sedemikian dalam. Ia juga mengunjungi pusat-pusat pengajaran di Timur dan menulis puisi serta prosa yang bernilai sangat tinggi. Ia pernah belajar di perguruan tinggi Baghdad yang didirikan Nizham, Menteri Pengadilan Syah, sahabat Omar Khayyam. Ia mempunyai ikatan dengan para Sufi dari Tarekat Naqsyabandiyah, mempunyai hubungan dekat dengan Syekh Syahabuddin Suhrawardi, pendiri Tarekat Suhrawardiyah serta Najmuddin Kubra, Sang “Pilar Masa”, salah seorang Sufi terbesar sepanjang masa.

Pengaruh Sa’di terhadap kesusastraan Eropa diakui sangat besar. Tulisan-tulisannya merupakan salah satu acuan dasar bagi Gesta Romanorum, buku induk berbagai legenda dan alegori di Barat. Para sarjana (Barat) telah mencatat pengaruh-pengaruh Sa’di dalam kesusastraan, seperti dalam sastra jerman. Penterjemahan karya-karyanya pertama kali ditemukan di Barat pada abad ketujuh belas. Akan tetapi, seperti kebanyakan karya Sufi lainnya, maksud yang terkandung dalam karya Sa’di hampir tidak dipahami sama sekali oleh para pengkaji sastra. Ini terbukti dalam sebuah ulasan tipikal dari seorang komentator masa kini. Ulasannya memang bukan pendapatnya tentang Sa’di, namun merupakan indikasi pikiran di penanya: “Sangat diragukan apakah Sa’di benar-benar seorang Sufi. Sebab menurutnya pendidikan mengucilkan mistik.”

Sebenarnya, dongeng-dongeng berisi nasehat, syair, analogi penuh makna yang ditulis Sa’di mempunyai multifungsi. Pada tatanan masyarakat, semua tulisan Sa’di merupakan suatu kontribusi yang besar terhadap pemantapan etika. Namun di antara para pengulas sastra Barat, hanya Profesor Codrington yang memahaminya lebih dalam:

“Alegori dalam Gulistan memang khusus (digunakan) para Sufi. Mereka tidak mungkin menyampaikan ajaran rahasia kepada orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menafsirkannya secara tepat, sehingga mereka mengembangkan suatu terminologi khusus untuk menguraikan rahasia-rahasia tersebut bagi para calon murid. Bilamana tiada kata-kata yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut, maka ungkapan-ungkapan khusus atau alegori digunakan.”

Bukan hanya orang-orang Barat yang menganggap bahwa pengetahuan batiniah (esoteris) dapat dipahami seperti menyantap hidangan di atas piring. Sa’di sendiri telah menjelaskan hal ini dalam salah satu ceritanya.

Ketika ia mengadakan perjalanan dengan beberapa temannya yang saleh ke Hijaz Arabia, seorang anak laki-laki dekat Oasis Bani Hilal mulai menyanyi dengan cara khusus sehingga unta milik seorang pencibir mistisisme menari, kemudian melarikan diri ke padang pasir. “Aku berujar,” kata Syekh Sa’di, “baiklah Tuan, Anda tetap saja diam, padahal lagu itu telah mempengaruhi seekor binatang sekalipun.”1

Ajaran Sa’di tentang pelatihan diri tidak hanya mengacu pada kepatuhan biasa untuk menjalankan apa yang diajarkan guru. Dalam ajaran Sufi tentu ada suatu bentuk pelatihan din. Bentuk pelatihan ini sebenarnya merupakan tahap lebih awal daripada kemampuan untuk memahami nasehat-nasehat seorang guru. “Bila engkau tidak mau memarahi dirimu sendiri,” kata Sa’di, “maka engkau tidak akan mau menerima nasehat dari orang lain.”

Demikian pula tentang ketekunan dalam menjalankan hidup bertapa secara berlebih-lebihan. Pertama kali seorang calon murid harus dijelaskan tentang fungsi kehidupan mengasingkan diri yang sebenarnya. “Lebih baik tinggal bersama teman-teman daripada hidup di sebuah kebun dengan orang-orang asing,” tandas Sa’di. Kebutuhan mengasingkan diri dari dunia hanya berlaku dalam keadaan-keadaan tertentu. Para pertapa, yang tidak lebih dari para penggantang asap (orang-orang terobsesi), memberikan kesan bahwa padang pasir atau gunung-gunung adalah tempat-tempat yang harus digunakan para Sufi dalam menghabiskan seluruh hidupnya. Mereka sebenarnya tidak bisa melihat seutas benang dalam hamparan karpet.

Arti penting dan tempat dalam latihan-latihan Sufi juga merupakan masalah yang disorot Sa’di. Para intelektual biasa tidak mungkin akan percaya bahwa kualitas dan keberdayagunaan pemikiran beragam sesuai dengan tuntutan keadaan. Mereka merencanakan suatu pertemuan pada waktu dan tempat tertentu, memulai suatu perbincangan akademis dan selalu melakukan ini dalam keadaan apa pun. Mereka tidak dapat memahami pengertian Sufi bahwa hanya dalam “kesempatan” tertentu pikiran manusia dapat membebaskan diri dari mesin yang mengikatnya.

Prinsip ini, yang dikenal dalam hikmah kehidupan sehari-hari bahwa “segala sesuatu mempunyai waktu dan tempatnya sendiri”, ditekankan dalam Gulistan dengan suatu cara yang tipikal. Hikayat ketiga puluh enam yang mengungkapkan perilaku-perilaku para darwis kelihatannya hanya merupakan pelaksanaan aturan moral dan tata krama (etika). Namun bila diuraikan dalam atmosfir Sufi, maka hal itu menunjukkan dimensi-dimensi yang baru.

Seorang darwis memasuki rumah seorang dermawan dan melihat orang-orang terpelajar hadir di sana. Mereka saling bersenda-gurau di tengah suasana yang membicarakan hasil kerja intelektual mereka itu. Seseorang meminta darwis itu untuk ikut serta dalam perbincangan. “Hanya satu bait dari seseorang yang kurang intelek ini, bagi Anda,” kata si darwis. Mereka memintanya dengan hormat untuk diungkapkan.

Seperti seorang bujang di depan pintu kamar mandi perempuan, “Aku menghadap meja (makan), karena sudah begitu lapar.”

Bait ini tidak hanya mempunyai maksud bahwa sudah saatnya untuk makan, bukan berbicara; bait ini juga mengandung maksud bahwa perbincangan intelektual hanya sebagai latar untuk menuju pemahaman yang sebenarnya.

Kemudian, kisah berlanjut, si tuan pada saat itu segera memerintahkan (pelayannya) untuk menghidangkan semacam bakso. “Bagi orangyang lapar,” kata si darwis, “roti saja sudah cukup.”

Gulistan kerapkali menyinggung dalam bentuk puisi dan kisah, orang-orang yang tidak sabar mempelajari Sufisme tanpa menyadari bahwa mereka tidak dapat mempelajarinya dengan jiwa yang kosong. Dalam sebuah ungkapan Sufi yang terkenal, Sa’di bertanya, “Mungkinkah orang tidur membangunkan orang yang tidur?” Bilamana mungkin benar bahwa tindakan manusia seharusnya sesuai dengan kata-katanya, maka tentu saja benar bahwa pengamat sendiri pasti dapat menilai tindakan-tindakan tersebut. Namun kebanyakan orang tidak demikian. “Sebuah konferensi orang bijak adalah seperti bazar (pasar murah) para penjual pakaian. Engkau tidak bisa mengambil barang jualan apa pun di tempat itu, kecuali kalau engkau membayar uang. Tentu saja, engkau hanya bisa membawa barang jualan jika mempunyai kemampuan membeli.”2

Pokok bahasan lain yang ditekankan para Sufi adalah kemandirian calon murid dalam upaya mengembangkan diri dan minatnya. Suatu keseimbangan harus dicapai antara kepentingan diri dan masyarakat. Hubungan antara para Sufi dan Persaudaraan Suci (Ikhwanush-Shafa) yang hampir tidak diperhatikan para pengamat, dibahas dalam beberapa bagian tulisan Sa’di. Persaudaraan Suci adalah sekelompok cendekiawan yang mempersiapkan resensi-resensi ilmu pengetahuan yang telah dicapai dan mempublikasikannya secara anonim untuk kepentingan pendidikan serta tak seorang pun yang berkeinginan untuk meningkatkan reputasi dirinya. Lantaran mereka adalah kelompok rahasia, maka mereka kurang dikenal, karena “ketulusan” itu berhubungan dengan Sufi; maka orang banyak bertanya kepada para guru Sufi tentang mereka. Sa’di memberikan penjelasan tentang persaudaraan rahasia ini dalam kisah keempat puluh tiga:

Seorang bijak ditanya tentang Persaudaraan Suci. Ia menjawab, “Bahkan sangat sedikit di antara mereka yang menghormati kehendak-kehendak para sahabatnya di atas kepentingan dirinya sandiri.” Ia menyatakan, “Seorang yang asyik dengan dirinya sendiri bukanlah saudara ataupun sanak keluarganya.”

Kedudukan Gulistan yang menawan sebagai sebuah kitab tentang peningkatan moral yang sepenuhnya ditujukan kepada kalangan muda terpelajar telah mempunyai pengaruh dalam membangun suatu dasar ajaran Sufi yang potensial dalam pikiran para pembacanya. Karya Sa’di dibaca dan digemari, karena berisi pemikiran dan puisi-puisi yang bersifat menghibur. Beberapa tahun kemudian, ketika ia mulai bergabung dengan salah satu madzhab Sufi, dimensi batiniah dari hikayat-hikayatnya dapat diajarkan kepada para murid. Ia telah mempunyai jasa dalam membangun dasar (pengajaran). Bahan (pelajaran) persiapan ini hampir tidak dikenal dalam kebudayaan lain.

Rahasia-rahasia yang disampaikan sebelum waktunya pun ada beberapa ajaran Sufi yang sebenarnya dapat disampaikan tanpa mengetahui dulu semua ajarannya — akan lebih banyak menimbulkan kesalahpahaman. Hanya saja bila murid telah mempunyai dasar, maka ia bisa menyalahgunakan kemampuan (kekuasaan) menuntun dari para Sufi. Sa’di menjelaskan hal ini dalam sebuah kisah yang sebenarnya merupakan penjelasan sedikit lebih panjang daripada peribahasa larva:

Seseorang mempunyai anak perempuan yang jelek. Ia telah menikahkannya dengan seorang laki-laki buta karena tidak ada orang lagi yang menyukainya. Seorang tabib menawarkan diri untuk mengobati mata orang buta tersebut. Namun si bapak tidak mengijinkannya, karena khawatir ia akan menceraikan anak perempuannya. Sa’di menyimpulkan, “Suami dari seorang perempuan yang jelek adalah orang buta terbaik.”

Kemurahan hati dan kebebasan adalah dua faktor penting yang, bila diterapkan dengan penuh semangat dan benar, dapat mempersiapkan calon murid untuk memasuki dunia Sufi. Bila ada yang menyatakan, “Engkau sama sekali tidak bisa memperoleh kebebasan,” maka sebenarnya ada lebih banyak peluang untuk memperoleh kebebasan itu. Cara memberi (menyampaikan), sesuatu yang diberikan (disampaikan), pengaruh pemberian (penyampaian) terhadap individu, kesemuanya adalah faktor-faktor yang menentukan kemajuan Sufi. Ada suatu kaitan erat antara konsep ketekunan dan keberanian dengan konsep kebebasan. Dalam sistem pendidikan biasa, dimana pemahaman mendalam tentang mekanisme kemajuan tidak utuh, para murid akan mengarah pada persaingan. Murid biasa berpikir bahwa ia tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa perjuangan dan ia didorong untuk selalu berpikir begitu.

Sa’di juga menjelaskan masalah ini dalam salah satu aforismenya yang lebih sederhana. Ia menyatakan, “Seorang bijak ditanya, manakah yang lebih baik, berani atau bebas. Ia menjawab, ‘Orang yang bebas belum tentu berani’.” Sikap ini merupakan aspek terpenting dalam latihan Sufi. Perlu juga dicatat bahwa bentuk pengajaran tertulis membuka kemungkinan yang lebih luas bagi Sa’di untuk menjelaskan (melalui lisan orang bijak itu) bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan cara tertentu — juga/atau — tidak harus dijawab menurut pola pertanyaannya.

Dalam bab tentang keuntungan sikap qana’ah (mencukupkan diri), Sa’di mengisyaratkan ajaran-ajaran Sufi dalam beberapa kisah yang tampaknya ditujukan kepada para darwis yang tidak melakukan tindakan tepat. Sekelompok darwis yang sangat kelaparan, ingin memperoleh makanan dari seorang penjahat yang terkenal keserakahannya. Sa’di sendiri menasehati mereka dalam sebuah puisi terkenal:

Sang singa tidak akan memakan sisa-sisa anjing
Sekalipun ia harus mati kelaparan di sarangnya.
Biarlah tubuhmu menderita kelaparan
Janganlah merendah karena mengharap bantuan.

Cara dan fungsi kisah ini menunjukkan kepada Sufi bahwa Sa’di sedang memberi peringatan kepada darwis yang mengikuti keyakinan (paham) apa pun yang mengikat di luar dirinya sendiri, sementara ia berada dalam tahap latihan pengabdian Sufistik berikutnya.

Sufi sejati mempunyai kemandirian yang nilainya tidak dapat disamakan sedikit pun dengan orang-orang yang kurang beruntung.

Sa’di menulis tema yang sangat menarik ini dalam salah satu hikayat moralnya yang menawan, dan menunjukkan letak martabat yang sejati:

Seorang raja sedang berburu bersama beberapa pembesar istana di hutan belantara. Ketika cuaca begitu dingin, ia memerintahkan para pembesar istana agar menginap di sebuah gubuk petani. Mereka menandaskan bahwa martabat raja akan turun jika memasuki tempat semacam itu. Kemudian si petani mengatakan, “Baginda raja kalian tidak akan kehilangan martabat, namun akulah yang memperoleh kehormatan karena didatangi orang yang sangat terhormat.” Petani tersebut kemudian menerima sebuah jubah kehormatan dari raja.

Catatan kaki:

1 Kutipan ini dan lainnya adalah terjemahan Aga Omar Ali Shah (MS).

2 “Banyak orang terpelajar dirusak ketidaktahuan dan mempelajari apa yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadhrat Ahmed ibnu Mahsud, seorang Sufi).

Biografi Kahlil Gibran

gibran Biografi Kahlil Gibran

.

Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Januari 1883 di Beshari, . Beshari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, . Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Bairut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat (School of Wisdom) sejak tahun 1898 sampai 1901.

.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah dan masa depannya mulai terbentuk. Tirani kerajaan Ottoman, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia , namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari . sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di , yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang meyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronite. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di , Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Syria yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “The Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam “The Madman”. Setelah “The Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”, 1919; “The Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di , ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di , Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

sayap sayap patah Biografi Kahlil GibranSalah satu buku karya Kahlil Gibran

Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “The Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “The Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “The Garden of the Propeth”.

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hati dan TBC, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Ma Sarkis, sebuah biara Carmelite di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”

Bahan dirangkum dari:
Buku : 10 Kisah Hidup Penulis Dunia
Judul :
Editor : Anton WP dan Yudhi Herwibowo
Penerbit : Katta Solo, 2005
Halaman : 63 – 70

Sumber :
http://chahndeso.wordpress.com/2008/01/21/biografi-kahlil-gibran-1883-1931/

WILIAM SHEKSPEARE

shake spear Biografi William Shakespeare

.

Dramawan dan penyair besar Inggris William Shakespeare dilahirkan tahun 1564 di Stratford-on-Avon, Inggris. Tampaknya dia peroleh pendidikan dasar yang lumayan tetapi tak sampai injak perguruan tinggi. Shakespeare kawin di umur delapan belas (istrinya umur dua puluh ), beranak tiga sebelum umurnya mencapai dua puluh satu.

.

Beberapa tahun kemudian, dia pergi ke London, menjadi anak panggung dan drama. Tatkala usianya mencapai tiga puluh Shakespeare sudah menunjukkan keberhasilan. Dan tatkala umurnya menginjak tiga puluh empat, dia sudah jadi orang berduit dan dianggap drama Inggris terkemuka. Sepuluh tahun kemudian, dia sudah membuahkan karya-karya besar seperti Julius Caesar, , Othello, Macbeth dan King Lear.

.

Dalam jangka waktu dua puluh tahun yang punya makna khusus Shakespeare tinggal di London itu, istrinya tetap tinggal di Stratford. Shakespeare mati di tahun 1616 pada sekitar ulangtahunnya yang ke-52. Dia tidak punya keturunan yang hidup.

Ada 38 drama terkenal ciptaan Shakespeare termasuk beberapa drama kecil yang mungkin digarap bersama orang lain. Selain itu, dia menulis sejumlah 154 sonata dan 3 atau 4 - panjang.

Ditilik dari kegeniusan Shakespeare, hasilnya dan kemasyhurannya yang memang sudah sewajarnya, mungkin timbul kesan aneh apa sebab namanya tidak ditempatkan di urutan lebih atas dalam daftar buku ini. Saya menempatkan Shakespeare begitu rendah bukan lantaran saya tidak menghargai daya hasil seninya, tetapi semata-mata karena saya yakin bahwa pada umumnya kesusasteraan atau tokoh-tokoh seniman tidaklah punya pengaruh besar dalam sejarah.

Kegiatan pemuka-pemuka agama, ilmuwan, politikus, para penyelidik, filosof, para pecipta lebih sering berpengaruh terhadap pelbagai bidang kehidupan manusia. Misalnya, kemajuan ilmu punya pengaruh besar terhadap peri kehidupan ekonomi dan politik, dan juga berpengaruh terhadap agama, sifat filosofis dan perkembangan seni.

Tetapi, seorang masyhur, kendati dia punya pengaruh besar terhadap lain, tidaklah punya pengaruh apa-apa terhadap perkembangan musik dan kesusasteraan, konon pula terhadap ilmu pengetahuan, atau bidang penyelidikan. Hal serupa berlaku pula untuk bidang-bidang , drama dan musik. Walhasil, secara umum bisalah dibilang, pengaruh seniman itu cuma menyentuh bidang seni, bahkan terbatas pada bagian-bagian seni tertentu. Oleh sebab itu, tak ada tokoh kesusasteraan, musik atau seni lain yang diletakkan di atas urutan No. 30, malahan hanya sedikit sekali yang ditampilkan dalam buku ini.

Kalau demikian halnya, mengapa masih ada juga seniman yang termasuk daftar? Jawabnya ialah, kesenangan terhadap seni merupakan bagian langsung (meski tidak selalu merupakan bagian pokok) dalam kehidupan individu. Dengan kata lain, seseorang bisa menyediakan sebagian dari waktunya mendengarkan musik, sebagian membaca buku, sebagian memandang lukisan dan sebagainya. Bahkan apabila waktu yang kita habiskan untuk mendengarkan musik tak punya pengaruh terhadap kegiatan kita lainnya (ini tentu saja sesuatu yang dilebih-lebihkan) toh waktu itu tetap merupakan hal yang penting dalam hidup kita.

Tentu saja pribadi seorang seniman bisa saja punya pengaruh terhadap kehidupan kita lebih dari sekedar waktu yang kita habiskan untuk mendengarkan musik, membaca buku atau menikmati hasil karya mereka. Ini lantaran karyanya telah mempengaruhi begitu rupa baiknya karya seniman lain yang hasilnya kita senangi.

Dalam beberapa hal, kerja artistik sedikit banyak punya makna filosofis yang dapat mempengaruhi sikap kita dalam bidang masalah lain. Ini tentu saja terjadi lebih kerap dalam hal yang berkaitan dengan kesusasteraan ketimbang dengan musik atau lukisan. Misalnya, dalam Romeo and Juliet (Act III, scene 1) Shakespeare menulis ucapan sang pangeran “Mercy but murders, pardoning those that kill,” jelas menyuguhkan suatu ide (lepas orang terima atau tidak) yang punya makna filosofis dan lebih punya pengaruh politis ketimbang, katakanlah, memandang lukisan “Mona Lisa.”

Kelihatannya tak ragu lagi Shakespeare mengungguli semua tokoh-tokoh sastra. Relatif, sedikit sekali sekarang ini orang baca karya Chaucer, Virgil atau bahkan Homer, kecuali jika karya mereka itu jadi ketentuan bacaan sekolah. Tetapi, pementasan sebuah karya Shakespeare pastilah dapat sambutan. Kelebihan Shakespeare dalam hal perangkuman bait-bait betul-betul tak tertandingkan dan kalimat-kalimatnya sering dikutip, bahkan oleh orang yang tak pernah barang sekali pun melihat atau membaca dramanya. Lebih dari itu, nyata benar betapa ketenarannya bukanlah sekedar sepintas lintas. Karyanya menyuguhkan kebahagian kepada pembacanya dan penontonnya selama hampir empat abad. Karena karya-karya itu sudah mantap teruji jaman, adalah pantas menganggap bahwa karya Shakespeare akan terus tenar berabad-abad mendatang.

Dalam hal menentukan arti penting Shakespeare orang harus memperhitungkan andaikata dia tak pernah hidup di dunia, drama-dramanya tak akan pernah ditulis orang samasekali. Tentu saja, sampai batas tertentu, pernyataan serupa dapat diberikan kepada tiap tokoh artis atau sastra. Namun, faktor itu tampaknya tidak begitu punya arti penting khusus dalam penilaian terhadap bobot pengaruh yang ada pada seniman-seniman ukuran kecil.

Kendati Shakespeare menulis dalam bahasa Inggris, dia betul-betul tokoh yang dikenal seseluruh dunia. Jika bukannya suatu bahasa yang teramat universal, bahasa Inggris adalah paling mendekati ukuran itu ketimbang bahasa-bahasa lain yang pernah ada. Lagi pula, karya Shakespeare sudah diterjemahkan secara luas dan karyanya dibaca dan dipentaskan di pelbagai negeri.

Ada tentu saja beberapa tenar yang karyanya dikecam oleh kritikus-kritikus seni. Tidaklah demikian halnya pada Shakespeare yang karyanya dihargai tanpa cadangan oleh para ahli sastra. Generasi-generasi drama mempelajari karyanya dan mencoba meniru sebaik atau mengunggulinya. Gabungan antara pengaruh yang amat besar terhadap para pengarang dan ketenaran yang tak berkeputusan di kalangan masyarakatlah yang menempatkan Shakespeare di urutan cukup tinggi dalam daftar buku ini.

WILLIAM SHAKESPEARE 1564-1616

Diambil dari:
Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah
oleh Michael H. Hart, 1978

NAJIB MAHFUDZ (jari jari kekar sastrawan mesir)

naguib mahfouz Najib Mahfudh (Jari Jari Kekar Sastrawan Mesir)

.

Najib Mahfudh adalah satu-satunya Novelis Arab berkebangsaan Mesir yang berhasil meraih penghargaan Nobel di bidang sastra tahun 1988, dan termasuk salah seorang penulis sastra Arab terkenal disamping tokoh-tokoh lainnya, seperti Taufiq Al-Hakim. Namanya ditempatkan dalam jajaran tokoh sastra dunia yang telah berhasil menghasilkan karya spektakuler, seperti Orhan Pamuk (Turki), Nadine Gordimer (Afrika Selatan), Kenzaburo Oe (Jepang) dan masih banyak yang lainnya. Penulis Biografi Mahfudh, Raymond Stock pernah menulis,”Menurut saya, ia melampaui kehebatan para (penulis) Barat”.

.

Biografi

.

Mahfudh dilahirkan di distrik Gamaliyah, belakang makam Sayyidina
Husein, di Lama pada tanggal 11 Desember 1911, dari sebuah keluarga miskin . Beliau adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara, ayah beliau seorang pegawai negeri yang dilukiskannya sebagai “Seorang yang Jumud”. Di waktu kecil, Beliau sering diajak oleh ibunya ke Museum Sejarah Mesir, yang kemudian menjadi tema utama dalam setiap buku-bukunya.

Revolusi Mesir yang terjadi 1919 mempunyai pengaruh yang kuat pada seorang Najib Mahfudh, meskipun baru berumur tujuh tahun. Dari jendela rumahnya, dia sering melihat tentara Inggris menembaki para demonstran. Ini yang menjadikan karya-karyanya yang tidak pernah sepi dari unsur politik. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Mahfudh masuk Universitas Raja Fuad I yang dikenal sekarang dengan nama Universitas , di mana dia belajar Filosofi dan lulus 1934.

Tahun 1936, Mahfudh memutuskan untuk menjadi penulis professional. Ini dibuktikan dengan menjadi wartawan di Koran Ar-Risalah dan memiliki kontribusi yang luar biasa untuk Koran Al-Hilal dan Al-Haram. Karir selanjutnya yang dirintis adalah menjadi staf pada Kantor Kementerian Agama dan Urusan Wakaf, kemudian dipindahtugaskan ke Kantor Kementerian Kebudayaan sebagai penanggung jawab untuk industri perfilman.

Beliau juga pernah menjabat sebagai Konsultan pada Kementerian Kebudayaan dan pensiun 1972, serta pernah pula menjadi Anggota Dewan di penerbit Dar Al-Ma’arif. Beliau memilih hidup dalam keadaaan bujang sampai umur 43 tahun, dan menikah setelah itu pada tahun 1954, serta menghasilkan dua anak perempuan.

Najib Mahfudh dalam perjalanan hidupnya pernah menentang Ayatullah Khomeini karena mengeluarkan fatwa “Hukum Mati” terhadap Salman Rushdie 1989, yang mencaci maki Islam dalam “”. Karena dalam pandangannya, seseorang memiliki kebebasan dalam berekspresi, namun ia juga mengkritik tulisan Salman Rushdie karena dianggap menghina Islam. Di samping itu, karya-karyanya juga banyak yang berisi kritikan termasuk yang berhubungan dengan agama, seperti “Awlad Haaratina” yang kemudian dilarang terbit oleh Al-Azhar.

Tindakannya ini, membuat kelompok Islam Radikal marah, dan pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap dirinya tahun 1994, dengan menikam pundaknya. Setelah kejadian tersebut, Mahfudh mengalami masa-masa sulit dari hidupnya sebagai penulis. Sehingga menghasilkan karya yang sangat sedikit. Pada awal tahun 1996, karyanya kembali muncul yang ditulis oleh Ahmad Kamal Abu Al-Majd. Sampai kematian menjemput dirinya, Mahfudh hidup dalam keadaan fisik yang sangat sulit, tetapi semangat yang terpancar dari dirinya adalah gambaran kekuatan seorang penulis besar.

Karya dan Pandangan

Tahun 1950, Beliau bekerja untuk karyanya yang spektakuler yang dikenal dengan “Trilogi ” (Bayn Al-Qashrain, Qashr Al-Syawq, Al-Sukkariyyah), yang melambungkan namanya di seantero dunia Arab. Berkat karya trilogi itu, ia dikenal sebagai pemerhati kehidupan masyarakat urban tradisional. Di era pasca Revolusi 1952, ia kerap menyusupkan pandangan politiknya secara terselubung dalam wujud kiasan dan simbol di setiap tulisannya.

Awlad Haaratina (anak-anak Gabalawi) yang terbit tahun 1959 merupakan karya terbaiknya. Novel ini menceritakan seorang Gabalawi yang memutuskan untuk beristirahat dan menyerahkan pengaturan tanah kepada seorang anaknya. Tanah itu adalah sumber kehidupan orang kampung sekaligus pangkal malapetaka. Wakaf bukan untuk dikuasai sepihak, tapi dimanfaatkan bersama, sebagaimana dunia adalah Tuhan untuk manusia. Dan petaka mulai ketika muncul hasrat tamak ingin menguasai tanah , dan ketika terjadi pelanggaran terhadap sepuluh syarat yang telah ditetapkan oleh Gabalawi sebagai pemilik asal, sebagaimana pelanggaran manusia terhadap sepuluh perintah Tuhan. Novel ini dilarang dilarang di seluruh dunia Arab kecuali di Libanon, karena dianggap menggambarkan Allah dalam perilaku manusia.

Tsartsarah Fauqa An-Nil (Terombang-ambing di Nil) yang terbit tahun 1966 adalah salah satu novelnya yang populer. Dan pernah diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh Super Star Mesir seperti Imad Hamdi, Ahmad Ramzi, dan Adel Adham. Alur ceritanya adalah bagian dari kritik sosial pada masa Gamal Abdul Naser. Lalu pada masa Anwar Sadat, dilakukanlah pembredelan terhadap karyanya ini untuk mencegah timbulnya provokasi terhadap orang-orang Mesir yang masih mencintai Gamal Abdul Naser.

Sebagian besar dalam tulisan Mahfudh selalu berisikan tentang politik, sebagaimana yang dikatakannya,”Dalam semua tulisan saya, Anda akan menemukan politik. Anda dapat menemukan sebuah cerita yang mengabaikan cinta atau lainnya, tetapi tidak politik”. Beliau dalam karya-karyanya juga menggabungkan pengaruh intelektual budaya Timur dan Barat serta juga tertarik dengan sosialis demokratis.

Meninggal Dunia

Najib mahfudh menghembuskan nafas terakhir pada usia 94 tahun, tepatnya pada pagi hari ini (Rabu, 30 Agustus 2006) di Rumah Sakit Kepolisian Mesir, di Agouzah. Mahfouz dirawat di Rumah Sakit Kepolisian sejak 10 Agustus akibat sakit paru-paru dan ginjal.

Dari keterangan teman dekatnya, Mahfuz diketahui mengalami gagal jantung. Meski dokter berhasil membuatnya siuman, jantungnya benar-benar berhenti berfungsi. Kondisi Mahfuz memang merosot drastis sejak dua bulan sebelum kematiannya. Pada pertengahan Juli 2006, ia sempat dilarikan ke rumah sakit lantaran mengidap masalah ginjal, pneumonia, dan berbagai penyakit terkait dengan usianya. Kemudian, pada 14 Agustus 2006 ia dibawa ke ruang gawat darurat dengan kondisi kritis kendati sempat membaik beberapa hari. Mahfudh dimakamkan ala militer di Masjid Al-Rashdan, Nasr City, , dan dihadiri Presiden Husni Mubarak.

Sumber: tokohpapyrusz.blogspot.com